1
Mia = Masalah ?
Terlihat seorang cewek dengan wajah serius melintas di jalanan dengan sepeda keranjang tua setianya. Cewek itu memakai blazer hitam dan rok pendek penuh lipatan dengan warna yang sama. Kemeja dalamnya berwarna putih dan dasinya membentuk silang warna merah. Tas selempang putihnya menyilang dengan manis di badannya. Di permukaan blazernya terjahit lambang sebuah sekolah yang sangat ternama, SMA Pelita Nusa.
Cewek itu bernama Mia. Rambutnya lurus melampaui bahu dan dia selalu mengikatnya saat ke sekolah. Poninya panjang menyentuh alisnya. Badannya nggak terlalu tinggi dan dia lumayan kurus.
Mia mengayuh sepeda keranjangnya dengan cepat. Rasanya dia sudah mengayuh sepedanya secepat mobil F1 yang lagi balapan. Pantatnya bahkan nggak menempel di jok. Dia juga nggak perlu rem untuk berbelok maupun untuk meluncur di turunan. Dia nggak peduli dengan apapun yang terjadi selain tiba di sekolah tepat waktu dan terhindar dari hukuman.
Begitu dilihatnya gerbang sekolah dari jauh dan lapangan terlihat sepi, dia segera meningkatkan kecepatannya. Kemudian dia masuk ke halaman sekolah dan menuju ke parkiran. Lalu dengan polosnya dan tanpa beban menaruh sepedanya begitu saja diantara mobil Avanza dan Mercedes.
Kemudian Mia berlari dengan cepat. Lapangan berpasir yang cukup mengepul hari itu diabaikannya. Lapangan terlalu luas dan kelasnya di lantai tiga terlalu jauh untuk dicapai.
Akhirnya saat berlari di tengah lapangan, Mia berhenti untuk melepas dua sepatunya. Kemudian dia berlari dengan cepat menuju ke kelasnya dengan kedua sepatu ditenteng di tangan.
♥♥♥
Sekarang pukul 07.40, itu artinya bel udah berbunyi 10 menit yang lalu.
Mia nggak mau menyerah. Masih ada harapan. Setidaknya guru belum masuk ke kelas, sehingga dia bisa masuk, berpura-pura tenang dan segalanya bisa jadi lancar.
Dia berlarian di koridor yang lenggang. Menaiki tangga dengan cepat tanpa peduli seberapa banyak keringat yang ada di tubuhnya.
Akhirnya dia melihat kelasnya, XI IPA 5.
Tanpa mengurangi kecepatan, Mia menggeser pintu kelas.
BRAK!
JREEEENGG!!!
Semua mata di dalam kelas itu menatap Mia datar. Lebih tepatnya, mereka semua terlihat seperti orang Cina dengan mata sesipit itu. Segala kegiatan berhenti, cuma bernapas yang mereka terus lakukan.
Mia berdiri di depan pintu dengan tangan terbentang dan mulut terbuka untuk berekspirasi secara maksimal. Tali sepatu masih terlilit diantara jarinya. Ditatapnya kelas yang lengkap. Tanpa guru.
Fiuuh…
Mia tersenyum.
Tanpa dia sadari Pak Banu muncul dan berdiri di belakangnya. Wajahnya yang tegas dan bulat mengerut melihat Mia. Tangannya terangkat dan menjewer kuping cewek yang nggak beruntung itu.
“A-aduh!” keluh Mia kesakitan sambil memutar badannya.
Kelas jadi ramai, mereka semua tertawa pelan.
“Mia!” teriak pak Banu, “Kamu lagi!”
“Maaf, pak.” Bisik Mia sambil terus menggerakan kepalanya mengikuti tarikan tangan Pak Banu.
“Kamu tau apa hukumannya buat kamukan?” tanyanya.
Mia mengangguk dengan mata terpejam menahan sakit.
♥♥♥
Mia emang bener-bener cewek yang nggak beruntung. Dia kini sedang berjongkok dan berlompat-lompat di koridor depan kelasnya dengan kedua tangan di telinga. Dia harus melakukan itu terus menerus sampai jam istirahat datang.
Sebenarnya ini bukan kali pertamanya Mia mendapatkan hukuman seperti ini. Dia emang lumayan sering terlambat. Bagi sekolah dengan level tinggi seperti ini, murid yang terlambat lebih dari 3 kali termasuk langka. Dan untuk kasus Mia, dia udah terlambat 5 kali.
Pagi ini dia kembali terlambat gara-gara tidur terlalu larut. Sebenernya itu nggak akan terlalu parah kalau aja dia nggak lupa ngerjain peer mengarang Bahasa Inggrisnya dan nggak lupa kalau jarak rumah dan sekolahnya luar biasa jauh.
Mia cuma bisa mengelus dada atas kejadian ini. Dia sudah terbiasa dengan nasib buruk yang sering menimpa dirinya.
Beberapa murid yang sedang melintas atau baru saja kembali dari toilet berbisik dengan tatapan rendah melihatnya. Mia nggak bisa melakukan apapun kecuali tertunduk dengan wajah malunya dan melanjutkan hukuman itu apapun yang terjadi.
♥♥♥
Akhirnya bel sekolah berbunyi nyaring, tanda jam istirahat telah tiba.
Terdengar pintu kelas digeser, seseorang akan keluar dari sana. Mungkin Pak Banu. Masih dengan tubuh berjongkok, tangan di telinga, rambut berantakan ke depan wajah dan muka keletihan, Mia membalikkan tubuh, menghadap ke pintu.
“Hah?!” Mia berteriak kaget sambil menundukkan kepalanya cepat-cepat.
Ternyata bukan Pak Banu yang keluar, yang keluar adalah seseorang membuat jantung Mia berdebar kencang datang melintas. Mia berusaha agar wajahnya tidak terlihat, tapi dia masih terus mengawasi Rafi dengan lirikan matanya.
Rafi.
Dia akan lewat disamping Mia.
Rafi keluar dari kelas dengan kedua tangan di dalam saku. Satu langkah keluar dari kelas, dia langsung berhenti. Kepalanya menoleh ke kiri, melihat Mia yang sedang tertunduk dengan gemetaran.
Tatapan mata Rafi yang sedingin es melihat Mia melalui lensa kacamatanya. Beberapa detik dia terdiam dengan tatapan tajam ke arah Mia.
“Dasar bodoh.”
Langkah Rafi mulai terdengar. Dia bergerak menjauh dengan ketukan langkah kaki yang berirama.
Secepat kilat Mia mengerutkan alis dan memanyunkan bibirnya. ‘Dasar bodoh?’, apa kalimat itu diucapkan Rafi kepadanya? Atau dia cuma berhalusinasi?
Mia tertunduk masih dengan berfikir. Kemudian ada langkah setengah berlari yang datang mengejar Rafi. Mia tahu, itu pasti Dona, teman sekelas Rafi yang selalu mengikuti Rafi kemanapun dia pergi.
“Rafi!” panggilnya.
Tuh kan… itu suaranya Dona.
Mia mengelus dada dan menghembuskan napas kuat-kuat untuk bersabar.
Rafi adalah cowok di sekolah yang sudah setahun ini disukai oleh Mia secara diam-diam. Mia tahu kalau dia nggak mungkin bisa mendapatkan Rafi. Rafi itu orang yang nyaris sempurna. Wajahnya ganteng, gayanya keren, dia pendiam, pintar, dan akan menjadi ahli waris atas 3 perusahaan milik ayahnya. Sedangkan Mia? Dia cewek biasa yang sering nggak dianggap, sering mendapat nilai jelek, tidak punya sahabat dekat dan bisa masuk ke sekolah semahal ini karena beasiswa yang didapatnya karena dulu ayahnya berjualan di kantin sekolah.
Dona merupakan satu diantara ratusan penggemar Rafi yang beruntung. Dia yang paling memenuhi kualifikasi untuk menjadi pacar Rafi. Cewek itu cantik, dia pintar dan ayahnya seorang pengacara terkenal. Itu membuat harapan Mia untuk mendekati Rafi semakin mustahil.
Setelah langkah Rafi dan Dona tidak terdengar lagi, Mia kembali melanjutkan hukumannya sampai pak Banu menemuinya dan mengizinkannya untuk masuk ke kelas. Pfuuh…
2
Gempa?
Tamu Tak Diundang?
Malam hari, pkl. 17.25
Sebuah mobil BMW hitam melaju di jalan.
“Besok hari pertama syuting. Pasti jadi hari yang panjang dan melelahkan.” Kata Dema yang sedang menyetir mobil.
“Udah pasti. Apalagi kita bakalan main bareng.” Kata Vian yang sedang memegang majalah, “tiga sepupu main bareng di satu film besar. Padahal kita kan baru pertama kali ikut casting, eh diterima.”
“Itu gara-gara lo berdua saudara gue.” Dema menyombongkan diri, “biar belum pernah main film, gue kan udah cukup lama jadi model majalah.”
Vian meminyingkan bibir, meremehkan kata-kata kakak sepupunya yang sombong itu. Sementara Radit, yang paling muda diantara ketiganya hanya menatap kosong ke jalanan melalui kaca jendela. Dia terlihat tidak tertarik dengan obrolan dua kakak sepupunya itu.
“Lagian ngapain sih lo berdua ikut-ikutan gue?” tanya Dema, “tiba-tiba muncul di sana trus ikutan casting?”
“Daripada gue kuliah. Iya kan?” balas Vian sambil menunjukkan senyum manisnya yang membuatnya keliatan seperti anak perempuan. Dema melirik kesal pada Vian yang menjadikan dirinya sebagai tempat pelarian.
“Lo, Dit? Tumben lo ikut-ikutan gue kayak gini?” Dema bertanya pada Radit.
“Gue nggak mau terus-terusan di rumah dan jadi bonekanya kakek.” Balasnya datar tanpa menggerakkan bola matanya, “lagian gue bosen ngerjain yang itu-itu aja. Sekali-kali pengen keluar.”
Dema berdehem, menatap serius bayangan Radit yang duduk di kursi belakang dari kaca depan mobilnya.
“Kalo lo sendiri, Dem?” tanya Vian pada Dema, “jadi model aja belom becus, sekarang malah mau jadi pemain film.”
Dema tersenyum penuh maksud, “kalo gue? Gue cuma mau ngehindar dari kakek yang terus-terusan nyuruh gue nikah. Lo tau kan gue paling nggak bisa terikat dengan komitmen apapun?” jawabnya.
Vian mengangguk sok ahli. Kemudian dia kembali menyender dan melanjutkan kegiatan membaca majalahnya.
Ketiga sepupu ini dilahirkan dengan sifat dan wajah yang berbeda-beda.
Yang pertama bernama Dema. Dia yang paling tua diantara ketiganya. Umurnya 27 tahun. Dari wajahnya terlihat kalau dia sudah dewasa. Meski sebenarnya dia sangat nggak berprinsip dan masih suka main-main kayak anak kecil. Mukanya ganteng, garis tulangnya kokoh seperti laki-laki macho. Brewok dan kumisnya tumbuh tipis untuk memaksimalkan perannya di film nanti.
Vian yang kedua. Umurnya 19 tahun. Orangnya supel, ramah, lucu dan cerewet. Mukanya cantik dan putih mulus seperti boneka. Sebenarnya dia punya banyak penggemar sejak kecil. Apalagi dia termasuk cowok penuh kelembutan yang tau gimana caranya menarik hati perempuan. Tapi dia orang yang nggak pernah menganggap sesuatu dengan serius. Mungkin dia cuma belum dewasa.
Radit yang terakhir, yang paling muda diantara ketiganya. Dia baru 16 tahun, baru tiga bulan lulus dengan NEM tertinggi di sekolahnya dan bisa lulus semuda itu karena ikut kelas akselarasi berkali-kali. Dia adalah pangeran di keluarga besar Asmadiputra, karena dia satu-satunya yang paling perfect. Dilihat dari segi manapun, dia terlihat seperti pangeran dunia nyata. Wajahnya keren, otaknya encer dan dia adalah cucu kesayangan kakek, yang katanya akan mendapat warisan keluarga paling besar kalau nanti kakek meninggal. Hanya satu kekurangan Radit, dia orang yang sangat tertutup, berbicara seperlunya dan nggak terlalu baik dalam interaksi sosial.
Persis seperti apa yang ada dalam fikiran Vian saat ini. Dia merasa aneh melihat Radit yang duduk bersebelahan dengannya di kursi belakang. Mata Radit melihat keluar jendela dengan sangat tajam. Alis Vian mengeriting melihat tatapan Radit.
Memang seperti itulah tatapan Radit. Tajam, kadang terlihat sangat angkuh dan kasar. Semua benda yang dia lihat, dilihatnya dengan tatapan seperti sebuah rasa benci, meskipun maksudnya bukan begitu. Dingin dan tajam, mungkin dua kalimat itu yang tepat untuk menggambarkannya.
“Dit.” Vian memanggil.
“Hm?” Radit menanggapi datar.
“Apa lo selalu menatap orang kayak gitu?” tanya Vian.
Radit menoleh dengan wajah tidak mengerti. Vian dengan wajah kanak-kanaknya yang imut menatap Radit. Matanya mengatakan secara tidak langsung kalau Radit pasti mengerti maksud ucapannya tadi.
“Dia main di film ini karena sifatnya yang itu. Karena tatapan matanya cocok sama karakter di skenario. Tipe cowok dingin yang rela mati demi prinsipnya,” Dema menyahut dari depan, “Dia beda sama elo, Vian. Yang diterima karena lo cocok jadi peran banci di film.”
Vian memukul bahu Dema pakai majalah. Radit kembali membuang mukanya. Dema tertawa geli saat berhasil membuat Vian marah.
Lalu tiba-tiba…
Ckkkiiiittt
Dema menginjak rem. Mobil berhenti 6 km dari pintu masuk tol Bandung.
Tanah bergoyang, cukup kuat dan sangat terasa. Tiga laki-laki dalam mobil itu terdiam bingung. Di sekitar mereka masih banyak mobil lain yang berjalan meski jalanan berguncang. Dema terdiam cemas dengan punggung bersandar dan kedua tangan memegang erat setir mobil.
Tanah terasa bergoyang sekitar 20 detik. Setelah itu getarannya hilang. Meski begitu, tetap saja yang tadi itu merupakan kejadian yang tak pernah diharapkan untuk terjadi dan sangat mengkhawatirkan.
“Ya ampun…” Vian akhirnya bisa berbicara, “tadi itu gempa ya?” dia bertanya dengan mata bulat dan mulut menganga.
Dema tak bisa menjawab karena syok.
Radit justru menoleh dengan polos. Jangan-jangan dia nggak ngerasain ada gempa saking seriusnya melototin jalan?
“Mungkin.” Radit akhirnya merespon tak acuh.
“Itu tadi gempa!” teriak Dema, “gempa yang sangat kuat!”
“Jangan-jangan abis ini bakalan ada tsunami?” gumam Vian.
Radit dan Dema mematung dan merinding mendengarnya.
Hanphone Dema berdering saat getaran hilang. Dema tetap pada posisinya. Dadanya kembang kempis dengan kencang. Tangan masih di setir, punggung masih bersandar dan tatapan mata masih kosong. Kayaknya dia cukup parno gara-gara kejadian tadi.
Perlahan, Dema memasukkan tangan ke dalam saku mantelnya dan mengambil telepon. Dibacanya nama pada layar. Panggilan dari Dudi, sahabat yang juga merangkap sebagai manajernya.
“Halo? Ada apa?” tanya Dema.
“Lo tuh yang ada apa! Baru aja ada gempa disini!” teriak Dudi panik.
“Gue tau. Disini juga terasa.” Jawab Dema.
“Kalian bertiga baik-baik aja? Vian sama Radit masih utuh?” tanya Dudi.
Dema memalingkan wajah ke kursi belakang dengan malas. Dilihatnya Vian yang tersenyum manis seperti malaikat dan Radit yang bertopang dagu melihat keluar jendela dengan tampangnya yang dingin.
“Sempurna.” Kata Dema.
“Aduuuh… syukurlah…” Dudi bernapas lega.
“Gimana keadaan disana?” tanya Dema.
“Keadaan disini sangat buruk. Gempanya kuat disini. Semua orang keluar dari gedung dan berlarian ke jalanan. Kantor agensi kita aja kacanya pada retak. Listrik mati dan pohon tumbang di jalanan. Banyak kecelakaan terjadi.” Ucap Dudi, “Kalau kalian? Dimana kalian sekarang?! Harusnya gue yang nanya! Gue kan manajer kalian?!” Dudi berteriak keras.
“Masih di jalan.” Jawab Dema.
“Dimananya?” Dudi mendesak.
Dema melihat keluar jendela dengan bingung. Di seberang sana, dia melihat gedung tinggi dengan lampu bersinar berwarna kemerah-merahan. Dema mencoba membaca kalimat di gedung itu.
“Dekat parahayangan hotel.” Jawabnya.
“Gawaatt… sebaiknya kalian nggak usah terusin perjalanan.” Kata Dudi stres.
Dema mengeritingkan alisnya, “Kenapa?”
“Sepuluh kilometer dari tempat lo sekarang ada kecelakaan beruntun dan jalanan anjlok. Nggak mungkin kalian bisa lewat sana. Terlalu berbahaya. Tadi gue dikabarin sama temen.” Sahutnya.
“Trus, gue puter balik aja?” tanya Dema.
“Mampus deh.” Dudi menepuk jidatnya.
“Ada apa lagi?” Dema bertanya panik.
“Kalian kejebak disana. Di belakang kalian juga diblokir. Kecelakaan sama jalanan retak.” Jelasnya.
“Trus gue mesti gimana?” Dema mulai pasrah. Mungkin ini emang udah takdirnya untuk berakhir dengan hal menyedihkan seperti ini.
Mengetahui percakapan yang mulai serius, Vian dan Radit mulai melirik ke Dema, mendengarkan percakapan itu dengan seksama. Suara Dudi yang cempreng dan besar itu terdengar meski nggak lewat loudspeaker.
“Sebentar… biar gue pikirin.” Dudi berfikir seperti paranormal.
Dema menyandarkan kepalanya ke sandaran kepala di jok. Dia mulai malas dan ingin sekali keluar dari tempat itu. Kemudian, sambil menunggu jawaban Dudi, tiba-tiba dia mendapat ide.
“Berapa jarak blokiran dari sini kalo gue puter balik?” Dema bersemangat.
“Kira-kira sepuluh kilometer.” Dudi memperkirakan.
“Oke, makasih ya.” Kata Dema.
Lalu dia memutuskan sambungan dan me-nonaktifkan ponselnya.
Vian yang penasaran memajukan tubuhnya kepada Dema, “Kita kemana, Dem?” tanyanya ingin tahu.
“Duduk dan jangan banyak tanya.” Suruh Dema sambil menarik perseneling dan memutar arah mobilnya, “kita bakalan keluar dari sini.”
♥♥♥
Mobil berguncang kanan kiri saat melintasi jalanan yang berbatu, berlubang dan rusak. Vian dan Dema memerhatikan sekeliling, hanya Radit yang kayaknya nggak terlalu terpengaruh dengan situasi ini. Dia tetap tenang.
Dema membawa mereka ke suatu tempat, nggak tahu ini daerah apa. Tadi Dema puter balik, lalu masuk ke jalanan tikus dan akhirnya sampai di tempat ini. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah hamparan luas sawah yang gelap serta suara nyanyian kodok dan jangkrik.
“Ini dimana, Dem?” Vian melihat pemandangan itu dengan bingung.
“Nggak tahu.” Jawab Dema.
“Dimana hotelnya?” Vian bertanya polos dan bodoh.
“Dasar bego! Kita nggak mungkin nemuin hotel disini!” Dema membentak.
Vian kembali mengangguk sok ahli.
Kemudian mobil berhenti. Lampu mobil menyoroti sebuah rumah yang pertama mereka lihat. Sebuah rumah mungil, satu-satunya rumah yang berdiri di depan hamparan sawah tadi.
Dema terdiam menimbang-nimbang beberapa saat. Lalu dia mematikan mesin, memarkirkan mobil di dekat rumah itu.
“Ayo, turun.” Ajak Dema sambil membuka pintu mobil.
Vian beranjak turun dengan semangat sementara Radit turun dengan tenang. Dema berjalan memimpin menuju ke rumah itu. Saat dilihatnya, dia terpaku sejenak sampai Vian datang dan berdiri di sampingnya.
Vian memperhatikan rumah kecil bercat kuning dengan dua lantai itu. Sebenarnya rumah itu biasa saja, keliatannya sempit. Tapi entah kenapa… pernak-pernik dan penampilan rumah itu terlihat unik. Lucu dan menarik. Tapi entah kenapa perasaan mereka jadi nggak enak kalau membayangkan penampilan dari pemilik rumah se-eksentrik itu. Jangan-jangan pemiliknya laki-laki gemuk hitam yang memakai pakaian cewek dan berlipstik merah.
“Rumahnya lucu.” Vian berkomentar ragu.
Dema tersenyum kecut, “Iya.”
Rumah itu berpagar. Dema memutuskan untuk berteriak dari luar.
“Permisi.” Teriak Dema.
Masih belum ada sahutan.
“Permisiii!!!” Vian membantu sambil meninggikan suaranya.
“Sebentar.” Teriak seseorang dari dalam, kedengarannya seperti suara cewek.
Ada suara langkah kaki berlari di tangga. Dema dan Vian melirik. Kayaknya ada seseorang yang merespon mereka.
Tapi tiba-tiba terdengar suara jatuh disertai rengekan.
“Aduuh… sakiit…”
Krek
Pintu terbuka. Seorang cewek dengan napas cepat membuka pintu. Mukanya kelihatan meringis dan bloon. Rambutnya acak-acakan kemana-mana. Dia kelihatan kebingungan sambil mengamati orang-orang yang datang ke rumahnya.
Dema tersenyum sangat manis, “Hai.” Sapanya.
Cewek itu masih bengong dan akhirnya gelagapan sendiri, “Ha-hai.”
“Boleh kami masuk?” tanya Dema dengan suaranya yang matang.
Dema dan Vian kelihatan mempersiapkan senyum maut mereka. Hanya Radit yang paling tak berekspresi, mukanya galak. Dema tersenyum sok keren sementara Vian cengar-cengir kayak orang gila. Niatnya sih mereka mau membuat iamge baik di depan Mia. Tapi semua itu malahan membuat Mia jadi tambah bingung.
Mia memperlihatkan wajah polosnya yang tidak mengerti, “Kalian siapa?” tanyanya dengan curiga.
Dema membungkuk, “Terima kasih.”
Lalu Dema masuk begitu saja ke dalam rumah Mia. Cewek si pemilik rumah justru terpaku dengan mulut komat-kamit tanpa kata. Vian berlarian masuk seperti ke rumah sendiri. Hanya Radit yang masih di luar.
Mia melongo dengan mulut menganga. Dia lalu melihat Radit yang berdiri disana. Radit tahu kalo cewek bermuka aneh itu merasa kaget dengan musibah yang baru saja menimpanya. Tapi bukannya minta maaf atau apa, Radit menatap Mia datar dan langsung berjalan masuk.
Mia masih di depan pintu rumahnya. Otaknya masih memroses kejadian tadi dengan kecepatan 56 kbps. Setelah cukup lama berbengong-bengong di sana, akhirnya dia masuk ke dalam dan melihat 3 makhluk tak tau diri itu.
“Eh eh, gue nggak bilang boleh masuk.” Sahut Mia dari ambang pintu.
Ketiga cowok keren itu nggak menjawab. Mereka melepas mantel mereka dan memandangi rumah kecil Mia. Gelagat mereka udah kayak orang yang diterima di rumah itu. Udah serasa jadi pemilik rumah malahan. Si Vian malah langsung nuangin air dingin ke dalam gelas dan meminumnya.
“Kalian semua siapa? Gue laporin pak RT kalo kalian semua berniat jahat!” teriaknya mengancam. Tapi setelah dilihat-lihat, mukanya nggak kelihatan kayak orang yang mengancam. Dia ngomong dengan muka datar, nggak sinkron sama kalimat yang dia ucapkan.
Dema melirik dengan senyum manis yang selalu jadi senjata andalannya untuk meluluhkan hati wanita, “Kita bertiga nggak berniat jahat. Kita cuma mau numpang disini buat beberapa malam.” Ucapnya sambil minum.
Pipi Mia menggembung, matanya menyipit.
“Hah? Numpang?” tanyanya.
Dema kembali melirik dengan apel di giginya, “Iya.”
Lalu ketiga cowok nggak tau sopan santun itu mulai melakukan segala hal yang tak dibenarkan. Mereka mengintip sana-sini dan mengeluarkan ini-itu dari tempatnya. Mia yang berdiri di luar masih berfikir soal yang tadi.
“Tapi-tapi, ini kan bukan hotel.” Mia membalas lugu.
“Hai…!!!”
Tiba-tiba wajah Vian muncul di depan muka Mia. Cewek itu mundur mendadak sampai tubuhnya menyentuh tembok. Wajah Vian terlihat sangat besar dilihat dari jarak yang sangat dekat dari matanya. Vian tersenyum dengan aneh.
“Namanya siapa?” tanya Vian.
Mia terdesak dengan mata menatap ngeri.
“Mi-mia.” Jawabnya.
Vian mundur dan mengulurkan tangannya. Masih dengan posisi tersudut dan wajah ketakutan, Mia menjabat tangan Vian. Dari mukanya itu udah ketahuan kalau dia benar-benar tak bisa menerima apa yang sedang terjadi.
“Nama gue Vian.” Cowok itu tersenyum, “Yang mukanya tua namanya Dema dan yang keliatan galak itu namanya Radit.”
Dema dan Radit menoleh dengan kesal saat dijelek-jelekkin sama Vian. Vian justru tersenyum dengan sengat manis hingga menimbulkan efek gliter berterbangan di wajahnya sampai Mia tersipu.
“Jadi, kita boleh nginep disini kan?” tanya Vian.
Mia gagap dan tidak bisa menjawab.
“Tenang, nanti kita bayar ganti ruginya.” Dema menyahut.
Mia jadi tambah bingung.
Ditambah lagi saat Vian menaruh tangannya di samping kepala Mia. Cowok itu memasang wajah penuh pesona dan menatap Mia dalam. Mia sampai merasa dingin saat cowok ganteng itu di depannya.
“Ada berapa kamar di rumah ini?” tanyanya dengan suara diberatkan.
“Ti-tiga.” Mia gagap.
“Bagus kalo gitu. Satu orang dapet satu kamar.” Vian bernapas lega.
Mia sewot, “Hah? Trus gue tidur dimana?”
Tiba-tiba Dema berdiri maju dan merangkul pundak Vian dan Radit dengan wajah mesum yang menggelikan, “Bercanda kok. Kita bertiga bisa tidur bersama dalam satu kasur.” Ucapnya manis.
Mia ternganga saat melihat mereka bertiga seperti trio homo. Wajahnya pucat dengan aroma kengerian yang terpancar jelas. Radit segera menurunkan tangan Dema dari pundaknya dengan wajah memerah menahan malu.
“Kalian…” Mia bergumam, “kalian mencurigakan.”
♥♥♥
“Ini kamar bekas orang tua gue.” Mia menunjukkan kamar tempat kedua orang tuanya dulu tidur.
Itu hanyalah sebuah kamar kecil yang melompong. Tidak ada apapun kecuali sebuah lemari dan kasur yang digulung di pojok ruangan.
“Kemana keluarga lo?” tanya Radit.
Mia menoleh dengan kaget. Ini pertama kalianya Radit bersuara sejak kedatangannya di rumahnya.
Mia menatap Radit dengan bloon. Radit mengeluarkan tatapan dinginnya. Akhirnya Mia tersadar dan langsung salting.
“Aku… aku tinggal sendirian.” jawabnya.
Saat Mia mengatakan itu, ada perubahan emosi yang terlihat dari mata Dema dan Vian. Hanya Radit yang tetap stabil. Dema dan Vian terlihat menaruh simpati atas hal yang dikatakan Mia, sementara Radit tidak.
“Sebenernya keluarga aku udah lama pindah ke tempat nenek. Cuma aku yang masih mau disini. Soalnya aku kan sekolah disini.” Mia berujar polos.
Saat dia mengucapkan itu terlihat kesedihan di wajahnya. Sepertinya dia merasa sedih untuk mengingat kembali kenangan itu. Mungkin selama ini dia merasa kesepian setelah tinggal di rumah itu sendirian.
“Kamar mandinya dimana?” tanya Vian.
“Di bawah tangga. Kamar mandinya cuma itu.” Jawab Mia.
Dema mengusap perutnya, “Oh ya, tadi kayaknya gue nyium bau makanan.” Ucap Dema sambil melirik jahil kepada Mia.
Mia memonyongkan bibirnya, “Itu gue yang masak.”
“Asyiiik… ayo makaann!!” teriak Vian.
Mia melihat Vian dengan senyum kecil yang terus berkembang. Sepertinya yang dikatakan Vian barusan merupakan ide bagus.
♥♥♥
“Lo semua tunggu dulu disini. Biar gue siapin makanannya.” suruh Mia.
Mia berjalan masuk menuju ke dapur, meninggalkan ketiga cowok itu di tengah rumahnya.
“Rumahnya nggak berantakan sama sekali. Apa disini nggak kena gempa?” tanya Dema sambil mengamati isi rumah itu.
“Atau rumahnya tahan gempa?” tanya Vian.
Dema menatap Vian jengkel, seolah berkata kalau itu nggak mungkin.
“Kayaknya disini nggak kena gempa. Liat aja muka tuh cewek.” Radit menyahut sambil melihat Mia yang sedang meniupi tangannya yang kepanasan setelah memegang pegangan panci.
“Iya juga sih.” komentar Dema. Dia menyadari kalau cewek itu memang kelihatan nggak memiliki beban di wajahnya. Mungkin di sana efek gempa itu emang nggak terlalu parah dibandingkan tempat lain.
“Mia!” panggil Vian.
“Apa?!” Mia menyahut.
“Disini kena gempa nggak sih?” tanyanya.
“Ya iyalah. Gempanya kuat banget. Tadi rumah berantakan. Semua gelas di pinggir meja jatuh ke bawah. Aduuh… gue nggak nyangka bakalan ada gempa. Emangnya kenapa?” Muka Mia yang kusam dan kucel kayak pembantu nongol di ambang pintu dengan bloon, “ah? Emangnya kenapa?” tanyanya lagi.
Ketiga cowok itu ill feel melihat tampang Mia. Mereka terpaku tak bergerak, “Nggak. Nggak ada apa-apa kok.” Gumam Vian.
Mia masuk kembali ke dalam dapur.
Tak beberapa lama kemudian, Vian melihat Mia datang sambil membawa sepanci sayur yang masih mengeluarkan asap. Mia menaruhnya di sebuah meja lantai di tengah rumah. Kemudian Mia membuka tutup pancinya.
“Makanannya udah jadi?” tanya Vian.
“Iya.” Jawab Mia.
Vian, Dema dan Radit duduk di lantai melingkari meja kotak itu. Mia berjalan masuk kembali ke dalam dapur untuk mengambil sebuah rice cooker yang sudah tua dan menaruhnya di dekat kaki meja.
“Makan apa nih?” tanya Vian sambil berlutut dan mengintip isi panci itu.
“Itu cuma sop bakso.” jawab Mia, “biarpun cuma begitu, bikinnya susah lho.”
“Udah jangan banyak pidatonya. Ayo cepet tuangin nasinya.” Kata Dema. Kelihatannya cowok berbadan bongsor itu udah nggak kuat menahan lapar yang ditahannya sejak lima jam yang lalu.
Akhirnya Mia menuangkan nasi dan acara makan malam dimulai.
Mia terpaku dan tersenyum melihat ketiga tamunya meniupi makanan yang telah ia buat. Dema yang sedang memonyongkan bibirnya untuk meniup nasi kemudian mengangkat wajahnya dan menyadari keanehan dari tatapan Mia.
“Kenapa senyam-senyum begitu?” tanya Dema.
Mia tersenyum, “Sebenernya gue jarang masak. Jadinya gue seneng bisa jadi koki buat kalian semua. Gue juga seneng kalian mau makan masakan gue, biasanya kan gue makan sendirian.”
Dema mengangguk mengerti. Vian melahap sendok pertamanya.
“Gimana? Enak nggak?” tanya Mia pada Vian. Dia begitu semangat mengajukan pertanyaannya sampai-sampai matanya membesar dan tubuhnya merapat ke depan.
Vian terlihat mengunyah dengan serius dan raut mukanya tiba-tiba berubah. Vian terlihat menelan makanan itu dengan susah payah. Senyumannya pun terlihat sangat dipaksakan.
“E-enak.” Jawab Vian sambil tersenyum paksa.
Mia tersipu-sipu.
“Enak nggak, Dem?” kini Mia bertanya pada Dema saat cowok itu juga ikut memasukkan sendok ke mulutnya.
Dema mengangguk dan bergumam, “Mmm.”
Mia tersenyum semakin lebar. Wajahnya cerah.
Mia menoleh ke Radit yang mengunyah sangat pelan. Mia menatap Radit dengan senyum tiada henti sedangkan cowok dingin itu terlihat tidak sependapat dengan dua sepupunya yang lain. Radit menatap Mia dingin, “Lo itu sebenernya bisa masak nggak sih? Sopnya nggak enak.”
♥♥♥
“Dia marah ya?” Vian berbisik pada Dema.
Dema mengangguk.
Saat Radit mengatakan secara jujur kalau masakannya gak enak, Mia langsung cemberut dan masuk ke kamarnya.
Kini tiga cowok itu duduk dalam keheningan di meja lantai tanpa tahu apa yang harus mereka lakukan untuk membuat cewek itu nggak marah lagi.
“Dit,” Panggil Dema. Radit menoleh dengan matanya yang dingin.
“Minta maaf sama dia.” Suruh Dema.
“Kenapa harus minta maaf? Apa salah gue?” tantangnya.
“Lo nggak sadar kalo lo udah nyakitin dia?” tanya Dema sambil menyalakan rokok dan menghisapnya. Dia kembali melirik ke Radit dan mengepulkan asap.
Radit terdiam.
Dema dan Vian berdiri.
“Hooam… ngantukk…” Vian menguap lebar-lebar.
“Dit, kita ke atas duluan ya?” ujar Dema.
Mereka berdua lalu naik ke atas tangga. Mereka sengaja meninggalkan Radit sendirian supaya cowok itu mau minta maaf pada Mia. Mereka berdua tahu kalau Radit nggak bakalan mau minta maaf di depan mata mereka. Cowok itu emang paling susah untuk mengalah dan meminta maaf.
Tak lama setelah Dema dan Vian naik, Radit ikut berdiri.
Dia berjalan mendaki tangga. Tapi baru beberapa anak tangga yang dilangkahinya, dia turun dengan sangat lamban dan langsung mengetuk pintu kamar Mia dengan malas-malasan.
Mia membuka pintu. Kepalanya terlihat menyembul di celah pintu yang terbuka sedikit. Mukanya terlihat kesal. Ditatapnya Radit dengan sangat tak bersahabat. Senyumnya ketus melihat orang yang udah bikin dia sakit hati itu.
“Maaf atas yang tadi.” Kata Radit. Tanpa penyesalan di wajahnya.
Mia terdiam sebentar. Dia tertunduk dengan wajah cemberut. Tapi sesaat kemudian dia terlihat menarik napas dalam dan melihat Radit sayu.
Melihat perubahan emosi di mata Mia membuat alis Radit mengerut.
“Gak usah dipikirin. Lo emang bener kok. Dari dulu gue emang nggak pernah bisa ngelakuin sesuatu dengan bener.” Ucapnya sedih sambil menutup pintu kembali dengan sangat pelan.
Radit masih berdiri di sana. Terpaku memahami apa yang sedang terjadi.
♥♥♥
Dema, Vian dan Radit berada di kamar bekas orang tua Mia. Tiba-tiba ada dering handphone berbunyi. Seseorang menghubungi Dema.
“Halo?” sapa Dema.
“Dem, ada kabar buruk.” Kata Dudi, sang manajer.
“Ada apa?” Dema bertanya dengan nada malas.
“Pak sutradara sekarang sedang dioperasi. Dia jadi korban kecelakaan saat gempa. Katanya beberapa tulangnya patah. Kemungkinan syuting akan ditunda sekitar 14 hari.” Kata Dudi panik, “Ngomong-ngomong sekarang lo dimana? Dua cowok ganteng itu ada sama elo kan?”
“Kita lagi nginep di rumah seseorang.” Jawab Dema.
“Rumah? Rumah siapa?” tanya Dudi bingung.
“Tenang aja, disini tempatnya cukup baik.” Dema mencoba menenangkan manajernya itu, “nggak usah khawatir, Dud.”
“Jaga dua orang itu, Dem. Lo kan yang paling tua.” Dudi memperingatkan.
Dema menurunkan hape dan mematikannya. Ditatapnya hape itu seolah itu adalah Dudi, “sial. Emangnya umur gue berapa sih?” gumamnya kesal gara-gara dirinya dibilang tua sama Dudi.
Vian melirik penasaran, “Ada apa, Dem?” tanyanya.
“Syuting ditunda 14 hari. Pak sutradara lagi sakit.” Jawabnya sambil menaruh hape di atas meja dan membaringkan tubuhnya ke atas kasur.
Ketiga cowok itu kini berbaring bersama di atas satu kasur empuk yang cukup besar, bekas orangtua Mia. Mereka harus bertahan tidur kayak ikan asin begitu untuk sementara waktu, mengingat keadaan yang serba sederhana.
“Dem.” Panggil Radit, “Lo pegang uang?”
Dema melihat Radit dan berfikir sebentar, “Umm.. enggak. Tapi gue bawa kartu kredit.” Jawabnya.
“Lo?” Radit bertanya kepada Vian.
“Gue paling cuma punya 20 ribu.” Jawabnya polos.
Radit mengangguk. Dia tahu ada hal gawat yang sedang terjadi. Tapi dua cowok yang bersamanya itu kayaknya masih belum paham tentang apa yang dipikirkan olehnya.
“Emang kenapa, Dit?” Vian menyenggol Radit.
Radit melirik Vian dengan dongkol, “Kalo kita nggak punya uang begini, berarti cewek malang itu yang harus menanggung biaya kita.”
♥♥♥
Malam ini jam menunjukkan pukul 20.12. Ketiga cowok itu mulai membereskan kasur untuk tidur mereka nanti. Dengan bahu membahu mereka menata ulang kamar itu dan memasang seprei di atas kasur.
Di saat seperti itu, tiba-tiba ada seseorang yang membuka pintu. Dema yang sedang menungging menoleh ke belakang dan melihat Mia yang sudah berpiyama berdiri di ambang pintu.
“Ini. Ini bantalnya.” Mia melempar tiga bantal bersarung bunga-bunga.
Dema berhasil menangkap satu, “Makasih.” Ucapnya.
Wajah Mia kelihatan suntuk dan tak bersahabat. Tanpa bicara apapun akhirnya cewek itu menutup pintu dan pergi.
“Kenapa dia?” tanya Vian bingung.
Dema mengangkat bahu, “nggak tahu.”
Lalu dua orang itu melihat Radit. Cowok itu sedang menyibukkan dirinya dengan berpura-pura membenarkan seprei. Mungkin dia nggak mau dipersalahkan atas ngambeknya cewek pemilik rumah.
“Itu bukan salah gue,” Radit berbisik sambil terus bergerak, “tadi gue udah minta maaf. Jadi sekarang, itu bukan urusan gue lagi.”
♥♥♥
Mia sedang duduk di meja lantai. Dia sedang menulis hitung-hitungan di buku peernya. Kemudian Vian turun dengan handuk terlilit di lehernya. Dia berjalan menuju Mia dan langsung berlutut di belakang Mia. Kepalanya bergerak di samping bahu Mia. Matanya melirik penuh rasa ingin tahu tentang apa yang sedang dilakukan cewek itu.
“Lagi ngapain?” tanya Vian.
Mia melihat Vian yang berada di dekatnya dengan penuh keterkejutan. Matanya yang membesar menatap mata Vian yang penuh rasa penasaran. Mia menatap cowok itu aneh sebelum akhirnya menjawab, “Matematika.”
