Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, etika adalah

Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral.
Kumpulan asas/ nilai yang berkenaan dengan akhlak
Nilai mengenai yang benar dan yang salah yang dianut masyarakat

Etika terbagi dalam 2 kelompok yaitu:

Etika umum

Etika yang membahas tentang kondisi – kondisi dasar bagaimana manusia itu bertindak secara etis.etika inilah yang menjadi dasar dan pegangan manusia untuk bertindak dan digunakan sebagai tolak ukur penilaian baik buruknya suatu tindakan.

Etika khusus

Penerapan moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus misalnya olahraga, bisnis dan etika profesi.

Berikut diantaranya

“NO FREE SEX”

Sebagai penganut budaya Timur Indonesia merupakan salah satu negara yang menolak adanya “free sex” terutama dikalangan remaja. Banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari hal tersebut diantaranya banyaknya angka kelahiran tanpa orang tua yang sah, pernikahan diusia belia, pembunuhan, aborsi dll.

Biasanya sanksi yang diberikan oleh masyarakat kepada penganut “free sex” mulai dari pengucilan hingga kurungan penjara apabila telah merugikan orang banyak.

Memiliki Keyakinan dan Kepercayaan

Indonesia merupakan negara demokrasi yang mewajibkan semua warga negara-nya memiliki keyakinan dan kepercayaan. Bahkan hal itu dijelaskan di UUD 1945 pasal 29.

Belum ada sanksi tegas dari pemerintah untuk para penganut atheis. Biasanya bagi warga yang tidak memiliki kepercayaan dan keyakinan (atheis) mereka mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat sekitar.

Hormat Ketika Bendera Merah Putih sedang Dikibarkan

Mungkin ini disebut perwujudan rasa hormat kita terhadap para pahlawan yang rela merebut kemerdekaan untuk sebuah bendera yang menjadi lambang negara kita.

Menjawab Salam Ketika Ada yang Mengucapkanya

Selain dianggap tidak sopan, menjawab salam juga diwajibkan karena di dalam hadist Islam dikatakan.

Hadis riwayat Anas bin Malik ra.:

Rasulullah saw. bersabda: “Apabila Ahli Kitab mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah: Wa`alaikum.” (Shahih Muslim No.4024)

Menghormati Orang yang Lebih Tua

Rasulullah SAW bersabda: “Bukan termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi orang muda diantara kami dan tidak menghormati orang yang tua” (HR. At-Tirmidzy, dishahihkan Syeikh Al-Albany).

Mendahulukan Hak Para Pejalan Kaki

Kecelakaan yang terjadi hari Minggu, 22 Januari 2012 di Tugu Tani Jakarta sangat menyita perhatian masyarakat. Kejadian ini menunjukan bahwa pejalan kaki memang belum memperoleh perlindungan memadai. Padahal hak pejalan kaki telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Lalulintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) No. 22/2009. Di sana dijelaskan pejalan kaki punya hak yang sama dengan pengendara bermotor, sehingga diwajibkan pemerintah daerah setempat menyediakan trotoar untuk pejalan kaki. Dalam) pasal 25 UU ini disebutkan setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi perlengkapan jalan berupa fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki dan penyandang cacat.

Kondisi faktual menunjukan bahwa ketersediaan fasilitas pedestrian yang layak di banyak kota besar di Indonesia, bukan hanya Jakarta, masih sangat minim. Minimnya fasilitas pejalan kaki yang aman dan nyaman di suatu kota merupakan cerminan pemerintah kota tersebut belum memahami UU LLAJ dan melindungi pejalan kaki. Sejatinya ketersediaan fasilitas pejalan kaki yang berkualitas akan meningkatkan kerekatan hubungan sosial dan kualitas hidup warga di suatu kota. Sehingga ini akan menjadikan suatu kota yang layak huni. Selain itu, semakin baik kualitas pelayanan angkutan umum, akan semakin banyak pengguna fasilitas pejalan kaki.

Meminta Maaf Ketika Berbuat Salah

Kadang susah banget buat diri kita untuk minta maaf. Ucapan tulus yang semestinya keluar dari dalam hati dikarenakan perasaan bersalah dan karena memang telah berbuat salah mesti ‘dikadalin’ juga.

Dikadalin bukan karena hal yang prinsipal. Karena yang prinsipal itu mudah; buat salah ya minta maaf. Tindakan selanjutnya adalah tidak mengulangi kesalahan tersebut. Tapi, banyak dari kita yang suka memperpanjang argumen dengan pembenaran pada diri sendiri lebih karena ego. Walau dalam hati kecil tau kalau berbuat salah, tetep saja ngeyel bin kekeuh mempertahankan argumen dikarenakan rasa gengsi yang seringkali membuat kepala menjadi besar.