“Oo…” Vian mengangguk. Kemudian dia merangkak dan duduk di depan Mia.
“Kok nggak jadi tidur?” tanya Mia.
“Badan lengket sih.” Keluhnya, “nggak bisa tidur nyenyak kalo nggak mandi.” Jawabnya. Mia mengiyakan.
Kemudian Vian terdiam dan melihat Mia menghapus angka-angka dibuku tulisnya dengan penuh kekuatan dan wajah yang terlihat menderita.
“Lo nggak ngerti matematika ya?” Vian bertanya polos.
Mia mengangkat wajahnya dan tertangkap basah.
“Hah?” tanyanya, berpura-pura tak mendengar.
“Tuh kan, bener kan? Lo nggak bisa matematika kan?” Vian tertawa, dia semakin mengejek Mia.
Mia manyun, “Ngerti dikit kok. Gue nggak bego-bego banget. Masih ada yang lebih bego daripada gue.” Ucapnya dengan alasan klise.
Mia masih terus berusaha menghapus sebersih mungkin tulisan di halaman buku tulisnya hingga poninya bergerak maju mundur mengikuti gerakan badannya. Vian melihat soal yang ada di buku paket Mia.
“Kalo yang beginian sih kerjaannya Radit.” Kata Vian yakin.
Mia berhenti menghapus, “Radit? Cowok yang pake kacamata?”
Vian mengangguk.
Mia menatap Vian dan berbisik, “Mana dia?”
“Lo nggak bisa nanya sama dia. Dia lagi mandi.” Jawab Vian.
Mia tertunduk dengan wajah memerah. Ketahuan deh kalo dia emang berniat nanya soal peernya itu sama Radit. Dari tampangnya sih, emang udah kelihatan pinter. Tapi apa iya dia bisa menjawab soal itu.
Lalu ada suara pintu terbuka.
Mia melanjutkan aktivitas menghapusnya yang melelahkan.
“Tuh, si Radit tuh!” tiba-tiba Vian memekik dan menunjuk ke belakang.
Mia menoleh dan melihat Radit yang sedang menghanduki rambutnya yang basah. Radit yang merasa dipanggil ikut menatap Mia. Sekejap Mia tertegun saat melihat wajah Radit yang keren tanpa kacamata itu.
Vian berjalan menghampiri Radit dan menepuk bahunya, “Dit, ajarin dia matematika tuh.” Katanya sambil tersenyum.
Lalu Vian berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Kini tinggal Mia dan Radit yang ada di ruangan itu. Radit masih berdiri di sana dan menunggu Mia untuk bicara.
“Ini soal trigonometri. Bisa bantuin nggak?” Mia bertanya dengan senyum manis yang dipaksakannya sambil menunjukkan soal di buku paket matematikanya. Mukanya yang udah aneh jadi tambah aneh.
Radit menatap Mia datar. Tanpa menjawab apa-apa, dia berjalan naik ke atas tangga sambil terus mengeringkan rambutnya.
Jreng jreng!!
Mia merasa sakit hati. Harga dirinya udah runtuh di depan cowok sengak itu. Tubuhnya membatu dan digetuk palu hingga hancur menjadi debu. Dia nggak nyangka cowok itu sombong bukan main.
“HEH! HEH! Jangan sombong deh mentang-mentang pinter!” teriak Mia dari bawah dengan sejuta kekesalannya.
Radit tak peduli. Dia berjalan terus meninggalkan Mia.
Mia panas. Bibirnya mulai bergerak-gerak dengan mata menyipit.
“Ih, nyebeliiiin!!” keluhnya sambil menendang-nendangkan kaki.
♥♥♥
Mia masih tetap di tempatnya sejak satu jam yang lalu. Masih tetap kepusingan dengan soal trigonometri yang tak bisa dijawabnya.
Lalu ada langkah kaki yang terdengar menuruni tangga. Dema turun dengan handuk yang juga melingkar di lehernya. Dia turun sambil membawa sebungkus ciki yang terus dilahapnya. Itu kan ciki punya Mia yang disimpan di dalam lemari.
Dema menghampiri Mia dan duduk di seberang cewek yang kelihatan keracunan matematika itu.
“Belum selesai juga?” tanya Dema, “perasaan dari tadi gue liat elo ngerjain nomor yang itu-itu aja.” Komentarnya.
Mia mengangkat wajahnya dan menunjukkan wajahnya yang pucat pada Dema. Dema tahu kalau cewek itu sedang berusaha menahan airmatanya. Lalu dengan lemah Mia menggeleng, “Belum.” Jawabnya.
Dema menawarkan ciki yang dipegangnya, “Mau?”
Mia langsung memasukkan telapak tangannya ke dalam bungkus ciki itu dan mengeluarkan tangannya dengan jumlah ciki maksimal yang dapat dia ambil.
“Makasih.” Mia berkata dengan matanya yang layu. Lalu memasukkan semua ciki itu ke dalam mulutnya.
“Lo lagi belajar apa sih?” Dema melirik tulisan Mia.
“Matematika. Ini tentang trigonometri.” Jawabnya lemas.
“Sayang, gue nggak pernah bisa matematika.” Keluh Dema.
“Oya? Masa sih?” tiba-tiba Mia jadi semangat. Dema mengangguk, mengiyakan pernyataannya tadi. Perasaan Mia jadi lebih baik. Dia merasa jadi agak mendingan setelah menemukan orang yang sama-sama bego matematika seperti dirinya.
“Radit pasti bisa ngerjain ini semua.” Kata Dema.
Mia merengut kesal saat nama itu disebut lagi, “Cowok belagu itu kan? Ngapain nanya sama dia? Pelit! Tadi gue udah nanya tapi dicuekin!”
Mia kemudian melihat ke Dema dengan penasaran. Cowok dengan badan atletis itu menyadari ada pertanyaan yang akan dilontarkan oleh cewek imut itu.
“Dem, kok lo sama Vian bisa sih temenan sama orang kayak gitu. Lo sama Vian orangnya baik. Cuma dia doang yang jahat.” Bisik Mia, masih berusaha menjelek-jelekkan nama Radit.
“Yakin?” tanya Dema suram.
Mia menoleh cepat, “Hah?”
Lalu badan Dema maju ke atas meja, wajahnya medekati wajah Mia. Mata Mia membulat dan alisnya keriting saat melihat tatapan Dema yang tajam. Wajah mereka sangat dekat sangat itu sampai membuat Mia deg-degan.
“Sebenernya…” Dema berbisik mistis, “Nggak ada orang baik diantara kita.”
Deg!
Jantung Mia serasa ditusuk pake tombak. Dia membatu diselimuti hawa horor yang mencekam.
♥♥♥
Ketiga cowok ganteng itu sedang duduk di dalam kamar baru mereka yang cukup sempit itu. Mereka kayaknya belum bisa tidur, mereka hanya tidur-tiduran di atas kasur sambil main hape dan baca majalah.
Lalu terdengar suara ketukan pintu.
“Masuk.” Suruh Dema.
Mia membuka pintu. Dia terlihat masuk dengan mata mengawasi.
“Kok belom tidur?” ketusnya galak.
Vian memalingkan wajahnya dari majalah, “Lo sendiri? Ngapain masih kesini?” dia menjawab dengan sama ketusnya.
“Gue cuma mau ngasih tahu kalo disini tuh ada peraturannya. Semuanya harus udah tidur jam sebelas.” Kata Mia, “Sekarang liat, lima belas menit lagi udah mau jam sebelas. Kalo kalian semua nggak bisa tidur…,”
Ketiga cowok itu cuek dengan ancaman yang diberikan Mia. Mereka masih melakukan kegiatan mereka masing-masing.
“Mending kita abisin bareng-bareng sopnya.” Sambung Mia.
Saat Mia bilang kayak begitu, ketiga cowok tadi langsung menghentikan kegiatan mereka, mematikan lampu kecil di dekat sana, menarik selimut ke tubuh mereka dan berpura-pura tidur.
Mia cemberut, dia merasa jadi orang paling nyeremin di dunia hanya gara-gara sop bikinannya nggak enak.
Tapi ia segera tersenyum kecil saat melihat ketiga cowok itu pura-pura tidur dengan gaya mereka masing-masing. Kelihatan sangat lucu.
“Selamat malam.” Mia tersenyum dan menutup pintu.
Saat langkah Mia terdengar menjauh dan menghilang, Vian kembali menyalakan lampu dan membuka halaman majalahnya. Dema kembali menyalakan handphone dan mengutak-atiknya. Tapi Radit masih tetap dibawah selimut. Mungkin dia emang berniat untuk tidur.
“Cewek itu polos.” Komentar Vian, tetap fokus pada majalahnya.
Dema merespon datar, “hm.”
“Cewek itu bodoh.” Radit menimpali dari balik selimutnya.
Vian dan Dema mengangguk bersamaan, “Iya!”
3
A Brand New Day
Ketiga cowok itu bangun bersamaan pada pukul 10 pagi. Mereka turun dari kamar mereka dan melihat rumah sepi. Mereka bangun sesiang itu karena kemarin adalah hari yang begitu melelahkan bagi mereka bertiga.
Begitu bangun, mereka mendatangi meja yang tertutup oleh tudung saji. Dema yang udah kelaparan segera membukanya.
Mereka bertiga saling berpandangan saat melihat tiga mangkuk bubur ayam yang sudah dingin tergeletak di atas meja. Dema mengambil kertas kecil yang ada di atas meja dan membacanya.
Ini sarapan kalian. Jaga rumah baik-baik ya.
Dema menggeleng lemas dan menutup kembali tudung sajinya.
Vian menggaruk rambutnya dan mengamati sekeliling, “dia nggak punya tivi ya? Gue pengen liat berita nih.” Keluhnya.
Radit menatap Vian, “dia nggak punya apa-apa di rumah ini.”
♥♥♥
Sekarang jam 14.50 WIB.
Dari jauh, terlihat Mia mengayuh sepedanya dengan wajah ceria, wajah tanpa beban yang hanya dimiliki orang-orang polos seperti dirinya. Dia baru saja pulang dari sekolah. Meski banyak hal menyedihkan dan menyiksa terjadi di sekolah, untungnya dia punya kelemahan yang membuatnya ‘mudah lupa’ atas berbagai musibah yang menimpanya. Jadi kalau ada masalah, beberapa saat kemudian dia bisa tertawa dengan mudahnya karena dia udah melupakan masalah itu.
Mia berhenti agak jauh dari rumahnya. Mulutnya menganga dan matanya terbelalak tidak percaya atas apa yang dilihatnya saat ini. Dia melihat beberapa orang membawa masuk kardus-kardus besar ke dalam rumah kecilnya.
Karena penasaran akan apa yang terjadi, Mia segera mengayuh kembali sepedanya dan langsung masuk ke dalam rumahnya. Didalamnya dia melihat Vian sedang menonton dari sebuah tv 29 inch di tengah rumah. Ada juga sebuah kipas besar dan kardus kosong bergambar mesin cuci di permukaannya.
“A-apa-apaan nih?” Mia bertanya bingung, “Siapa yang beli ini semua?”
Ketiga cowok itu menoleh datar, “Kita.”
“Ya ampuun… tagihan listrik bulan ini bisa-bisa membengkak.” Mia panik sambil memegangi kedua pipinya, “lagian emang listriknya cukup?”
“Gak apa-apa. Yang penting hidup jadi lebih mudah.” Ucap Vian yang lagi tiduran di lantai sambil mencet remote ke arah tivi, “listriknya untuk hari ini kita irit-iritin dulu. Besok mau digedein watt-nya.”
Mia terdiam.
“Apaan tuh?” Dema melirik ke arah kantong yang dibawa Mia.
“Ini makan siang.” Jawab Mia.
Vian langsung duduk dan mengambil kantung itu, dia melihat isi di dalamnya.
“Ayam? Tumben.” Ledeknya.
Mia meminyingkan bibirnya.
“Udah jangan banyak komentar. Ayo makan.”
♥♥♥
Setelah acara makan selesai, Vian lagi ngeliat-liat foto yang dipajang di sebuah lemari kecil di dekat tangga. Dia serius banget memandangi satu persatu wajah orang yang ada disitu.
“Mia, ini keluarga lo ya?” tanya Vian.
Mia berjalan mendekat dan berdiri di samping Vian. Dia ikut melihat foto-foto itu, “Iya. Itu emang foto keluarga gue.”
“Ini ibu-bapak lo?” Vian menunjuk sebuah foto yang menampilkan gambar jadul sepasang orang tua yang sedang tersenyum.
“Iya.” Mia menjawab.
“Kalo yang itu? Itu foto siapa?” Vian menunjuk ke bingkai foto yang paling ujung, yang warnanya pink dengan bentuk-bentuk hati. Disitu ada gambar seorang cowok ganteng yang memakai seragam seperti punya Mia.
“Hah?” Mia terburu-buru mengambil bingkai itu dan menyembunyikannya di balik punggungnya. Mukanya langsung memanas dan dia jadi salting.
“Ciee… foto siapa tuh?” Vian terus menyudutkan Mia.
“Bu-bukan. Ini…” Mia kebingungan menjawab.
Lirikan mata Vian semakin menjadi-jadi, “Siapa?”
Muka Mia jadi merah muda, dia gelagapan harus ngejawab apa.
“Itu tadi foto Rafi. Dia ketua OSIS di sekolah.” Jawab Mia sebisanya.
“Umm…” Vian mengangguk, “Kalo yang ini foto siapa?” Vian menunjuk foto yang sedang dipegangnya.
Di foto itu terlihat seorang cowok berdiri bersama seorang anak kecil.
Mia langsung terdiam. Lamunannya membumbung tinggi. Ada kelembutan dan kesenduan yang terlihat di wajahnya. Vian menatap dalam mata Mia saat cewek itu terdiam dengan tatapan kosong ke arah gambar dalam foto itu.
“Itu kakakku.” Bisiknya tersenyum.
“Lo punya kakak cowok?” Vian bertanya bingung. Diperhatikannya lagi foto itu, “Mukanya mirip Radit ya?”
“Namanya Rian. Dia meninggal setahun yang lalu.” Bisik Mia. Vian menoleh kaget, “Tapi dia nggak mirip sama Radit. Kak Rian nggak senyebelin itu. Dia orang yang baik. Dia selalu nganter dan jemput aku di sekolah pake sepeda. Dia nggak pernah bikin aku sedih. Dia rela nggak kuliah supaya aku bisa sekolah.” Mia nggak terima kakaknya yang baik disamain sama orang kayak Radit.
Vian menaruh lagi foto itu dengan rasa berdosa.
Mia masih tersenyum dengan sedikit wajah sedih.
Dema dan Radit yang ada di sekitar sana dan ikut mendengarkan percakapan tadi langsung melirik Mia dengan penuh simpati. Mereka baru tahu Mia punya kakak dan sudah meninggal.
Mia menghembuskan napasnya, “Yah… biar bagaimanapun, aku tetap sayang sama kak Rian. Aku nggak pernah lupa berdoa untuknya setiap hari dan selalu datang ke kuburannya seminggu sekali.” Mia meneteskan airmata.
Tiga cowok itu panik luar biasa.
Mereka nggak pernah tahu apa yang harus dilakukan kalau ada cewek menangis. Mereka lebih siap menghadapi kebakaran atau apapun dibandingkan menghadapi seorang cewek yang sedang menangis.
“Mia?” Vian berteriak, “jangan nangis!”
Vian berteriak dan menyuruh Mia berhenti menangis. Dia nggak tahu cara apa lagi yang bisa dilakukan selain itu. Kemudian Mia memejamkan mata dan menarik ingusnya, mencoba berhenti menangis.
Radit dan Dema bertatapan bingung dengan jantung berdebar. Lalu Dema membawa kaleng fanta yang dipegangnya kepada Mia. Kayaknya dia mau mencoba menghibur anak itu.
“Mia… jangan nangis dong,” Dema tersenyum manis, “mending kita minum fanta aja ya?” Dema berusaha membuat mukanya jelek dan membuat Mia tertawa. Tetapi tetap tidak bisa membuat Mia terhibur.
Radit masih duduk di meja, memegang PSPnya dan melihat Mia dengan mata tak berkedip dan mulut terbuka.
“Kak Rian…” Mia semakin terisak, “Kakak…”
♥♥♥
Malam harinya, sekitar jam tujuh malam, Mia dan ketiga cowok itu lagi nonton tv. Kemudian Dema melihat selembar kertas yang terletak dibawah meja.
“Mia, ini brosur apaan?” tanya Dema.
Mia yang lagi mengaduk secangkir teh di meja dapur melirik dan melihat kertas warna merah yang dipegang Dema. Matanya bengkak sehingga dia keliahatan seperti boneka setan. Bola matanya kelihatan dua kali lebih besar gara-gara menangis.
“Itu bazar malam sekolah gue. Emangnya kenapa?” cetusnya serak.
“Dimana bazarnya? Meriah nggak?” tanya Dema, kayaknya dia tertarik tuh.
“Di perumahan Royal Sweet. Emangnya kenapa?” tanya Mia lagi, dari suaranya, kayaknya dia sama sekali nggak tertarik dengan bazar itu.
“Kesana yuk? Ini kan malem minggu.” Ajak Dema.
Mia datang dan duduk di dekatnya, “Gue belom pernah kesana.”
“Ini kan acara sekolah. Emangnya nggak wajib?” Dema melirik ke Mia.
“Cuma yang nyumbang sama yang punya modal yang bisa ikut.” Jawab Mia, masih dengan nada bicara yang nggak tertarik.
“Trus, elo nggak boleh dateng?”
Karena Dema bertanya dengan sangat semangat, Mia akhirnya menoleh dan melihat wajah Dema. Dema melihat wajah Mia yang suntuk dan dipenuhi kerutan. Kelihatannya cewek itu lagi bosen atau bad mood. Mia ikut melihat Dema. Cowok ganteng itu mukanya berseri-seri, kayaknya dia ngidam banget mau ke bazar itu.
“Ya boleh lah. Sebagai pembeli.” Jawab Mia, “Tapi percuma kan kalo kesana tapi nggak beli apa-apa? Kita kan nggak punya uang.”
Setelah ngomong kayak gitu, Mia meminum tehnya dengan wajah suntuk dan tak bersemangat ke arah tv. Dema tersenyum menatap Mia dengan kerlipan bintang di ekor matanya, kayaknya dia udah punya rencana.
“Mia.” Panggilnya.
Mia menoleh, masih dengan wajah betenya.
“Cepet ganti baju. Kita berangkat.”
♥♥♥
Mia berjalan dengan jaket cardigan putih dan syal hitam di lehernya. Dia berpakaian seperti orang kutub begitu karena malam ini cukup dingin dan berangin. Meskipun matanya udah agak mendingan, dia masih pilek akibat nangis, membuatnya flu berat. Karena masih juga terasa dingin, cewek itu bahkan memasukkan tangan ke dalam kantong celananya.
Mia berjalan di tengah barisan cowok-cowok ganteng. Tapi, sebagai cewek lugu yang bodoh, dia nggak punya beban apa-apa. Padahal banyak cewek-cewek yang berjalan selalu melihat sirik ke arahnya.
“Dimana bazarnya?” tanya Dema.
“Di sana. Deket kok. Paling cuma jalan setengah jam.” Jawab Mia.
Saat Mia bilang kalau mereka harus jalan setengah jam, ketiga cowok itu berhenti berjalan, membiarkan Mia berjalan sendirian di depan. Lalu ketiga cowok itu mulai saling bertatapan, tercengang dengan kalimat ‘setengah jam’ tadi.
♥♥♥
Akhirnya, setelah ‘hampir satu jam’ berjalan kaki, mereka sampai di acara bazar yang dimaksud. Acara bazarnya diadakan di jalan utama sebuah komplek perumahan elite, sekitar sepuluh meter di belakang gedung sekolah Mia. Acara ini diadakan di jalan utama karena tempatnya lebih luas dan lebih menarik perhatian sehingga lebih banyak pembeli yang datang.
“Apa temanya Jepang?” tanya Vian bingung saat melihat bazar malam itu terlihat seperti festival Jepang. Banyak barang-barang berbau Jepang yang dijual dan orang-orang yang memakai kimono.
“Temanya ganti-ganti sih. Mungkin tema malem ini Jepang.” Jawab Mia cuek, dia emang nggak pernah datang ke bazar itu sebelumnya.
“Dema mana?” Mia bertanya pada Vian, soalnya Dema udah nggak kelihatan lagi sejak tadi sampai di tempat itu. Kayaknya cowok itu semangat banget mau ke bazar dan langsung mencar tanpa bilang-bilang.
“Mana ya? Gue cari dulu deh. Lo tunggu disini dulu sama Radit.” Suruh Vian.
Lalu cowok itu berjalan sambil celingak-celinguk nyariin Dema yang pergi entah kemana.
Mia tetap berdiri diposisinya. Kemudian dia melihat Radit yang berdiri tenang disampingnya. Mia melihat Radit, mengamati cowok itu dengan bola matanya yang bergerak-gerak. Ternyata kalau dilihat dari dekat, cowok dingin itu malah kelihatan tambah ganteng.
Mia tertunduk saat menyadari kalau tiba-tiba perasaannya jadi aneh. Kenapa dia tiba-tiba jadi suka sama Radit? Kenapa tiba-tiba jantungnya berdebar sangat cepat saat melihat Radit?
Tapi Mia segera menartik napas dalam dan menghembuskannya. Bagaimanapun, cowok kayak Radit nggak mungkin suka sama cewek nggak berotak seperti dirinya. Bagaimanapun, mereka berdua punya sejarah panjang yang nggak bagus. Jadi sebaiknya… lupain aja.
“Tunggu disini sebentar.” Suruh Radit.
Mia menoleh, melihat cowok itu udah berjalan meninggalkannya. Radit berjalan menjauh dan menghilang diantara orang-orang yang berlalu lalang. Mia kini sendirian. Dia tetap di tempatnya dengan cukup bosan, kayaknya bazar meriah ini nggak terlalu menarik buat dirinya.
“Mia?” panggil seseorang, Mia membalikkan badannya.
“Ra-rafi?” Mia terbelalak dan menganga. Tubuhnya serasa kaku saat melihat Rafi yang sempurna itu berdiri sangat keren di depannya.
“Lagi ngapain disini?” tanya Rafi, dengan mata tajam.
Mia menelan ludahnya. Kayaknya Rafi tidak menyambut baik kedatangannya malam itu. Itu membuat Mia hanya bisa tertunduk ketakutan.
“Apa nggak sebaiknya lo pulang?” bisik Rafi.
“Hah?” Mia bertanya pelan dengan wajah bloonnya. Dia nggak mendengar dengan jelas ucapan Rafi barusan. Dia merasa Rafi mengatakan hal yang jahat, tapi mungkin saja dia salah dengar.
Wajah kebingungan Mia beradu dengan wajah kukuh tak berekspresi Rafi. Mia mendongakan kepalanya, melihat Rafi yang begitu tinggi.
“Ini.”
Tiba-tiba Radit datang dan menawarkan sekotak kue ke depan Mia. Mia yang kaget dan tidak mengerti mengambil kue itu. Dia lalu tertunduk sebentar saat tahu betapa sakit hatinya dengan ucapan dan tatapan mata Rafi.
Kemudian Radit dan Rafi bertatapan tajam. Mia melihat kedua cowok yang memiliki sifat hampir sama itu kelihatan saling membenci. Dengan wajah polosnya, Mia terdiam dan melihat.
“Cowok kayak lo nggak pantes ada disini. Pergi sana.” Usir Radit dengan suaranya yang pelan namun mengancam.
“Lo siapa? Lo bukan anak sekolah ini kan?” tantang Rafi.
Tiba-tiba Radit memegang tangan Mia. Cowok itu berbalik badan dan menarik Mia pergi dari tempat itu. Mia terseok-seok di belakang, entah kenapa cewek itu masih belum mau pergi dari Rafi.
“Radit. Tunggu, Dit.” Teriak Mia. Tapi Radit nggak menghiraukannya. Sebelum berjalan terlalu jauh, Mia sempat menoleh ke belakang untuk melihat Rafi. Dia masih di tempatnya dengan tangan terkepal, sepertinya cowok itu masih kesal.
Mia mengalihkan wajahnya, kini dia melihat tangan kanannya yang sedang digenggam sangat erat oleh tangan Radit yang dingin. Cowok yang suka bikin dia bete itu berjalan di depannya, membawanya berjalan entah kemana.
Rafi masih berdiri di tempatnya. Baru kali ini dia melihat ada orang yang bisa mengeluarkan tatapan seperti apa yang dilihatnya tadi. Ini pertama kalinya juga dia bertemu Radit. Dan ini benar-benar pertemuan yang buruk.
“Hei.” Seseorang menepuk bahu Rafi.
Rafi berbalik.
Dia melihat Dema dan Vian. Rafi mengerutkan alis melihat dua orang yang tak dikenalnya itu tersenyum licik penuh rasa kesal ke arahnya.
Dema melepas rokok dari mulutnya, “jangan ganggu Mia. Dia baru aja nangis di rumah. Dia butuh hiburan disini.” Ucapnya macho, seperti jagoan laki-laki yang selalu terlihat di film aksi.
Vian tersenyum manis seperti perempuan, “jangan ganggu dia ya? Kalau masih ganggu dia, aku yang akan turun tangan.” Ancamnya dengan manis.
Rafi terhenyak.
Saat dia kembali sadar, Dema dan Vian sudah pergi meninggalkannya.
Lagi-lagi suatu hal yang tidak terduga. Darimana 3 laki-laki itu berasal? Kenapa mereka semua berhubungan dengan Mia? Hal itu membuat Rafi semakin kesal dan marah atas semua perlakuan yang diterimanya. Dia bertekad untuk mencari tahu identitas ketiga cowok itu.
Sementara itu, Mia yang sedang diseret-seret akhirnya berhenti berjalan. Radit melepaskan tangan Mia di depan sebuah stand dengan banyak balon-balon.
Mereka berdua berdiri disana. Kepala Mia tertunduk, dia sedang melihat dengan pandangan kosong ke arah kue yang dipegangnya. Radit yang merasa aneh melirik ke Mia. Dia berpikir kalau cewek itu pasti sedang sedih gara-gara hal tadi.
“Cepet dimakan.” Suruh Radit.
Mia melihat ke arah Radit, “Vian sama Dema mana?” tanyanya.
Radit terdiam. Dari matanya, Radit tahu kalau Mia khawatir sama kedua sepupunya yang nggak tahu diri itu.
“Ayo kita cari.” Ajak Radit.
Akhirnya Radit berjalan memimpin dan Mia mengikuti di belakang. Namun untuk kali ini, tanpa pegangan tangan.
♥♥♥
Ternyata mereka menemukan kedua sepupu gila itu sedang asik-asikan bermain di sebuah permainan lempar-lemparan panah. Mereka tersangkut disana setelah sempat berbicara pada Rafi.
Dilihat dari belakang, Vian dan Dema yang teriak-teriak heboh itu saling rangkul-rangkulan. Mereka kelihatan kayak sepasang homo. Mia dan Radit yang melihat dari belakang menunjukkan wajah terpukul dan jijik mereka.
“Mereka… seperti sepasang homo.” Gumam Mia. Radit terdiam setuju. Ternyata selama ini dia tidak sadar kalau kedekatan sebagai saudara sepupu bisa menjadi boomerang dan membuat mereka disangka homo.
Tiba-tiba, Vian menoleh dan tercengang heboh melihat Mia.
“Mia? Sini, Mia! Sini!” Vian berteriak dari jauh, mengajak Mia untuk bergabung bersama dirinya dan Dema.
“Enggak ah. Nggak mau.” Mia menggeleng ngeri, dia nggak mau gabung sama dua cowok abnormal itu.
Tapi sialnya, Vian justru mendatangi dan menarik paksa tangannya. Mia ditarik untuk mendekat ke Dema.
“Mau boneka yang mana?” tanya Dema.
Mia tersenyum paksa saat ditanya begitu. Dia lalu melihat ke rentetan boneka yang dipajang di rak dekat situ.
“Yang kelinci.” Jawab Mia.
Setelah itu, Dema yang sok jagoan akhirnya mulai melemparkan tiga panah ke arah tiga kartu AS yang ditempel pada papan dengan jarak dua meter dari tempatnya. Dia harus mengenai dengan tepat tiga kartu As itu untuk bisa mendapatkan boneka kelinci yang diinginkan Mia.
Dua panah pertama berhasil menancap di dua kartu As.
Entah karena terbawa suasana atau pengen banget punya boneka kelinci itu, tiba-tiba Mia ikutan heboh dan bersorak menyemangati Dema.
“Dema! Dema!” teriak Mia.
Tiba-tiba Vian dan Mia sontak jadi tim heboh disana.
Dema sendiri udah sok jadi jagoan karena dia pikir dia bisa berhasil untuk yang ketiga kalinya.
Tapi…
“Yaah… dikit lagi tuh, Dem.” Keluh Vian.
Mia berhenti bersorak saat lemparan terakhir Dema gagal mengenai sasaran. Dema yang kecewa berat terdiam disitu.
Lalu tiba-tiba, masih di stand permainan yang sama, ada tiga kali panah yang terlempar dan mengenai tepat di tiga kartu As.
Si pemilik permainan segera menyerahkan boneka kelinci yang masih terbungkus plastik rapi kepada Mia.
Mia yang kebingungan itu lalu melihat ke arah sana, ke arah orang yang bermain tadi. Ternyata Radit. Dia yang berhasil mengenai tiga kartu As tadi dan memenangkan boneka itu.
“Radiiitt!!! Lo kereeennn!!!” Vian berteriak heboh dan bertepuk tangan.
Radit melirik dengan singkat. Matanya masih dingin.
Mia tersenyum dengan sangat lebar. Seolah berterima kasih kepada Radit atas boneka kelinci itu.
Tapi cowok itu malah berbalik badan dan berjalan pergi dengan tak acuh.
Spontan, muncul api membara di balik punggung Mia.
♥♥♥
Setelah dari stand permainan tadi, mereka berempat sedang jalan bersama. Tiba-tiba Dema berjalan meninggalkan langkah yang lain.
“Mau kemana, Dem?” tanya Mia.
“Beli rokok sebentar.” Jawabnya tanpa berhenti melangkah.
Mendengar jawaban itu, mendadak Mia jadi marah. Dia kan udah bikin peraturan kalau Dema nggak boleh merokok. Sejujurnya Mia melakukan itu hanya karena dia parno Dema akan dapat penyakit gawat atau apalah.
“Heh! Dema! Jangan beli rokok!” teriaknya.
“Udah biarin aja. Dia emang nggak bisa lepas dari benda itu.” Kata Vian.
Mia manyun. Dia pengen banget bisa bikin Dema jauh dari benda itu. Dia cuma nggak mau Dema kena penyakit yang parah gara-gara kebiasan buruknya itu.
Vian melihat gerobak penjual es krim. Dia jadi pengen beli minuman itu.
“Lo mau es krim?” tanya Vian pada Mia.
“Mau.” Pekiknya ceria.
“Lo, Dit?” tanya Vian.
Radit menggeleng.
Akhirnya, Vian berlari menuju tempat penjual es krim. Membuat Mia lagi-lagi harus berdiri berdua sama Radit. Gara-gara nggak mau bikin masalah, Mia lebih memilih untuk diam. Lagian… cowok itu juga kayaknya emang nggak peduli sama apapun di dunia ini. Bagi Mia, Radit tuh nggak asik!
♥♥♥
Setelah membeli dua cone es krim coklat, Vian akhirnya berjalan lagi menuju tempat Mia dan Radit menunggu. Tapi begitu keluar dari kerumunan, dia melihat seorang laki-laki berlari kencang hingga menabrak seorang cewek dan membuat cewek itu terjatuh.
“Aw!” keluhnya kesakitan.
“Heh! Kalo jalan liat-liat dong!” Vian memaki laki-laki yang udah buru-buru kabur itu. Lalu dia melihat cewek yang duduk di jalan. Cewek itu kelihatan kesakitan. Vian menawarkan tangannya tetapi cewek itu memilih untuk berdiri sendiri.
“Lo nggak apa-apa?” tanya Vian.
Cewek itu nggak menjawab, mukanya galak banget sampai membuat Vian terpaku. Kemudian secara mengagetkan muncul seorang pria bertubuh besar yang memegang lengan cewek itu dan memaksanya berjalan cepat menjauh dari Vian.
“Heh! Dia mau dibawa kemana?!” teriak Vian.
Cewek itu menoleh ke belakang, terus melihat ke Vian seolah meminta tolong dengan wajah ketakutan. Vian hanya bisa terdiam di tempat dengan terus mengamati.
Tiba-tiba sebuah gerobak yang lewat membuat pandangan Vian tertutup. Dia berusaha bergerak di tengah sesak orang yang berlalu lalang. Dia terus berjinjit dan mengejar, ingin terus melihat cewek itu.
Tapi sayangnya, jejak cewek itu sudah tak terlihat. Vian berhenti mengejar dengan napas kecewa. Entah kenapa dia benar-benar merasa harus menolong cewek itu. Lenyapnya cewek misterius tadi menyisakan banyak tanda tanya dalam diri Vian.
♥♥♥
Mia menjilat-jilat es krimnya sambil mendengarkan cerita Vian tentang cewek misterius yang baru dilihatnya. Radit, Mia dan kini sedang duduk di sebuah bangku kayu di dekat toko boneka.
“Kayak gimana ciri-cirinya?” Mia bertanya dengan bibir belepotan es krim.
“Cewek. Rambutnya panjang gitu sebahu.” Jawab Vian. Kelihatannya dia begitu penasaran sama cewek itu sampai-sampai lupa dengan es krim yang dibelinya dengan begitu semangat.
“Ada jutaan cewek yang punya rambut sebahu.” Balas Mia bete.
Radit menoleh, melihat Mia yang duduk di sampingnya dengan coklat yang berlumuran di bibirnya. Menyadari kalau dirinya lagi diliatin, Mia menoleh dan menatap Radit bingung.
“Kenapa, Dit?” tanyanya.
“Ayo cari Dema. Ini udah malem, kita harus pulang.”
♥♥♥
Dema membakar rokoknya dan berjalan mengelilingi pameran seni yang tersusun di sepanjang tepi jalan. Sampai pada akhirnya, dia melihat beberapa pengunjung sedang melukis di atas gelas kaca. Dema merasa tertarik melihat itu. Dia terdiam disana untuk melihat sambil menghempaskan asap rokoknya.
“Maaf, Pak.” Suara seseorang.
Dema menoleh ke seorang wanita berpakaian kimono biru yang duduk di dalam stand tersebut.
“Tolong matikan rokok anda. Kami disini butuh kenyamanan.” Ucap wanita itu dengan penuh kesopanan.
Dema terdiam dengan mata menatap tajam, tapi akhirnya dia membuang rokok itu dan menginjaknya. Lalu dia melihat wanita tadi tersenyum ke arahnya. Dema yang keren sepertinya tertarik pada wanita berkimono itu. Dengan memasang gaya kerennya, dia tersenyum mendekat.
“Anda guru disini ya? Guru apa?” tanya Dema.
“Saya guru seni disini.” Ketusnya. Sepertinya dia bukan wanita yang mudah didekati. Dia melihat Dema dengan sangat tak bersahabat.
“Siapa nama Anda?” Dema bertanya dengan senyum penuh rayuan.
Wanita dengan mata indah itu melirik dengan judesnya, menantang mata Dema yang dipenuhi makna rayuan yang dalam.
“Nama saya Sista.” Jawabnya pelan.
Dema mengangguk. Saat itu gak bisa dipungkiri kalau gaya Dema yang keren cukup membuat guru itu tersenyum kecil.
Dema itu emang kelihatan menarik. Dia kelihatan sangat dewasa dengan bulu-bulu tipis di wajahnya. Mukanya ganteng dan dia punya jurus memikat wanita yang ampuh melalui sorot matanya dan senyumannya.
Bu Guru bernama Sista itu sendiri terlihat sangat menarik bagi Dema. Guru itu terlihat masih muda dan bermata bagus. Ditambah dengan sikap juteknya, itu membuat Dema semakin penasaran untuk mendekatinya.
“Boleh saya ikut melukis?” Dema memajukan badannya.
“Harus bayar sepuluh ribu dulu.”
“Ini.” Dema mengeluarkan uang dan memberikannya pada Sista.
Guru itu lalu memberikan Dema sebuah gelas kaca dan alat lukisnya. Kemudian Dema masuk ke stand dan duduk di sebuah bangku disamping Sista. Wanita itu sempat menatap Dema dengan sangat kesal. Tapi Dema kelihatan nggak peduli. Dia duduk disana dengan sangat serius saat sedang melukis.
Melihat perubahan ekspresi yang begitu drastis dan kesungguhan Dema saat melukis membuat Sista jadi memperhatikan Dema tanpa dia sadari. Dema yang merasakan perhatian itu menoleh dan tersenyum manis. Sista segera memundurkan wajahnya dan salah tingkah saat Dema menatapnya begitu.
♥♥♥
Mia bersama Vian dan Radit berjalan bersama mencari Dema. Di tengah jalan, Mia menabrak seseorang. Langkahnya mundur saat ada seseorang yang berbadan lebih besar berdiri menghadangnya.
“Do-dona?” Mia bertanya kaget.
Ternyata cewek yang ditabrak Mia tadi adalah Dona, cewek gaul di sekolah yang sama sekali tidak dekat dengan Mia.
“Lagi ngapain disini? Ngeliat-liat?” Dona melipat kedua tangannya.
Mia tertunduk. Dia tahu dia nggak bisa berbuat apa-apa atas penghinaan ini.
“Iya.” Bisiknya.
Tiba-tiba Radit menarik tangan Mia. Dona membalikkan badan, melihat Mia yang berjalan tertarih-tatih dipaksa Radit.
Seseorang menepuk bahu Dona. Cewek cantik itu berbalik dan melihat Vian yang sedang tersenyum cantik. Dona mengeritingkan alisnya.
“Denger ya, jangan sengak jadi cewek!” bentak Vian telak.
Dona tercengang, dia nggak bisa ngomong apa-apa.
Vian mengibaskan kepalanya dengan angkuh dan berjalan meninggalkan cewek yang nyari ribut itu.
“Dit!” teriak Mia. Radit nggak mempedulikannya, dia cuma berjalan menjauh sambil terus menarik Mia hingga cewek itu kesakitan.
Hingga akhirnya, Mia menarik dan melepas tangannya.
“Sakit tau, Dit!” teriaknya. Radit menoleh, matanya galak banget.
“Cewek lemah!” balas Radit.
Mia mendengus kesal. Udah tangannya ditarik-tarik, trus sekarang dia dikatain cewek lemah.
Radit malah berbalik badan dan meninggalkan Mia.
Masih dengan rasa gondok yang luar biasa, akhirnya Mia berjalan pelan untuk mengikuti Radit. Cowok nggak berperasaan itu berjalan santai seolah nggak terjadi apa-apa. Sementara Mia terus melihat pergelangan tangannya yang merah.
♥♥♥
“Taraaaa…” Dema menunjukkan hasil seninya dengan senyum lebar yang sangat manis kepada Sista.
Sista melihat hasil seni Dema. Dia menggambar sebuah hati dengan cat pink. Gambarnya mungkin terlihat sederhana. Tapi bentuk hati yang ia buat cukup bagus dan warna yang ia pakai terlihat cocok untuk apa yang ia buat.
“Lumayan.” Sista mengirit pujiannya.
Dema memandang lagi gambarnya dengan bangga, “Ini lebih dari lumayan.”
Sista menarik napas dalam. Cowok ini benar-benar menganggu dirinya.
“Ini.” Dema menyodorkan gambar yang ia buat kepada Sista.
“Itu untuk anda bawa pulang. Anda kan sudah bayar.” Jawabnya.
Sista menatap mata Dema. Entah kenapa… laki-laki itu terlihat sangat dalam dengan tatapan matanya hingga Sista memberanikan diri untuk menatapnya lebih lama.
“Simpan ini. Untuk kenang-kenangan.” Bisik Dema.
Saking terpakunya dengan tatapan mata Dema, Sista tak menyadari kalau kini lukisan kaca itu berada di dalam genggaman tangannya.
Dema melepaskan mata Sista dan berjalan pergi.
Lalu saat Dema sudah meninggalkannya, guru itu melihat lagi gambar hati yang sedang dipegangnya.
Kemudian Sista mendongak dan melihat Dema berjalan menjauh. Tiba-tiba Dema berhenti berjalan. Sista menunggu reaksi selanjutnya dari cowok itu. Lalu Dema berbalik badan, tersenyum pada Sista seolah akan berkata kalau dia pasti akan kembali lagi.
Sista hanya terpaku. Kemudian dia melihat lagi gambar itu. Laki-laki menyebalkan yang tiba-tiba datang ke kehidupannya malam ini memberikan sebuah hati padanya.
♥♥♥
Mia dan ketiga cowok itu berjalan pulang menuju rumah. Mereka berjalan berjauh-jauhan. Ketiga cowok itu dengan tak berperasaan berjalan di depan meninggalkan Mia yang tertatih-tatih di belakang karena kakinya sakit akibat terlalu lama berjalan.
“Dema jangan ngerokok!” Mia berteriak dari belakang.
“Sedikit lagi habis nih, tanggung.” Jawabnya.
Tiba-tiba Dema menoleh ke belakang, melihat Mia yang berjalan dengan aneh.
“Kaki lo sakit?” tanyanya, sambil mengepulkan asap rokok.
Mia menunduk, “Sedikit. Kayaknya kebanyakan jalan.” Jawabnya pelan sambil memperhatikan pergelangan kakinya.
“Naik.” Suara Dema.
Saat Mia mendongak, dia melihat Dema berjongkok dan menawarkan punggung. Dia nggak langsung naik, dia malahan diam untuk mikir-mikir dulu.
“Ayo cepet.” Suruh Dema sambil menepuk punggungnya.
Akhirnya Mia naik ke atas gendongan Dema. Cowok bertubuh besar itu dengan mudah membawa Mia di atas punggungnya. Mia melingkarkan lengannya di leher Dema. Hal yang dilakukan cowok dengan parfum yang menyengat itu mengingatkan dia akan Kak Rian, kakaknya yang sangat menyayanginya.
“Maaf ya ngerepotin.” Bisik Mia.
Dema nggak menjawab, mereka yang lain juga cuma diam dan melanjutkan perjalanan. Vian dan Radit juga terlihat sangat membantu. Mereka berdualah yang membawakan kantung-kantung belanjaan. Apalagi Radit, mukanya menjadi merah muda kalau ada orang yang melihatnya sambil memeluk sebuah boneka kelinci berwarna pink.
♥♥♥
“Dia udah tidur?” Dema berbisik pelan.
Vian melirik ke punggung Dema. “Iya.” Jawabnya.
Mia emang udah tertidur pulas di punggung Dema. Pipinya menempel di punggung Dema dan mulutnya terbuka sedikit. Untungnya dia nggak ngiler.
“Kalo diliat-liat…” Vian bergumam, “Dia cantik kalo tidur.” Pujinya sambil memandangi wajah Mia.
“Iya kan, Dit?” Vian melirik dan bertanya pada Radit. Cowok dingin itu menengok dan melihat ke arah si cewek tidur yang mulai memperlihatkan air liur di ujung bibirnya.
“Dia kalo tidur tambah jelek.” Radit berbisik lalu memalingkan wajahnya.
Tiba-tiba, dari arah depan, terlihat dua cewek sedang berjalan dan menertawakan sesuatu. Dema mengeritingkan alis saat tahu kalau yang mereka tertawakan itu adalah Radit. Adik sepupunya itu terlihat cuek memeluk boneka kelinci yang sangat bertolakbelakang dengan wajahnya yang keren.
“Tinggal aja boneka itu kalo nyusahin, Dit.” Ucap Dema.
Radit tetap cuek, mukanya menatap lurus ke depan.
“Biarin aja. Nanti dia ngambek kalo bonekanya ditinggal.”
4
Mia & Nata
Keesokan harinya, ketiga cowok itu bangun bersamaan jam sepuluh pagi. Saat bangun, mereka cuma menemukan tiga bungkus nasi uduk di atas meja yang sama sekali nggak membangkitkan selera makan mereka.
Saat membuka pintu kamar mandi, Vian terkejut melihat betapa tingginya tumpukan pakaian kotor dalam keranjang.
“Ya ampuun… cuciannya banyak banget.” Keluh Vian.
“Apa nggak ada gelas bersih?” tanya Radit saat melihat tumpukan gelas dan piring kotor di atas bak cuci piring.
“Lantainya kotor banget sih?” Dema bertanya sambil mengangkat sebelah kaki dan melihat betapa kotor telapak kakinya.
Ketiga cowok itu bertatapan dengan satu ide yang sama di fikiran mereka.
“Kita harus bersihin rumah ini.” Ide Dema.
Yang lain setuju.
♥♥♥
Di jam istirahat, Mia berjalan menuju ke kafetaria dan duduk di salah satu meja kosong sendirian. Maklum, sebagai murid yang nggak populer di sekolah, dia belum menemukan sahabat sejati yang bisa menerima dirinya apa adanya.
“Hai.” Sapa seseorang.
Mia kaget melihat seseorang yang menyapanya.
“Hai.” Balas Mia.
Ternyata orang yang menyapa Mia itu adalah Nata, temannya di kelas sepuluh. Aneh juga tiba-tiba Nata menyapanya dan duduk bersamanya hari ini. Mereka berdua emang nggak deket. Secara, Nata itu adalah salah satu murid terkaya di sekolah ini dan dia nggak pernah bicara banyak dengan Mia.
“Udah lama kita nggak ketemu, Mia.” ujar Nata.
“Iya.” Mia tersenyum salah tingkah.
“Kamu bawa bekal apa?” tanya Nata penasaran. Dia memajukan wajah dan meminta Mia membuka kotak makanannya. Mia yang menyadari hal itu langsung membuka pelan kotak bekalnya. Meskipun dia tahu kalau isinya nggak seberapa.
“Cuma mie goreng pake nasi.” Jawab Mia. Dia menunjukkan nasi dan mie yang ditaruh berhimpitan dalam kotak makannya.
“Kamu mau bekalku?” Nata memajukan kotak makannya ke depan Mia.
“Apa itu?” tanya Mia.
Nata membuka tutup kotak makan tupperware ungu yang pasti mahal itu.
“Ini spagetti saus tomat yang dicampur daging giling.” Jawab Nata.
Mia hanya melongo melihat makanan yang kelihatan enak dan bagus itu. Bener-bener beda jauh dengan apa yang dibawanya.
“Kamu mau tukeran bekal?” Nata menawarkan.
“Hah?” Mia terkejut.
“Ini.” Nata memberikan kotak bekalnya pada Mia.
“Jangan… kayaknya aku nggak cocok sama bekal kamu.” Dia menggeleng dan menjauhkan kotak makan itu.
“Sini.”
Tiba-tiba Nata mengambil kotak makan Mia dan langsung memakan bekalnya. Mia menganga dengan panik saat Nata melakukan itu. Dia kan nggak tahu apa-apa tentang Nata. Cewek kayak dia mungkin aja alergi sama makanan-makanan murah.
“Aduuh…” Mia mengeluh panik.
Nata mengunyah mie goreng itu dengan santai. Lalu dia melihat Mia yang masih terdiam dan belum menyentuh bekalnya.
“Ayo dimakan.” Suruhnya.
Mia mulai memegang kotak makan itu. Dia kemudian melihat sumpit kecil terselip di dalamnya. Lalu dia mulai memakan makanan yang sebenarnya dia nggak mengerti itu. Rasanya lumayan enak, meski lidahnya masih belum terbiasa.
Akhirnya mereka berdua sangat menikmati acara makan di jam istirahat itu. Nggak aneh kalau Mia jadi doyan sama makanan mahal seperti bekal yang dibawa Nata. Tapi yang aneh adalah, Nata kelihatan benar-benar menikmati bekal yang dibawa oleh Mia sampai-sampai dia menghabiskannya dengan sangat cepat.
“Itu pengawal kamu ya?” Mia berbisik sambil melirik seorang laki-laki yang berdiri di pintu masuk kafetaria.
Nata ikut melihat ke arah yang sama. Laki-laki yang berdiri di sana menoleh dan melihat sangar ke arah mereka berdua.
“Jangan diliat. Anggep aja nggak ada.” Suruh Nata.
Mia mengangguk.
Sesaat kemudian, Mia terlihat memikirkan sesuatu. Dia menatap Nata dengan alis berlipat dan bibir menguncup.
“Ini pertama kalinya kita ngomong kayak gini kan?” tanya Mia.
“Ini yang kedua kalinya.” Jawab Nata.
“Ah? Masa?” Mia kaget dengan jawaban itu. Menurut ingatannya yang lemah, dia belum pernah berbicara apapun pada cewek itu.
“Kamu inget orang yang ngomong ‘kamu pake sepatu terbalik, bodoh?’” tanya Nata. Mia terdiam dengan dada sesak, “Itu aku.”
♥♥♥
Mia membawa keluar sepedanya dari parkiran dan menuntunnya menuju ke gerbang sekolah.
“Mia.” Sapa seseorang.
Mia menoleh dan melihat Nata bicara dari dalam mobilnya.
“Apa?” tanya Mia.
“Aku mau nganter kamu pulang.” ucap Nata.
“Tapi aku kan bawa sepeda?” Mia bertanya polos.
Nata nggak menjawab, dia langsung membuka pintu mobilnya dan menarik Mia masuk.
♥♥♥
“Aku nggak nyangka kalo orang kayak kamu ternyata menyenangkan juga.” Puji Nata mendadak saat dalam perjalanan.
“Hehehe… makasih.” Mia tertawa dengan besar kepala.
“Tadinya aku pikir isi otak kamu cuma cukup untuk bicara sama batu.” Ucap Nata lagi. Clep! Hati Mia tertusuk panah dan pecah berantakan. Tawa bangganya berubah jadi senyum tersiksa.
“Ah, masa begitu? Apa aku keliatan bego banget?” tanya Mia panik. Maklum, meski selama ini dia sering bertingkah laku seperti orang bego, dia pikir orang lain nggak tahu tentang rahasia besarnya itu.
“Kamu lugu.” Nata tersenyum saat melihat ekspresi Mia. Mia yang mendengar penjelasan itu menghembuskan napas lega. Kayaknya dia masih bisa terima kalau dibilang lugu dibanding bego.
“Tapi kadang lugu sama artinya kayak bodoh.” Sambar Nata.
Clep! Lagi-lagi perasaan dia harus terluka saat menerima kenyataan pahit tersebut. Akhirnya Mia lebih memilih untuk melupakannya sebelum hatinya terluka terlalu dalam. Lagipula… dilihat dari wajahnya yang tanpa beban, kayaknya Nata nggak berniat buat nyakitin perasaannya Mia.
“Kardus-kardus ini isinya makanan?” tanya Mia saat melihat bertumpuk-tumpuk kardus di dalam mobil.
“Iya. Ada yang kamu mau? Ambil aja.” tawar Nata.
“Emm…” Mia bergumam dan berfikir tentang makanan-makanan itu. Dia jadi teringat sama ketiga cowok tak diundang yang ada di rumah sekarang. Tiba-tiba Mia jadi ingin membawa pulang kardus-kardus isi makanan ringan dan snack itu ke rumah untuk ketiga cowok itu.
“Buat orang tua kamu mungkin?” Nata menebak.
“Orang tua aku sekarang tinggal di kampung.” Jawab Mia.
Nata menoleh tercengang, “Jadi kamu tinggal sendirian?”
Mia gagap. Dia nggak tahu harus menjawab apa, “Aku… aku sekarang tinggal sama tiga kucing nyasar.” Jawabnya.
Akhirnya, Mia sampai di rumah. Dia nggak turun dengan tangan hampa. Disamping kakinya terdapat tiga tumpukan kardus isi snack dari Nata.
“Makasih ya, Ta.” Mia tersenyum.
“Sama-sama. Itu semua nggak pernah aku sentuh semenjak ada di mobil.” Jawab Nata mengenai kardus-kardusnya.
“Itu sepeda kamu.” Nata menunjuk ke belakang.
Di belakang sana, bodyguard Nata datang sambil mengayuh sepeda Mia dengan bersusah payah. Mia tercengang sekaligus kasihan melihat bodyguard yang keren itu harus mengayuh sepedanya.
Tiba-tiba Nata turun dari mobil. Mia membesarkan matanya.
“Aku mau main ke rumah kamu sebentar.” Katanya santai.
Mulut Mia menganga dengan sangat paniknya.
“Hah?”
Gawaaattt… ketiga cowok itu kan ada di rumah!
♥♥♥
Sementara itu, di dalam rumah…
“Uuhh… capeekk…” Vian meregangkan badannya yang letih sehabis dua jam membereskan semua pekerjaan rumah.
“Semua pakaian udah lo cuci?” tanya Dema yang lagi berkaca di cermin wastafel, dekat pintu kamar mandi.
“Udah.” Jawab Vian, “capeekkk…”
“Semua piring sama gelas udah gue cuci, pakean udah gue jemur.” Lapor Radit.
Dema mengangguk. Dia juga udah menyapu dan mengepel seluruh rumah. Kemudian dia melanjutkan lagi acara bercerminnya. Dia mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi bulu itu.
“Ternyata jenggot gue udah berantakan.” Curhatnya. Lalu dia mulai mengambil alat cukur yang tergeletak di atas wastafel.
Di sisi lain, Radit terliat mengucek matanya dengan keras.
“Kenapa?” tanya Vian.
“Ada yang masuk ke mata gue.” Radit masih terus kesakitan.
Vian berdiri. Dia menghampiri dan menarik tangan Radit.
“Sini gue liat.” Vian meminta Radit membuka matanya. Tangan Vian mulai memegang mata Radit dan membukanya, mengamati apa yang salah di dalam mata sepupunya itu.
♥♥♥
“Kenapa? Boleh kan gue mampir?” Nata mendesak, membuat Mia jadi nggak enak untuk menolaknya.
“Tunggu sebentar disini. Sebentar.” Pinta Mia. Dia lalu buru-buru masuk ke dalam rumah untuk memberitahu ketiga cowok itu.
BRAK
Mia membuka dan menutup pintu secepat kilat. Dia lalu bersandar di balik pintu, melihat Dema yang lagi cukuran di depan cermin dengan hanya menggunakan celana boxer serta Vian yang lagi melihat mata Radit.
Mia tercengang melihat Vian yang memunggunginya. Dari belakang, Vian terlihat kayak orang yang mau nyium Radit. Membuat rambut Mia jadi berdiri.
“Kalian ini lagi ngapain sih? Kenapa berbuat mesum di rumah gue?” bisik Mia dengan tak percaya. Padahal mereka berdua kan ganteng, sayang banget kalau ternyata mereka saling mencintai.
“Siapa yang berbuat mesum?” tanya Vian dengan polosnya.
Saat Vian berbalik, baru kelihatan Radit yang sedang menutup matanya.
“Apa cukuran itu mesum?” tanya Dema dengan bingung, masih dengan krim putih yang menempel sepanjang dagunya.
“Siapa yang mesum sih?” Vian menoleh pada Dema. Dua cowok itu saling bertatapan dengan mulut menganga, mengeluarkan tampang bego yang jarang mereka perlihatkan. Mereka penasaran siapa yang berbuat mesum.
Cuma Radit yang masih sibuk mengucek matanya yang merah dan terasa perih. Saat melihat Radit yang begitu, Mia menelan ludah dan sadar kalau dugaannya salah.
“Diluar ada temen gue. Dia mau masuk. Sekarang kalian naik ke atas, masuk ke kamar dan jangan keluar sampai gue suruh.” Jelas Mia cepat.
“Emangnya kenapa kalau ada temen lo?” tanya Vian.
“Nanti gimana gue bisa jelasin soal elo bertiga sama dia?” tanya Mia panik.
Dema sama Vian masih mengeluarkan tampang bloonnya. Mia buru-buru mengambil sapu yang ada di balik pintu seperti ksatria mengambil pedangnya, “cepet ngumpet ke atas atau gue pukul pake ini!”
♥♥♥
“Ayo masuk.” Mia membuka pintu.
Nata yang sejak tadi berdiri menunggu diluar tersenyum dan membuka sepatunya sebelum masuk ke dalam rumah Mia.
“Silahkan duduk. Aku buatin minum dulu ya?” Mia mempersilahkan.
Kemudian dia menuju dapur dan membuat sirup. Nata berdiri di tengah rumah, memperhatikan rumah Mia yang kecil itu dengan senyum kecil diujung bibirnya. Kelihatannya Nata sangat senang bisa main ke rumah Mia. Dia juga kelihatan mengamati rumah itu, seperti sedang mencari sesuatu.
Akhirnya, Nata benar-benar menemukan sesuatu di atas tivi.
“Mia.” Panggilnya.
Kepala Mia muncul di ambang pintu dapur.
“Ini celana siapa?” Nata memegang boxer merah milik Vian.
Mulut Mia membulat, “Oh, itu… itu celana gue.”
Nata kaget, “Kamu pakai celana laki-laki?”
Mia mundur dengan muka melas, “Iya. Kadang-kadang.”
Nata menaruh lagi celana itu di tempat asalnya. Mia mengaduk sirup dengan jantung berdebar-debar. Entah apa lagi yang akan ditemukan Nata di rumah itu yang akan membuatnya kelihatan seperti orang bodoh.
Ternyata Nata emang berbakat jadi detektif. Setelah menemukan celana boxer milik Vian barusan, dia menemukan alat cukur punya Dema yang dipenuhi krim dan bulu jenggot.
“Kok ada alat cukur disini? Emangnya kamu abis nyukur apa?” tanya Nata.
Mia menoleh dan melihat alat cukur itu. Tamatlah riwayatnya.
“Nyukur rambut.” Jawab Mia ragu. Dia tahu jawabannya itu akan membuatnya terlihat seperti orang paling goblok sedunia.
“Ini kan bukan alat cukur rambut, ini kan alat cukur jenggot yang biasa dipakai sama anak cowok.” Nata menjelaskan.
Mia nggak bisa menjawab, dia nggak berani keluar dari dapur. Rasanya dia pengen nangis saat itu juga. Tega banget sih tiga cowok itu menghancurkan imejnya.
“Ini apa? Kamu ngerokok?” tanya Nata lagi saat melihat bungkusan rokok yang sudah kosong di tempat sampah.
Mia keluar dari dapur membawa dua gelas sirup.
“Kadang ngerokok itu bagus buat ngilangin stres.” Jawab Mia sambil tersenyum kuda. Tapi Nata hanya mengangguk biasa, seolah berkata ‘iya, masuk akal kalau orang seperti Mia melakukan hal bodoh itu’.
Hati Mia terasa ditusuk-tusuk. Ini benar-benar suatu cobaan berat baginya. Entah bagaimana pandangan Nata terhadapnya setelah kejadian ini.
Nata mendatangi Mia yang duduk di meja lantai. Lalu dia duduk di lantai dan meminum es sirup yang Mia buat.
“Rumah kamu aneh.” Bisik Nata dengan segenap jiwa.
Mia cemberut, “Iya, aku tahu.”
“Aku jadi pengen nginep.” Balas Nata.
“Hah?” Mia kaget. Tadi kan Nata bilang rumahnya aneh, kenapa sekarang dia bilang mau nginep?
“Gimana kalo malem ini aku nginep?” tanya Nata dengan mata yang cerah.
“Nginep?” tanya Mia pelan.
Nata tersenyum dan mengangguk. Kayaknya dia sangat bersemangat.
“Bo-boleh.” Jawab Mia gagap.
Tiba-tiba ada suara benda jatuh disertai suara berisik manusia. Nata yang pendengarannya sangat tajam itu langsung melirik penuh tanda tanya.
“Itu suara apa?” tanyanya.
“Ah? Apa?” tanya Mia dengan cengengesan. Dia tahu kalau suara itu mungkin adalah suara dari tiga cowok yang sekarang sedang bersembunyi di lantai atas.
“Di atas ada orang ya?” tanya Nata.
Belum sempat Mia menjawab, Nata langsung berdiri dan bergegas menaiki anak tangga. Dia berjalan sangat pasti menuju ke asal suara, menuju ke kamar tidur ketiga cowok itu.
BRAK
Nata membuka pintu. Vian terlihat salah tingkah saat dia kepergok nyaris melompat keluar jendela. Dia menjadi gagap saat Nata menatapnya tajam ditambah lagi, dia melihat Mia yang kelihatan panik dengan mulut bergerak-gerak tanpa suara yang mengatakan ‘bego lo!’.
“Kamu kan…” Nata menggantung kalimatnya. Dia merasa pernah bertemu dengan Vian.
Vian yang mukanya semanis wanita itu juga mengembangkan senyumannya, “Hai. Lo yang di bazar waktu itu kan? Ternyata lo temennya Mia ya?”
Nata tersenyum sangat manis pada Vian saat berhasil menemukan cowok itu. Dia memang sengaja mendekati Mia hanya karena dia sempat melihat Vian jalan bersama cewek itu. Dan Nata adalah orang yang ditemui Vian sehabis dia memberi es krim, seorang cewek yang waktu itu jatuh setelah ditabrak cowok.
“Mia?” panggil Vian.
Cewek itu menoleh bloon, “I-iya?”
“Genteng lo yang bocor udah gue betulin. Permisi.” Vian berbalik dengan tergesa-gesa dan langsung keluar dari jendela dan lompat ke bawah. Dia menyusul Dema dan Radit yang udah turun dan bersembunyi di dalam mobil.
Nata cuma bengong aja pas Vian melompat nekad dan terdengar bunyi degum dari bawah. Mia juga menampilkan ekspresi mukanya yang bloon banget.
“Apa dia nggak pernah diajarin keluar lewat pintu?” bisik Nata.
Mia cuma bisa mengangkat lemas bahunya.
♥♥♥
Mia mengantarkan Nata keluar dari rumahnya. Cewek itu tiba-tiba aja berjalan keluar rumah tanpa bicara sepatah kata pun.
“Makasih ya?” ucap Nata.
“Oh, sama-sama.” Mia membungkuk dengan cepat.
Nata tersenyum manis sedangkan Mia menatap kaku.
“Kamu nggak jadi nginep?” tanya Mia.
“Nggak.” Nata menggeleng, “aku mau tapi aku nggak bakalan boleh.”
Mia mengerti. Tapi seharusnya dia mengerti dari tadi kalau orang yang hidupnya sesempurna Nata harus berfikir ratusan kali untuk menginap di rumah kecil sederhana bersama orang mini kecerdasan seperti dirinya.
“Tapi kok aku nggak liat 3 kucing peliharaan kamu ya?” sindir Nata.
Mia menjadi gagap dan nggak tahu harus menjawab apa.
“Oh… mereka bertiga emang suka begitu. Tapi kalo malem pasti pulang.” Jawabya sambil cengar-cengir nggak karuan.
“Laki-laki yang tadi betulin genteng kamu itu.” Kata Nata.
Mia melirik, “Kenapa?”
“Siapa dia?” Nata bertanya dengan matanya yang serius.
“Namanya Vian.”
“Dia tinggal dimana?”
“Rumahnya di… di sana.” Mia menunjuk asal-asalan. Bahkan dia sendiri nggak ngeliat arah yang dia tunjuk.
Nata melihat ke arah yang ditunjuk Mia, “Dimananya?”
“Di situ. Tapi gue nggak tahu dimana rumahnya.”
Nata melihat Mia dan tersenyum lagi.
“Dadah.” Nata tersenyum sambil membuka pintu mobilnya.
“Daah.” Mia melambai manis saat Nata masuk ke dalam mobil.
Fiuuuh…
Akhirnya Nata pergi juga. Untung dia nggak jadi nginep.
♥♥♥
Sekarang jam setengah tujuh malam. Ketiga ‘kucing’ itu udah balik ke rumah. Mereka lagi bergantian main PS.
“Cewek itu kan yang gue bilangin waktu itu. Yang ditarik sama bapak-bapak pake kacamata item waktu di festival.” Ujar Vian sambil memium segelas air dingin. Mia yang sedang serius memotong daging itu tak terlalu menanggapi.
“Namanya Nata. Yang pake kacamata itu bodyguardnya.” Jawabnya.
“Ooo…” Vian mengangguk mengerti.
Vian lalu berdiri di belakang Mia. Dia memperhatikan keseriusan cewek itu yang jarang dilihatnya. Mia cuma bisa serius tentang satu hal, yaitu ‘masak’.
“Lagi mau masak ya?” tanya Vian.
“Iya.” Ketusnya.
“Kita rencananya mau makan diluar. Mau ikut?” tawar Vian.
Mia berbalik badan, menatap tajam mata Vian sambil bertolak pinggang.
“Nggak ada acara makan diluar.” Kecam Mia.
Saat Mia bilang begitu, Radit dan Dema yang lagi main PS langsung menoleh dengan tatapan lesu tak bergairah. Seolah-olah mereka tahu mimpi buruk apa yang akan mereka hadapi.
“Tunggu dulu sebentar. Kalian harus makan masakan gue.” Tegasnya.
Lalu cewek itu pun mulai ribut lagi di dapur, mencoba membuat masakan yang biasanya gagal.
“Apa-apaan ini? Kenapa pintunya harus dikunci?” teriak Vian saat dia tahu kalau pintu luar dikunci.
“Malam ini kita makan daging. Makanya kalian nggak usah buang-buang duit. Pintunya gue kunci supaya kalian nggak bisa kabur!” Sambung Mia lagi, masih dengan wajah judesnya.
“Hoaamm… membosankan.” Dema menutup mulutnya yang menguap.
“Kapan nih makanannya jadi? Aku lapeerr…” keluh Vian sambil mengusap perutnya. Dua cowok itu terlihat ingin mengacaukan acara makan malam, hanya Radit yang masih stay cool tanpa banyak bertingkah.
“Hei! Pada mau kemana?” Mia keluar dari dapur saat melihat ketiga cowok itu berjalan bersamaan menuju ke atas tangga.
“Nunggu di kamar.” Balas Dema.
“Kalo makanannya udah jadi kalian harus turun!” teriak Mia.
“Tenang aja!” Balas Vian.
Mia berkacak pinggang dan manyun. Dia kesel banget tiga orang itu ngeremehin kemampuannya dalam memasak. Sebenernya dia cukup curiga atas kelakuan tiga makhluk itu, tapi dia mencoba percaya dan masuk kembali ke dalam dapur untuk melanjutkan kegiatan favoritnya yang sering mencelakai banyak orang.
♥♥♥
Akhirnya masakannya jadi. Mia buat sop daging malam itu. Dia nggak tahu apa hasil masakannya bisa lebih baik dari yang pernah dia buat. Yang pasti, kali ini dia lebih tahu komposisi seimbang untuk membuat sopnya. Lagian… sop punya kenangan pahit tersendiri yang memotivasinya untuk bisa membuat sop yang enak meski cuma sekali sepanjang hidupnya.
“Dema, Vian, Radit! Cepetan turun!” teriak Mia dari bawah tangga.
Nggak ada respon.
“Demaaa!!” Mia teriak sampai terbungkuk-bungkuk.
Karena curiga ada hal yang nggak beres, Mia naik ke atas dengan segenap emosinya. Dia lalu berdiri dan mengetuk pintu kamar.
“Cepet keluar! Makanannya udah jadi!” teriak Mia sambil terus mengetuk pintu. Tapi nggak terdengar suara orang, cuma ada bunyi lagu yang cukup berisik.
Karena panik, Mia segera membuka pintu dan ternyata pintunya nggak dikunci. Alangkah betenya dia saat dia melihat kamar itu kosong dan jendela terbuka. Dengan mulut terbuka dan wajah shock, dia mengutuk dalam hati.
“Sialaaann…”
♥♥♥
Ketiga cowok keren itu berjalan di tengah malam yang sepi dan dingin. Mereka bertiga bermantel hitam malam itu, berjalan lambat menuju ke salah satu restoran di dekat sana.
“Apa kita nggak apa-apa ninggalin Mia sendirian?” Radit berbisik cemas.
Dema dan Vian menoleh, melihat kekhawatiran di wajah Radit.
“Kita nggak akan pergi lama kok.” Sambar Dema.
“Iya. Kita kan cuma mau beli makanan trus pulang. Kita juga beliin Mia makanan. Bisa aja masakan dia gagal lagi. Iya kan?” Vian membalas.
Meski begitu Radit masih saja cemas. Dia masih berjalan dengan tangan masuk ke dalam saku dan kepala tertunduk.
♥♥♥
Sementara itu, Mia sedang di rumah dan bolak-balik nggak karuan dengan emosi yang sangat memuncak-muncak.
“Awaass aja. Kalo sampe mereka pulang, bakal gue remeeesss…” Mia mengomel sendirian di tengah rumah. Dia telah menyiapkan berjuta rencana buruk di dalam otaknya untuk membalas perbuatan tiga ‘kucing’ nyasar yang nggak tahu diri.
Tiba-tiba,
Tok tok tok
Terdengar suara ketukan pintu. Pasti tiga orang nyebelin itu udah pulang.
“Udah nggak usah pulang! Kalian emang nggak tau diri! Jangan balik lagi kesini! Pergi!” teriak Mia dengan segenap kekesalannya.
Ternyata tiga orang cowok itu bener-bener nggak tahu diri. Setelah diteriaki oleh Mia kayak tadi, mereka masih terus mengetuk pintu.
“Ngapain terus ngetok-ngetok pintu? Pergi dan jangan balik lagi!” teriak Mia.
Ternyata ketiga cowok itu masih belum kapok juga. Mereka terus mengetuk pintu, malah ketukan mereka semakin keras dan panjang. Itu membuat asap keluar dari lubang hidung Mia. Dia lalu berjalan menuju ke pintu dengan dada membusung karena marah.
BRAK!
“Apa…”
Belum sempat Mia menyelesaikan kalimatnya, seorang pencuri mendekap tubuhnya dari belakang dengan sangat kuat. Sebelah tangannya juga menutup mulut Mia. Cewek lugu itu sadar apa yang sedang terjadi. Rumahnya sedang dimasuki oleh pencuri. Mereka ada tiga orang!
Mia nggak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya yang mungil itu didekap dengan sangat kasar dan dia nggak bisa melawan kekuatan seorang laki-laki yang mencengkramnya. Sementara, tepat di depan matanya, dia melihat dua kawanan pencuri bertopeng itu mengobrak-abrik rumahnya.
Mereka mungkin mengetahui kalau belakangan ini banyak paket kiriman barang-barang elektronik mahal yang dibeli dari uang tiga cowok itu.
Mia nggak terlalu kaget jika para pencuri itu mengincar tivi atau barang elektronik lainnya. Tapi yang paling membuat bola matanya terbelalak adalah saat salah satu pencuri itu berdiri di hadapan semangkuk sop bikinannya yang terletak di atas meja. Dari mata pencuri itu, ada aura kejahatan yang dapat dirasakan Mia.
Makanya dia memberontak, menggerakkan seluruh badannya agar bisa lepas.
“Jangan sentuh sopnya! Jangan SENTUUUHH!!!” teriak Mia. Pencuri yang memeganginya langsung mengunci mulut Mia kembali.
Lalu, pencuri itu langsung menendang meja hingga mangkuk sop itu terguncang dan terbalik. Mia nggak bisa menahan rasa sedihnya. Tubuhnya langsung mengulai lemas dan matanya berkaca-kaca.
♥♥♥
Di saat gawat darurat kayak gitu, akhirnya ketiga cowok itu sampai di rumah. Mereka langsung mengetuk pintu dan membuat ketiga pencuri yang ada di dalam rumah jadi panik nggak karuan.
“Mia? Mia!” panggil Dema dari luar.
Vian yang sejak tadi mengetuk pintu menatap Dema dan Radit dengan bingung. Mereka lebih merasa wajar kalau tiba-tiba Mia mengonggong dari dalam dibandingkan kesunyian kayak gini.
Radit yang paling khawatir terhadap Mia langsung maju dan mendorong pintu. Tiga pencuri tadi sudah terlihat naik ke atas tangga. Yang terlihat hanyalah Mia yang duduk dengan mata kosong di lantai.
“Brengsek!” kecam Radit. Dia lalu berlari ke atas, mengejar tiga pencuri tadi. Dema yang menyadari keadaan itu ikut berlari kencang menyusul Radit. Mereka berdua berlari melintasi Mia yang hanya duduk dengan wajah penuh airmata.
Sesampainya mereka berdua di atas, mereka berhasil menangkap dua pencuri tadi dan sempat menghajar wajah mereka. Dema hanya membanting punggung pencuri itu ke tembok sementara Radit, yang entah kenapa, tiba-tiba saja menghajar dengan sangat brutal pencuri yang terbaring di atas lantai.
Saking melihat emosi Radit, Dema sampai terpaku dan menghentikan tindakannya. Baru kali ini dia melihat Radit memukul orang, dengan sorot mata yang begitu dipenuhi kebencian.
Melihat muka pencuri yang sudah babak belur itu dan tenaga Radit yang tak kunjung berkurang, Dema melepas pencuri yang dipegangnya. Dia membiarkan pencuri itu pergi lewat jendela dan menarik bahu Radit.
“Udah, Dit. Cukup.” Bisik Dema.
Radit duduk, dilihatnya pencuri yang nyaris pingsan itu merangkak menjauh. Napas Radit memburu, sepertinya dia belum melampiaskan segenap kebenciannya walaupun para pencuri itu sudah kabur lewat jendela.
Disisi lain, Dema berdiri dengan wajah cemas. Baru kali ini dia melihat adik sepupunya itu seperti ini. Itu membuatnya ketakutan.
“Mia?” Vian menghampiri Mia dengan cemas, “Lo nggak apa-apa?” tanya Vian sambil memegangi tubuh Mia. Cewek itu bener-bener sakit hati, ditatapnya Vian dengan penuh emosi sambil airmatanya menetes.
“Mau apa kalian balik lagi kesini?” sinisnya.
“Beruntung kita balik lagi kesini. Gimana kalo terjadi apa-apa yang buruk sama elo?” tanya Vian.
Tiba-tiba garis mulut Mia turun dratis, dia akan meledak sebentar lagi.
“Sopnyaaaa…” Mia menangis sambil membuka lebar mulutnya.
“Udah jangan nangis…” bujuk Vian.
Mia terus menjerit, “Sopnyaaa…”
Akhirnya, karena Mia nggak mau berhenti nangis, Vian memeluk Mia. Dia sibuk mengusap rambut dan punggung Mia untuk membuatnya tenang.
Radit dan Dema berdiri di anak tangga, melihat pemandangan menyedihkan itu dan mendengar suara tangis Mia yang rasanya tak akan cepat berhenti.
♥♥♥
Vian masuk ke dalam kamar lalu bersandar di balik pintu. Mereka bertiga berkumpul di kamar atas, dalam keadaan yang lelah dan pusing.
“Dia masih nangis.” Keluh Vian.
Radit dan Dema yang ada di sana hanya terdiam.
“Ini semua kesalahan kita.” Bisik Vian lagi, “seharusnya kita nggak pergi karena dia sendirian. Ini pikir ini pertama kalinya dia masak yang enak. Kita malah mengacaukan segalanya.”
Mereka semua terdiam. Mereka tahu dimana letak kesalahan mereka.
Dema berfikir. Tiba-tiba dia tersenyum lalu melirik Radit. Radit yang sadar ada makna tersembunyi dari senyum dan lirikan itu mengerutkan alisnya.
“Lo pernah masak sebelumnya?” tanya Dema dengan senyum penuh arti.
Tatapan Radit menjadi datar, dia tahu ada yang nggak beres.
Vian justru tersenyum dengan lesung pipinya yang manis.
Jadi… mereka bakalan masak?
♥♥♥
Mia nggak nyangka akhirnya bisa melihat pemandangan menggelikan itu. Tiga cowok ganteng memakai celemek norak miliknya dan mereka semua sedang mengacaukan isi dapur. Mia duduk di dekat meja dan menonton sebagai jurinya. Tiga cowok itu berusaha menghibur Mia. Cewek dengan mata sembab itu hanya bertopang dagu dengan bosan. Sepertinya usaha mereka untuk membuat Mia tersenyum kembali nggak berhasil.
“Taraa!!!” Vian dengan bangganya menunjukkan semangkuk sop yang mereka bertiga buat. Dema dan Radit buru-buru mencopot celemek mereka.
“Gimana, Mia?” tanya Vian sumringah.
Mia masih saja bertopang dagu dengan wajah bosan.
“Kalian bertiga keliatan kayak bencong.” Curhatnya.
Tiga cowok itu membatu lalu hancur berkeping-keping. Baru kali ini mereka menerima penghinaan yang teramat dalam sepanjang umur mereka.
“Kita bertiga udah masak sop lagi. Kita makan yuk?” tanya Vian.
Vian menaruh semangkuk sop itu di atas meja. Dia lalu duduk di hadapan Mia.
Akhirnya, dengan sedikit malas-malasan Mia lalu mengambil sendok dan mulai memaksakan dirinya untuk menerima makanan itu. Para cowok itu lalu ikut bergabung untuk menikmati masakan buatan mereka.
Dari luar rumah, terlihat bayangan mereka melalui jendela. Benar-benar kehidupan yang harmonis. Mereka berempat duduk mengelilingi meja dan berdoa sebelum makan. Hingga akhirnya…
“Huueekk!!! Makanannya nggak enaaaakkk!!!” Mia menjerit.
♥♥♥
“Padahal tadi gue udah kasih garem yang cukup.” Tambah Dema.
Mereka bertiga, alias para cowok-cowok itu masih membahas soal ‘masakan yang nggak enak’ yang membuat Mia semakin murung. Padahal sekarang mereka udah berada di bawah selimut dengan lampu kamar yang dimatikan.
“Mungkin ini belom rejeki kita.” Radit menyahut sok bijak.
“Mia udah tidur belum ya?” bisik Vian pada keduanya.
“Udah. Dia kalo belom tidur pasti kedengeran suara ributnya.” Jawab Dema.
Dengan mata nyaris terpejam, Vian mengangguk setuju. Mia kalau belum tidur emang suka banget gentayangan dan bikin ribut. Tapi malam ini, suasana sunyi sepi, itu mungkin pertanda kalau cewek itu udah tidur.
Tapi pada kenyataannya…
“Hah? Cuma dua belas ribu?” Mia terbelalak saat mengetahui jumlah tabungan yang dimilikinya tinggal dua belas ribu, “Ya ampuun… gak bisa begini. Ini sih nggak bakalan cukup.” Keluhnya panik.
“Mau dikasih makan apa tiga orang itu? Ini nggak bisa dibiarin!” tegas Mia.
Sambil mengepalkan tangan, Mia melihat ke kalender yang di permukaannya terdapat lambang sebuah toko kue dekat situ. Dengan senyum yang penuh ceria, dia menyiapkan sebuah rencana untuk hari esok.
5
Mia Kerja ??
Keesokan paginya, ketiga cowok itu bangun di jam Mia biasanya berangkat ke sekolah. Tapi, saat itu rumah udah kosong. Sarapan udah tertata di atas meja. Cewek itu kayaknya udah berangkat ke sekolah karena sepedanya juga udah nggak ada.
“Dia udah berangkat. Kenapa pagi banget?” Vian menggaruk kepalanya sambil melihat ke jalanan luar.
Dema dan Radit nggak menjawab. Radit sibuk membuat kopi di dapur sementara Dema duduk di dekat meja sambil menyalakan tivi.
“Ini masakan buatan dia ya?” tanya Dema sambil memandangi sepiring nasi goreng yang dia temukan di atas meja.
Vian melirik ke dalam, “kayaknya sih gitu.” Jawabnya.
Dengan mata datar yang polos, Dema menatap Vian, “Yan, tukang bubur genit yang biasa datang itu udah lewat blom?”
♥♥♥
Di kelasnya, Mia sedang serius mengerjakan tugas Matematika yang diberikan. Dia sangat serius hingga terkaget-kaget ketika namanya dipanggil.
“Mia.” Panggil Pak Edwin.
Mia menelan ludah dan meninggalkan mejanya saat menyadari dia akan segera mengetahui nilai ulangan Matematikanya.
Begitu berdiri di samping meja guru, Mia tertunduk. Firasatnya nggak begitu bagus, kayaknya dia dapat nilai jelek.
“Bagaimana ini, Mia? Kenapa nilaimu turun belakangan ini?” tanya Pak Edwin dengan tegas dan terarah.
Mia melihat nilainya, 4,3. Mungkin itu nilai paling jelek di kelasnya.
“Maaf, Pak. Saya emang kurang ngerti pelajaran ini.” Ucapnya sedih.
Pak Edwin memberikan kerta sulangan itu pada Mia.
“Belajar lebih rajin. Saya nggak mau liat nilai kamu seperti ini.” Pintanya.
Mia tertunduk menyesal, “Iya, Pak.”
♥♥♥
Siang ini, ketiga cowok itu berkumpul di kamar. Mereka baru balik dari hypermarket. Rencananya mereka akan belanja banyak. Tapi entah kenapa, mereka pulang dengan tangan hampa dan wajah ditekuk.
“Kartu kredit kita semua diblokir kakek. Tamatlah riwayat kita.” Dema mengeluh sambil melempar enam lempengan kartu kredit ke atas meja.
“Kalian berdua udah nggak pegang uang sama sekali?” tanya Radit pada dua kakak sepupunya.
“Enggak.” Jawab Vian polos, “abis sama sekali. Paling cuma ada dua ribu di kantong gue, kembalian naik bis.”
Ketiga cowok itu kini terdiam. Setelah cukup bersenang-senang selama terbebas dari kakek, akhirnya mereka merasakan hilangnya kebebasan mereka. Akses kartu kredit mereka diblokir, dan hanya kakek yang bisa melakukan itu.
Saat itu, tiba-tiba saja hanphone Dema berdering. Itu adalah panggilan dari sebuah nomor tak dikenal.
“Halo? Ini siapa?” Ujar Dema.
“Dimana kalian sekarang?!” Tiba-tiba sebuah teriakan membuat Dema dengan refleks menjauhkan handphone dari lubang telinganya.
Saking besarnya tuh suara, Radit dan Vian yang ada disana bisa mendengar teriakan orang diseberang sana. Mereka saling bertatapan kaget saat mereka bisa mengenali suara itu.
“Paman?! Darimana paman tahu nomor ini? Dari Dudi?” teriak Dema.
Seperti yang mereka bertiga duga, itu adalah suara Paman Beno. Paman Beno sebenarnya tidak punya hubungan darah dengan keluarga besar mereka. Dia hanya seorang ‘ajudan’ setianya kakek yang selalu berusaha membuat mereka bertiga memenuhi apapun keinginan kakek.
“Udah jangan banyak bicara! Kalian kenapa enggak pulang? Kakek sangat marah. Dia bilang akan membunuh kalian kalau kalian bertiga pulang. Dema, kau curi uang kakekmu ya? Jawab!” bentak Paman Beno.
“Sedikit. Nanti aku kembalikan.” Jawabnya pelan.
“Kakek kamu sangat marah, tau! Dia nggak ngajarin kamu jadi maling! Kalo kamu pulang, kakek akan ngawinin kamu sama janda lima anak dan kamu bakalan dikirim ke pedalaman! Kamu ngerti nggak?!” gertaknya lagi.
Dema masih saja cuek, baginya hal seperti ini bukan untuk pertama kalinya dan dia udah pernah menghadapi yang jauh lebih buruk. Dia malah sibuk memutar-mutarkan telunjuk ke lubang telinganya. Gak tahu kenapa, telinganya berdengung setelah teriakan tadi.
“Kasih teleponnya ke Vian. Aku mau denger suaranya. Jangan-jangan dia udah mati gara-gara kamu.” Suruh Paman.
Dema mengulurkan tangannya ke Vian. Cowok bermuka cewek itu mengambil handphone dengan loyo. Dia sempat terdiam suntuk beberapa saat sebelum akhirnya berbicara dengan Pamannya.
“Halo?” sapa Vian lemas.
“Halo, Vian?” tanya Paman Beno.
“Iya, ini aku.” Vian menjawab ogah-ogahan.
“Gimana kabarmu?” Paman Beno menginterogasi lagi.
“Baik.”
“Dema nggak mengajakmu melakukan hal-hal yang aneh kan?” bisik Paman Beno dengan penuh kecurigaan. Kasian banget Dema, kesannya dia tuh selalu salah dan semua yang dilakukannya nggak pernah benar.
“Aku maunya sih begitu, tapi ternyata enggak.” Balas Vian.
“Kakekmu mau kamu pulang. Ada kesempatan masuk perguruan tinggi di luar negeri. Kakekmu mau kamu kuliah disana. Dia nggak sayang ngeluarin uang ratusan juta buat itu!” Paman Beno mengumumkan.
Vian mengangguk seperti seorang yang sudah sangat mengerti.
“Oo, begitu ya? Jadi kakek sekarang suka pake celana dalem cewek?” balasnya sengaja. Dema menahan tawanya saat mendengar hal itu.
“BUKAAANN!!!” Paman Beno berteriak geram.
“Vian! Dengerin paman! Kamu harus kuliah. Siapa nanti yang gantiin kakekmu itu? Siapa yang memimpin perusahaannya?” tanya Paman Beno mendramatisir.
“Aku nggak mau. Aku nggak mau jadi kayak kakek.” Tolak Vian.
Terdengar suara tarikan napas Paman Beno. Kayaknya dia udah capek bicara sama Vian. Dia sama nakal dan keras kepalanya kayak Dema. Mereka berdua emang paling nggak bisa diatur.
“Vian, mana Radit? Kasih teleponnya ke Radit.” Suara Paman Beno terdengar mendayu-dayu. Dia udah nggak kuat menahan seluruh cobaan yang Tuhan kirim melalui dua bersaudara itu. Kini harapannya cuma satu, Radit.
“Halo?” Radit menyapa dengan gaya andalannya, datar tak beremosi.
“Radit. Gimana keadaanmu?” tanya Paman Beno lembut.
“Baik.” Jawab Radit.
Lalu terdengar jeda beberapa detik, Paman sedang menarik napas.
“Radit, kamu kan yang paling bener diantara kedua sepupumu itu. Suruhlah dua orang itu supaya mau pulang. Kakek disini selalu menangis kalau ingat kalian. Dia mau kalian cepat pulang.” Paman Beno memohon.
Radit terdiam beberapa detik.
“Kayaknya nggak bisa, Paman.” tegas Radit lembut.
“Ah? Kenapa?” paman tak menyangka Radit menolak hal itu.
“Aku suka tinggal disini.” Jawab Radit dengan suatu nada kebahagiaan yang terdengar dari suaranya yang datar. Saat Radit mengatakan hal itu, Dema dan Vian terkejut dan menoleh.
“Tinggal? Tinggal dimana? Tinggal di hotel kan?” tanya Paman.
Tit.
Sambungan diputus oleh Radit. Dia lalu menatap dua kakak sepupunya dengan senyum penuh kemenangan.
“Dia bilang kita nggak usah pulang.” Kata Radit.
Dema menyunggingkan senyum keren saat melihat sifat buruknya mulai menular kepada Radit, “Bagus.” Puji Dema.
♥♥♥
Sepulang sekolah, Mia menuju ke parkiran. Hari itu dia terlihat tergesa-gesa. Saking buru-burunya, dia nggak sadar kalau sejak tadi Nata mengejar dan memanggilnya dari belakang.
“Mia!” Panggil Nata.
Mia menoleh, dia melihat Nata berdiri ngos-ngosan setelah kecapekan mengejar. Sang bodyguard memayungi dengan setia di belakangnya. Mia cuma menatap dungu Nata yang masih mengatur napasnya.
“Hari ini aku anter pulang ya?” Nata menawarkan.
“Enggak usah. Makasih.” Mia menolak lembut. Nata merengut kecewa.
“Kenapa emangnya?” tanya Nata.
“Aku mau kerja.” Jawabnya lugu.
“Kerja? Kerja dimana?” Nata kelihatan terkejut dengan jawaban itu.
“Di toko kuenya Ibu Yuri.” Jawab Mia.
Lalu Mia melihat angka di jam tangan Nata. Waktunya udah semakin dekat, dia harus segera berangkat kalau dia nggak mau dipecat dihari pertamanya kerja.
“Aduh Nata. Maaf ya, aku harus buru-buru.” Kata Mia. Dia langsung naik ke atas sepeda dan bersiap mengayuh. Tapi sebelum itu dia menoleh ke belakang dan melihat Nata, “Dadaah…” Mia tersenyum lebar.
Nata melambai, “dadaaah…”
Mia mulai mengayuh, membawa sepedanya menuju gerbang sekolah.
♥♥♥
Sepeda Mia berhenti dan terparkir di depan sebuah toko kue yang indah. Mia segera membuka pintu dan masuk ke dalam. Di bagian etalase, dia bertemu dengan Bu Yuri, si pemilik usaha yang bersedia memberikannya pekerjaan.
“Selamat siang, Bu.” Mia membungkuk dengan sedikit kaku.
Bu Yuri menoleh, “Mia? Kamu sudah datang ternyata.” Katanya.
Mia terus memegangi tasnya dengan takut, keringat meluncur di jidatnya. Dia nggak tahu udah berapa lama dia terlambat datang di hari pertamanya kerja. Matanya yang was-was itu membuat Bu Yuri tertawa pelan.
“Tenang aja, Mia. Kamu cuma telat lima menit. Gimana? Sudah siap?” tanya Bu Yuri pada Mia.
“Siap, bu.” Mia tersenyum senang karena Bu Yuri mau memaafkannya.
Lima menit kemudian, Mia sudah berganti baju. Dia memakai topi tenis warna merah dan celemek merah berlogo ‘Starlight Bakery’ dengan kemeja putih dan celana panjang merah. Itu adalah seragam resmi toko kue ini.
Akhirnya dia pun mulai bekerja. Toko kue ini lumayan elite karena harga kuenya yang cukup mahal dan tempatnya yang terancang baik seperti sebuah kafe. Toko nggak terlalu ramai siang itu, tetapi pesanan melalui telepon cukup mengantri.
Satu jam kemudian, Mia menjaga toko kue itu hanya bertiga dengan karyawan lain disana. Sebenarnya ada enam karyawan yang bertugas siang itu, hanya saja tiga orang yang lainnya sedang mengantarkan pesanan.
“Mia?” panggil Bu Yuri.
“Ya?” Mia menoleh.
“Fikri belum datang?” tanya Bu Yuri.
Mia terdiam sejenak. Dia mengingat lagi sosok ‘Fikri’ dalam ingatannya.
“Belum, bu. Dia masih nganterin pesanan.” Jawab Mia.
Bu Yuri mengangguk, tapi terlihat kecemasan di matanya.
“Kenapa, Bu?” Mia bertanya saat menyadari rasa cemas yang terselubung itu.
“Ada satu pesanan kue penting yang harus diantar.” Jawab Bu Yuri, “kue itu untuk acara arisan yang harus sampai setengah jam lagi. Tempatnya sih deket, di jalan Mawar dekat rumah kamu. Kuenya juga paket kecil. Isinya cuma bolu.” Ucap Bu Yuri sambil menunjukkan kotak kardus kecil yang diikat pita dan dibungkus plastik.
“Biar saya aja yang anter, Bu.” Mia menunjuk dirinya dengan penuh semangat. Bu Yuri melirik dengan penuh ketidakyakinan.
“Kamu bisa?” tanyanya.
“Iya.” Mia mengangguk dengan penuh harapan. Seolah dia benar-benar ingin melakukan pekerjaan itu.
Karena melihat niat tulus Mia dan semangatnya, akhirnya Bu Yuri mengeluarkan selembar kertas kecil dari saku jasnya. Dia memberikannya kepada Mia.
“Ini alamatnya?” tanya Mia.
Bu Yuri mengangguk.
Mia ikut mengangguk dan langsung keluar dari meja kasir. Dia lalu keluar dari toko dan menggantung plastik berisi kotak kue di pegangan sepeda kemudian meluncur menuju alamat yang dimaksud.
♥♥♥
“Selamat siang. Mau pesan apa?” Reta bertanya ramah pada tamu berwajah tampan yang datang siang itu.
Cowok berkacamata dan berwajah dingin itu tak menjawab. Dia melirik ke belakang, ke meja-meja kafe yang dipenuhi tamu dan melihat beberapa orang pelayan toko yang sedang mondar-mandir. Sepertinya dia sedang mencari seseorang dan nggak berhasil menemukannya.
“Apa kue paling enak disini?” ketus cowok itu.
Reta bergumam dan melihat ke kaca toko beberapa saat, “Ini. Ini bolu coklat asli yang cuma kita buat satu buah untuk hari ini. Harganya lima puluh ribu.” Reta menunjuk sebuah kue berbentuk lingkaran di dalam etalase, ukurannya sedang dan lapisan coklatnya terlihat sangat tebal.
“Oke.” Jawab si cowok.
Reta menekan tombol pada mesin uang. Cowok itu menyerahkan uangnya.
“Mau dibungkus?” tawar Reta kemudian.
Cowok itu mengangguk.
Reta sibuk memasukkan kue itu ke dalam kotak kue berbentuk lingkaran warna merah hati kemudian mengikatnya dengan pita putih. Lalu dia mendorong kue itu, mendekatkan ke tubuh sang pembeli.
“Ini kuenya. Terima kasih.” Reta tersenyum manis.
Cowok itu sama sekali nggak menyentuhnya.
“Aku titip ini.” Kata si cowok pada Reta.
“Ah?” Reta bertanya tak mengerti.
“Kasih kue ini ke Mia. Terima kasih.”
Setelah mengatakan itu, cowok yang mukanya ganteng itu keluar dari toko. Reta menatap bingung dari dalam. Cowok itu masuk ke dalam mobilnya.
Reta melirik lagi kue itu. Dalam hati dia berfikir kalau Mia adalah cewek yang sangat beruntung bisa mendapat pemberian dari seorang cowok sekeren itu. Tapi Mia nggak akan terlalu senang, justru dia akan sangat kebingungan saat dia tahu kalau cowok yang melakukan itu semua adalah… Rafi.
♥♥♥
“Udah jam berapa sekarang?” tanya Radit.
“Jam lima.” Jawab Dema.
Ketiga cowok itu merasa kebingungan dengan lenyapnya Mia secara tiba-tiba. Jam segini harusnya dia udah berada di rumah. Radit dan Dema yang terlihat paling cemas. Vian hanya bertopang dagu dengan bibir menguncup sambil memperhatikan dua sepupunya.
Keadaan cukup sunyi. Rasanya… ada yang hilang saat Mia nggak ada.
“Kemana sih anak itu?” keluh Dema.
“Mungkin dia ada semacam pelajaran tambahan sepulang sekolah.” Vian menjawab datar dan ragu, “atau dia kena hukuman gara-gara dapet nilai ulangan jelek.” Tebaknya lagi.
Radit memakai jaketnya yang tergantung di balik pintu masuk. Dema dan Vian yang melihatnya menatap Radit dengan penuh tanda tanya.
“Mau kemana?” tanya Dema.
“Ke sekolahnya. Gue mau cari dia.” Radit menjawab tanpa menoleh.
Dia langsung membuka pintu dan keluar.
Dema dan Vian ikut menyusul Radit, mereka memutuskan untuk mencari Mia.
Hmm… tumben banget sih mereka peduli.
♥♥♥
Setengah jam kemudian, mereka bertiga tiba di sekolah Mia. Sebuah gedung sekolah yang sangat besar, dengan tiga lantai dan biaya yang mahal.
Mereka bertemu dengan seorang satpam yang sedang menggembok pagar sekolah. Saat itu, badan mereka melemas. Sepertinya sekolah akan ditutup. Seandainya benar begitu… kemana Mia?
“Pak, apa masih ada orang di dalam?” Dema bertanya panik dengan napas yang masih terasa pendek. Saking cemasnya, mereka bertiga berlari cukup cepat dalam perjalanan menuju sekolah.
“Wah… gedung sekolah udah kosong dari jam lima. Memangnya ada apa, Mas?” tanya satpam itu.
Dema tersenyum dan menggeleng pelan, seolah berkata kalau nggak ada apa-apa yang terjadi. Satpam itu lalu berjalan pergi meninggalkan gedung sekolah yang terlihat gelap karena sekarang sudah magrib.
Dema berbalik badan, melihat wajah dua sepupunya yang pucat.
“Kemana dia biasa pergi?” tanya Dema yang keletihan hingga asap tipis terlihat keluar dari mulutnya.
Entah kenapa… tiba-tiba mereka jadi seperti mencari sesuatu yang sangat penting dan berharga. Kecemasan terlihat jelas dari wajah mereka.
“Dia nggak bilang apa-apa sama kita.” Sambung Vian.
Dema berkacak pinggang dan mendengus, “Kemana sih dia?” hentaknya.
Mereka bertiga terdiam untuk berfikir mencari jalan keluar.
“Kita berpencar aja.” Ide Radit.
Vian menoleh, “Setuju.”
♥♥♥
Sekarang pukul tujuh tepat. Mia kembali ke toko kuenya sudah satu jam yang lalu. Bu Yuri masuk ke dalam toko setelah rehat sebentar untuk pulang ke rumahnya yang berada tak jauh dari situ. Sesampainya Bu Yuri, dia melihat Mia sedang berdiri di belakang meja kasir. Dia terlihat sedang membungkus kue yang dibeli oleh salah seorang pengunjung.
Melihat Mia, Bu Yuri tersenyum kecil dan menghampirinya.
“Gimana Mia? Sudah diantar?” tanya Bu Yuri.
“Sudah, Bu. Apa masih ada lagi yang harus diantar?” Mia bertanya lesu. Seolah dia nggak mengharapkan ada pesanan lain yang harus diantar.
“Nggak.” Jawab Bu Yuri.
Mia mengangguk, dengan wajah kusam dan mata sayu. Sepertinya Mia juga mengkhawatirkan tiga kucing yang sekarang ada di rumah. Apa mereka udah makan? Apa meraka butuh baju bersih? Apa mereka nggak mengacaukan isi rumah? Semua itu terus memenuhi isi pikiran Mia. Terlebih dia sama sekali nggak menyebutkan tentang pekerjaan ini supaya mereka nggak khawatir.
Jauh dalam hatinya, Mia sangat menyayangi ketiga orang yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupannya itu. Sudah dua tahun ini dia hidup sendirian di rumah itu. Sejak dulu, dia selalu bergantung pada kakak Rian dan kedua orang tuanya. Dia selalu merasa ‘tak berguna’, selalu lemah dan tak berdaya.
Tapi, setelah kedatangan ketiga kucing itu, dia merasa dirinya lebih berarti, lebih bermanfaat sebagai manusia. Kini dia punya tanggung jawab atas tiga orang itu. Dia ingin bisa melakukan apa saja demi kebahagiaan mereka. Meski mereka juga sering bikin onar, tapi… dia kini nggak sendirian.
“Kenapa? Kamu mau pulang?” tanya Bu Yuri ketika melihat ekspresi itu.
Mia tertunduk. Dia benar-benar mencemaskan tiga orang itu.
“Sebenernya… saya harus pulang sekarang.” Bisiknya takut.
Tiba-tiba Bu Yuri mengangkat tangan Mia dan memasukkan sesuatu ke dalam kepalan tangannya. Mia sadar apa yang terjadi tapi dia merasa aneh. Masa’ dia sudah mendapatkan uang di hari pertamanya kerja.
“Ini. Ini uang untuk hari ini.” Bisik Bu Yuri lembut.
“Tapi kan Bu, ini hari pertama saya kerja.” Ucap Mia.
“Simpan ini. Dulu ibu kamu sempat jadi sahabat baik saya. Anggap ini hadiah. Sekarang, kamu harus pulang. Ganti baju kamu ya?” Bu Yuri menyentuh kepala Mia dengan penuh kasih sayang.
“Makasih, Bu.” Mia tersenyum.
♥♥♥
Mia telah berganti baju. Dia baru keluar dari kamar mandi saat Reta tiba-tiba saja bergerak mendekatinya sambil membawa dus kue.
“Mia.” Panggil Reta.
“Ya?” Mia menoleh.
“Seseorang nyuruh aku ngasih ini ke kamu. Maaf aku tadi lupa ngasih tau soalnya aku tadi bantuin bikin kue ulang tahun di dapur. Sori ya?” Reta meminta maaf sambil menyerahkan dus kue itu.
Mia menerimanya dengan wajah polos, “Nggak apa-apa kok. Oia, ini dari siapa?” tanya Mia penasaran. Seumur hidup, mungkin ini pertama kalinya dia mendapat hadiah seperti itu.
“Nggak tahu. Cowok yang ngasih. Dia pake kacamata, orangnya ganteng tapi tatapannya serem gitu. Mungkin dia seumuran sama kita.” Reta menguraikan ciri-ciri orang misterius itu.
Trus, gak tahu kenapa, orang yang muncul di dalam pikiran Mia adalah Radit. Deksripsi fisiknya emang mirip. Saat menduga kalau orang itu adalah Radit, tiba-tiba Mia jadi sumringah. Dadanya jadi dipenuhi rasa bahagia. Dia nggak menyangka kalau Radit akan melakukan hal semanis itu padanya.
“Makasih ya.” Mia tersenyum lebar. Reta mengangguk.
“Aku harus pulang dulu. Dadaahh… selamat berjuang ya?” Mia berjalan membawa kue itu dengan sejuta rasa bahagia meninggalkan toko.
♥♥♥
Mia membuka pintu rumah. Selain dus kue itu, dia juga membawa kantung belanjaan. Isinya adalah ayam bakar, makanan favoritnya Dema. Dia merasa bahagia saat itu. Terutama karena dia bisa membelikan makanan seenak itu setelah beberapa hari belakangan mereka makan masakan nggak enak buatannya.
“Semuanya, aku pulang!” teriak Mia.
Dia segera melepas sepatunya dan meletakkan barang belanjaannya ke atas meja. Dia kemudian masuk ke dalam kamar, melepas baju sekolahnya dan menggantinya dengan kaus biasa. Saat keluar dari kamar dan menjepit rambutnya ke atas, dia cukup merasa aneh. Rumah terlihat sepi dan tak bernyawa saat itu.
“Dema, hari ini gue bawa makanan enak! Radit! Vian!” teriak Mia dari bawah tangga. Tapi masih belum ada tanda-tanda mereka.
Mia lalu mendaki tangga menuju ke atas, dia melihat kamar yang kosong. Dia lalu memeriksa ke seluruh ruangan yang lainnya, mereka bertiga masih belum ditemukan juga.
Mia bete! Dia berfikir pasti ketiga cowok itu sekarang lagi keluyuran dan makan di luar. Itu adalah hal yang paling dibencinya.
“Mereka pada kemana sih?” Mia mendumel sambil melipat tangannya.
♥♥♥
Setengah jam kemudian, terdengar suara pintu terbuka. Mia yang sedang berada di dalam kamarnya yakin kalau itu adalah tiga kucing itu. Ada suara yang datang, dan itu mirip suara Vian.
Mia keluar dari kamar dan berdiri di tengah rumah.
“Heh!” Mia berkacak pinggang.
Tiga laki-laki dengan wajah keletihan itu menatap lemas.
“Kalian abis darimana?” tanya Mia, “Ayo jawab!” galaknya.
Ketiga cowok itu melihat Mia dengan wajah bingung. Mereka bertiga kelihatan berantakan dan kepusingan. Sempat terlihat keterkejutan dan kekakuan beberapa saat ketika mereka melihat Mia.
Tiba-tiba Vian berlari dan memeluk Mia, “Mia?”
Mia mengerutkan alisnya. Vian masih memeluknya. Mia melemaskan tubuhnya dan pasrah saat dirinya dipeluk. Dia melihat Radit dan Dema yang juga kelihatan kotor dan capek. Itu membuat Mia semakin nggak ngerti.
“Ya ampuuunn….” keluhnya, “Kalian kenapa sih?”
♥♥♥
“Jadi kalian nyariin gue?” tanya Mia sambil melahap ayam bakarnya.
“Iya.” Jawab Vian.
“Untuk apa nyariin gue? Emangnya gue anak kecil?” tantang Mia.
“Dasar cewek nggak tau diri! Dipeduliin orang malah begitu!” ketus Vian.
Mia merenyun.
“Udah, mulai besok elo nggak usah kerja.” Kata Dema.
Mia melirik Dema. Cowok itu kelihatan nggak serius soal perkataannya tadi. Dema nggak memandang Mia, dia malah asyik memakan ayam bakarnya.
Mia tertunduk. Sepertinya akan ada hal sedih yang diutarakannya.
“Tapi aku bekerja begini kan untuk kalian. Aku bekerja seperti ini supaya kalian bisa makan makanan enak. Aku begini cuma buat kalian bertiga yang datang entah darimana dan seenaknya tinggal disini. Aku nggak punya uang buat bisa membuat kalian nyaman. Disamping itu… keluargaku juga punya hutang yang harus dilunasi. Aku harus kerja biar bisa menyelesaikan semuanya.” Bisik Mia.
Ketiga cowok itu terlarut dalam kesedihan. Saat mendengar dan melihat Mia mengucapkan hal itu, mereka seolah merasakan semua yang pernah dialami gadis itu. Mereka juga sadar kalau ternyata mereka ingin ikut terlibat.
Dalam kehidupan Mia…
♥♥♥
“Mia.” Panggil Vian.
Mia yang sedang mengupas apel menoleh, “apa?”
“Ini kue punya siapa?” Vian menyinggung soal kue di dalam kulkas.
Sontak tubuh Mia menjadi kaku. Itu kan… kue dari Radit.
“Ooh… ya-yang itu? Makan aja.” Mia mempersilahkan.
Vian mengeluarkan kue itu dan membawanya ke atas meja.
Tiba-tiba Radit turun dari atas tangga. Mia yang melihatnya langsung tertunduk salah tingkah saat degupan jantungnya serasa mencepat. Dia merasa malu pada Radit. Dia merasa kalau Radit mungkin aja mulai jatuh cinta sama dia.
Radit semakin mendekat. Mia membuang wajah dan mengatur napasnya seperti orang yang sedang melahirkan. Radit yang mulai menyadari keanehan itu lalu duduk di samping Mia, dia ingin ikut menikmati kue itu.
“Kenapa?” tanya Radit.
Mia menoleh gagap, “a-apa? Nggak ada apa-apa.”
Radit menatap Mia datar dan cukup dalam. Dengan susah payah Mia berusaha menelan ludahnya dan membuang wajahnya. Dalam hati, Radit lagi bertanya-tanya tentang hal apa yang membuat cewek aneh itu jadi semakin aneh.
“Dit, cobain nih.” Vian menyodorkan sepotong kecil kue itu pada Radit.
Radit mengambil dan menggigitnya. Sesaat kemudian, dia mulai nggak terlalu fokus pada Mia sehingga cewek itu bisa bernapas normal kembali.
Akhirnya malam itu pun menjadi pesta yang cukup meriah bagi keempatnya. Banyak tawa yang terjadi malam itu. Tapi tetap aja Mia masih suka deg-degan nggak jelas kalau bertatapan dengan Radit.
Dalam pikirannya yang sempit itu, Mia berhipotesis kalau Radit cuma pura-pura nggak tahu. Sejenak Mia sempat berfikir kalau Radit kelihatan cuek banget dan mustahil memberikannya kue setelah melihat ke sejarah perkelahian mereka yang cukup panjang. Tapi dengan deskripsi fisik yang disebutkan Reta tadi, satu-satunya yang paling masuk akal bagi Mia adalah… Radit.
♥♥♥
Malam harinya, jam setengah sebelas.
Mia masih menyapu lantai untuk membereskan bekas makan. Dia sudah merasa ngantuk malam itu, makanya gerakan menyapunya malas-malasan dan dia terus-terusan menguap dengan ganas.
Tiba-tiba, ada seseorang yang masuk ke dapur. Auranya beda banget dan bisa dikenali Mia dengan yakin. Itu pasti Radit. Kalau malam-malam begini, dia suka tiba-tiba bangun trus minum air putih. Itu udah kebiasannya.
Mia yang sedang memegang sapu akhirnya mematung. Dia sedang mencoba untuk berbicara. Sebenarnya dia ingin mengucapkan terima kasih atas kue yang diberikan Radit tadi.
Hap.
Mia membalikkan badan. Berhadapan satu lawan satu dengan Radit yang menatapnya datar dan sedikit kaget.
“Radit.” Panggil Mia.
Radit menoleh, terdiam menunggu kalimat selanjutnya.
“Makasih buat kuenya.” Mia mengucapkan itu dengan malu-malu.
Radit masih terdiam.
“Gue nggak tahu kenapa lo tiba-tiba ngasih kue itu. Ternyata lo orangnya baik juga ya? Pake nggak ngasih tahu nama segala. Emang maksudnya apa sih?” tanyanya penasaran dengan wajah tak berdosa.
Radit masih diam. Tatapannya nggak berubah sama sekali.
“Bukan gue yang beli kue itu.” Ucapnya.
Mia melongo, “hah?”
“Emang kenapa lo bisa berfikir gue mau beliin kue buat elo?” tantang Radit.
Mia menganga. Sialan banget tuh cowok!
“Apa?!” Mia berteriak.
Radit berbalik badan dan meninggalkan Mia. Cewek itu berdiri dengan syok dengan harga diri yang hilang entah kemana. Cowok itu bener-bener nggak berperasaan. Mia jadi nyesel udah memuji-muji dia dalam hati.
“Sialan lo, Dit! Awas lo!”
6
Kak Dema ?
Pagi ini, tumben-tumbennya ketiga cowok itu bangun bareng dengan Mia. Cewek itu akhirnya menikmati kali pertamanya sarapan bareng sebelum berangkat ke sekolah. Suasana hari itu lumayan berbeda, atmosfir yang ada sedikit lebih akrab dibanding hari-hari sebelumnya.
Ketika itu, Mia menuntun sepeda keranjangnya keluar rumah untuk segera berangkat ke sekolah. Dema juga ikut keluar rumah sambil menghirup dalam-dalam udara pagi yang sejuk dan segar.
Di saat yang tenang, tiba-tiba ada sebuah motor ngebut ke arah Mia yang sedang mengayuh sepeda dengan pelan, di posisi yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Dema yang juga berada di luar rumah melihat kejadian itu. Dia mencemaskan Mia.
“MIA!” teriak Dema.
Mia menoleh bingung, kakinya masih terus mengayuh. Lalu motor itu melesat, bunyinya yang garang mengagetkan Mia dan membuat cewek itu menjatuhkan dirinya untuk terhindar dari tabrakan.
BRUKK
Mia terjatuh cukup keras. Ditambah kondisi jalan yang dipenuhi pasir dan batu-batu kecil, membuat semua badan Mia lecet, kotor dan terasa sakit. Akhirnya dia duduk di jalanan sambil menghilangkan semua kotoran yang menempel di kulitnya.
“Eh, gila! Kalo bawa motor hati-hati dong!” Mia memaki si calon penabrak.
Dema berlari kencang mendekati Mia. Dia bertolak pinggang sebentar saat melihat motor itu sudah menjauh. Dengan menahan rasa marah pada si pengendara motor, Dema mengulurkan tangannya. Dia membantu Mia berdiri kembali.
“Lo nggak apa-apa?” tanya Dema.
“Nggak apa-apa. Cuma berdarah sedikit.” Jawabnya lugu.
Dema lalu membantu mendirikan sepeda Mia. Mia masih sibuk membersihkan kulitnya dari pasir dan kotoran.
“Ayo naik.” Panggil Dema.
Mia menoleh, dia sangat terkejut pas ngeliat Dema udah duduk di jok depan sepedanya dengan wajah tegas.
“Cepet naik. Gue anterin.” Katanya.
“Nggak usah. Gue bisa ke sekolah sendiri kok.” Dia menggeleng dan mencoba untuk meminta Dema membiarkannya berangkat sendiri.
Tapi kayaknya Dema nggak bakalan nyerah semudah itu.
“Gue nggak bakal turun dari sepeda ini. Jadi sekarang cepet naik.” Pintanya dengan tatapan mata yang sangat lembut.
Mia terdiam saat melihat tatapan lembut Dema yang disertai senyum tulus yang tersungging kecil di ujung bibirnya. Dia ingat akan seseorang yang mempunyai dua hal yang sama dengan itu. Dia ingat dengan kak Rian, kakaknya.
Akhirnya, dengan perasaan yang jadi sangat mellow, Mia naik perlahan ke jok belakang sepedanya. Dia duduk menyamping dengan pandangan yang kosong. Dia sedang mengingat masa lalunya, seolah semua itu kini terjadi lagi.
Dia lalu berpegangan dengan tangan kanannya, meremas ujung baju Dema. Sepeda itu mulai bergerak. Gerakannya pun nyaris sama dengan yang selalu kak Rian lakukan. Pelan, tapi terasa menyenangkan.
Mia terdiam dengan perasaan yang sangat dalam. Kepalanya tertunduk, melihat jalanan yang dilewatinya. Perjalanan itu terasa sangat lambat dan menyenangkan, tak pernah ingin dia akhiri.
Dia ingat dengan kak Rian, yang dulu selalu mengantarkannya ke sekolah. Persis seperti apa yang terjadi saat ini. Semuanya hampir sama. Perasaan bahagia yang sempat menghilang itu pun dapat ia rasakan kembali.
Seolah kak Rian telah hidup kembali dalam diri Dema.
Mia tersenyum bahagia.
Lalu tanpa ia sadari, ia mulai menangis.
♥♥♥
Mia akhirnya sampai di sekolah. Begitu turun, airmatanya sudah kering. Dia berdiri di depan Dema dengan sangat sedih. Lain halnya dengan Mia, Dema kelihatan begitu peduli hari itu. Matanya penuh rona dan dia tidak pernah berhenti tersenyum, meski hanya diujung bibirnya.
“Makasih.” Bisik Mia tertunduk.
“Nanti jam satu gue jemput.” Kata Dema.
Mia mengangkat kepalanya dan menatap Dema tak percaya. Baru kali ini dia bisa merasakan perhatian yang begitu dalam dari seorang laki-laki yang biasanya super cuek dan nggak beraturan itu.
Melihat keterkejutan di wajah Mia, Dema tersenyum semakin lebar.
“Sana, masuk. Nanti terlambat.” Ucapnya.
Mia tersenyum, itu termasuk kalimat yang sering diucapkan olah kak Rian.
“Iya.” Mia mengangguk semangat.
Lalu dia berbalik badan, berjalan cepat dengan penuh rasa semangat menuju ke kelasnya. Dema memandang dari jauh, kemudian dia tertunduk sambil tertawa pelan. Dia sedang menikmati perasaan aneh dalam hatinya setelah bisa menjadi ‘sesuatu’ bagi Mia. Entah mengapa, dia suka melakukan itu.
Setelah itu dia kembali memutar arah sepedanya dan bergegas pulang.
♥♥♥
Dema menghentikan sepedanya saat dia melihat seseorang sedang buru-buru keluar dari sebuah rumah. Wanita itu mengunci pintu rumahnya dengan sangat panik. Dema terdiam mengamati dari seberang jalan.
Saat wanita itu menoleh, Dema tersenyum. Dia membawa sepedanya dengan cepat menuju ke Sista, guru seni yang sempat ditemuinya di bazar.
Sista terkejut saat sepeda itu berdecit sangat dekat di depannya. Dia semakin syok saat melihat Dema-lah yang mengendarainya. Cowok berwajah ganteng itu tersenyum dengan tulus sambil menunjukkan deretan gigi putihnya.
Wajah Sista yang kaget itu seperti sedang melihat hantu. Mulutnya terbuka dengan telunjuk mengarah ke wajah Dema dengan gemetaran.
“Kamu kan…?” gumamnya.
“Hai, bu guru.” Goda Dema dengan wajah teramat keren.
Meski begitu, wajah Sista masih syok.
“Kenapa kamu kesini?” tanyanya ketakutan.
“Kenapa? Telat ya?” sindir Dema.
Guru itu menunduk, “Iya.” Bisiknya pelan.
“Ayo aku antar.” Dema memutar sepedanya, kembali ke arah sekolah.
“Aku nggak perlu dianter.” Tolaknya.
Dema menoleh. Guru berambut panjang yang cantik itu kelihatan membuang wajahnya sambil sesekali melirik. Dema udah berpengalaman soal yang namanya wanita. Tipe seperti Sista udah pernah dia kenal sebelumnya. Guru itu sebenarnya hanya tak ingin dilihat lemah oleh laki-laki. Dema harus mencari cara cerdas untuk bisa meruntuhkan keegoisan guru itu.
“Sekolahnya udah bel. Guru macam apa yang terlambat datang ke sekolah?” ledek Dema. Sista melirik dan berfikir atas kalimat Dema tadi.
Dia kemudian berjalan dengan wajah bingung. Dia lalu duduk menyamping di jok belakang lalu merangkul perut dema. Sista memalingkan wajahnya yang memerah akibat menahan rasa gugupnya.
“Pegangan yang kuat.” Suruh Dema.
Sista memeluk Dema lebih erat.
Dan mereka pun pergi.
♥♥♥
Di rumah, Radit dan Vian sedang bahu membahu mencuci piring bekas sarapan. Radit yang mencucinya sementara Vian yang mengelapnya sebelum ditaruh di rak piring.
Mereka cukup kalem dan tenang saat melakukan itu, tak banyak yang bersuara. Radit terlihat serius, karena dia memang selalu serius melakukan apapun. Sementara Vian merasa bosan. Dalam benaknya, Vian sedang memikirkan Radit. Ada perubahan yang dirasakannya selama Radit tinggal disini.
Meski ini cuma firasat dan perasaannya, Vian merasa dugaannya kali ini kuat. Meski nggak tereskpos secara blak-blakan, Vian merasa selama ini aura Radit berubah. Yang pasti hal ini yang untuk pertama kalinya. Dan saat dimana aura itu kian terasa, ketika ada Mia di rumah.
“Mia.” Vian berbicara tiba-tiba.
Radit mendengar, tapi tak menoleh, “Kenapa?” sahutnya cuek.
“Lo jatuh cinta sama dia ya?” tanya Vian.
Radit berhenti bergerak, dia menoleh dengan galak.
“Enggak.” Ketusnya.
Vian mengangguk, “Bagus kalo gitu.”
Karena nggak mengerti, sambil mencuci piring, Radit terus melirik.
“Apanya yang bagus?” Radit bergumam bingung.
Vian menoleh. Wajahnya biasa saja. Tapi kalimat selanjutnya mungkin akan terdengar sangat luar biasa.
“Soalnya gue suka sama dia.”
♥♥♥
Dema mengantarkan Sista ke sekolah. Guru itu turun dari boncengan dengan wajah bersemu. Dia baru saja mengalami menit-menit penuh ketegangan saat harus duduk dan merangkul Dema.
“Makasih.” Ujar Sista.
“Sama-sama.” Balas Dema.
Guru itu masih belum mau beranjak. Dema tahu kalau dia sebenarnya masih ingin bicara lebih jauh, hanya saja dia malu mengutarakannya.
“Cepet sana masuk, murid-murid udah nunggu di dalem.” Ucap Dema.
Sista mengangkat wajahnya dan tersenyum tulus. Dia lalu melambai seolah berkata ‘dadah’ kemudian berbalik badan dan berlari-lari kecil menuju ke kelas yang harus diajarnya.
♥♥♥
“Selamat pagi.” Bu Sista berjalan di depan kelas.
Mia dan semua teman sekelasnya sudah berkumpul di ruang seni. Semua duduk di bangku yang melingkar dan masing-masing membawa sebuah naskah.
Bu Sista tersenyum malu pada semua muridnya. Dia tahu dia terlambat sepuluh menit. Semua muridnya menatap dengan kesal, hanya Mia yang terlihat cengengesan.
“Maaf ibu terlambat,” Bu Sista menarik napas dalam, “jadi hari ini kita akan kembali berlatih drama. Kalian ingat kan kalau pementasannya tinggal beberapa hari lagi? Mungkin kita akan mengadakan latihan sepulang sekolah selama tiga hari untuk mematangkan akting kalian.” Jelasnya.
Dona mengangkat tangannya.
“Iya. Ada apa?” tanya Sista.
Dona memainkan pensilnya, tepat disampingnya ada Rafi. Mia yang sedang tadinya melihat Dona malah jadi memerhatikan Rafi.
“Lala sakit, Bu. Kemarin dia masuk rumah sakit. Dia kena demam berdarah.” Ucapnya, “harus ada yang gantiin dia.”
Bu Sista terkejut dengan hal itu.
Mia tak mendengarkan, dia sibuk memandangi Rafi.
“Mm… bagaimana ya? Lala kan jadi tokoh utamanya. Siapa ya yang cocok ngegantiin?” Bu Sista bergumam dan berfikir. Dia harus mencari pengganti Lala. Pementasan drama akan dilangsungkan tiga hari lagi.
Lalu dia melihat Mia. Anak muridnya itu sedang menopang dagu dan termangu dengan wajah bloon ke arah Rafi.
“Mia.” Panggilnya.
Tubuh Mia bergetar karena kaget. Dia langsung melihat Bu Sista dengan mata membelalak, “i-iya, bu.”
Bu Sista terdiam sebentar, ada yang dia pikirkan, “Mia.” Gumamnya, “kau yang akan menjadi cinderella menggantikan Lala.”
♥♥♥
Mia berdiri berhadapan dengan Rafi. Ini saatnya dia harus menghafalkan dialognya sebagai cinderella yang baru. Sebelumnya Mia berperan jadi labu, yang nantinya disihir jadi kereta kencana. Ini benar-benar merupakan suatu perubahan drastis. Dia akan menjadi cinderella dan pangerannya adalah Rafi, sementara Dona akan menjadi kakak tirinya.
“Aku harus pergi, pangeran.” Mia berbisik dengan mata tak berkedip melihat Rafi. Jantungnya berdetak sangat cepat ketika dia bisa melihat dengan detil seluruh bagian wajah Rafi.
Kemudian Mia berbalik cepat dan melangkah satu kali.
“Tunggu.” Rafi menarik lengan kiri Mia.
Mia terdiam dengan wajah cengengesan.
Akhirnya dia membalikkan badannya lagi, menunggu Rafi mengucapkan dialognya. Tapi sebelum mengatakan itu, Rafi cukup lama menatapnya dalam. Membuat pikiran Mia jadi kosong, terbang kemana-mana.
“Sebelum pergi, beritahu aku namamu.” Bisik Rafi.
Mia melamun terlalu jauh. Matanya menatap mata Rafi tak berkedip. Kayaknya dia lupa kalau ini adalah gilirannya. Sementara Mia terus menatap Rafi dengan mulut terbuka dan tampang terpesona, Dona mulai meremas pensil yang dipegangnya. Bu Sista juga jadi keheranan.
“Mia.” Panggil Bu Sista.
Mia tak mendengar. Dia sedang mengkhayal.
Rafi yang ikut melihat kejanggalan itu mengeritingkan alis. Terutama saat melihat Mia tiba-tiba tersenyum dengan sangat anehnya.
“Mia?” Rafi bertanya.
Mia masih tak menjawab.
“Mia?” Rafi mengeraskan suaranya.
Mia tersentak kaget. Matanya berkedip dan dia kebingungan.
“A-apa?” tanyanya.
Tawa semua murid meledak. Mereka menertawai kebegoan Mia yang kronis itu. Bu Sista menggeleng kecewa sementara Dona tersenyum sinis.
Mia melihat sekeliling. Dia sadar dia telah berbuat satu kebodohan lagi.
Kemudian dia menoleh ke Rafi dengan takut. Jangan-jangan Rafi marah karena dia telah mengacaukan segalanya.
Tapi…
“Ah?” Mia tak percaya Rafi tertawa.
Rafi tertawa! Benar-benar tertawa. Tawa yang benar-benar tulus.
Mia terpaku melihat itu.
Rafi menaruh tangannya ke atas kepala Mia dan mengusapnya, “bodoh.”
Mia melihat Rafi lagi. Dia sudah berhenti tertawa.
“Apa sih yang lo pikirin?” tanyanya.
Mia terdiam. Masih terpesona dengan tawa itu.
♥♥♥
“Saya kira saya nggak bisa, Bu.” Ucapnya.
Bu Sista tak mau mendengar, “cuma kamu yang pantas menggantikan Lala. Ibu lihat ada sisi di diri kamu yang mirip dengan sifat asli cinderella.”
Mia terdiam. Sejujurnya dia memang senang bisa mendapat peran itu dan beradegan mesra dengan Rafi. Tapi dia hanya takut tak bisa menanggung tanggung jawab sebesar itu. Dia takut dia akan mengacaukan segalanya.
Kini Mia tinggal berdua dengan Bu Sista di ruang seni. Dia mencoba mundur baik-baik dari peran itu.
“Tapi Bu, daya ingat saya lemah. Saya takut lupa dialognya.” Ucapnya pelan.
Bu Sista menoleh dengan wajah capek, “Mia… saya nggak nyuruh kamu menghapal dialognya. Kamu berhak berimprovisasi seandainya kamu lupa. Ibu sangat yakin kamu bisa memerankan tokoh itu, Mia. Kamu harus lebih percaya diri.”
Mia terdiam. Tapi tetap saja dia tidak bisa merasa tenang. Dia tak tahu apa yang akan terjadi bila dia mengacaukan segalanya.
♥♥♥
Mia sedang berdiri dan mencari-cari Dema. Dia sudah menunggu di trotoar depan sekolah selama 5 menit dan Dema belum juga datang. Dia agak khawatir dengan orang itu. Secara, selama ini Dema tuh bener-bener nggak pernah bisa memegang janjinya dan bersifat semaunya. Dia jadi takut nggak akan dijemput. Itu akan memaksanya jalan kaki menuju ke rumah dan itu akan sangat menyita waktu dan membuatnya terlambat datang ke tempat kerjanya.
“MIA!!” teriak seseorang.
Mia menoleh ke kiri, Dema sedang mengebut dengan sepda ke arahnya bahkan sampai dia tak menempelkan pantatnya ke jok. Mia melambai dengan senyum terkembang dari jauh. Sekilas dia melihat kakaknya yang berada di atas sepeda itu, sedang terburu-buru untuk menjemputnya.
“Makasih udah mau jemput.” ucap Mia.
Dema mengangguk dengan mulut terbuka untuk bernapas cepat. Mia terdiam karena tiba-tiba Dema tersenyum penuh arti pada Mia. Cewek itu merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan Dema.
“Ada apa? Kenapa cengengesan?” tanya Mia curiga.
Awalnya Dema masih terdiam, seolah ingin membiarkan Mia dihantui rasa penasaran. Tapi akhirnya, dia nggak bisa menahan keinginannya untuk menyampaikan kabar bahagia itu pada Mia.
“Kita bertiga udah dapet kerja.” Kata Dema
“Oh ya! Waaah!!” Mia melompat girang sambil bertepuk tangan. Ada raut kebahagiaan yang sangat terpancar di wajahnya. Dia terus tersenyum lebar, Dema jadi sangat puas bisa memberikan kejutan itu.
“Dimana?” tanya Mia penasaran.
Dema mengeluarkan sesuatu. Selembar brosur lowongan kerja. Mia terbelalak. Dia merampas kertas itu dari tangan Dema dan membacanya. Dia sangat terkejut dengan kalimat di brosur itu.
“Haah?!” Mia teriak.
Dema menatap cewek itu aneh, “Kenapa kaget begitu?”
“Gue kan juga kerja di tempat ini.” Mia menunjuk logo toko kue starlet yang terpampang di brosur itu.
“Oh ya?” Dema bertanya balik.
“Iya.” Mia meyakinkan, “Kalian dapet giliran kerja jam berapa?”
“Jam tiga siang sampai jam tujuh. Tiap Selasa sampai Jumat.” Jawabnya.
Mia semakin terkejut, “Waah… kalo gitu sama dong.” Ucapnya.
Mia terbengong cukup lama karena nggak menduga hal ini.
“Ayo cepet naik. Kita harus buru-buru pulang trus kerja.” Dema menepuk jok sepeda di belakangnya. Mia langsung duduk di belakang dan berpegangan. Dengan penuh semangat, Dema terus mengayuh sambil mencondongkan badannya ke depan. Mia memeluk Dema dengan kedua tangannya saat sepeda itu meluncur kencang.
♥♥♥
Di perjalanan, Mia teringat dengan kedua orang yang masih ada di rumah. Mereka berdua kayaknya belum makan. Dia pun merasakan betapa datarnya perut Dema yang sedang dipeluknya. Sepertinya dia juga belum makan. Dibanding rasa lapar di tubuh kurusnya, Mia lebih memikirkan tentang tiga orang itu.
“Kak, apa kita beli makan dulu untuk makan siang?” tanyanya pada Dema.
Dema yang sedang mengayuh itu mengingat kembali ucapan Mia barusan, “Ah? Lo bilang apa?” tanyanya.
“Kalian bertiga udah makan blom? Kita beli makanan dulu ya? Aku bawa uang nih.” Ucap Mia, dengan kepolosannya.
“Barusan… lo manggil gue Kakak ya?” tanya Dema.
Mia terdiam dan berfikir. Dia sama sekali nggak merasa mengatakan itu. Mungkin karena terbawa situasi yang begitu mirip dengan masa lalu bersama kak Rian, sehingga kalimat itu spontan terucap tanpa sengaja.
“Ah? Apa gue manggil begitu?” Mia bertanya ragu.
Dema berdehem, mengiyakan pertanyaan tadi.
“Hehehe… kalo gitu maaf ya.” Mia tertawa malu.
“Mulai sekarang…” Dema berbisik, “Panggil gue Kak Dema.”
♥♥♥
Kini, mereka sudah berada di Starlet Bakery and Cafe. Dengan memakai seragam mereka, mereka sedang berbaris di depan Bu Yuri yang akan memberikan mereka briefing tentang hari pertama mereka bekerja.
“Kalian mengerti tugas kalian kan?” tanya Bu Yuri.
“Mengerti.” Jawab mereka serempak, kecuali Radit.
“Disini tersedia motor untuk kalian saat mengantar pesanan. Uang bensin akan djatahkan jadi jangan takut.” Ujar Bu Yuri.
“Iya. Kami mengerti Ibu Yuri.” Sahut Mia seorang diri dengan suara keras.
Hal itu sampai membuat Dema dan Vian menoleh ke arah Mia karena bingung, sedangkan Radit cuma bergumam ‘norak’ dengan wajah datarnya.
Hari ini Mia terlihat begitu bahagia karena bisa bersama-sama terus dengan tiga orang itu. Dia begitu cerah dan berseri-seri seperti matahari di musim semi.
“Untuk pekerjaan awal… Ibu minta kalian sebarkan brosur ini pada orang yang lewat di depan toko kita. Kalau sudah tersebar habis, kalian mulai kerja di dalam. Bisa kan?” tanyanya.
“Iya.” Dema yang bertubuh tinggi itu menyahut.
“Mia.” Panggil Bu Yuri.
“Ya, bu.” Mia melirik Bu Yuri yang berdiri agak jauh darinya.
“Kamu temani mereka ya?” pinta Bu Yuri.
“Hm.” Mia mengangguk yakin.
♥♥♥
Baru lima menit mereka berempat bekerja. Mia yang serius membagikan brosur kepada para pejalan kaki yang lewat mendengarkan bisik-bisik murid SMU yang lewat di dekatnya. Mereka berbisik sambil menunjuk-nunjuk. Membuat Mia penasaran akan apa yang sedang mereka bicarakan.
“Sebelah kiri.” Bisik murid SMA yang berambut panjang pada temannya. Mereka berdua melihat ke arah toko, “Ke sana yuk? Liat deh, pelayannya cakep-cakep.” Bisik mereka lagi.
Mia melirik ke belakang, ketiga cowok itu lagi dikerubungi cewek-cewek yang mau minta brosur. Semua cewek-cewek itu langsung masuk ke toko setelah menerima brosur. Lain halnya sama Mia, dari tadi orang yang mau menerima brosurnya hanyalah ibu-ibu atau bapak-bapak. Udah gitu, semua yang dikasih brosur sama dia malah melengos pergi dan membuang brosurnya ke jalan.
“Huh. Dasar cowok.” Dia mendumel dalam hati.
Mia melihat lagi cowok-cowok itu. Ada sedikit rasa kesal di hatinya. Terutama karena mereka semua kelihatan sangat menikmati keadaan itu. Vian terlihat paling banyak menyedot perhatian karena sikapnya yang rame dan dia nggak sungkan untuk memberi tahu nama ataupun dicubit pipinya. Dema juga sama sok-nya sama Vian. Dia ikut-ikutan tebar pesona ke semua cewek. Hanya Radit yang paling tahu diri, dia cuma tersenyum biasa sambil membagikan brosur tanpa berniat mencari popularitas.
Saat melihat Radit, Mia jadi nggak bisa mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. Dia terpaku dengan memeluk tumpukan brosur yang belum dibagikannya. Melihat wajah Radit yang begitu senang ketika banyak orang masuk ke dalam toko membuat Mia kaku.
Tapi saat melihat banyak cewek yang mendesak-desak Radit dengan berjuta pertanyaan, wajah Mia jadi kusut. Dia kesel sekaligus cemburu. Apalagi saat Radit cuma menjawab pertanyaan itu dengan tersenyum manis. Membuat Mia jadi menggerutu dalam hati dan menyipitkan matanya.
Deg.
Tiba-tiba Radit mengangkat wajahnya dan melihat Mia. Cewek yang suka berantem sama cowok itu langsung berbalik badan dan menghampiri orang-orang yang berjalan agak jauh, nggak lain dan nggak bukan, Mia akan membagikan brosur itu pada ibu-ibu dan bapak-bapak. Dia cuma takut seandainya Radit menyadari kalau ada yang aneh dengan tatapannya tadi.
Mia terus menjauhkan dirinya dari Radit. Membagikan brosur itu dengan panik agar bisa melupakan perasaan yang masih terasa mengganjal di hatinya. Semoga aja Radit nggak sadar atas yang tadi terjadi.
Di saat yang sama, Radit jadi tak peduli lagi pada siapa brosur itu dia bagikan. Dia terus berusaha melihat Mia diantara orang-orang yang terus berlalu lalang di depan wajahnya. Nggak tahu kenapa, dia jadi takut cewek itu melakukan hal-hal bodoh dan ceroboh seperti kesalahan yang selalu dia lakukan.
♥♥♥
Sore harinya, mereka berempat kebagian tugas di dalam kafe. Karena banyaknya pengunjung baru yang berdatangan, hari itu kafe jadi sangat ramai. Beberapa pengunjung yang nggak kebagian meja akhirnya menyerah dengan membeli paket take away.
“Mia?” Panggil seseorang ragu.
Mia membalikkan badan ke asal suara yang memanggilnya. Dia melihat Nata duduk di meja nomor enam sedang tersenyum dan melambai ke arahnya.
“Nata?” Mia tersenyum. Dia pun menghampiri Nata.
“Hai, Nat.” sapa Mia dengan manis.
Nata menatap Mia dengan tak percaya, “Mia, kamu kerja sambilan disini?”
“Iya.” Jawab Mia, “ini yang aku maksud tokonya bu Yuri.”
Tiba-tiba Vian datang membawakan sepiring kecil brownies kukus dan secangkir latte yang dipesan Nata.
“Ini pesanannya. Selamat menikmati ya.” Vian menyapa dengan sangat manis. Setelah itu, Vian beranjak pergi, kembali ke dapur.
Tiba-tiba wajah Nata memucat. Dia kaku seperti patung.
Mia yang melihatnya langsung syok, “Kamu kenapa, Nat?” gumam Mia mistis saat melihat wajah Nata yang pucat. Kemudian wajahnya jadi tak terlihat karena dia menundukkan kepalanya.
“Aku nggak kenapa-napa.” Nata mengambil cangkir dan meminum lattenya.
Mia masih merasakan ada kejanggalan pada sahabatnya itu.
“Tolong tinggalkan aku.” Bisiknya.
Akhirnya, dengan sedikit keengganan, Mia meninggalkan Nata.
♥♥♥
Mia sedang menata kue yang baru dibuat ke dalam etalase. Kemudian dia berdiri dan melihat hasil tatanannya yang lumayan rapi.
“Ssst, Mia.” Panggil seseorang.
Mia menoleh, dia melihat Vian memanggilnya dari balik pintu ruang katering yang masih belum dipakai. Ruang katering itu rencananya baru dipakai minggu depan setelah mesin-mesin besar yang dipesan sampai.
Melihat ajakan Vian, Mia akhirnya masuk ke dalam ruang katering itu. Begitu Mia datang, Vian langsung menutup pintu dan menarik tangan Mia. Cewek yang nggak tahu apa-apa itu bergerak pelan saat ditarik.
“Lo mau ngapain sih?” tanya Mia dengan sedikit jengkel.
Vian berhenti berjalan dan berbalik, mereka berdiri berhadapan di dalam ruangan kosong yang tak bercahaya itu.
“Kita makan kue ini yuk?” Vian menunjukkan sekotak kecil kue hijau dengan potongan kiwi diatasnya.
“Lo nyuri ya?” tebak Mia panik.
“Enggak. Tadi gue nemuin uang sepuluh ribu di kantongnya Dema trus gue beliin ini.” Bisiknya.
“Itu sama aja nyuri tau!” ketus Mia.
Vian cuma tersenyum kuda. Mia akhirnya melihat ke arah kue itu.
“Itu kankue kiwi yang baru launching di sini.” Balas Mia.
“Kita makan berdua ya?” ajak Vian sambil membuka plastik transparan yang menutupi kue itu.
“Iya. Gue juga penasaran mau nyobain yang ini.” Akhirnya Mia terayu bujukan maut yang dilakukan Vian. Dia udah nggak sabar mau nyobain kue yang baru dua hari jadi menu di kafe. Sambil menunggu Vian membuka tutupnya, Mia tak berhenti menjilati bibirnya karena tergiur.
Akhirnya mereka membelah kue itu dan memakannya bersama.
“Enakkan?” tanya Vian.
Mia mengangguk.
BRAK
Pintu dibuka.
Radit berdiri di ambang pintu.
Mia menoleh, melihat Radit. Kelihatannya Radit terkejut menemukan duaorang itu di dalamsana.
“Radit?” Mia kaget dan memasang wajah lugu, “Lo mau nyobain kue?” tanya Mia sambil menunjuk kue di tangan Vian.
Radit diam. Dia kelihatan kesal.
“Jangan makan gaji buta. Pelanggan kita lagi banyak.” Ketusnya.
Radit lalu membanting dan menutup pintu kembali.
Mia jadi nggak nafsu makan. Ucapan Radit tadi ada betulnya juga.
“Aduh… Radit bener.” Mia menyesal.
“Tapi kuenyakanbelom abis.” Ujar Vian sambil terus mencolek kue itu dan memakannya.
“Gue mau ke depan ya? Kasian yang lain pada sibuk. Toko kitakanlagi promosi.” Ucap Mia.
Mia lalu keluar dari ruang katering. Dia mengelap mulutnya dan berdiri di samping Radit yang sedang memasukkan kue ke dalam boks-boks yang nanti akan diantarkan ke rumah pemesan.
Radit masih dingin. Itu membuat Mia jadi nggak enak. Jangan-jangan Radit marah sama dia gara-gara kelalaiannya dalam bekerja. Mia pun melirik Radit sedikit demi sedikit. Cowok itu kelihatan serius dan cekatan mengemas pesanan-pesanan itu tanpa mempedulikan dirinya.
“Mau dibantuin nggak?” tanya Mia dengan tersenyum manis.
Radit masih tak bereaksi.
“Maaf deh soal yang tadi. Gue emang salah udah ngelalaikan tugas. Sekarang gue mau bantu lo. Bolehkan?” tanya Mia dengan menyesal.
Radit menoleh cepat.
Lalu dia menatap Mia dalam. Radit menatap Mia sambil terus menumpuk kotak-kotak pesanan hingga akhirnya dia berbalik badan dan pergi meninggalkan Mia dengan membawa tiga tumpuk kotak pesanan.
Cewek itu cuma bisa melirik sinis cowok rese itu.
“Dia itu bener-bener nggak berhati! Liat aja mukanya yang nggak pernah punya ekspresi! Jangan-jangan dia itu mayat idup yang nggak bisa ngerasain apa-apa! Cowok nyebelin!” omel Mia dalam hati.
♥♥♥
“Apa Fikri masih belum balik?” tanya Bu Yuri pada Mia.
“Belum. Dia belum balik sejak dua jam yang lalu. Katanya jalan utama menuju ke rumah pemesan macet, Bu.” Lapor Mia.
Bu Yuri terlihat gundah, “Umm, kue ulang tahun ini harusnya dikirim sekarang. Pemesannya sudah menelpon barusan.” Bu Yuri membawa sekotak kue ulang tahun di tangannya.
“Biar saya yang antar.” Radit tiba-tiba muncul.
Mia yang melihat cowok itu hanya terpaku.
“Oke. Tapi karena motor delivery kita terpakai semua, kamu pakai motor saya aja,” katanya, “Mia, kamu tolong pegang kotaknya. Kalian pergi berdua ya?” pinta Bu Yuri.
Radit terdiam nggak bereaksi.
Tapi Mia?
Rasanya dia terkena serangan jantung mendadak.
Boncengan dengan Radit? Ini mukjizat atau kutukan ya?
♥♥♥
Radit naik ke atas motor. Mia menunggu dengan memegang kotak kue itu di tangannya. Melihat kedinginan dan sikap acuh tak acuhnya Radit, membuat Mia kesal dan terus mengomel dalam hati. Tuh cowok kayaknya nggak pernah mengganggap dia ada.
“Pegang kotaknya baik-baik. Jangan sampe jatoh.” Ketus Radit.
“Iya. Aku tau.” Mia cemberut.
Setelah Radit siap, Mia bergerak menuju jok belakang.
“Jangan pegang-pegang gue dengan nggak jelas.” Tambah Radit.
“Adaapa sih? Kenapa lo jadi marah-marah begitu?” tanya Mia kesal.
“Ah? Siapa yang marah?!” bentak Radit.
Mia terdiam saat dibentak.
Nggak bisa dipungkiri perasaannya terluka gara-gara itu. Ucapan Radit itukanselalu aja beremosi dan tajam.
Radit juga menyadari kalau dia sudah kelewatan.
“Maaf.” Bisik Radit. Dia lalu menelan ludahnya, “gue minta maaf.”
Mia belum mau bergerak.
Radit pun akhirnya menatap Mia dengan rasa bersalah, “Ayo cepet naik.” Pintanya lembut.
Mia tertunduk dan langsung naik ke belakang motor. Radit memakai helm dan membawa motor itu melaju menuju alamat yang dimaksud.
♥♥♥
“Hot capuccino. Meja nomor 10.” Ucap Reta pada Dema. Dema lalu membawakan nampan yang sudah berisi secangkir hot capuccino ke meja nomor 10. Meja urutan terakhir seperti itu letaknya agak jauh ke dalam.
Dia pun akhirnya bisa melihat si pemesan. Orang itu sedang sibuk menuliskan sesuatu di atas tumpukan kertas yang dibawanya.
“Ini pesanannya.” Ucap Dema.
“Makasih.” Balas orang itu.
Dema membungkuk disamping tubuh sang pemesan.
“Lagi sibuk ya?” bisiknya.
Sista menoleh dan terkejut, “Hah?! Kamu lagi?! Kenapa sih kita selalu ketemu?” keluhnya sambil menjauhkan wajahnya dari wajah Dema.
“Yang pasti kali ini kamu yang nyamperin akukan?” sindir Dema.
Sista mengerutkan alisnya, “Aku nggak berniat begitu. Kamu pasti barukandisini?” tanya Sista dongkol.
“Iya.” Dema tersenyum manis.
“Dema!” teriak Reta.
Dema memejamkan matanya dan bergumam, “damn! ”
Dia sebenarnya masih ingin berlama-lama dengan guru itu, tapi pekerjaan yang lain sudah menunggunya.
“Selamat menikmati.” Bisik Dema.
Sista cuma meringis, menolak mentah-mentah rayuan gombal Dema.
Dema lalu kembali ke meja kasir, menghampiri Reta.
“Adaapa?” tanyanya.
“Vian lagi nyuci piring di dapur. Dia minta bantuan.” Kata Reta.
Dema segera berjalan masuk ke dalam dapur, melihat Vian sedang mencuci piring seorang diri. Dema segera menggulung lengan seragamnya untuk membantu Vian. Tapi tiba-tiba…
“Cewek di meja nomor 10.” Sahut Vian.
Dema berhenti bergerak. Vian melirik nakal.
“Apa dia sasaran elo berikutnya?”
“Ya.” Jawab Dema.
“Dia nggak sama kayak cewek lain yang pernah lo sakitin, Dem. Lo cuma penasaran sama dia ajakan? Trus setelah dia jatuh cinta sama lo, lo akan tinggalin dia? Sebaiknya lo berhenti sebelum lo nggak sadar kalo nggak lebih dari seorang cowok yang nggak punya keinginan untuk terikat dengan apapun.” Jelas Vian, dengan kedewasaan yang mendadak muncul di wajah kekanakkannya.
Dema terdiam. Tapi setelah itu, dia tersenyum.
“Gue nggak akan terikat sama dia. Sama kayak cewek lain yang pernah ada dalam kehidupan gue.” Katanya.
“Tapi gimana seandainya… dia bisa bikin lo berubah?” tantang Vian.
Dema tertawa meremehkan, “itu nggak mungkin.”
♥♥♥
Dalam perjalanan pulang, Mia yang udah sangat kecapekan akhirnya mengantuk di atas motor. Pandangannya mulai tertutup sedikit demi sedikit. Kepalanya mulai menempel dan terpentok-pentok ke punggung Radit. Radit tahu ada yang nggak beres, dia lalu membuka kaca helmnya.
“Mia?” panggil Radit, “Mia?”
“Ya? Ya? Kenapa?” Mia menegak karena kaget.
“Jangan tidur. Nanti jatuh.” Radit mengingatkan.
“Ma-maaf.” Jawab Mia.
“Pegangan.” Kata Radit.
“Apa?” Mia memajukan wajahnya.
Tiba-tiba tangan Radit langsung menarik tangan Mia dan menaruh tangan Mia dipinggangnya. Mia cuma bisa termangu bloon.
“Pegangan,” bisik Radit, “Gue mau ngebut.”
♥♥♥
Sista keluar dari Starlet Bakery. Saat itu dia berpapasan dengan Dema yang sedang naik motor. Karena kaget, langkah Bu Sista terhenti tiba-tiba. Dia menatap Dema dengan sangat terkejut.
“Mau kemana?” tanya Dema.
“Mau pulang.” Jawabnya pelan.
“Ayo aku anter.” Ajak Dema.
“Emangnya kamu mau kemana?” Sista bertanya.
“Beli bahan kue. Ayo cepat naik.” Suruhnya lagi.
“Nggak usah, makasih.” Sista menolaknya.
“Cepat naik. Langitnya mendung, kayaknya bakalan turun hujan.” Analisa Dema dengan yakin.
Sista menghembuskan napas. Dengan langkah yang agak terpaksa, dia berjalan menuju ke motor dan duduk di belakang Dema.
Dema menstarter motor dan mengantarkan Sista pulang.
♥♥♥
Motor berhenti di depan rumah Sista. Saat itu hujan sudah turun dengan cukup lebat. Sista dan Dema sama-sama kebasahan. Sista lalu turun dan berdiri di bawah teras rumahnya agar terhindar dari hujan. Dema masih di atas motor, hujan menuruni wajahnya dengan telak karena dia nggak memakai helm.
“Ayo turun dulu. Hujannya kayaknya masih lama.” Suruh Sista, “Mau masuk dulu? Aku buatin teh ya?” tanyanya lagi.
“Nggak usah. Makasih banyak.” Dema tersenyum.
“Kamu mau pergi hujan-hujan begini?” teriak Sista.
Dema masih tetap tersenyum manis, “Cepat masuk ke dalam dan mandi. Aku harus pergi dulu.” Ucapnya.
Sista terdiam. Dema yang kebasahan itu akhirnya pergi. Wanita itu masih melihat Dema dari kejauhan. Dalam hati, dia berterima kasih sedalam-dalamnya untuk cowok yang membingungkan itu.
♥♥♥
Mia dan Radit berdiri di depan sebuah ruko kosong. Mereka sedang berteduh dari hujan deras di depan mereka.
“Sampai kapan kita teduh disini?” tanya Mia.
“Lo nggak liat diluar ujan deras?” bentak Radit.
“Tapi nanti kita bisa kelamaan. Kasian Vian sama Kak Demakan?” tanyanya polos.
“Kak Dema?” Radit bertanya soal awalan ‘kak’ yang diucapkan Mia.
“Emang kenapa? Dia baik kok sama gue.” Jawab Mia.
Mia tertunduk dengan wajah anak kecil yang sedang melamunkan sesuatu. Radit masih menatap Mia yang hanya setinggi bahunya. Cewek itu sedang memikirkan sesuatu. Pasti dia sedang memikirkan Vian dan Dema.
Radit menggeleng dengan pasrah. Anak itu emang terlalu baik padaorang lain sampai-sampai tidak pernah memedulikan dirinya sendiri.
Radit melepas jaket kulitnya, “Pake ini.”
Radit memberikan jaketnya pada Mia. Mia hanya memegangnya, masih dengan setengah sadar.
“Mau ngapain?” tanya Mia.
“Cepet pake.” Ketus Radit dengan wajah galak.
Mia tak melakukannya. Dia masih tak mengerti.
“Ayo cepat pake!” bentaknya lagi karena melihat Mia yang diam saja. Dia juga memberikan helm motor pada Mia, “pake ini juga.” Tambahnya.
Mia hanya menerima helm serta jaket itu, tanpa menghilangkan kedunguan dari sorot matanya.
Kemudian Radit berjalan menuju ke motornya, tanpa helm ataupun sesuatu yang menutupi kulitnya. Akhirnya dia pun kehujanan. Tapi dia sama sekali nggak peduli sama hal itu. Dia naik ke atas motor meski air hujan saat itu cukup terasa menyakitkan saking derasnya.
“RADIIT!!” Teriak Mia.
“Cepet pake!” teriak Radit.
Mia terdiam dan melihat Radit dengan hening. Radit kelihatan sangat sedih di atas motor saat itu. Entah kenapa, matanya yang biasanya terlihat kuat itu seperti orang yang ingin menangis. Dia hanya terdiam dan terhenyak sesaat. Dia belum pernah melihat tatapan sesedih dan semenyakitkan itu.
Radit segera memalingkan wajahnya, Mia tertunduk dan melihat dua benda yang dipegangnya itu.
“Radit.” Panggil Mia dengan suaranya yang tidak terdengar jelas.
Radit masih diam, belum menoleh.
“Radit.” Mia memanggil lebih keras.
Radit menoleh dengan refleks, wajahnya terlihat kosong beberapa saat.
“Dit, jaket sama helmnya kegedean.” Keluh Mia.
Dia lalu mengangkat tangannya, menunjukkan seberapa panjang kelebihan bahan jaket itu hingga membuatnya seperti nggak punya tangan. Helm itu pun membuat dia seperti jadi makhluk alien.
Sebenarnya Radit hampir aja terkekeh-kekeh. Dia hanya menahan senyum di bibirnya. Aduuh… rasanya dia udah nggak kuat lagi pengen ketawa.
“Jangan bawel. Ayo naik.” Ketusnya.
Tapi… bagaimanapun, Radit tetap aja Radit. Ya kan?
♥♥♥
Malam harinya…
Mia belajar di meja makan tengah ruangan. Di dekat sana, ada tivi yang sedang menyala. Sambil membawa kopi, Dema menghampiri dan duduk di samping Mia. Kemudian dia mengambil remote dan mengecilkan volume suara tivi.
“Kok suara tivinya dikecilin?” Mia bertanya.
“Kalo mau belajar dengan baik, suasananya harus tenang kan?” tanya Dema.
“Gedein aja suara tivinya, gue lebih suka kalo berisik, soalnya gue jadi nggak stres.” Dia menjelaskan kekurangan dirinya.
Dema mengambil remote dan membesarkan suara kembali. Mia kembali fokus pada pelajarannya, sementara Dema menaruh cangkir kopinya dan melirik ke Mia yang sedang serius.
“Lagi ngerjain peer apa?” Dema kelihatan pensaran.
“Matematika.” Jawab Mia.
Dema melihat cewek yang mulai dianggap adiknya itu. Mia kelihatan sangat konsentrasi dan serius mengerjakan peer matematikanya. Meski begitu, dia keliatan sangat pusing dan kacau. Kayaknya dia emang paling nggak bisa mengerjakan soal matematika.
Dema cukup kasihan melihat Mia. Sebenarnya dia mau banget ngebantuin anak itu, tapi dia sendiri nggak pernah bisa matematika. Selama ini dia bisa naik kelas aja udah suatu mukjizat. Dia nggak pernah bisa berprinsip, bahkan demi kepentingan dirinya sendiri.
Lalu Vian juga datang dan duduk mengapit Mia sambil memakan satu bungkus coklat. Dia kelihatan sedang menyaksikan acara tivi dan belum terlalu mempedulikan Mia yang ada disampingnya.
“Vian, lo ngerti soal yang ini nggak?” tanya Mia sambil menunjuk soal integral yang ada di buku.
“Enggak.” Vian menjawab lugu tanpa melihat soal yang dimaksud.
Melihat dua ‘sahabat’ bodohnya itu, Mia hanya bisa menghembuskan napas pasrah. Dia emang nggak bisa mengandalkan dua orang yang sama-sama nggak berpikiran itu. Yang bisa diandalkan paling cuma satu orang, Radit. Tapi dia lebih parah lagi dibandingin dua orang itu. Radit sama sekali nggak tertarik untuk ngebantuin. Dasar pelit ilmu!
“Mia.” Panggil Dema.
Mia menoleh, “apa?”
“Ngomong sana sama Radit. Kadang dia kalo lagi baek, mau bantuin.” Ucapnya.
“Males ah ngomong sama dia! Dia paling nggak mau bantuin. Mendingan gue ngerjain sendiri. Gue pasti bisa ngerjain ini semua kok!” tegasnya semangat.
Dema mengangguk setuju.
Tiga jam kemudian…
“Radit.” Mia memanggil dari luar kamar Radit.
Radit membuka pintu dengan wajah amat sangat nggak bersahabat.
“Gue mau minta tolong ajarin. Boleh nggak?” Mia mendirikan buku peernya. Wajahnya udah nggak berbentuk. Udah empat jam dia bergulat dengan sepuluh soal itu-itu aja yang nggak pernah ketemu jawabannya.
“Kenapa nggak minta tolong sama Vian?” sindir Radit cemburu.
“Vian? Dia kan nggak bisa.” Balasnya.
“Sekarang udah jam sebelas, gue mau tidur.”
BRAK!
Pintu ditutup dengan telak di wajah Mia. Cewek itu sempat syok dan membatu. Dia nggak nyangka kalo cowok itu bener-bener nggak bisa diajak damai. Tuh cowok angkuh banget sih mentang-mentang pinter.
“Dasar cowok pelit! Kikir!” teriak Mia kesal.
Dengan sejuta rasa kesal, Mia berlari turun dan kembali ke depan tivi.
♥♥♥
Tengah malam, sekitar jam setengah satu, Radit menuruni tangga. Dia terdiam dan cukup tersentuh saat melihat Mia tertidur di atas meja saat belajar. Tapi dia malah berbelok dan masuk ke dapur dan minum air, seperti kebiasaannya.
Dia lalu berjalan, kembali menuju ke tangga untuk naik ke atas. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Dia menoleh dan melihat cewek menyedihkan itu. Meskipun setengah dari dirinya menyatakan ‘nggak mau’, tapi Radit toh akhirnya mendekati dan melihat soal-soal yang super sulit buat Mia. Untungnya dia masih ingat dengan pelajaran itu.
Radit melihat Mia. Cewek itu tertidur pulas dengan kepala di atas kedua tangannya yang terlipat. Mulutnya terbuka sedikit dan dia kelihatan sangat damai saat itu. Radit masuk ke dalam kamar Mia, lalu dia keluar sambil membawa selimut dari atas kasur dan menutupi badan Mia dengan selimut itu.
Radit pun mulai mengerjakan soal demi soal itu. Dia benar-benar serius mengerjakannya meskipun dia butuh waktu lama untuk mengingat lagi semua hitung-hitungan yang dipelajarinya dua tahun yang lalu.
“Udah selesai?” tanya seseorang.
Radit menoleh kaget. Dema berdiri dengan berlipat tangan di atas anak tangga. Dia memakai kaos tak berlengan malam itu, membuat otot lengannya terlihat jelas. Sedangkan wajahnya dipenuhi senyuman kepuasan.
“Bagimu soalnya mudah kan?” tanyanya lagi.
Radit membuang wajahnya, kembali menulis.
“Biasa aja.” Jawab Radit dingin.
“Akhirnya gue nggak usah minta elo untuk bantuin dia kan?” ucap Dema.
“Hm.” Sahut Radit.
Radit benar-benar berusaha nggak terpancing oleh kata-kata Dema. Dia memusatkan konsentrasinya kepada soal matematika itu.
“Kenapa? Apa lo punya perasaan lebih ke dia?” tanya Dema.
Tiba-tiba Radit terhenyak. Gerakan tangannya berhenti dan dia menatap buku tulis itu dengan sangat sendu. Sepertinya dia sendiri sedang tersiksa dalam perasaan yang dia rasakan. Mungkin dia belum pernah tahu kalau ternyata cinta bisa seberat dan sedalam ini.
Dema tersenyum. Sepertinya dugaannya benar soal Radit.
“Dema,” desah Radit, “Itu bukan urusan elo.”
Dema lalu turun dari tangga, dia berjalan menghampiri kemudian menggendong Mia di atas kedua lengannya. Mia yang sedang tertidur itu terkulai saat digendong. Dema yang kuat dan berbadan kekar itu sama sekali nggak terbebani saat menggendong Mia.
Dema lalu masuk ke dalam kamar Mia. Dia membaringkan Mia di atas kasur kemudian menutupi tubuh cewek itu dengan selimut. Sebelum pergi dia sempat berdiri memandangi cewek itu dari ambang pintu. Dia tersenyum kecil sebelum akhirnya menutup pintu dan melihat ke arah Radit kembali.
“Makasih buat bantuannya.” Ujar Dema.
Radit nggak menanggapi hal itu. Dema berjalan meninggalkan Radit dengan perlahan untuk naik lagi ke lantai atas.
Lalu…
“Sama-sama.” Bisik Radit.
8
Radit Or… Rafi ???
Pagi harinya…
“Aduuh… telat lagi…” Mia berudaha mengikat dasinya secepat mungkin di depan kaca. Pagi ini dia kembali telat gara-gara tadi malam tidur terlalu larut. Setelah memakai dasi, dia langsung menghampiri meja belajar.
Dia membuka-buka laci untuk mencari buku peernya semalam. Karena setelah mengacak-acak laci buku itu belum ketemu juga, akhirnya Mia memeriksa isi tasnya.
Alangkah kagetnya dia saat melihat isi tasnya. Yang pertama paling mengejutkannya adalah susunan buku dalam tasnya. Buku cetak yang besar dan tinggi berderet di belakang, semua buku tulis berbaris di depan dengan posisi yang nyaris sempurna. Itu adalah salah satu hal yang paling mustahil dilakukannya. Soalnya, Mia itu kan kalo beresin buku pasti pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah dan dia nggak bakalan ingat untuk menyusun isi tasnya serapi itu.
Mia melihat buku yang dicarinya di dalam tas. Dia mengeluarkannya dan melihat isinya. Dan itu membuatnya semakin terperangah saat melihat seluruh nomor peer di bukunya telah terisi dengan penuh dan rapi. Itu membuat senyum bahagianya terkembang sangat indah.
Mia terlonjak saat melihat jam bekernya menunjukkan pukul 06. 35. itu artinya 25 menit lagi sebelum bel sekolah berbunyi dan kalau nggak mau terlambat, dia lagi-lagi harus mengayuh sepeda kayak pembalap sepeda di olimpiade dunia. Dia segera memasukkan bukunya kembali ke dalam tas dan menggendongnya.
BRAK
Mia membuka pintu. Dia melihat Radit dan langsung memeluk cowok itu dari belakang.
“Makasih buat peernya.” Ucapnya singkat, lalu berlari meninggalkan Radit.
Cowok yang lagi bikin susu di dapur itu mematung.
Vian yang lagi menggigit roti ikut termangku melihat pemandangan itu.
Dema sendiri baru keluar dari dalam kamar mandi saat Mia berlari keluar pintu rumah dengan tergesa-gesa.
“Mia! Gue anter ya?!” teriak Dema dari dalam.
Mia mengeluarkan sepedanya, “nggak usah, Kak! Udah telat nih! Dadaah…!!!” teriaknya bersemangat.
Dema terdiam dengan handuk di lehernya. Dia lumayan kecewa karena nggak bisa mengantar Mia pagi ini. Tapi saat dia menoleh, dia tersentak melihat Vian. Cowok itu bener-bener menganga dan syok dengan wajah ke arah dapur.
Karena penasaran dengan apa yang dilakukan cowok itu akhirnya Dema melihat ke dalam dapur. Ada Radit di dalam sana yang sedang mencelup-celupkan teh dengan wajah merah merona. Sepertinya dia tersipu-sipu dan sedang mencoba menahan rasa gembiranya.
Dema ikut syok dan menganga seperti Vian.
Apa yang salah ya sama ketiga cowok itu?
♥♥♥
Kemudian, di sekolah…
“Mia.” Panggil pak Beno.
Mia mendongak, “Ya, pak.” Sahutnya.
Lalu Mia berdiri, berjalan menuju ke meja guru. Disana pak Beno menantinya dengan wajah sedikit curiga.
“Apa betul kamu mengerjakan ini sendirian?” tanyanya.
Mia melihat nilai di buku tulisnya. Dia mendapatkan nilai sepuluh. Itu membuatnya tertunduk. Bukan dia yang mengerjakan semua soal itu, tapi Radit.
“Nggak, Pak. Saya… dibantu orang lain.” Bisiknya.
“Siapa?” tanya Pak Beno.
Mia bergumam dan berfikir sebentar. Dia bingung harus menyatakan Radit itu sebagai ‘siapanya’ dia.
“Anu, sama orang yang namanya Radit.” Katanya.
Pak Beno mengembalikan buku peer Mia.
“Belajar yang rajin. Lain kali saya mau kamu dapat nilai sepuluh dari hasil kerka keras kamu seorang diri.” Tegasnya berwibawa.
Mia tersenyum, “Baik, Pak.”
♥♥♥
Mia berdiri di depan jendela kelasnya, dia sedang melihat ke lapangan utama sekolah. Murid-murid kelas sepuluh sedang bermain baseball di bawah. Karena pada istirahat hari itu dia lagi malas ke kantin, maka dia memutuskan untuk tinggal di kelas dan menonton latihan baseball itu untuk mengisi waktu.
“Selamat ya.” Bisik seseorang.
Mia menoleh kaget. Rafi yang keren banget itu berdiri di depannya. Itu membuat Mia harus berjuang sekuat tenaga menyembunyikan kerasnya debaran jantung yang dirasakannya.
“Nilainya sempurna. Gue bahkan nggak mungkin seteliti itu mengerjakannya.” Rafi memuji. Lagi-lagi pujian seperti itu membuat Mia jadi merasa bersalah. Dia tertunduk karena malu mengatakan pada Rafi apa yang sebenarnya terjadi.
“Sebenernya itu bukan gue yang ngerjain, tapi orang lain.” Gumamnya sedih.
“Siapa? Pasti salah satu diantara 3 laki-laki itu kan?” tanya Rafi.
Mia mendongak kaget, “Ah?”
“Kayaknya yang pake kacamata. Radit ya?” tebak Rafi.
“Darimana elo tau tentang mereka?” Mia mengeritingkan alisnya.
Rafi menawarkan tangan. Mia menjabatnya dengan terkesima.
“Sekali lagi, selamat atas nilainya. Tetap berjuang ya?” ucap Rafi sambil tersenyum. Saat Rafi tersenyum, seolah-olah ada kerlap-kerlip cahaya yang bertebaran dan menyinari wajah cowok itu, membuat Mia seperti mau melayang.
“Iya. Makasih banyak.”
♥♥♥
“Aku pulaaang!” tiba-tiba Mia berkata seperti itu saat masuk ke dalam rumah.
Vian yang sedang turun di tangga menatap aneh.
“Tumben ngomong kayak komik begitu.” Komentarnya.
Mia nggak peduli. Dia menaruh sebuah kotak makanan di atas meja.
“Radit, gue bawa hadiah buat elo!” teriaknya, memanggil Radit.
Vian semakin cepat menuruni tangga. Dia langsung duduk di dekat Mia.
“Hadiah apa? Emangnya Radit ulang tahun?” tanyanya.
“Kotak ini isinya makanan Jepang semuanya. Kesukaannya Radit.” Mia menjelaskan apa yang dibawanya.
“Kenapa cuma Radit yang dibeliin? Buat aku mana?” Vian menunjuk wajahnya dengan tampang memelas.
“Kemarin Radit bantuin gue ngerjain peer dan hari ini gue dapet nilai sepuluh. Gue seneng banget. Apalagi Rafi juga ngucapin kalimat yang manis soal itu. Uuuh… so sweeeett…” Mia tersenyum bahagia mengingat kejadian bersama Rafi di sekolah.
Tanpa mereka berdua sadari, Radit berada di atas tangga dan mendengar hal itu. Nggak tahu kenapa tiba-tiba dia jadi marah dan kesal mendengar nama Rafi disebut-sebut.
“Radit! Ayo sini turun!” Mia melambaikan tangan dengan bahagia. Dia mengangkat kotak itu dan menunjukkannya pada Radit yang masih berdiri di atas tangga, menghadap ke mereka berdua. Mia menunjukkan kotak makanan itu dengan sangat bangga dan ceria untuk merayu Radit.
“Untuk apa beli makanan itu? Buang-buang uang aja.” Ketus Radit.
“Hah?” Mia menganga dengan hati tertancap belati.
“Gue nggak mau makan itu!” sinis Radit lagi.
Kemudian cowok itu berbalik badan dan kembali naik ke atas. Mia menganga dengan syok. Semua yang telah dia lakukan ternyata masih ditolak juga sama cowok yang satu itu.
“Hah?! Dasar cowok nggak tau diuntuuuung!!” teriak Mia jengkel.
Melihat kejadian itu, membuat Vian punya kesempatan.
“Kalo gitu… gimana kalo hadiahnya buat gue aja. Hm?” Vian melirik dengan sok imut sambil mengedipkan matanya.
Bibir Mia yang manyun jadi semakin manyun. Dia mendengus kayak banteng ngeliat kain merah. Dia lalu menjatuhkan kotak itu dengan keras ke atas meja.
“Terserah!” teriaknya. Mia lalu berdiri dan membuka pintu kamarnya.
BRAK!
Dia membantingnya menutup.
♥♥♥
Jam lima sore harinya, di Starlet Bakery…
Mia melihat Radit diluar toko bersama seorang siswi berseragam SMA. Si cewek terlihat menyodorkan sebuah kado ke hadapan Radit. Cukup lama cewek itu menyodorkan barang itu tapi Radit tak sekali pun menggerakkan tangannya.
Melihat itu, Mia jadi kesal. Dia menganggap kalau cowok itu bener-bener nggak berperasaan, sejak tadi dia menduga kalau cewek itu pasti ingin memberikan kado itu tetapi Radit nggak mau menerimanya. Dan dia, sebagai salah satu musuh Radit, dia ingin membela cewek itu.
Makanya, Mia langsung berjalan keluar toko. Dia berdiri mengamati kejadian itu sambil bertolak pinggang. Si cewek berseragam SMA masih memohon-mohon sambil menyodorkan kado yang dibawanya.
“Maaf, tapi saya nggak akan terima kado itu.” Ucap Radit.
“Saya mohon. Ambil pemberian ini.” Suara si cewek terdengar terbata-bata, Kayaknya dia hampir menangis.
“Bawa pulang itu dan jangan lakukan hal kayak gini lagi.” Suruh Radit.
“Heh!” bentak Mia tiba-tiba.
Radit plus cewek SMA itu kaget dan menoleh cepat.
“Apa-apaan sih lo itu? Apa lo nggak mikirin perasaan dia? Harusnya elo lebih lembut ngomongnya!” Mia mengomeli Radit.
“Jangan suka ikut campur urusan orang.” Balas Radit dingin.
“Cowok nggak punya hati!” bentak Mia.
Mia lalu mengambil kado dari tangan cewek SMA itu dengan kasar. Dia langsung mendorong kotak kado itu ke dada Radit hingga mau nggak mau cowok itu harus memegangnya.
“Liat kan, kadonya sekarang udah diterima?” Mia bertanya pada si cewek.
Cewek itu diam, sekarang dia malah kelihatan takut.
“Radit! Bilang makasih!” suruhnya tegas.
“Apa-apaan lo?!” Radit sewot.
Mia berdiri di belakang Radit. Dia menarik pipi Radit hingga membuat senyuman palsu di wajah ganteng cowok itu.
“Makasih atas kadonya.” Ucap Mia, mewakili Radit.
“Sama-sama.” Balas si cewek tersenyum.
Akhirnya, setelah seluruh misinya selesai, si cewek berjalan pergi.
Mia tersenyum karena bisa membantu. Sementara Radit cuma mematung dengan wajah kesal. Mia berbalik, dengan senyum penuh kemenangan dia melipat tangan dan menajamkan matanya.
“Kenapa sih lo nggak bisa berpura-pura baik sedikit? Bayangin gimana perasaan cewek itu! Jangan jadi orang egois!” cetusnya.
Mia berbalik dan masuk kembali ke dalam toko seperti seorang pemenang. Sedangkan Radit masih menatap kado itu. Namun akhirnya dia masuk ke dalam toko sambil tetap membawa kado itu dan mencoba menerima kalimat Mia.
♥♥♥
Sore itu cukup panas. Mungkin itu yang membuat orang malas keluar rumah sehingga kafe jadi cukup sepi dan membuat banyak pelayan yang telah direkrut akhirnya saling mengobrol untuk mengisi waktu.
Radit berdiri di depan meja kasir, dia sedang mengantarkan nampan kosong.
“Permisi.” Salam seseorang.
Radit menengok, melihat Rafi yang datang ke toko kue itu.
Mata Radit menyorotkan ketidaksukaannya kepada Rafi. Kedua cowok ganteng yang memiliki banyak kesamaan sifat itu saling beradu pandangan.
“Mana Mia?” tanya Rafi tajam.
“Dia nggak kerja hari ini. Ada apa?” Radit bertanya dengan lebih jutek.
Rafi cukup geram melihat kelakuan Radit.
“Hai, Raf.” Panggil seseorang.
Rafi menoleh. Mia berdiri dengan senyum ceria sambil memeluk nampan kosong di dadanya. Saat melihat cewek itu, Rafi tersenyum sinis. Radit yang ikut melihat kejadian itu lansung melotot. Dia bergumam ‘dasar bego’ dalam hatinya, meskipun cewek yang dia maksud bego itu nggak menyadari.
“Hai.” Balas Rafi, dengan senyumannya yang mematikan.
“Ada apa? Tumben dateng. Mau beli apa?” tanya Mia.
Radit menyipitkan matanya. Tiba-tiba ada perasaan benci dan kesal dalam hatinya. Mungkin dia lagi cemburu.
“Sebenarnya… gue kesini untuk ngasih ini.” Rafi menunjukkan sebuah buku bersampul warna biru dengan tebal sekitar 300 halaman. Mia menerima pemberian Rafi lalu menatap bingung benda itu.
“Itu buku latihan matematika untuk ngebantu hukuman lo.” Jelasnya.
“Waah… makasih.” Mia sumringah, wajahnya menyiratkan kegembiraan dan rasa senang yang sangat besar.
“Bukunya bagus lho. Banyak rumus-rumus cepatnya.” Sambung Rafi lagi, dengan sikap tubuh yang lebih santai dan wajahnya yang lebih dihiasi senyum.
Mia membuka-buka halaman buku itu sepintas. Matanya mulai terasa jereng saat melihat isi buku yang penuh dengan angka-angka dan simbol matematika yang sangat sulit dimengerti olehnya.
“Ya ampuun… kenapa kepala gue tiba-tiba pusing?” Mia mengeluh saat merasa tantangan yang ada dalam buku itu terlalu berat. Dia memegangi kepalanya sambil terus membolak-balik halaman buku itu.
“Kalo masih nggak ngerti juga, kita bisa belajar bareng di rumah gue.” Tawarnya.
Radit menganga syok saat mendengar tawaran gombal itu. Entah kenapa tiba-tiba dia jadi begitu ekspresif dan nggak suka melihat keakraban dua orang itu.
“Ah yang bener?” dia nggak menyangka ajakan itu dan dia sangat menginginkan hal itu terjadi.
Rafi mengangguk.
“Makasih banyak ya.” Mia berkata lembut.
“Kalo gitu sekarang gue pamit pulang.” Ucap Rafi.
Mia kelihatan nggak terima, “Lho, kenapa buru-buru?” tanyanya.
“Sebenernya hari ini ada les penting. Harus pergi sekarang kalo nggak mau telat.” Jawabnya.
“Dadah.” Rafi tersenyum dan berbalik.
“Dadaaah.” Mia membalas dengan lebih bersemangat.
Rafi membuka pintu dan keluar dari toko. Mia terus melambai ceria ke arah Rafi. Radit udah bener-bener terpanggang setelah tiga menit berdiri disana. Dia udah benar-benar terpanggang api cemburu.
Rafi membuka pintu mobilnya. Sebelum masuk ke dalam mobil, dia sempat melihat ke dalam toko melalui pintu toko yang terbuat dari kaca. Pandangan sinisnya langsung tertuju pada Radit. Kedua cowok itu bertatapan dingin penuh dendam selama beberapa detik sebelum akhirnya Rafi masuk ke dalam mobil.
Mia menoleh, menatap Radit. Cowok itu mukanya jadi kelihatan aneh. Pas Mia tengok, cowok itu jadi kelihatan agak salting dan ke-gap hingga membuat mukanya jadi merah.
“Lo kenapa, Dit?” Mia bingung.
Cowok itu jadi kaku kayak patung.
“Nggak ada apa-apa.” Radit membuang mukanya dan berjalan pergi.
Mia masih berdiri di tempatnya dan meminyingkan bibir melihat gelagat Radit.
“Dasar cowok aneh.” Gumamnya.
♥♥♥
“Mia. Ayo makan.” Ajak Dema.
Mia masih duduk di meja belajar kamarnya.
“Ah? Makanannya udah diangetin?” teriaknya cempreng dari dalam kamar.
“Udah sama gue.” Balas Dema.
“Makan duluan aja! Gue masih banyak tugas!” Teriak Mia.
“Tugas apaan lagi sih?” keluh Dema yang sedang menata piring ke atas meja. Kayaknya dia jadi kesal juga dengan kesibukan ‘sang adik’ yang dirasakannya tak pernah berakhir.
Radit kebetulan ada di meja. Dia lalu berdiri dan membuka pintu kamar Mia.
Cewek itu lagi di meja belajarnya, menulis sesuatu dari buku yang tadi sore dikasih sama Rafi. Melihat buku itu membuat Radit jadi teringat dengan cowok brengsek yang memberikannya.
“Lagi ngapain sih? Apa lo nggak tahu kalo ini waktunya makan?” ketus Radit dari balik pintu.
Mia berhenti menulis dan melirik dengan kepolosannya, “Dit, apa sebaiknya gue belajar bareng sama Rafi aja?” tanyanya.
Tatapan Radit melembut. Dia sangat sedih mendengar hal itu. Mia menunggu, dengan ketidakpekaannya pada perasaan Radit.
“Nggak perlu.” Bisiknya.
“Kenapa?” tanya Mia layu.
“Nanti gue bantu.” Jawab Radit.
“Oya?” Mia sumringah.
“Iya. Sekarang cepet keluar dari sini trus makan.” Suruh Radit sambil menutup pintu kembali.
Mia yang mendengar hal itu segera menutup semua buku, menaruh pensil ke dalam kotaknya dan mematikan lampu belajar. Dia keluar kamar dan bergabung bersama yang lain.
♥♥♥
Mia berdiri di samping Radit. Cowok itu sedang menghadap ke arah ruang tengah yang dihuni oleh Dema dan Vian. Kayaknya cowok itu lagi berfikir untuk memutuskan tempat dimana dia akan mengajari Mia. Dia lumayan putus asa saat ngeliat dua cecurut itu lagi rebahan di depan tivi sambil ngakak-ngakak.
“Kita belajar dimana?” Mia berbisik.
“Disini aja.” Jawab Radit.
“Udah sana belajar di dalem kamar Mia aja. Disini Mia nggak bakalan bisa pinter. Malem ini kita mau nonton Scary Movie 1 sampe 4. Kita bakalan ngakak sampe ketiduran.” Ketus Dema sambil mengaduk mangkuk berisi popcorn. Si Vian kayaknya udah mulai gila duluan. Dia nggak berhenti-hentinya guling-gulingan sambil terbahak-bahak.
Mia terdiam, dia menunggu reaksi Radit.
Sementara Radit? Cowok itu kelihatan aneh. Mukanya kayak menguap dan menjadi merah merona. Kayaknya… dia deg-degan kalau mesti belajar di kamar dengan cewek itu.
Akhirnya, meski Mia nggak sadar apa yang terjadi sama Radit, cowok itu pun memutar gagang pintu dan masuk ke dalam kamar Mia. Mia yang begitu lugu dan tak berotak itu sama sekali nggak memikirkan apa yang dipikirkan Radit.
Kebetulan di dalam kamar Mia ada dua kursi. Mereka berdua langsung duduk cukup berjauhan di meja belajar Mia yang emang cukup panjang.
Radit membuka buku cetak punya Mia. Mia merapikan mejanya seperti anak TK yang baru masuk sekolah. Dia sangat nggak sabaran mau memulai acara belajar mengajar ini. Dia ingin berguru pada Radit yang pinternya naujubilah itu.
“Kita belajar apa ya? Hmm… limit ya?” tebak Mia.
“Terserah.” Ketusnya.
Mia mengangguk dan memainkan pensil dengan hati penuh harap. Dia benar-benar mengharapkan ini akan jadi hari pertama belajarnya yang menyenangkan dan berkesan. Sepertinya Mia mulai menyukai Radit dan ingin membuat suatu perubahan yang lebih baik dalam hubungan mereka.
Radit masih diam dan membaca buku itu. Mungkin dia mencoba untuk mengingat dan memahami pelajaran yang sudah lama tak pernah dibacanya itu lagi.
Terasa kesunyian yang cukup membosankan buat Mia. Dia nggak berhenti bergerak dan mencoba untuk terus melakukan sesuatu di saat Radit sedang anteng-antengnya membaca.
“Sebenernya sekarang umur lo berapa sih, Dit?” Mia berusaha memecahkan kesunyian dan membuka percakapan.
“Tujuh belas.” Radit menjawab cuek.
“Sama dong. Tapi kok elo nggak sekolah?” tanya Mia.
“Baru lulus.” Singkatnya lagi.
“Ooh.” Mulut Mia membulat.
Radit menutup bukunya, dia sedikit menggeser kursinya maju.
“Ayo kita mulai.” Ajaknya.
♥♥♥
Saat sedang nonton film Scary Movie berdua, tiba-tiba Dema berdiri dan mengambil jaket yang tergantung di balik pintu masuk. Vian yang lagi rebahan di lantai langsung melongo.
“Mau kemana, Dem?” tanya Vian.
“Beli rokok.” Jawabnya sambil memakai jaket dan sepatu.
“Nitip chitatos sama cola ya?” Vian meninggikan suaranya.
“Oke!” Dema menjawab, “Titip Mia ya!”
“Oke.” Balas Vian.
♥♥♥
“Ya ampuun… Radit ganteng banget kalo diliat dari deket kayak gini. Mukanya serius banget ngerjain soal. Bikin dia tambah keren.” Gumam Mia.
Cewek itu lagi tersihir oleh ketampanan seorang cowok bernama Radit. Dia sedang menuliskan sesuatu yang juga sedang dia jelaskan pada Mia. Tapi cewek lemot itu malahan sibuk berkhayal sambil memandangi muka Radit.
“Ngerti?” tanya Radit.
“Ah? A-apa?” Mia kaget saat tertarik paksa dari lamunannya.
“Jangn ngelamun gitu kalo lagi dijelasin! Pantesan aja nggak pernah dapet nilai bagus di sekolah!” bentak Radit kesal.
Mia manyun dengan wajah bersalah, “Maaf…”
Radit berusaha menerima permintaan maaf itu. Dia menarik napas dalam.
“Kita coba sekali lagi. Liatin baik-baik.” Ucapnya lembut.
Mia mengangguk. Dia mulai terlihat serius mendengarkan penjelasan dan melihat apa yang sedang ditulis Radit. Saking semangatnya, badannya sampai condong ke depan dan kepalanya menutupi buku.
“Jangan terlalu maju, tulisannya jadi nggak keliatan.” Keluh Radit jutek.
Mia kaget dan spontan memundurkan tubuhnya dengan cepat. Dia lalu melirik Radit dengan bibir monyong, “Sayang dia orangnya galak. Coba dia nggak galak kayak gini. Pasti gue udah jatuh cinta.” Mia bergumam lagi sambil terus memperhatikan apa yang diajarkan Radit.
“Ngerti sekarang?” tanya Radit.
“Hm.” Mia mengangguk yakin.
“Coba kerjain nomor 1.” Suruh Radit.
Dengan semangat yang luar biasa, Mia mengambil buku itu dan mencoba mengerjakannya seolah-olah dia emang bisa. Sementara Radit tersenyum kecil saat melihat kelakuan dan semangat cewek itu. Apapun yang terjadi untuk saat ini dia sangat menikmati detik-detik yang ada bersama dengan Mia.
♥♥♥
Dema sedang menaruh lima kaleng coca cola di atas lipatan lengannya. Supaya tetap kelihatan cool, dia lebih memilih membawa kaleng-kaleng itu di atas lengannya dibandingkan membawa keranjang.
Tiba-tiba, ada sebuah tangan yang menggapai tepat melintas di depan mata Dema. Dema yang nggak menyadari kedatangan orang itu langsung menoleh kaget, dan ternyata, orang itu juga nggak kalah kagetnya kayak Dema.
“Hai.” Dema tersenyum penuh pesona.
Sista cukup jual mahal dengan berpura-pura kesal.
“Lagi-lagi ketemu kamu.” Jutek Sista kesal.
“Kenapa? Kangen ya?” goda Dema.
“Apa? Kangen? Yang bener aja!” gerutunya.
Dema tersenyum, menyadari daya tarik yang dimiliki cewek itu. Lalu dia melihat kekeranjang yang dibawa Sista. Cewek itu memasukkan barang yang sangat banyak ke dalam keranjang sekecil itu.
“Belanjanya banyak. Untuk satu bulan ya?” tanya Dema.
Sista mengulum bibirnya, matanya menyiratkan kalau dia nggak berminat menjawab pertanyaan itu. Dema cuma tersenyum kecut, dia tahu kalau wanita itu memang cukup sulit untuk ditaklukan.
Mereka berdua akhirnya membayar belanjaan dan berdiri di luar supermarket. Malam itu jalanan dan tempat di sekitar mereka cukup sepi. Jalan raya di depan supermarket kelihatan hanya dilalui beberapa mobil sejak tadi.
Mereka berdiri dengan saling melirik. Dema bersiap mengeluarkan jurus rayuannya sementara Sista kelihatan gugup dan tertunduk.
“Mau kuantar?” Dema menawarkan rayuannya.
Sista mengangkat wajahnya.
“Nggak usah.” dia menjawab ketus dan langsung berbalik badan, berjalan dengan langkah cepat meninggalkan Dema. Cowok keren yang super ganteng itu cuma melirik dan tersenyum sinis, dia tahu kalau dia nggak akan bisa berhenti mengejar wanita itu sebelum Sista akhirnya menyerah dan mencintainya.
Dema melihat Sista yang berjalan semakin jauh. Kemudian dari jarak yang cukup jauh dia melihat Sista akan menyeberang ke seberang jalan. Di saat itu juga dia melihat sebuah truk datang dengan sangat cepat dari sisi yang berlawanan.
Tanpa bicara, Dema berlari. Karena terlalu membebani, dia rela menjatuhkan kantung belanjaannya. Dia berlari dengan sangat cepat hingga rambutnya yang mulai gondrong serta jaketnya melambai ke belakang.
Sista mulai melangkahkan kakinya ke jalan raya. Truk besar itu semakin cepat melaju ke arahnya. Dema mempercepat langkahnya. Wajahnya sangat serius dan panik saat berlari. Urat lehernya tampak menonjol saat dia menabrakkan gigi-giginya.
“AWAAAASSS!” Dema berteriak.
Sista menoleh, dia terpaku sesaat ketika melihat truk itu.
Dema berlari seperti seorang atlit profesional.
Supir di dalam truk itu mengerem, kecepatan mobil itu berkurang, tapi belum berhenti melaju.
Dema melompat dan memeluk Sista. Mereka jatuh dan sedikit berguling ke tepi jalan, tepat di bawah sorot lampu jalan.
Sista tergeletak sambil merintih kesakitan. Matanya terpejam saat menahan rasa sakit di tulangnya. Perlahan dia membuka matanya, melihat cahaya lampu di atasnya yang sangat terang. Sedetik kemudian dia teringat Dema dan dia menoleh, melihat tubuh Dema yang tak bergerak di sampingnya.
“Dema…” bisik Sista parau.
Dia lalu bangun dan merangkak, mencoba menggoyang tubuh Dema.
“Dema…” dia memanggil dengan setengah menangis.
Dema masih terpejam, dia kelihatan nggak sadarkan diri.
Sista lalu memeluk Dema.
“Dema…” lirihnya lagi.
Cowok itu tersenyum dalam kepura-puraannya. Badannya bergetar saat menahan tawa. Menyadari keanehan itu, Sista melirik dan melihat wajah Dema yang memerah karena berusaha nggak tertawa.
“DEMA!” bentaknya bete.
Dema tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut. Cewek itu mukanya dipenuhi kerutan, tandanya dia udah bener-bener kenyang dikerjain. Sementara Dema masih tertawa sampai memegang perutnya yang serasa dikocok-kocok.
“Ngapain sih pura-pura mati kayak tadi? Hah!” Sista dongkol dan berdiri.
Dema ikut berdiri, masih tertawa.
Lalu Sista melirik, dia melihat kain jaket di siku Dema dipenuhi bercak darah.
“Ah!” Dia menjerit, “Kamu berdarah!” paniknya.
Dia lalu menarik tangan Dema, menggulung jaketnya dan menemukan kulit Dema yang terkelupas hingga mengeluarkan banyak darah. Sementara wanita itu mulai panik dan ketakutan, orang yang terluka itu justru tersenyum sambil memandangi wajah wanita yang berada di depannya.
Sista mengeluarkan sapu tangan, mencoba mengeringkan darah itu.
“Ayo kita kerumahku. Ini harus diobati.” Ucapnya.
♥♥♥
Sepuluh menit kemudian mereka berdua tiba di rumah Sista. Di rumah minimalisnya yang dipenuhi perabotan kaca dan kayu, Dema duduk di sofa ruang tamu sambil mengusap kulitnya yang mulai terasa perih.
Sista datang membawa sebaskom air, kain dan kotak p3k. Dia langsung membersihkan luka Dema dengan air yang sebelumnya ditetesi cairan antiseptik. Dia terlihat sangat berhati-hati membersihkan luka itu.
Saat itu Dema diam saja, ikut memperhatikan lukanya.
“Dengan siapa kamu tinggal disini?” Dema bertanya.
“Sendirian. Rumah orang tuaku ada di dekat sini.” Jawabnya.
Luka itu telah bersih dan sedang ditutup perban. Mereka terdiam.
“Sudah selesai.” Ucap Sista, “aku minta maaf.”
Dema tersenyum, “nggak apa-apa.”
Saat itu, mereka berdua bertatapan dalam. Jarak wajah mereka berdua sangat dekat dan terasa ada aura berbeda dalam hati mereka saat itu. Sista berdebar dan tak bisa bergerak karena mata Dema begitu tajam menatapnya. Dia mengira Dema akan menciumnya. Tapi…
“Makasih atas perbannya. Aku pamit pulang. Permisi.” Bisiknya tajam.
Laki-laki tinggi itu berdiri dan berjalan keluar tanpa menoleh. Meninggalkan sejuta tanda tanya pada diri Sista…
♥♥♥
“SELESAAII!!” Mia mengangkat dua tangannya dengan puas. Dia udah serasa jadi juara dunia saat berhasil mengerjakan soal itu.
“Lo menghabiskan waktu setengah jam dan 5 lembar kertas coret-coretan cuma untuk mengerjakan soal nomor 1.” Ketus Radit, membuat rasa gembira Mia jadi lenyap tak bersisa.
“Gue kan bego. Maaf…” Mia berujar sedih.
Radit memeriksa jawaban Mia. Cewek itu mendekat dengan wajah yang mengamati, dia penasaran dengan jawabannya.
“Betul nggak?” tanyanya.
“Nyaris. Tapi jawaban akhirnya salah sedikit.” Jawab Radit.
Tubuh Mia mundur, dia merasa dunia ini udah berakhir buat orang bego seperti dirinya.
“Jangan takut. Kita coba lagi ya?” tawar Radit.
Mia melirik, dengan sejuta tanda tanya.
“Tumben nih cowok baek.” Pikirnya dalam hati.
Radit mulai memegang pensil, “Sekarang tolong perhatikan baik-baik.”
Maka Radit pun mulai bercuap-cuap, menjelaskan dengan sesabar mungkin pada cewek yang cuma punya kapasitas 36 kbps, alias lama banget loadingnya. Akhirnya Mia pun duduk mendekat hingga tubuh mereka berdua menempel. Dengan penuh semangat Mia memperhatikan sementara Radit menjelaskan. Mereka berdua cukup akrab malam itu sehingga keributan yang seringkali terjadi di antara mereka mereka seolah nggak pernah terjadi.
“Udah ngerti blom?” tanya Radit.
“Duuuh… yang ini susah banget, jelasin lagi!” rengek Mia.
“Bego lo!” bentak Radit kesal.
“Masih mending bego tapi baek daripada pinter tapi sombong!” balas Mia.
Hmm… kayaknya mereka berdua nggak akan pernah bisa seakrab yang kita semua bayangkan.
♥♥♥
Mia sedang mengerjakan soal dari buku paketnya. Radit memperhatikan mata Mia yang merah dan sayu. Dia yakin kalau sebenarnya cewek itu udah setengah tidur sejak tadi. Tapi Mia terus memaksakan dirinya untuk belajar.
“Lo udah ngantuk?” tanya Radit.
“Belom.” Bisiknya layu.
“Sana tidur. Besok kita lanjutin lagi.” Suruh Radit.
“Nggak mau. Malem ini kita belajar sampe jam sepuluh ya?” Mia bertanya dengan matanya yang mulai sering berkedip. Sesuai kalimatnya, berarti Mia berfikir dia bisa bertahan setengah jam lagi melawan rasa kantuknya.
Meski sudah tahu kalau itu nggak mungkin, Radit menjawab, “Iya.”
♥♥♥
Tepat jam sepuluh, Dema membuka pintu rumah.
Vian sudah berdiri di dekat sana, dengan tangan terlipat dan wajah dewasa.
Melihat wajah serius itu, Dema jadi agak kaku.
“Apa yang terjadi? Apa perlu tiga jam cuma buat beli itu semua?”
Dema menunduk, sepertinya dia enggan menceritakan kejadian itu.
“Ada masalah sedikit.” Jawabnya singkat.
Vian masih serius dan wajahnya begitu dewasa. Ekspresi Vian yang jarang muncul itu benar-benar menyudutkan Dema yang perasaannya sedang kacau. Dia tahu kalau sorot wajah Vian yang seperti itu akan menyusahkannya, anak manis itu akan berubah menjadi orang yang sangat berbahaya jika dia sudah mengeluarkan wajah dewasanya.
“Apa luka itu gara-gara cewek yang lo sukai itu?” tanya Vian.
Dema menatap Vian, matanya terlihat sendu.
“Apa lo masih kurang puas sama semua korban lo yang lain? Apa lo harus melihat dia terluka dulu sebelum lo bisa berhenti mempermainkan perasaannya, begitu kan?” sindir Vian.
Perasaan Dema hancur berkeping-keping. Semua yang difikirkannya tertebak oleh Vian. Dia memang merasa bersalah telah melakukan semua ini. Dia merasa kalau tak lama lagi dia akan menyakiti Sista, sama seperti yang dulu sering dia lakukan pada semua wanita dalam hidupnya. Tapi entah kenapa… dia jadi tidak ingin melukai wanita yang satu itu. Wanita itu berbeda dengan semua wanita lain yang pernah ada dalam hidupnya.
“Tinggalkan wanita itu dan antarkan aku beli chitatos.” Ketus Vian.
Dema tertunduk dan tersenyum pahit, “oke.”
♥♥♥
Mia tertidur lelap di atas meja belajar. Ternyata dia sedang bermimpi malam itu. Dia bermimpi sedang berdansa berdua bersama Radit di tengah istana yang sering dilihatnya di film. Dia menari dengan gaun indah bersama Radit yang menjadi pangeran dan memakai mahkota. Mereka berdua kelihatan sangat serasi.
Mia tersenyum manis dan Radit juga melakukan hal yang sama. Mimpi itu benar-benar terasa nyata dan indah. Mia sendiri pasti nggak akan mau terbangun dari mimpi yang mustahil terjadi itu.
Dalam mimpi, Mia melihat dirinya dan Radit berdansa lalu berhenti sesuai dengan akhir musik. Saat itu terdengar suara tepuk tangan meski nggak terlalu jelas apakah ada orang lain dalam mimpi itu.
Kemudian Mia melihat Radit yang menatap wajahnya dengan penuh cinta. Saat itu dia merasa kalau si pangeran akan mencium bibirnya. Hal i tu membuat Mia cengengesan dan nggak sabar menunggu. Dengan terburu-buru dia menutup wajah dan memonyongkan bibirnya pada pangeran, minta dicium.
Radit melirik cewek itu dengan jijik saat bibirnya semonyong ikan mas koki.
“Ssst.” Bisik Radit, “Ssst!”
Meski begitu, mata Mia masih tertutup dan bibirnya masih kayak Omas.
Radit memajukan wajahnya mendekat ke wajah Mia. Dia memperhatikan raut wajah jelek cewek aneh itu. Alisnya mengerut saat menyadari betapa lenturnya bibir Mia hingga bisa berbentuk seperti itu.
“Mia.” Panggil Radit, “bangun.”
Mata Mia terbuka perlahan. Saat itu bayangan Radit masih terlihat samar-samar. Hingga akhirnya dia menyadari kalau dia sudah terbangun dari mimpi indahnya dan Radit benar-benar berada di depan wajahnya.
“Hwaaa!!!” dia berteriak dengan syok sambil menjauhkan tubuhnya.
Radit menyipitkan mata dan semakin yakin kalau cewek itu gila.
Mia terbelalak dengan mulut menganga dan napas naik turun. Dia nggak tahu apa Radit udah menciumnya atau belum. Refleks, dia langsung menutup bibir dengan telapak tangannya.
Radit cuma bisa terdiam melihat kelakuan cewek itu.
“Dasar aneh!” ketus Radit.
“Kenapa lo bangunin gue?!” teriak Mia.
“Gara-gara lo tidurnya ngigo!” Radit lebih berteriak.
“Aturan lo jangan bangunin gue!” teriak Mia marah.
“Emangnya kenapa?!” balas Radit melotot.
“Soalnya tadi gue hampir nyium…,” tiba-tiba Mia kehilangan teriakannya.
Dia jadi berfikir dua kali untuk menjawab pertanyaan Radit. Mana mungkin sih dia berteriak trus bilang ‘soalnya tadi gue hampir nyium elo!’. Bisa-bisa si Radit jadi hidrocephalus alias jadi besar kepala.
“Soalnya apa?” tantang Radit sinis.
“Soalnya tadi gue hampir nyium Rafi dalem mimpi.” Jawabnya malu.
Radit geram. Tiba-tiba dia gerah nyampe ke ubun-ubun saat nama itu disebut. Dia segera berdiri, berbalik badan menuju pintu.
“Eh, Radit, tunggu!” cegah Mia.
Radit berhenti bergerak, menoleh sedikit dengan wajah seperti hantu.
“kenapa?” desahnya suram.
Mia yang nggak tahu kenapa Radit bisa jadi begitu langsung merinding.
“Makasih buat belajarnya.” Mia berbisik.
“Sama-sama.”
Cowok yang lagi dibakar api cemburu itu pun keluar dari kamar, berusaha memedam setan dalam hatinya yang benar-benar ingin melenyapkan orang bernama Rafi itu dari dunia ini.
9
Happy Birthday, Rafi!
“Nanti malam kamu datang ke pesta ulang tahunnya Rafi?” tanya Nata pada Mia. Mereka berdua kini sedang berjalan di koridor sekolah sehabis jam istirahat sambil menenteng kotak bekal masing-masing.
“Iya. Kalo kamu?” Mia balik bertanya.
“Aku nggak bisa. Nanti malam aku harus menghadiri peresmian hotel baru yang dikelola Papa.” Jawab Nata.
“Oh iya ya. Kamu kan sibuk.” Mia menyahut.
“Lagipula… pasti akan datang Dona dan kawan-kawannya kan? Itu akan sangat menyebalkan. Aku nggak suka sama mereka.” Curhat Nata.
“Iya juga sih. Tapi kan nggak enak kalo nggak datang.” Bisik Mia.
Nata berdehem setuju.
“Makasih ya kamu mau tukeran bekal lagi hari ini.” Ujarnya ceria.
“Sama-sama.” Mia tersenyum.
“Besok kamu bisa bawa bekal yang ada bakwannya?” tanya Nata penuh harap.
Mia mengangguk, “Bisa kok.”
“Makasih. Tapi aku maunya bakwan yang dijual di warung ya?” pinta Nata.
Mia menganga dan bengong sebentar, memikirkan dalam hati betapa anehnya orang kaya yang berdiri di sisinya itu.
“I-iya.” Jawab Mia.
♥♥♥
Sore hari, Mia keluar dari rumah dengan pakaian rapi.
Baru berjalan beberapa langkah, dia bertemu dengan Radit, persis di bawah sebuah pohon besar. Cowok itu datang dari arah berlawanan dengan gaya yang sangat keren. Wajahnya yang ganteng dan dingin itu beradu dengan Mia yang melongo karena kaget.
“Darimana lo?” tanya Mia.
Cowok super ganteng itu terdiam sebentar, “jalan-jalan.”
Mia ikut diam untuk berfikir sebentar.
“Temenin gue yuk?” ajaknya.
Radit mengeritingkan alisnya, “Kemana?”
“Ke toko hadiah.” Balas Mia tersenyum.
“Dimana?” Radit bertanya lagi.
Mia maju, memegang tangan Radit dan menariknya, “udah deh, ikut aja yuk? Nanti juga tahu.” Dia sangat cerah dan membuat Radit nggak bisa menolak.
Sesampainya mereka di toko itu…
“Mau beli kado?” tanya Radit.
Mia yang sedang melihat-lihat mengangguk.
Mereka berdua berada di dalam sebuah toko yang sangat bagus. Mungkin sama bagusnya seperti toko souvenir di luar negeri. Beragam pernak-pernik lucu di jual di dalam toko yang sangat besar dan terang itu.
“Gimana kalo yang ini?” Mia bertanya tentang benda yang dipegangnya dengan penuh harap.
Radit melihat sebuah ukiran bentuk rumah yang terbuat dari kaca itu, dia lalu melihat Mia yang sedang menunggu jawaban darinya. Sesuatu tergambar jelas dari wajah cewek yang satu itu, dia kelihatan tertekan, kebingungan dan cemas.
“Ini pertama kalinya lo ke pesta ulang tahun?” tanya Radit.
“Pertama kalinya setelah sepuluh tahun.” Jawabnya.
Radit sudah menduga hal itu. Cewek itu kayaknya kelihatan nggak tahu hadiah apa yang harus dia beli sebagai kado.
“Siapa yang ulang tahun?” Radit bertanya.
Dengan mata seperti anak kecil Mia mengangkat kepalanya, “Rafi.”
Radit nggak berubah emosi saat itu. Dia hanya menatap Mia dalam.
“Mungkin dia nggak akan suka sama itu,” komentar Radit, “apa lo nggak bisa ngebayangin benda apa yang cowok kayak dia suka?”
Mia terkejut, dia nggak menyangka Radit akan memberinya masukan.
“Trus gue mesti beli yang kayak gimana?” tanya Mia.
Sepuluh menit kemudian…
“Harga parfumnya mahal, Dit.” Keluh Mia, “lagian, darimana lo tau kalau dia suka pake parfum?” tanya Mia.
“Dia cowok metroseksual. Emangnya lo nggak bisa nyium bau dia dari jarak satu meter?” Cetusnya.
Mia terdiam. Ucapan Radit ada benernya juga. Pantesan aja dia bisa mengenali bau Rafi dari jauh.
“Ayo kita bayar.” Radit berjalan memimpin menuju ke kasir.
Mia buru-buru mengejar untuk mengatakan sesuatu yang penting.
“Dit.” Panggilnya, “Radit.”
Radit melirik.
“Uang gue kurang.” Mia menelan ludahnya.
Cowok itu terdiam dengan mata datar, “Biar gue yang bayar.”
“Tolong dibungkus sekalian.” Suruh Radit pada wanita penjaga kasir.
“Tapi Dit, itu kan gaji lo!” Paniknya.
“Bisa tenang sedikit nggak sih?!” bentak Radit.
Mia kembali tenang dan diam. Dia berdiri di belakang Radit dengan kepala tertunduk dan hati dag dig dug nggak tentu. Cowok itu bener-bener nggak bisa ditebak dan sulit dimengerti. Dia kadang-kadang bisa jadi baik, tapi dia sih lebih sering galak. Tapi kok dia mau ngelakuin hal kayak gini… hmm, ada apa ya?
“Ayo pulang.” Ajak Radit.
Mia mengambil bungkusan hadiah dan berjalan cepat menjajari Radit. Cowok itu berjalan di depan dengan sangat lurus dan terlihat berwibawa. Mia berjalan di belakang dengan tak mengerti.
Sedangkan Radit? Nggak tahu kenapa dia jadi ingin membuat senang cewek itu. Meski sebenarnya dia juga nggak bisa memungkiri kalau hal yang dia lakukan tadi sama saja dengan berada di pihak Rafi, orang yang nggak disukainya.
Kayaknya Radit mulai jatuh cinta pada Mia. Tapi cewek itu nggak menyadarinya.
“gue nggak bisa ngerti sikap dia!” keluhnya dalam hati.
Terkadang cinta itu harus berkorban, melakukan sesuatu yang paling kita benci demi seseorang yang paling kita sayangi. Tanpa berharap seseorang yang paling kita sayangi itu akan menyadari dan membalas semua hal yang telah kita lakukan. Memang terasa menyakitkan, tapi mungkin itu yang terbaik.
♥♥♥
Malam harinya, Mia sudah bersiap pergi ke rumah Rafi.
“Baju lo norak. Apa lo nggak punya baju yang lebih mendingan?” komentar Vian. Mia tetap cuek.
“Jangan komentar. Ini emang pertama kalinya gue dateng ke acara ulang tahun kelas atas. Lagian, ini baju bekas lebaran tahun lalu, baru dipake dua jam.” Jawabnya mengenai baju terusan selutut warna hitam yang dipakainya.
Sejujurnya warna baju itu dan modelnya cukup bagus dibadan Mia. Cuma, kalau dibayangin sama semua tamu Rafi yang lain, Mia akan benar-benar jadi pusat perhatian dan pusat penghinaan.
“Lo bakal kebanting sama tamu-tamunya Rafi yang laen.” Imbuh Vian lagi.
“Biarin aja. Emangnya kenapa?” Mia masih nggak ambil pusing.
“Apa lo nggak dandan? Muka lo tuh dikasih make up dikit kek.” Vian masih terus saja cerewet, membeberkan beragam kekurangan cewek itu.
“Jangan. Begitu juga udah cantik. Biarin aja dia terlihat alami.” Dema menyambar sambil membuka kulkas, “Dia udah keliatan cantik.” Tambahnya.
Mia termangu tak bergerak. Dia merasa melayang dengan pujian itu.
“Apa iya?” tanyanya dengan wajah memerah.
Dema mendengar langkah kaki. Radit turun dan berdiri di bawah tangga.
“Iya kan, Dit?” Dema menoleh pada Radit.
Radit menatap Mia. Cewek itu udah ke-geer-an sebelum Radit menjawab.
“Biasa aja. Tapi bajunya agak norak.” Cetusnya.
Mia membatu dan pecah berkeping-keping.
“Gue benar-benar harus pergi sebelum berniat bunuh diri!” Mia yang kesal karena semua celaan itu buru-buru memakai sepatunya. Tubuhnya mengeluarkan api dan halilintar karena marah.
“Pake jaket ini, diluar dingin.” Tiba-tiba Dema berlari menghampiri Mia dan menawarkan jaket hitam yang sering dipakainya.
Mia mengambil jaket itu dengan senang hati, “Makasih.”
Tapi senyuman itu hanya untuk Dema. Begitu melihat Vian dan Radit, api berkobar di balik punggungnya, tandanya dia masih bete sama hal tadi.
Tok tok tok
Tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Mia yang kebetulan ada di dekat sana langsung membuka pintu.
Semua orang yang berada di dalam rumah itu melihat ke seseorang yang berdiri dengan manis di depan pintu. Gadis bermuka jutek itu sebenarnya berpenampilan sangat cantik.
“Nata?” tanya Mia.
Nata melirik ke arah dalam rumah, melihat ke arah tiga cowok itu. Mia yang menyadari itu langsung panik. Dia nggak mau kalau Nata berfikiran yang bukan-bukan tentang Dema, Vian dan Radit. Dia takut kalau Nata berfikir dia adalah wanita psikopat yang suka menyimpan cowok-cowok ganteng di dalam rumahnya.
“Na-Nata, dengerin gue dulu.” Pinta Mia.
Nata hanya menatap Mia datar, “genteng lo bocor lagi?” tanyanya.
Mia ternganga dengan polos. Apa ini kebegoannya atau sebaliknya?
“I-iya. Mereka itu tukang betulin genteng langganan.” Jawab Mia.
Nata melirik ke dalam, wajahnya jadi semerah tomat saat melihat Vian yang melambai manis ke arahnya.
“Ayo kita segera pergi.” Nata tertunduk dan menarik tangan Mia.
Akhirnya Mia pun masuk ke dalam mobil Nata.
Tiga cowok itu berdiri menatap kepergian Mia dari dalam rumah.
Mereka bertiga kayaknya sedang merasakan hal yang sama.
“Entah kenapa gue khawatir sama dia.” Gumam Dema.
“Gue juga.” Sambar Vian.
Radit masih diam. Meski begitu dia sangat setuju dengan apa yang dikatakan dua orang sepupunya. Cewek itu emang nggak akan pernah bisa jauh dari masalah.
♥♥♥
Dona melihat Rafi dari jauh, di tangannya terdapat gelas berisi koktail. Rafi yang berulang tahun hari itu kelihatan gelisah. Dari tadi cowok itu tak henti-hentinya melihat ke pintu masuk, seolah sedang menanti-nanti kedatangan seseorang yang sangat penting.
Kemudian Dona mendekati Rafi. Cowok itu nampak tak acuh saat wanita cantik itu mendekatinya.
“Siapa yang kamu tunggu?” selidik Dona.
Mata Rafi begitu dingin dan kasar. Dia nggak menjawabnya.
“Mia? Apa dia orangnya?” tebak Dona.
Rafi bereaksi. Dia cukup terkejut saat mendengar nama itu.
“Dia nggak akan datang. Dia nggak akan berani datang ke pesta ini.” Dona berucap angkuh sambil menyeruput sedikit minumannya.
Rafi mendingin, “dia pasti datang.” Ucapnya.
Dona tersenyum sinis, “lo masih mikirin taruhan itu ya?”
Kelopak mata Rafi tersingkap melebar, dia terkejut mendengarnya.
“Gue udah tahu semuanya dari Edward. Dia bilang lo taruhan sama dia kalo lo bisa macarin Mia. Iya kan?” tanyanya.
Rafi terdiam, mulutnya terasa kaku.
Kemudian dengan sorot mata yang melembut Rafi berbalik badan dan meninggalkan Dona. Wanita itu terhenyak dan tak bisa percaya dengan apa yang baru saja dia lihat hingga tubuhnya mematung.
Ada sesuatu di mata Rafi. Sesuatu yang bukan biasanya.
Jangan-jangan… dia benar-benar telah jatuh cinta pada cewek itu?
♥♥♥
“Kok lo nggak jadi pergi ke acara hotel?” Mia bertanya.
Nata cuek, “gue datang atau enggak akan sama aja. Disitu hanya akan berkumpul orang-orang dewasa yang membosankan. Papa akan sangat sibuk dengan semua tamunya, dia mungkin nggak akan sadar kalau gue pulang lebih dulu.” Meski dia berbicara dengan datar, Mia tahu kalau sebenarnya dia sangat sedih.
“Jangan bicara begitu, biar gimanapun itu Ayah kamu kan?” balas Mia.
Nata tak mengubah kekesalan yang terlihat dari wajahnya. Nata terdiam sementara Mia memikirkan cara untuk menghibur temannya itu.
“Lo ngasih kado apa?” tanya Mia manis.
Nata menoleh, “dasi.”
“Dasi?!” Mia kaget.
“Itu dasi dari Amerika. Harganya sama kayak harga motor baru.” Sambungnya.
Mia menganga dengan wajah gembel. Dia membayangkan betapa nggak adilnya dunia ini. Dasi = Motor???
“Kalo lo ngasih hadiah apa?” Nata bertanya.
Mia bergumam, “hmmm… anu…” Dia berfikir untuk mencari-cari kata yang tepat untuk mengutarakan perasaannya.
“Gue ngasih parfum.” Lemahnya.
“Oh ya? Parfum merek apa? Mahal nggak?” tanya Nata penasaran.
Mia tertunduk. Dia bingung, “mm… apa ya? Nggak tahu deh, mereknya nggak terkenal. Tapi harganya mahal juga.” Jawab Mia. Tiba-tiba dia jadi ingat sama Radit, cowok yang membelikan benda itu dengan uang gajinya setelah bekerja dua minggu. Dia merasa nggak enak hati. Dia merasa kalau dia jahat sama cowok itu.
“Mia,” panggil Nata.
Lamunan Mia buyar, dia menoleh ke arah Nata.
“Apa?” tanyanya dengan wajah polos.
Tiba-tiba Nata memajukan wajahnya dengan mata mengamati. Mia yang salting langsung memundurkan wajahnya dengan alis berkerut.
“Lo nggak mandi ya?” tanya Nata lugu.
“AAKKH!!!” Tubuh Mia terhempas ke belakang dan nyaris jatuh. Baru kali ini dia melihat ada orang bertanya sejahat itu dengan wajah tak berdosa. Mia juga nggak nyangka kalau dia terlihat kayak orang tolol yang nggak mandi sebelum pergi ke acara ulang tahun.
Nata menunduk, membuka-buka kotak di dekat kakinya. Lalu dia mengeluarkan sebuah lipstik dan sebuah bedak. Ditatapnya Mia dengan wajah penuh rencana yang tidak dijamin keberhasilannya.
“Ayo gue dandanin.” Nata tersenyum.
Mia masih menganga karena kekurangan oksigen. Ya ampuun… dia benar-benar tertusuk oleh kalimat Nata barusan.
♥♥♥
“Kita udah sampe.” Ucap Nata.
Mia kaget, dia langsung mengangkat wajahnya dan menuntaskan khayalannya yang masih diselimuti tentang Radit. Dia melihat ke luar jendela, ke sebuah istana terang benderang yang berada di sisi kirinya.
“Ini rumah Rafi?” tanya Mia lemas.
“Iya.” Nata menjawab sambil mengambil kadonya.
Mia melihat Nata yang turun. Dengan perasaan yang entah kenapa jadi nggak bersemangat, akhirnya Mia ikut turun dari mobil.
Begitu turun, semua tamu yang berjalan di sekitar sana melihat ke arahnya. Mia yang nggak menduga apapun bersikap biasa saja. Dia sama sekali nggak memperhitungkan penampilannya.
Sejujurnya, Mia terlihat sangat cantik malam itu. Meski gaun itu nggak mahal, modelnya lumayan juga. Di mobil tadi dia sempat didandani secara sederhana oleh Nata. Rambutnya disisir rapi dan diurai. Wajahnya diberi lipstik dan diberi bedak. Meski dia nggak banyak bergaya, ada aura lain terlihat dari wajahnya. Maklum, dari dulu kecantikannya emang selalu tertutup oleh kebegoan yang terpancar lebih kuat dari wajahnya.
♥♥♥
Nata dan Mia berjalan menuju ke pintu masuk, kado yang mereka bawa sudah ditaruh di meja penerima kado di bagian depan. Nata berhenti berjalan dan menoleh ke belakang saat menyadari kalau Mia tertinggal di belakangnya. Cewek itu kelihatan nggak bergairah, doi menapaki tangga dengan sangat lamban.
“Ayo Mia.” Ajak Nata.
Mia mengangkat wajahnya, menunjukkan wajah suntuk dan lesunya. Nata menggeleng pelan dan turun, dia lalu menarik tangan Mia untuk memaksanya berjalan dengan cepat.
“Jadi cuma kayak gini pestanya?” tanya Nata saat melihat isi pesta itu.
Mia terdiam. Untuk orang selevel Nata, acara ulang tahun seperti ini mungkin terlihat biasa dan umum. Tapi bagi Mia, dia merasa sangat kaku dan salah tingkah. Dia selalu berfikiran negatif tiap kali ada orang yang menatap ke arahnya, meski sebenarnya nggak begitu.
“Mana Rafi?” tanya Mia.
Nata mengangkat bahunya, “nggak tau. Mungkin lebih ke dalam. Coba kita liat kesana.” Ucapnya.
Kemudian Nata berjalan ke depan meninggalkan Mia. Sebelum tertinggal akhirnya Mia mengikuti Nata dari belakang. Selama itu pun, dia terus saja menunduk karena merasa merasa tak percaya diri. Dia merasa hanya dia yang nggak pantas ada di tempat itu. Hanya dia.
♥♥♥
“Mia, itu Rafi.” Nata menyenggol siku Mia.
Mia melihat ke depan, etelah mencari-cari akhirnya dia melihat Rafi yang sedang berbicara dengan seseorang. Rafi kelihatan sangat ganteng malam itu. Rafi yang memakai jas hitam rapi nampak sangat berkharisma dan dewasa, membuat jantung Mia jadi dag dig dug nggak karuan.
“Ayo.” Nata menarik tangan Mia.
Mereka berjalan menuju Rafi. Cowok itu sudah sendirian sekarang. Dia mengangkat gelas dan ingin meminumnya.
“Rafi.” Panggil Nata.
Rafi berhenti bergerak, gelas itu nggak jadi menyentuh bibirnya. Dia menoleh dengan mata terbuka lebar, ketika melihat Mia datang. Dia pun berbalik badan, menghadap ke arah dua wanita itu, dengan senyum yang mengembang sangat manis dan mata tertuju pada Mia yang berdiri di balik punggung Nata.
“Happy Birthday.” Nata menyalami Rafi.
“Makasih.” Rafi tersenyum kecil.
Mia masih tertunduk di balik punggung Nata, sepertinya dia malu dan canggung. Rafi melirik dan menunggu wanita itu berbicara, senyum manis nan tulus di bibirnya tak juga hilang.
Akhirnya Mia mendongak, berjalan pelan ke depan Rafi.
“Selamat ulang tahun.” Mia mengangkat tangannya.
Rafi melihat ke tangan Mia sebelum menjabatnya lembut.
“Makasih.” Balas Rafi.
Mereka berdua tiba-tiba terdiam. Mia nggak tahu mau bicara apa, dia merasa bingung sedangkan Rafi juga ikut terdiam.
“Tadinya gue pikir lo nggak akan dateng.” Ucap Rafi.
Mia melihat Rafi, “maaf ya, tadi cuma ada sedikit masalah.” Lemahnya.
Rafi tersenyum, stay dengan gayanya yang keren abis. Mia lalu menoleh, mengamati sekitarnya. Tiba-tiba dia menyadari sesuatu yang sangat gawat.
“Nata kemana?” tanyanya panik saat nggak melihat Nata di dekatnya.
Rafi melihat ke belakang, ikut membantu mencari Nata.
Tiba-tiba…
“Hai, Raf.” Sapa seseorang.
Rafi menoleh, teman lamanya berdiri di belakangnya dan tersenyum akrab.
“Hey, man!” Rafi tersenyum dan memeluk cowok yang nggak kalah ganteng itu. Mereka berdua kelihatan sangat akur, pasti dulu mereka sahabat dekat.
“Kapan dateng?” tanya Rafi.
Cowok itu bergumam, “mmm… baru tiga jam yang lalu. Pesawatnya penuh belakangan ini. Tadinya gue mau dateng lebih cepet buat bikin surprise party, tapi nggak kebagian tiket.” Ceritanya.
Rafi tertawa. Mia masih berdiri di belakang Rafi. Saat teman lama Rafi itu menatapnya, Mia jadi kaget dan salah tingkah. Tanpa sadar dia berdiri disitu dan ikut mendengarkan pembicaraan dua cowok bertampang high class itu. Saat menyadari keadaan itu, Rafi mengenalkan teman itu pada Mia.
“Mia, kenalin, dia Alfred.”
Alfred yang ganteng itu tersenyum pada Mia hingga cewek itu menegak. Alfred menawarkan tangan kemudian Mia menjabatnya dengan canggung.
“Hai, Mia.” Alfred menyapa.
Mia tersenyum kaku, “Hai. Salam kenal.” Ucapnya.
Lalu pembicaraan kembali mengalir diantara dua orang itu. Mia jadi terabaikan dan merasa bingung kemana dia harus pergi. Nata sama sekali nggak terlihat dan semua orang di dalam sana sama sekali nggak dikenalinya.
Hingga saat dia ingin beranjak dan pergi…
“Tunggu sebentar ya?” pinta Rafi.
Mia terdiam. Tangannya dipegang oleh Rafi.
Cowok itu kembali berbalik badan, meneruskan pembicaraan serunya bersama Alfred yang ramah. Tangan kiri Rafi masuk ke dalam saku celana sedangkan yang kanan memegang erat tangan Mia yang berdiri di belakangnya, seolah nggak akan membiarkan Mia merasa seorang diri di tempat itu.
Mia tertunduk, melihat ke tangannya yang dipegang Rafi dengan mata kosong.
Ya Tuhaaann… apa yang sedang ia rasakan saat ini…???
♥♥♥
Mia terus dibawa Rafi kemanapun dia pergi. Dia mengenalkan Mia pada semua sahabat dan saudara jauhnya. Dia berhasil membangun hubungan yang baik antara Mia dan sepupu wanitanya sehingga Mia punya teman bicara dan nggak kesepian lagi.
Tiba-tiba, saat sedang berdiri di dekat jendela dan melihat ke luar, Mia melihat seseorang. Dia melihat seseorang diseberang istana itu, meski gelap, dia tahu siapa orang itu. Dia tahu siapa orang yang memakai payung dan menunggunya di bawah gerimis hujan.
“Mia.” Panggil seseorang.
Mia berbalik badan dan melihat Rafi berdiri di depannya.
“Mau diantar pulang?” tawarnya.
Tiab-tiba wajah Mia langsung berubah ceria. Rafi sendiri kaget melihat perubahan emosi itu, “nggak, Raf. Nggak usah. Gue bisa pulang sendiri.” Dia berkata dengan sangat bersemangat hingga membuat Rafi bingung.
“Oke.” Jawabnya.
“Hmm… makasih atas semuanya. Ini malam yang nggak terlupakan.” Bisiknya.
Rafi tersenyum, “makasih udah mau datang.” Ucapnya.
“Aku pulang dulu. Permisi.”
Mia berjalan melintasi Rafi. Cowok itu berdiri tegak dan tersenyum, menikmati perasaan dalam hatinya yang terasa sangat manis. Mia keluar dari rumah dengan langkah cepat, seolah udah nggak sabar menemui seseorang yang telah menunggunya di seberang jalan.
“Udah selesai pestanya?” tanya Radit.
Mia tersenyum lebar, “udah nunggu lama ya?” tanyanya.
“Lumayan.” Jawabnya.
Mia tersenyum, dia berdiri di bawah gerimis hujan.
“Ayo pakai payung. Kita harus pulang.” Suruh Radit.
Mia berjalan dan berdiri di bawah payung yang dipegang Radit. Akhirnya mereka berdua berjalan bersama-sama menuju ke rumah, tanpa menyadari bahwa Rafi melihat kebersamaan mereka berdua dari jendela rumahnya dengan hati yang teriris-iris.
10
Time Goes On…
“Vian.” Dema memanggil dari lantai atas.
“Apaan?” ketus Vian yang menjawab dari lantai bawah.
Dema berlari turun tangga dan menemui Vian.
“Apa lo nggak punya baju bersih?” tanya Dema yang bertelanjang dada.
Vian menoleh dengan pisang goreng di mulutnya, “Nggak punya.”
Dema lalu membuka keranjang pakaian kotor dan melihat banyak sekali pakaian menumpuk di dalamnya.
“Ya ampuuunn… apa-apaan sih ini?!” bentaknya jengkel.
“Gara-gara Mia kerja, dia jadi sering capek dan nggak inget nyuci baju lagi. Jadinya pakaian kotor numpuk begitu.” Sambar Vian.
“Trus kenapa lo diem aja?” Dema marah.
Vian ikut naik darah, “Emangnya gue harus gimana?” dia melotot.
Kemudian Radit masuk ke dalam rumah membawa belanjaan.
“Kita harus bantuin Mia beresin rumah ini.” Ucapnya.
Dema dan Vian menganga tak percaya.
♥♥♥
Terdengar suara seseorang yang datang. Itu pasti Mia, cewek itu seharusnya emang pulang jam segini. Saat itu, ketiga cowok yang kelelahan itu lagi duduk dan makan mie seduh di tengah rumah.
Pintu dibuka, Mia terpaku saat melihat isi rumahnya. Ketiga cowok kekurangan tenaga itu hanya duduk di tengah rumah dengan wajah pucat.
“Waah…” dia terkesima, “Siapa yang ngeberesin ini semua?” tanyanya dengan wajah berseri-seri.
“Kita bertiga.” Sahut Vian lemas.
Mia duduk di dekat mereka dan mengamati wajah ketiga cowok itu satu persatu dengan penuh tanda tanya.
“Yang bener?” desaknya tak yakin.
Vian yang paling gemas akhirnya menoleh, menatap Mia dengan wajah kecapekan, “Iya. Ini kita bertiga yang beresin. Terserah mau percaya apa enggak.” Ujarnya pasrah.
Senyum Mia terkembang lebar, “Kalo gitu makasih ya.” Katanya.
Tok tok tok
Tiba-tiba ada suara pintu diketuk. Mia segera berdiri dan berlari menuju pintu. Dia membuka pintu itu dan tiba-tiba napasnya serasa berhenti saat melihat siapa orang yang berdiri di hadapannya.
“Apa kabar, Mia? Lama tidak bertemu.” Ucap Pak Idrus, orang yang tak disnagka-sangka akan datang hari itu.
Mia masih trauma, kesadarannya belum kembali sepenuhnya.
“Ba-baik.” Jawabnya gagap.
“Boleh saya masuk?” liriknya tajam.
Mia tersentak kaget, matanya terbelalak tiba-tiba.
“Bo-boleh. Tapi… tolong tunggu sebentar.” Mia menoleh ke belakang dan mendorong pintu agar tak terbuka terlalu lebar. Dia lalu melihat ke arah tiga cowok yang sedang menyeruput mie.
“Kalian masuk ke kamar. Cepet…” Mia berbisik dengan panik.
“Siapa yang dateng?” Vian bertanya tanpa suara.
“Jangan banyak tanya. Cepet…” Mia menghentakkan kakinya, dia kelihatan kebakaran jenggot hingga membuat ketiga cowok itu berdiri dan masuk ke dalam kamar Mia.
Begitu ketiga cowok itu menghilang, Mia kembali membuka pintu dan tersenyum pada pak Idrus, laki-laki setengah tua yang berpakaian safari mahal yang sedang berkunjung ke rumahnya.
“Silahkan masuk.” Mia membukakan pintu dengan sopan.
Laki-laki itu membuka sepatunya dan masuk perlahan-lahan ke dalam rumah. Mia berlari dan mengelap lantai tempat Pak Idrus akan duduk. Dia sibuk menyiapkan tempat untuk tamu penting itu.
“Duduk disini, Pak. Biar saya buatin teh dulu.” Ucap Mia.
“Tidak, tidak usah.” Cegah pak Idrus.
Mia nggak jadi berdiri, dia duduk di seberang pak Idrus dengan cemas. Dia tahu kalau pembicaraan ini akan sangat tidak menyenangkan. Satu-satunya hal yang berkaitan dengan pak Idrus adalah hal yang buruk.
Sementara, ketiga cowok itu menguping bersama dari balik pintu kamar Mia. Mereka ikut penasaran dengan apa yang akan dibicarakan dua orang itu.
“Mia, kamu sebenarnya tau kan maksud kedatangan saya kesini?” tanyanya dengan suara yang bersahaja.
Mia tertunduk, “Iya, Pak.” Bisiknya.
“Sebenarnya saya tidak ingin membicarakan tentang hal ini padamu. Saya tau keluargamu sedang kena masalah. Saya juga menganggap kalian sebagai saudara dekat saya. Tapi saya mohon usahakanlah jumlah itu. Setengah atau seperempatnya juga tidak apa-apa, yang penting saya punya uang untuk mempertahankan bisnis saya yang hampir bangkrut.” Pak Idrus menjelaskan dengan sangat berwibawa.
Mia sendiri masih tertunduk, dia tahu seberapa besarnya peran pak Idrus dalam membantu ekonomi keluarganya selama ini. Dia juga tahu kalau pak Idrus adalah orang baik dan dia juga tahu kalau belakangan ini usaha bengkel pak Idrus yang biasanya ramai mulai ditinggalkan pelanggan.
Tapi… benar-benar tidak ada jalan lain, kecuali…
“Iya. Saya janji akan melunaskan secepatnya.” Tegas Mia mengangguk yakin.
♥♥♥
“Emangnya berapa sih hutangnya?” tanya Vian.
Mia meminum tehnya, “33 juta.” Jawabnya tenang.
“33 juta?!” Vian terbelalak.
Baginya uang segitu emang bukan jumlah yang besar, tetapi membayangkan uang segitu banyaknya ditambah keadaan Mia yang kekurangan kayak gini, dia cuma berfikir kemana semua uang itu pergi.
“Banyak banget. Emangnya uang sebanyak itu buat apaan aja?” sambar Dema yang sedang menggoreng nasi.
“Banyak.” Mia menjawab malas.
“Trus kalo nggak dibayar gimana?” Vian melirik dengan penasaran.
Phiuuuh… Mia menghembuskan napas letih. Dia kemudian bertopang dagu di atas meja dengan tatapan menyerah.
“Gue harus pergi dari sini. Pulang ke kampung trus sekolah disana.” Gumamnya lesu.
Vian menoleh dan memandang wajah cewek itu dari samping seserius mungkin. Mia sedang melamunkan banyak hal dalam pikirannya. Meskipun dia tahu kalau pasti akan sulit, tapi dia udah pernah janji sama kak Ryan kalo dia nggak akan jadi orang yang mudah menyerah.
“Kalo dipikir-pikir mungkin enak tinggal di sana. Tapi aku nggak boleh nyerah. Aku udah janji sama kakak akan jadi orang yang sukses.” Mia mengepalkan tangan dan menatap ke atas. Dia yakin kalo dia pasti bisa melakukannya. Semangat Mia itu pun akhirnya menular ke Vian.
Vian ikut mengangkat kepalan tangannya ke atas, “Chayo, Mia!”
♥♥♥
Malam harinya, Vian sama Radit lagi duduk di meja tengah sambil bermain kartu remi. Dema turun dari tangga dan langsung mengetuk pintu kamar Mia. Dia mengetuk beberapa kali, tetapi cewek itu nggak juga menyahut.
“Dia lagi keluar. Katanya dia mau beli ikan yang lagi didiskon deket toko Starlet.” Sambar Radit cuek tanpa mengalihkan mata dari kartu-kartu yang dipegangnya.
Kemudian Dema berdiri di samping Radit yang sedang duduk.
“Ini.” Ucap Dema.
Radit melirik dan melihat Dema menyodorkan handphone ke arahnya.
“Apa?” mata Radit menajam kepada Dema.
“Paman nggak mungkin percaya kalo gue yang ngomong. Vian juga nggak mungkin dipercaya begitu aja. Satu-satunya yang bisa diandalkan cuma elo biar bisa nolongin Mia.” Jelasnya dengan bersahaja.
Radit mengambil handphone itu. Dia tahu kalau ini memang cara yang tepat untuk bisa menyelamatkan cewek itu dari utang yang melilitnya. Radit terdiam sesaat untuk menyusun kalimat di kepalanya. Lalu dia menghubungi Paman Beno.
“Halo, Paman?” ucap Radit.
“Radit? Syukur kamu menelpon. Kakek ingin bicara.” Paman berkata dengan sangat bersemangat. Dia langsung menuju ke kursi besar yang diduduki kakek. Kakek sedang duduk menatap ke luar jendela setinggi 3 meter di dalam kamarnya.
“Halo?” sapa kakek, dengan suara serak.
“Apa kabar, kek?” Radit bertanya.
“Sangat tidak baik. Kalian bertiga membuat keadaan kakek semakin buruk. Sebenarnya kalian bertiga benar-benar membingungkan kakek. Kakek berikan yang terbaik demi kalian semua tetapi kalian selalu menolak.” Kakek meledak.
“Maaf kek, mungkin semua itu cuma masalah waktu.” Balas Radit datar.
Kakek menghela napas sabar.
“Kalian bertiga dimana sekarang?” tanyanya lembut.
“Di suatu tempat kek. Sebenernya Radit juga nggak tau ada dimana.”
“Apa kalian baik-baik saja?” Kakek bertanya dengan cemas.
“Ya kek, kami baik-baik aja.” Jawab Radit.
“Bagus. Jadi ada maksud apa nelpon kesini?” tanya kakek yang kini berkuasa sendirian di tengah istananya.
Radit yang mendengar pertanyaan itu langsung melirik penuh arti kepada dua kakak sepupunya yang duduk di dekatnya. Mereka berdua kelihatan menyimak dengan baik percakapan itu. Mendengar pertanyaan kakek, Radit tersenyum.
“Kita… dapat masalah, kek.” Ucap Radit.
Vian dan Dema ikut tersenyum dan memuji jawaban Radit.
“Masalah? Masalah apa?” kakek terdengar sangat khawatir.
“Vian kena penyakit, kek.” Radit tersenyum.
Vian menganga dan nggak menyangka kalau dirinya jadi alasan. Dema yang duduk di dekat Vian cuma ikut tersenyum dan merangkul bahu cowok itu.
“APA?” kakek berdiri dari kursinya dan kelihatan ketakutan, “Penyakit? Penyakit apa?”
“Dia sering bertingkah aneh belakangan ini.” Ucap Radit.
Kakek mengerutkan jidatnya yang penuh kerutan, “Aneh?” tanyanya.
“Dia sering memandangi wajahnya di cermin dengan tatapan kosong. Dia suka tiba-tiba menangis kalau menonton tv dan yang lebih aneh, dia sering mengunci dirinya di kamar mandi tanpa sebab.” Cerita Radit.
Vian mengamuk dan ingin merampas handphone itu, dia nggak terima dirinya dideskripsikan secara gila-gilaan oleh Radit. Tapi hal itu segera dicegah oleh Dema, dia langsung menutup mulut Vian dengan tangan kanannya dan menahan tubuh Vian agar dia nggak bisa meraih handphone itu.
“I-itu penyakit apa?” tanya Kakek.
“Aku kurang tau, kek. Tapi sepertinya parah. Mungkin hanya terjadi seratus tahun sekali dan menyerang satu diantara tiga ratus juta orang. Aku takut penyakit ini tidak ada penangkalnya dan akan membuatnya bunuh diri.” Karang Radit.
Vian benar-benar mengamuk. Dema meniban tubuh Vian yang meronta di atas lantai. Tangan Vian menggapai-gapai ke atas dan ingin mencakari wajah Dema. Dema masih duduk di atas perut Vian dan menutup mulut cowok itu.
“Apa? Apa yang harus kakek lakukan?” tanya Kakek lemas.
“Tinggalkan uang tunai 50 juta di tong sampah di depan supermarket Yami-Yami jam satu siang ini.” Suruh Radit.
“Apa uang itu cukup untuk mengobatinya? Apa tidak kurang?” kakek bertanya dengan super duper panik.
“Aku tidak tau, kek. Tapi tidak ada salahnya kalau kita mencoba.” Radit menjawab dengan nada yang sangat sempurna, seolah-olah si Vian emang lagi sakit parah dan bakalan mati.
“Baik, kakek berikan uangnya sesuai permintaan. Jaga Vian baik-baik. Bilang sama dia kalau kakek menyayanginya.” Bisik kakek dalam. Dia lalu memandang sangat dalam keluar jendela kamarnya.
“Terima kasih, kek.” Radit mematikan sambungan.
Dia lalu meletakkan handphone Dema tersebut di atas meja dan berjalan tanpa beban apapun menuju ke lantai atas. Dema terdiam dan mengurangi tenaganya saat melihat kepergian Radit. Vian akhirnya dapat menikmati udara bebas kembali.
“Gue nggak tau dia ternyata sehebat itu.” Gumam Dema.
“Iya, ternyata dia emang gila!” Vian berteriak kesal.
Dema terdiam dan mengangguk. Vian semakin marah melihat Dema yang masih menduduki perutnya.
“Dema, cepet berdiri! Sakit nih!” keluhnya.
Dema lalu berdiri pelan dan mengambil secangkir kopi lalu berjalan menuju pintu dan keluar rumah. Kini tinggal Vian sendirian yang masih terbaring di tengah ruangan sambil terus mengaduh dan merenungi dirinya yang sedang sial.
♥♥♥
“Darimana uang sebanyak ini?” Mia tercengang saat melihat begitu banyak uang yang tersimpan di dalam koper hitam kecil itu.
“Ini uang hasil kerja keras kami.” Kata Vian.
Mata curiga Mia melirik ketiga cowok itu bergantian, “Emangnya kalian kerja apa bisa dapat uang sebanyak ini? Jangan-jangan kalian mencuri ya?” dia lalu tersenyum sinis.
“Ampun deh, Mia! Emangnya tampang kita sebejat itu?” balas Vian.
“Itu nggak penting. Sekarang bayar semua hutang-hutangmu. Beli sepeda yang baru, bayar listrik dan beli baju baru.” Dema yang sedang serius mengukir kayu itu akhirnya bersuara juga. Dema akhir-akhir ini emang sering iseng dan membuat beragam benda dari kayu yang dia ukir sendiri.
“Jangan. Lebih baik sisanya ditabung.” Mia tersenyum. Kayaknya dia udah lupa sama masalah ‘darimana datangnya’ uang sebanyak itu.
“Buat apa ditabung?” keluh Vian capek.
“Buat kita.” Mia tersenyum semakin lebar, matanya berbinar cerah. Ketiga cowok itu langsung menatap Mia dengan seribu tanda tanya.
“Kalian nggak akan pergi dalam waktu dekat ini kan? Jadi uangnya buat jaga-jaga aja.” Mia tersenyum semakin lebar. Dia berfikir kalau dia masih bisa tinggal bersama ketiga cowok itu lebih lama dan uang itu bisa disimpannya untuk kebutuhan mendatang. Tapi entah mengapa… kayaknya ketiga cowok itu meragukan hal tersebut. Apa yang sebenarnya terjadi ya?
♥♥♥
Radit menatap tanggal-tanggal pada kalender yang terpasang di dinding kamar. Nggak terasa kalau waktu dua bulan yang diliburkan itu akan segera berakhir. Tinggal menunggu hitungan hari sampai tiba saatnya harus pergi dari rumah itu.
BRAK
Pintu terbuka. Dema dan Vian masuk.
Begitu melihat dua orang itu, Radit segera mengalihkan perhatiannya dari kalender. Dia cukup kaget dengan kedatangan dua orang itu. Dia nggak mau menunjukkan apa yang sedang ia pikirkan saat ini.
“Tinggal beberapa hari lagi ya?” tanya Dema sambil membuka lemari pakaian dan berganti kaus. Vian duduk di tepi jendela sambil memakan apel.
Radit terdiam.
“Ternyata… meninggalkan tempat ini lebih sulit dari yang dibayangkan. Benar kan?” Dema melirik pada Radit. Cowok itu masih berpura-pura tak peduli.
“Banyak yang udah terjadi disini sampai ngebuat gue nggak pengen pergi.” Vian menyambung dengan lirih, pandangannya jatuh ke halaman di luar sana.
Radit tertunduk dan berbisik, “Ya, gue juga.”
11
KUNJUNGAN BU GURU
Siang ini di koridor sekolah, Mia sedang berjalan berdua bersama Nata setelah balik dari kantin.
“Kemarin gue nggak nyangka Bu Sista datang.” Nata mengeluh.
Mia menoleh tak mengerti, “Datang? Ngapain?”
“Lo inget agenda pertemuan wali kelas dengan wali murid kan?” tanya Nata. Meskipun nggak ngerti apa yang dimaksud Nata, Mia tetap penasaran.
“Trus?” tanyanya.
“Bu Sista pasti akan datang ke rumah lo dan bertemu dengan kedua orang tua elo untuk membicarakan prestasi lo di sekolah.” Jelasnya pelan.
“Trus?” Mia masih belum nyambung.
“Sayang dia nggak ketemu Papa soalnya Papa lagi di Jerman. Akhirnya mereka bicara lewat webcam. Dia bilang gue murid rajin di sekolah. Cuma… kadang gue nyepelein tugas praktik dan lemah di bidang olahraga.” Ceritanya tanpa menoleh.
“A-apa dia juga ngomongin yang buruk tentang kita?” Mia melotot panik.
“Ya iyalah. Masa dia cuma ngomongin yang baik-baiknya doang.” Ketus Nata.
Mia mangap dengan histeris. Gawaattt…
“Mia, emangnya giliran kamu kapan?” Nata menoleh ingin tahu.
Muka Mia memucat. Nata udah tahu jawabannya.
♥♥♥
Mia langsung masuk ke dalam rumahnya begitu tahu apa yang akan terjadi. Dia langsung berdiri dan melihat ke kalender. Vian yang kebetulan tengkurep di tengah rumah sambil baca komik itu cuma bengong melihat kelakukan cewek itu.
“Gawat. Sekarang tanggal 22 ya? Ya ampuun…” Mia menarik rambutnya.
“Gawat kenapa?” tanya Vian loyo, dia nggak tertarik.
Mia berlutut di dekat Vian. Cewek itu melihat Vian dengan mata penuh harap. Feeling Vian tiba-tiba jadi buruk.
“Aku boleh minta tolong?” tanya Mia, dengan wajah sok imut.
Vian malah jadi mual ngeliatnya, “A-apa?” tanyanya.
♥♥♥
“Aku dapat wig-nya!” Vian masuk ke dalam rumah sambil menunjukkan wig yang dipinjamnya dari salon tetangga.
“Apa guru lo nggak bakalan curiga?” tanya Radit.
“Aduuh… nggak ada waktu buat itu.” Mia sibuk mengancingkan baju batik yang dipakai Radit dengan tergesa-gesa.
Radit kini sudah memakai peci, celana panjang dan baju batik yang sudah pudar warnanya bekas orang tua Mia. Dia nggak bisa menolak saat cewek itu berlutut-lutut dan nggak mau melepaskan kakinya kalau dia nggak mau berpura-pura jadi bapaknya selama beberapa menit.
Sementara Radit sudah selesai menyamar, Vian sibuk berdandan sendiri. Dia memakai baju daster milik Ibu Mia dan memakai wig. Wajahnya yang mulus dan emang mirip cewek itu dengan mudah bisa disamarkan.
“Apa gue nggak terlalu muda buat jadi bapak-bapak?” tanya Radit saat melihat dirinya di cermin yang terlihat kayak pak Lurah, meskipun mukanya yang super ganteng itu terlalu cakep untuk menjadi bapak-bapak.
“Nggak.” Jawab Mia, berusaha supaya Radit mau membantunya.
“Apa gue nggak terlalu cantik untuk jadi ibunya Mia?” tanya Vian genit.
“Sejujurnya sih iya.” Jawab Mia lagi.
“Bagaimana? Aku cantik kan?” Vian menoleh dan mengedipkan mata. Daster oranye dan wig itu benar-benar cocok di badannya.
“Bagus, Vian!” Mia bertepuk tangan dan tersenyum.
Mia melihat lagi ke sekeliling, kayaknya semua udah siap. Tapi… masih ada sesuatu yang kurang.
“Kemana Kak Dema?” tanya Mia.
Vian menaikkan bahu, “Nggak tau tuh. Sejak tadi pagi nggak balik-balik.”
Mia terdiam bingung. Tumben banget Kak Dema pergi lama tanpa bicara sebelumnya. Kemana dia ya?
♥♥♥
“Selamat siang.” Bu Sista memberi salam.
“Selamat siang, Bu.” Mia membuka pintu rumahnya, “Si-silahkan masuk.”
Mia mempersilahkan bu Sista masuk ke dalam rumahnya. Bu Sista masuk dengan sopan, melangkahkan kakinya pelan dan berdiri di dekat meja yang memang terletak langsung di tengah rumah yang kecil itu.
“Duduk, Bu. Saya buatkan teh dulu.” Ucap Mia.
Setelah dipersilahkan, Bu Sista segera duduk di atas lantai, menaruh tas jinjingnya di atas meja dan mengamati rumah mungil itu sementara Mia sedang membuat teh di dapur.
Nggak lama kemudian, Mia datang dengan cangkir putih berisi teh panas. Dia nampak gemetaran dan sangat canggung saat harus duduk berhadapan seperti itu dengan Bu Sista.
“Mana orang tuamu? Kamu nggak lupa agenda kunjungan ini kan?” tanyanya dengan penuh senyum.
Mia mengangguk gemetar, “I-iya.” Ucapnya.
“Tolong panggil mereka kesini. Ibu harus bicara.” Katanya.
Mia menelan ludahnya, “Ba-baik.”
Lalu Mia pun berlari naik ke atas tangga. Bu Sista menyeruput sedikit teh di dalam cangkir dan menunggu dengan tenang. Beberapa detik setelah itu, terdengar suara langkah kaki. Vian sama Radit yang lagi menyamar jadi ibu-bapak Mia turun dari atas sementara Mia membuntuti di belakang mereka.
“Selamat siang.” Vian memberi salam dengan manisnya.
Sista terdiam sesaat. Dia mengamati dengan aneh dua orang di depannya. Radit yang lagi menyamar jadi bapak-bapak mukanya kelihatan ganas dan jutek banget. Sementara Vian yang kelihatan banget terlalu ‘muda’ cuma senyam-senyum dengan sangat nggak rasional.
“Se-selamat siang.” Akhirnya Sista menjawab.
“Kami berdua orang tuanya Mia. Ada apa Ibu guru datang kesini?” tanya Vian.
Bu guru kelihatan curiga dengan dua makhluk itu. Mia yang melihat raut bingung dan curiga bu guru cuma bisa menggigit bibirnya dan tertunduk sambil terus komat-kamit dan berdoa dalam hati. Dia ikut duduk di belakang Vian dengan harap-harap cemas.
“Ini adalah agenda kunjungan saya selaku wali kelasnya Mia. Banyak laporan yang mesti saya sampaikan pada anda berdua tentang prestasi belajar Mia di sekolah.” Akhirnya Bu Sista mengeluarkan map laporan Mia ke atas meja. Meski terlihat masih ragu, dia berusaha untuk percaya.
“Ooh… jadi bagaimana prestasi Mia di sekolah?” tanya Vian.
Bu Sista membuka map itu, menunjukkan selembar daftar nilai Mia yang didapatnya selama 3 bulan pertama. Map itu lalu diberikan kepada Vian. Vian membacanya dengan seksama.
“Sebenarnya harus saya akui nilai Mia di sekolah menurun belakangan ini. Meskipun nilai mata pelajaran eksaknya mengalami kenaikan, tapi dilihat dari sisi pelajaran lain, nilai Mia menurun. Apa ini karena Mia bekerja sehingga dia tidak punya waktu belajar?” Bu Sista bertanya peduli, dia ingin Mia bisa dimengerti. Sejujurnya dia tahu kalau Mia punya potensi yang cukup bagus, tapi entah kenapa nilainya nggak pernah stabil. Kadang menaik dan kadang menurun.
“Sebenarnya bukan begitu Ibu guru. Mia cuma suka malas kalau mengerjakan peer. Jadi sebenarnya ini kesalahan kami berdua yang kurang mempedulikannya. Iya kan, Pa?” Vian merangkul Radit dan sok romantis.
Wajah Radit memucat karena jijik dengan adegan itu.
“Iya.” Ketusnya nggak peduli.
“Itu kertas laporan nilai Mia dalam tengah semester ini. Yang tintanya merah itu artinya dia tidak lulus nilai standar dan harus mengikuti remedial. Laporan ini sebagai acuan agar bapak dan ibu bisa memantau perkembangan Mia di Sekolah.” Bu Sista berkata dengan sangat lembut dan perhatian.
Radit membaca laporan nilai itu dengan serius. Dari belakang, Mia ikut menengok dan melihat nilainya. Dari jauh, dia tahu kalau dia mendapat banyak remedial. Makanya dia langsung manyun.
“Bodoh sekali dia. Masa nilai merahnya banyak banget.” Ketus Radit, dengan pengucapan sadis yang biasa diucapkannya. Mendengar itu, Bu Sista jadi ternganga tak mengerti.
“Iih… Papa ngomong apaan sih? Papa ngegemesin deh.” Vian mencubit pipi Radit dengan genit dan gemas. Radit masih saja datar dan merasa jijik.
“Hentikan…” bisik Radit. Vian menurunkan tangannya.
Sementara itu, Mia yang duduk di belakang mulai meminyingkan bibirnya melihat saat dua cowok itu saling berpegangan.
“Menjijikan. Kalau dilihat dari sini mereka keliatan seperti pasangan homo.” Pikirnya dalam hati.
SRRAAKK
Pintu terbuka. Semua kegiatan terhenti karena kaget.
Semua mata tertuju pada Dema. Dema yang tinggi itu berdiri dengan senyum indah tanpa menyadari apa yang sedang terjadi.
“Hai, semuanya. Ada apa ini?” tanyanya.
Dema akhirnya melihat ke arah Sista. Matanya terbuka melebar melihat cewek itu ada di rumah. Sista menunjukkan ekspresi yang lebih syok lagi.
“Ka-kamu?” Sista terbata-bata.
“Hai.” Dema tersenyum lebar.
Bu Sista menatap Mia.
“Mia? Dia…??” Alis Bu Sista mengeriting.
“Dia…” Mia nggak bisa meneruskan kalimatnya. Dia nggak tahu harus menjelaskan Dema sebagai apa dalam skenario ini.
“Saya kakaknya Mia.” Sahut Dema.
Bu Sista kembali menoleh dan kini Dema sudah duduk bersila di dekatnya. Mata Bu Sista menatap Dema dengan tak mengerti. Lagi-lagi dia bertemu dengan cowok itu. Kali ini di tempat yang benar-benar tak terduga.
Dema hanya tersenyum. Dia benar-benar tak bisa menyadari apa yang sedang dirasakan bu guru itu. Mata bulat Sista masih menatap mata Dema. Tapi cowok itu masih saja tersenyum nakal.
“Aduuh Papa. Mama kalo liat bu guru sama Dema jadi inget masa lalu kita ya, Pa?” Vian kembali memeluk lengan Radit. Radit benar-benar cuma diam dan melirik Vian dengan wajah datar yang nggak mau ambil pusing soal adegan nyeleneh itu. Karena Raditnya diam aja, Vian jadi semakin menjadi-jadi.
Dema membuka bungkusan ciki yang dibelinya.
“Mau?” dia menawarkan ciki itu pada Sista.
Guru itu terpaku tak menjawab.
“Mau dong, Dema.” Vian memajukan tubuhnya dan meraup isi ciki itu.
Dema kembali melihat Sista.
“Ibu guru suka makan ciki?” tanya Dema.
“Mm… lumayan.” Sista akhirnya menjawab ragu.
Dema memajukan ciki itu. Meski nggak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah yang ajaib itu, Bu guru Sista akhirnya ikut makan ciki bersama-sama dengan mereka semua.
Sedangkan Mia terdiam di belakang saat melihat Bu Sista melongo. Dia merasa sedih dan kecewa karena setelah hal ini, Bu Sista pasti akan berfikir kalau dia tinggal bersama dengan orang-orang gila yang tak punya otak.
♥♥♥
Kini Dema sedang mengantarkan Sista pulang. Guru itu masih memutar otaknya tentang keluarga Mia yang aneh bukan main. Dema kelihatan tenang dan nggak banyak bicara saat itu.
Sista menoleh dan menatap Dema. Karena merasa diliatin, Dema pun ikut menoleh. Dia tahu kalau Sista ingin mengatakan sesuatu.
“Kamu… kamu bukan kakaknya Mia kan?” Sista menduga.
“Aku kakaknya.” Kata Dema.
Sista semakin bingung, “Kakak kandung?”
Dema menggeleng.
“Bukan. Tapi apa pengaruhnya? Kakaknya atau bukan, itu nggak masalah kan? Aku udah menganggapnya seperti adik sendiri.” Jelasnya.
“Tapi yang tadi itu bukan orang tuanya Mia kan?” Sista masih penasaran.
Dema menoleh.
“Mereka nggak mirip sama Mia. Kayaknya mereka menyamar. Betul kan?” terka Sista yakin.
“Mereka berdua Radit sama Vian. Kebetulan kedua orang tua Mia tinggal di kampung. Mereka jarang kesini. Jadi mereka berdua hanya berniat membantu Mia. Mereka berdua sepupuku.” Ujar Dema.
“Oo… begitu. Kalo begitu Mia beruntung punya kalian bertiga.” Sista tersenyum dan bernapas lega, “Meskipun aneh dan mencurigakan, aku tau kalian semua orang baik. Makanya aku diam aja meskipun aku tau kalau kalian berusaha menipu. Dan tiba-tiba aku jadi lega karena tau Mia tinggal dengan kalian bertiga meskipun kalian bertiga itu laki-laki dan Mia seorang perempuan. Itu artinya kalian harus menjaganya baik-baik.” Pesan Sista.
Dema tersenyum.
“Itu udah pasti. Trus, gimana soal sekolah Mia?” tanyanya perhatian.
“Aku cuma berharap kalian bisa memahami kalau dia masih sekolah. Mungkin kalian harus mengajarinya lebih baik tentang membagi waktu. Dia memang bekerja tapi nggak boleh melalaikan tanggung jawabnya.” Tegasnya.
“Hm.” Cowok itu mengangguk ngerti.
Akhirnya mereka berdua sampai di depan rumah Sista.
“Makasih udah dianterin.” Ucapnya ramah.
“Sama-sama.” Balas Dema.
Guru muda itu lalu berbalik badan. Baru berjalan beberapa langkah, Dema kembali memanggil.
“Sista.” Panggilnya. Guru itu menoleh.
“Lain kali boleh aku ngajak kamu keluar?” tanya Dema.
Sista tersipu malu, “Iya.”
Kemudian Dema berbalik badan, berjalan untuk pulang. Sista masih melihat ke belakang, melihat ke laki-laki itu.
“Dema.” Panggilnya. Dema berhenti berjalan dan menoleh. Dia melihat Sista yang tersenyum penuh makna.
“Gimana kalau aku yang ngajak kamu keluar duluan?” tanyanya.
Dema mengangguk, “Boleh.”
Lalu Sista pun berbalik badan, membuka pintu rumahnya dan menutupnya kembali.
♥♥♥
“Dasar Dema! Dia beli banyak benda tapi lupa beli pesenan wajan. Udah tau wajan di rumah bolong. Apa-apaan dia?! Emangnya mau masak pake apa?” Mia mengomel sendirian di dalam dapur. Dia baru aja mau masak, eh… ternyata wajan satu-satunya di rumah itu bolong dan Dema lupa beli yang baru.
Saat itu Radit berjalan masuk ke dalam dapur dan mengambil sebotol minuman dingin. Mia memegangi wajan itu dan melihat Radit. Tiba-tiba dia punya ide untuk mencari jalan keluar.
“Dit.” Panggil Mia.
Radit sedang minum, “Mm?” gumamnya.
“Anterin gue ke toko di sono yuk?” ajaknya.
Radit melepas botol itu dari mulutnya, “Mau beli wajan?” tanyanya.
“He-eh.” Mia mengangguk dengan sok imut.
Radit terdiam, dia terlihat berfikir.
“Naik sepeda?” tanyanya lagi.
“Iya.” Jawab Mia.
Radit berdiri dan menatap Mia, “Ayo.”
Radit pun berjalan menuju ke luar. Mia senyam-senyum sendiri. Dia nggak nyangka kalau Radit mau mengantarkannya semudah itu. Tumben banget tuh cowok baek, biasanya harus pake perang dunia ketiga dulu.
♥♥♥
Vian baru keluar dari kamar mandi. Dengan kaus barunya, dia sekarang sedang menyisir rambut di depan cermin sambil nyanyi-nyanyi nggak jelas.
Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu rumah. Vian yang kebetulan sendirian di rumah langsung menuju ke pintu dan membukanya.
Deg!
Tamu yang datang itu langsung membatu saat muka cute Vian nongol di depan wajahnya secara mengejutkan.
“Elo kan…? cewek yang waktu itu kan?” tanya Vian.
Nata mencoba rileks.
“Mia mana?” tanyanya.
“Dia lagi pergi beli penggorengan. Ada apa emangnya?” Vian bertanya polos.
“Gue butuh catetan Kimia yang dipinjem dia.” Jawab Nata.
“Sekarang?” Vian bertanya.
“Iya. Ulangannya kan besok.” Balas Nata.
Vian membukakan pintu lebih lebar lagi.
“Ayo masuk.” Dia memberi izin.
Nata melangkah pelan-pelan ke dalam rumah Mia. Dia cukup merasa aneh melihat keheningan dan kesunyian yang jarang terjadi di rumah itu.
“Pada kemana yang lain?” tanya Nata.
“Mereka semua lagi pergi.” Vian menjawab.
Vian membuka kamar Mia dan masuk ke dalamnya. Dia menyalakan lampu sementara Nata mengekor di belakangnya.
“Ini kamarnya Mia?” tanya Nata.
“Iya. Sini masuk, cari aja bukunya disitu.” Vian menunjuk meja belajar Mia.
Nata masuk ke dalam kamar yang lucu itu. Belakangan ini, karena lagi punya uang, Mia jadi suka beli benda-benda lucu yang ditaruh di dalam kamarnya sehingga membuat keadaan kamar itu jadi lebih baik.
“Kamarnya rapi. Aneh ya?” Nata berkomentar.
“Kamarnya emang selalu rapi tiap hari rabu.” Sambung Vian cuek.
Nata mulai mencari-cari bukunya diantara buku yang berbaris rapi di atas meja belajar itu.
“Bukunya disini semua?” tanya Nata.
“Iya. Kemarin dia udah beresin dan semua buku ditaruh disitu.”
“Ini dia.” Nata memegang buku bersampul biru yang berlabelkan namanya.
“Udah ketemu?” Vian yang lagi berdiri di dekat pintu bertanya.
Nata tersenyum dan mengangguk.
“Lo laper nggak?” tanya Vian, “Kita makan diluar yuk?”
Nata terdiam. Dia mau banget makan diluar bareng cowok yang suka dateng ke mimpinya tiap malam itu. Tapi gimana caranya? Di luar sana pasti ada pengawal-pengawalnya yang sedang menunggu.
“Tapi…” Nata berbisik, “Lewat jendela aja.”
♥♥♥
“Capek ya? Jalannya tanjakan nih, apa gue turun aja?”
“Nggak usah. Diem aja disitu.”
“Pegangan yang kuat, nanti kalo jatoh gimana?”
“Stop stop!”
“Itu tokonya. Tunggu disini dulu ya?”
“Ya.”
“Hai.”
“Sedang apa disini? Tumben naek sepeda.”
“Gue nggak niat berantem sekarang.”
“Kenapa? Sekarang lo tau kan kalo lo pecundang?”
“Mana cewek sialan itu?”
“Lo pikir gue bener-bener suka sama dia?”
BUGH!
“Radiit!!”
“Rafi?”
“Radit! Udah!”
“Rafi?”
“Pulang kamu! Bawa ini! Masak sendiri sana!”
♥♥♥
“Aku minta maaf soal Radit.”
“Nggak apa-apa.”
“Sebenernya… Radit itu siapa?”
“Ya udah kalo nggak mau cerita. Nggak apa-apa.”
“Aku kompres muka kamu ya?”
“Iya.”
♥♥♥
“Mau makan apa?”
“Bakso.”
“Bagus, gue juga mau makan itu.”
“Apa elo nggak takut ntar dicariin?”
“Nggak.”
“Apa lo nggak takut bawa gue kabur kayak gini?”
“Sama sekali nggak. Emangnya mereka pikir lo itu binatang yang mesti dikurung terus menerus?”
“Bukan begitu, mereka cuma berpikir aku ini perhiasan yang nggak boleh rusak.”
“Oooh, begitu ya?”
“Kalau begitu… abis ini kita pergi ya?”
“Kemana?”
“Itu rahasia.”
“Mau nggak?”
“Oke.”
♥♥♥
“Sebenernya ini taman apa sih?”
“Ini taman bekas. Nggak ada yang kesini lagi karena nggak pernah dirawat.”
“Darimana lo tau ada taman ini?”
“Pas lagi jalan-jalan. Gue juga nggak sengaja menemukannya.”
“Gimana rasanya jadi perhiasan yang nggak pernah rusak.”
“Menyebalkan. Seperti perhiasan yang keliatan sempurna diluar tapi rusak dari dalam.”
“Ya. Aku mengerti.”
“Makasih udah bawa aku kesini. Kayaknya aku orang yang kamu pertama kali kamu bawa kesini. Iya kan?”
“Iya.”
♥♥♥
“Sekali lagi aku minta maaf soal Radit. Mungkin dia lagi kesel. Tapi sebenernya dia orangnya nggak mudah marah dan nggak suka kekerasan.”
“Aku tau. Lukanya juga udah lebih baik berkat kamu.”
“Kamu mau diantar pulang sama supir?”
“Ah nggak usah repot-repot. Aku jalan kaki aja.”
“Radit?”
“Sejak kapan lo disini?”
“Kenapa susah banget untuk minta maaf? Emangnya kenapa sampai kalian berdua itu berantem?”
“Jangan dekati dia lagi. Dia cuma mau memanfaatkan elo.”
“Jangan suka berburuk sangka sama orang lain. Gue tau lo berdua emang nggak pernah akur. Tapi elo jangan seenaknya ngelukain orang.”
“Apa pernah gue ngelukain orang lain tanpa alasan?”
“Apa untungnya gue nyakitin dia? Apa seseorang bisa marah kalau nggak ada yang membuatnya marah? Apa yang lo lakuin kalau ada orang… yang menghina seseorang yang sangat penting buat lo?”
“Ayo pulang.”
“Aku minta maaf ya.”
“Nggak masalah.”
“Tapi kita beli makanan dulu ya buat di rumah? Trus nanti luka di wajah kamu biar aku yang ngobatin.”
“Oke.”
♥♥♥
“Makasih udah ngajak jalan-jalan.”
“Sama-sama.”
“Lain kali kita bisa pergi lagi kan?”
“Kenapa enggak?”
“Dadah…”
“Dah.”
Cup
12
BAB
“Mia.”
“Hai.”
“Apa ini?”
“Pesta dansa sekolah. Lo ikut kan?”
“Aah… kayaknya gue ngggak ikut deh.”
“Kenapa?”
“Kayaknya gue emang nggak bisa kesana.”
“Masalah gaun? Itu sih bisa diatur, gue bisa kasih pinjem.”
“Tanggal 24 ya? Malam minggu itu kebetulan gue udah ada jam lembur buat kerja. Jadi pastinya gue nggak bisa pergi.”
“Seandainya lo pergi… Apa lo bakal ngajak 3 kucing kampung itu?”
♥♥♥
“Batalin aja niat lembur lo, Mia. Gue bisa ngasih dua kali lipat dari uang lembur lo itu. Gaunnya juga bisa gue kasih pinjem.”
“Sebenernya apa sih yang elo mau?”
“Ah?”
“Waah… mukanya Nata merah.”
“Apa lo suka salah satu dari 3 kucing kampung itu?”
“Tiba-tiba badanku lemas.”
“Nata? Nata?”
“Pak supir tolong jalankan mobilnya.”
“Jangan-jangan dia suka sama Kak Dema. Apa tipe cowoknya Nata itu om-om genit?”
“Siapa yang om-om genit?”
“WAAA!!”
“Diam-diam kamu tega mengatakan hal sekejam itu.”
“Ma-maaf.”
♥♥♥
“Mia.”
“Hm?”
“Apa sih yang dimaksud pesta dansa sekolah itu? Sekolah lo mau ngadain pesta dansa?”
“Iya.”
“Kita dateng dong?”
“Enggak.”
“Lho kok?”
“Acaranya tanggal 24. Hari itu kita kan kebagian jam lembur sampai jam sepuluh malem. Itu artinya kita nggak mungkin bisa ikutan pesta itu.”
“Waah… sayang banget kalo gitu.”
“Sayang kenapa?”
“Gue selalu jadi pusat perhatian kalo ada pesta sekolah.”
“Oh ya?”
“Suer deh.”
“Darimana lo tau tentang pesta dansa itu?”
“Nih.”
“AH!”
“Temen-temen lo ngasih ini ke gue. Katanya mereka nyuruh gue ikut.”
“Ternyata lo laku juga.”
“Punya Radit jauh lebih banyak daripada punya gue.”
“Kak Dema juga dapet ya?”
“Cuma sedikit. Yang suka sama dia paling tante-tante.”
“Emangnya nggak ada cowok yang ngajak lo dateng juga? Seorang pangeran misalnya?”
“Nggak ada.”
“Hai.”
“Rafi?”
“Mau apa lagi lo kesini?”
“Radit, jangan begitu. Nanti dimarahin Ibu Yuri.”
“Ada apa?”
“Gue mau minta maaf. Soal yang kemarin itu.”
“Nggak perlu.”
“Apa ini?”
“Mia tuh nggak bisa disuap. Jangan rayu dia pake uang!”
“Sekali lagi gue minta maaf.”
“Dia ngasih lo gaun.”
“Trus? Emangnya kenapa?”
“Dasar bodoh. Itu tandanya dia ngajak lo datang ke pesta itu.”
♥♥♥
“Lagi mikirin apa?”
“Ah?”
“Masalah pesta dansa ya?”
“Mm.”
“Ikut aja. Emangnya kenapa?”
“Aku takut aku nggak pantes ikut acara kayak gitu.”
“Hmm… kalo gitu kamu bener-bener harus ikut.”
“Oh ya?”
“Iya.”
“Trus kalian bertiga ikut?”
“Tepat sekali.”
13
BAB
“Apa aku harus pakai gaun ini?”
“Ini. Pakai ini aja.”
“Itu Dema yang milihin.”
“Kalian emang banci pesta. Kayak udah punya pasangan aja.”
“Emang udah punya.”
“Ih, bohong.”
“Radit, lo belom siap-siap.”
“Nanti aja. Pestanya kan masih dua jam lagi.”
♥♥♥
“Apa aku cocok begini?”
“Tuh kan, pantes.”
“Ini nggak terlalu seksi kan?”
“Ya enggaklah. Seksi apanya sih?”
“Bajunya pas ya?”
“I-iya.”
“Padahal tadinya gue pikir baju itu bakalan kekecilan.”
“Jadi lo pikir gue gendut?!”
“Ayo berangkat sekarang.”
“Tapi… emangnya kita semua bakalan jalan kaki? Kan sepedanya nggak muat.”
“Dia benar-benar bodoh.”
“Itu namanya polos.”
“Itu sama aja.”
♥♥♥
“Jadi kalian bertiga ini sebenarnya siapa? Punya mobil sebagus ini. Tiba-tiba datang dengan uang banyak trus ngebayarin semua utang. Sebenarnya kalian ini siapa sih?”
“Kita bertiga ini orang asing yang…”
“Vian.”
“Hm?”
“Ceritakan yang sebenarnya.”
“Oke. Jadi gini ceritanya, pada suatu hari…”
♥♥♥
“Kenapa?”
“Kalian sangat mencurigakan. Kemarin ngaku orang miskin sekarang kalian malah ngaku kalian model yang mau jadi artis. Gue jadi bingung mau percaya sama yang mana.”
“Kamu boleh percaya sama yang mana aja.”
“Karena pada dasarnya, kedua hal itu nggak jadi masalah diantara kita berempat. Betul kan?”
“Iya. Aku nggak peduli kalian bertiga itu orang miskin atau artis. Bagiku itu sama aja.”
♥♥♥
“Pestanya nggak menarik. Nggak semeriah waktu di sekolah gue.”
“Gue ke dalem dulu ya? Mau liat acaranya.”
“Mia.”
“Ya?”
“Kakak pergi dulu ya? Mau cari seseorang.”
“Iya.”
“Radit, jaga Mia.”
“Kenapa nggak masuk ke dalem?”
“Aku takut. Mendingan disini aja.”
“Takut apa?”
“Aku merasa aneh disini. Kayaknya mendingan kerja lembur deh.”
♥♥♥
“Mia.”
“Rafi?”
“Kenapa nggak pake gaun yang waktu itu gue kasih?”
“Oh, yang itu. Kayaknya… yang itu terlalu bagus.”
“Jadi kamu udah punya pasangan?”
“Ya. Gue pasangannya.”
“Bagus.”
14
BAB
“Halo?”
“Halo, Dema?”
“Kenapa, Paman?”
“Bilang kamu ada dimana sekarang!”
“Tunggu dulu, Paman. Ada apa?”
“Tiga hari dari sekarang kalian harus datang ke lokasi syuting! Produser dan sutradaranya memutuskan syuting dimulai 2 hari lagi, jadi pada hari Kamis kalian harus sudah ada di lokasi syuting!”
“APA?! Apa keputusannya udah final?”
“Iya! Kalian harus tanggung jawab! Kalian kan sudah tanda tangan kontrak! Kalian bertiga harus pulang! Kalian cuma punya waktu 2 hari untuk bersenang-senang!”
“Tapi, paman.”
“Kakek juga telah melaporkan kalian ke polisi. Sekarang kalian masuk ke daftar pencarian orang hilang. Katanya kakek sangat mengkhawatirkan kalian dan akan memenjarakan siapa aja yang telah melibatkan kalian sampai kalian nggak mau pulang ke rumah!”
Tut tut tut…
♥♥♥
“Sebenernya apa sih yang terjadi sama kita bertiga?”
“Tiba-tiba kita datang kesini dan sekarang kita jadi sangat sulit untuk meninggalkan tempat ini. Kenapa bisa begitu ya?”
“Harus gue akui… gue senang ada disini. Kejadian gempa itu dan pertemuan kita sama Mia adalah satu hal yang mengejutkan. Tapi anak itu telah menarik kita jauh lebih dalam. Apa… selama ini merasa sangat bahagia sampai kita nggak sadar kalau kita udah terlibat terlalu jauh?”
“Sebenernya apa yang Mia kasih ke kita sampai kita merasa kalau kita nggak bisa meninggalkannya?”
“Dia membutuhkan kita. Kita harus tetap disini.”
“Kakek membawa polisi dalam hal ini. Kalau kita ditemukan, Mia pasti akan mendapat masalah. Paman udah bicara tegas di telepon. Ini artinya… semua udah serius dan nggak bisa diremehkan.”
“Lo yang tertua disini. Jadi… gimana?”
“Tolong jangan bilang tentang ini sama Mia.”
“Hari kamis kita pulang.”
♥♥♥
“Semuanyaa!! Aku datang!”
“Aku mau masak nih. Kalian tunggu sebentar ya?”
“Radit!”
“Nanti malem ajarin aku Fisika ya? Besok aku ada ulangan.”
“Iya.”
“Kalian kenapa sih? Kok lemes banget? Apa gara-gara belom makan?”
“Ah? I-iya.”
“Tuh kan, kalian laper ya?”
“Mia.”
“Mm?”
“Besok kita jalan-jalan yuk?”
“Jalan-jalan kemana? Jangan yang terlalu jauh dan terlalu mahal. Kita harus berhemat. Uang yang ditabung kemarin kan buat jatah kita berempat hidup setahun.”
“Gimana kalo kita jalan-jalan ke Ancol?”
“Aku nggak mau. Aku nggak suka tempat yang terlalu ramai.”
“Trus, maunya kemana?”
“Aku nggak mau kemana-mana. Lebih enak di rumah.”
“Kalian mau pake cabe berapa? Dipedesin nggak?”
“Terserah.”
“Ooh. Kalo gitu yang sedang aja ya?”
♥♥♥
“Kenapa sih kalian semua diem? Kalian nggak sakit kan? Atau jangan-jangan makanannya nggak enak ya?”
“Mia.”
“Apa lo punya keinginan?”
“Keinginan?”
“Iya. Misalnya… mau beli sesuatu?”
“Enggak. Kayaknya belakangan ini aku lagi nggak pengen apa-apa.”
“AH! Aku tau!”
“Aku mau ngerayain ulang tahun aku. Ulang tahun aku kan dua bulan lagi lho. Tanggal 7, kalian nggak lupa kan?”
“Oh ya?”
“Iya. Aku mau ngerayainnya di rumah. Dengan kue coklat kecil sama kalian bertiga. Nanti kuenya aku yang bikin juga. Pokoknya kalian harus ngikutin apa permintaan aku. Waah… senangnya…”
“Gimana? Bagus kan?”
“Ya.”
♥♥♥
“Gua jadi semakin nggak bisa ninggalin rumah ini!”
“Ayo kita telpon Paman lagi.”
“Mau berapa kali kita telpon?! Kita udah nelpon Paman 8 kali dalam tiga jam dan jawabannya sama aja!”
“Trus kita mesti gimana?”
“Kita nggak mungkin tinggal disini terus. Suatu saat kita pasti akan meninggalkan dia sendirian. Tadi Kiki telepon gue dan ngabarin tentang pencarian kita oleh polisi. Kakek benar-benar akan menyusahkan Mia kalau kita sampai ditemukan disini. Sebelum semakin sulit lagi… kita harus meninggalkan tempat ini secepatnya.”
♥♥♥
“Kakak…”
“Tolong Mia, Kak…”
♥♥♥
“Dema.”
“Ya?”
“Lo liat Mia?”
“Enggak. Dari tadi gue nggak liat dia.”
“Jam berapa sekarang?”
“Tujuh.”
“Kita tunggu sebentar lagi. Mungkin dia pergi ke sekitar sini.”
“Nggak, kak.”
“Apa mungkin dia ninggalin masakannya seperti itu?”
15
BAB
“Gimana panasnya?”
“Masih. Panasnya masih belum turun.”
“Jaga dia disini sebentar, gue mau beli obat.”
♥♥♥
“Duuh… pusiingg…”
“Mia. Lo nggak boleh bangun dulu. Ayo cepet sana tidur lagi.”
“Apa sih yang terjadi sama gue?”
“Semalem… Radit nemuin lo tidur di atas makam kakak lo.”
“Ini hari Minggu ya?”
“Hm.”
“Banyak kerjaan. Aku harus nyuci baju.”
“Nggak usah. Radit yang nyuci.”
“Kalo gitu aku mau nyuci piring.”
“Udah dicuci sama Dema.”
“Cepet tidur lagi. Badan lo masih panas.”
“Gue nggak mau!”
“Gue udah sembuh.”
“Tuh kan, cucian piringnya masih banyak! Pakaian kotornya kemana? Jangan kalian yang nyuci! Cucian kalian nggak bersih!”
“Vian! Kenapa lo biarin dia keluar?”
“Gue udah suruh dia istirahat tapi dia nggak mau.”
“Mia!”
“Apa? Jangan suruh aku istirahat! Aku bisa ngelakuin semua ini sendirian.”
“Kalian ini emang nggak berguna! Mendingan kalian nggak usah tinggal disini lagi. Liat kan, gara-gara aku sakit sehari aja seluruh isi rumah udah nggak beres! Sekarang kalian malah nyuruh aku tiduran?! Apa nggak salah?!”
“Mia?”
“Jangan dekat-dekat! Kalian liat kan aku nangis? Semua ini gara-gara kelakuan kalian. Mendingan sekarang kalian diem aja!”
♥♥♥
“Mana meja nomor 5?”
“Disana.”
“Makasih.”
♥♥♥
“Ada masalah apa?”
“Nggak ada.”
“Guru Mia itu ya?”
“Hm?”
“Kalau lo mencintai seseorang, jangan pernah takut untuk berkomitmen. Dan kalo lo takut nyakitin dia, lebih baik lo tinggalin dia.”
♥♥♥
“Hai.”
“Jam tujuh. Bukannya itu yang kamu bilang?”
“Kamu pikir kali ini aku bisa memaafkan cuma karena bunga?”
“Nggak. Aku tau aku nggak akan pernah bisa dimaafkan.”
“Bagus. Sekarang pergi dari sini.”
“DEMA!”
“Aku… aku mencintaimu.”
“Aku minta maaf.”
“Selamat tinggal.”
“DEMA! DEMAA!!”
♥♥♥
“Lagi ngapain disini?”
“Kabur.”
“Ooh…”
“Lagi ngapain kesini?”
“Gue juga lagi kabur.”
“Oh, jadi alasan kita sama.”
“Gue boleh minta tolong?”
“Apa?”
♥♥♥
“Kenapa?”
“Mau makan apa malam ini?”
“Mana Dema sama Vian?”
“Mereka lagi…”
“Udah tiga tahun ini aku tinggal sendirian disini. Saat kalian bertiga datang, aku merasa senang soalnya aku jadi punya teman. Aku sadar suatu saat kalian harus kembali ke rumah kalian. Tapi aku sekarang sadar kalau aku udah terlanjur sayang sama kalian.”
“Aku mencintaimu…”
16
BAB
“Mana koper gue?”
“Mau sampai kapan lo bertahan disini?”
“Kita harus pergi dari sini. Ini yang terbaik buat Mia.”
“Mana koper gue?!”
BUGH
“Ini bukan cuma berat buat lo, brengsek! Lo juga pikirin perasaan gue! Pikirin Mia! Jangan pikirin diri lo sendiri!”
Mia tergeletak di dalam kamarnya sendirian.
♥♥♥
“Aku titip Mia ya?”
“Tunggu.”
“Apa kamu akan kembali lagi kesini?”
“Iya.”
“Taman itu. Nanti aku akan datang kesana.”
“Jan… Janji?”
“Janji.”
“Hati-hati ya.”
17
BAB
“Syuting berakhir! Terima kasih atas kerjasama kalian selama satu bulan ini.”
“Radit!”
♥♥♥
“Lima menit lagi.”
“Aku harus siap-siap niup lilin sama make a wish.”
♥♥♥
Nata duduk di ayunan tua itu seorang diri. Ayunannya bergerak pelan. Kaki Nata menapak di tanah. Dia memandangi sepatu putihnya dengan bosan. Kepalanya terkulai ke rantai ayunan.
Malam itu dia kabur dari rumah untuk yang kesekian kalinya.
“Nata?” panggil seseorang.
Dengan mata sayu, Nata menolehkan kepalanya ke belakang.
Matanya melebar dengan sinar-sinar kebahagiaan.
“Kamu?”
“Kenapa? Kamu kabur lagi ya?”
Nata menatap Vian dengan mata berkaca-kaca, “aku nungguin kamu.”
♥♥♥
“Kamu…”
“Apa kabar Bu Guru?”
“Sedang apa kamu disini? Kenapa kembali lagi?”
“Apa Bu Guru tidak senang aku ada disini?”
“Tidak.”
“Bu guru kenapa?”
“Aku tidak kenapa-napa! Sana pergi!”
♥♥♥
Mia melihat ke menit yang sebentar lagi akan menyentuh angka 12. Jika itu terjadi, artinya hari ulang tahunnya telah berakhir. Radit, Vian dan Dema tidak akan pernah datang.
Mia menatap kue di depannya dengan perasaan yang sangat sedih. Kemudian Mia memejamkan matanya dan menarik napas dalam. Dihembuskannya dan dibuka matanya. Kemudian dia bisa tersenyum kembali dan memancarkan cahaya penuh harap dari tatapannya.
Mia lalu mengambil korek api. Dia menyalakan lilin yang sejak pagi tertanam di atas kue itu. Dinyalakannya lilin itu dan ditatapnya penuh bahagia sekaligus kesepian. Dia berfikir, andai saja tiga orang itu dapat bersamanya saat ini.
Kemudian Mia memajukan tubuhnya, meniup satu persatu lilin-lilin itu hingga semuanya padam. Lalu Mia mengatupkan dua telapak tangannya dan mengucapkan permohonan dalam hati.
Mia mengucapkan permohonannya dengan tenang. Kemudian dia membuka matanya dengan senyuam manis yang diperlihatnya.
BRAKKK
Mia melonjak dengan kaget hingga tubuhnya mundur ke belakang. Mulutnya terbuka dan matanta melotot saat tahu siapa yang datang.
“Hosh… aku… hosh…”
Mia berbisik dengan penuh misteri, “ha-harapannya… terkabul…”
Radit berdiri di ambang pintu dengan wajah serius dipenuhi keringat. Bahunya naik turun dengan cepat karena dia berlari terburu-buru dan merasa sangat terpacu untuk segera sampai disana.
“Aku…” Radit berbisik dengan mata yang membuat jantung Mia berdegup kencang, “Aku….” Radit berbisik kembali.
Jantung Mia berdebar semakin cepat.
“Aku pulang.” Ucapnya.
Mia terpaku dengan mata kosong ke arah Radit.
Perlahan, dia mulai menunjukkan senyum manisnya.
Tiba-tiba Vian dan Dema datang sambil berlari. Mereka berdua terbungkuk-bungkuk di belakang Radit dengan napas memburu.
Dema mengangkat badannya, meski dia masih letih, dia tersenyum.
“Selamat ulang tahun.” Ucap Dema.
“Happy birthday, Mia!”
Vian berlari masuk ke dalam rumah dan duduk di depan Mia.
Mia masih terpaku dengan mulut sedikit terbuka dan mata kosong karena keterkejutannya.
Radit, Vian dan Dema duduk mengelilingi Mia.
“Yaah… acara tiup lilinnya udah selesai.” Keluh Vian.
“Tapi kita nggak terlambat dateng kan?” tanya Dema.
Mia menatap ketiga orang itu dengan senyum bahagia, “AAKKHH!!! Ini bukan mimpiiii!!!” Mia berteriak kegirangan.
“Kalian bikin ini jadi hari terindah buat aku.” Ucap Mia sambil mengatupkan dua telapak tangannya.
Ketiga cowok itu tersenyum kecil.
“Kita harus makan kuenya.” Kata Vian sambil mencolek kue itu.
“Iya. Trus abis makan kue…,”
Mia berdiri dan mengambil sebuah nampan besar dari dapur. Lalu dengan musik kematian, dia meletakkan nampan itu di atas meja hingga membuat mereka bertiga melotot ngeri.
“Kita makan makanan buatan aku kayak dulu lagi. Gimana?”
THE END