Membuang Sampah Pada Tempatnya

Sangat dibutuhkan partisipasi generasi muda untuk meningkatkan kesadaran masyarakan akan pentingnya membuang smpah pada ditempatnya, jika buang sampah sembarangan maka akan terjadi banyak penyakit dan bencana seperti banjir. membuang sampah pada tempatnya dan mendaur ulang sampah” akan menyelamatkan nyawa bumi kita agar mengurangi polusi”, bagi generasi muda dan tua dimohon kesadarannya akan pentingnya membuang sampah pada tempatnya dan mendaur ulang sampah.

Menyeberang Jalan Pada Jembatan Penyebrangan / Zebra Cross

Jembatan penyeberangan dan zebra cross merupakan salah satu fasilitas yang melengkapi tata tertib lalu lintas di negara ini. Tujuan adanya fasilitas ini adalah menjamin tingkat ke ama nan menyeberang yang lebih tinggi para pejalan kali di banding dengan nekat menyeberang di tengah lalu lintas yang padat. Penggunaan jembatan penyeberangan ini juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Seperti halnya peraturan perundang-undangan yang lain, pelanggaran terhadap peraturan ini menimbulkan konsekuensi, dimana pejalan kaki yang menyeberang sembarangan bisa ditilang. Namun pada kenyataannya, konsekuensi ini tidak sepenuhnya dijalankan. Terbukti, dengan masih banyak ditemuinya pejalan kaki yang menyeberang di sembarang tempat.

Datang Tepat Waktu

Menurut (kompasforum.com; Januari 2009) Jam “karet” adalah istilah yang sangat akrab di telinga kita. Kebiasaan itu sering membuat pekerjaan terbengkalai. Untuk mengatasinya, cobalah melakukan langkah-langkah ini:

Ketahui apa yang menyebabkan kita sering terlambat
Tentukan prioritas
Cari tahu tujuan dilakukannya sebuah aktivitas dan tetaplah fokus pada tujuan itu
Buat jadwal secara terperinci
Gunakan fungsi alarm atau reminder (pengingat) pada telepon genggam
Siapkan semua yang diperlukan pada malam sebelumnya
Perkirakan waktu yang akan dibutuhkan saat perjalanan
Majukan Jarum jam
Berani katakan “tidak”
Buat daftar tugas harian
Rapikan lingkungan sekitar
Datang lebih awal, tidak hanya tepat waktu
Buatlah semacam grafik atau tabel untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang kita butuhkan untuk menyelesaikan sebuah aktivitas
Ingatlah bahwa keterlambatan kita memengaruhi kegiatan orang lain
Untuk memotivasi, beri hadiah pada diri sendiri jika selesai menyelesaikan sesuatu tepat waktu
Kalau pekerjaannya terlalu besar, “pecah”lah menjadi bagian-bagian kecil sehingga menyelesaikannya lebih mudah
Berpikir positif

Tidak Bersendawa Ketika Makan

Bersendawa bagi diri sendiri merupakan suatu kelegaan yang luar biasa tetapi bagi orang lain merupakan tindakan yang tidak sopan soalnya ketika bersendawa bukan saja mengeluarkan suara yang mengganggu tetapi juga mengeluarkan bau mulut yang tidak enak terutama ketika kita meyantap makanan berbau tajam. Bayangkan, sebaliknya jika orang lain yg melakukannya didepan anda apakah anda akan merasa nyaman dan tidak terganggu sama sekali?

Jika memang terpaksa bersendawa di meja makan atau tidak dapat ditahan, ambillah serbet dan tutup mulut Anda pada waktu bersendawa, sehingga suaranya tidak terdengar,Yang lebih baik adalah, Anda dapat ke kamar kecil, di tempat tersebut Anda dapat bersendawa.

Menjawab Ketika Ditanya Orang

Penah merasa jengkel ketika kita bertanya tetapi tidak direspon dengan baik oleh lawan yang kita ajak bicara atau malah ga di jawab sama sekali pertanyaan kita. Gimana rasanya? Kesel? Jengkel?

Menjawab pertanyaan itu sebenarnya mudah. Kalau kita tahu jawabannya ya langsung aja kasih tahu tapi kalau kita tidak tahu bilang kalo kita tidak begitu mengerti, saranin dia bertanya ke yang lain. Kita jangan jadi sok tahu.

Menutup Mulut Ketika Menguap / Batuk / Bersin

Mengenai menguap terdapat hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

“Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Karenanya apabila salah seorang dari kalian bersin lalu dia memuji Allah, maka kewajiban atas setiap muslim yang mendengarnya untuk mentasymitnya (mengucapkan yarhamukallah). Adapun menguap, maka dia tidaklah datang kecuali dari setan. Karenanya hendaklah menahan menguap semampunya. Jika dia sampai mengucapkan ‘haaah’, maka setan akan menertawainya.” (HR. Bukhari no. 6223 dan Muslim no. 2994)

“Ababila salah seorang dari kalian bersin, hendaknya dia mengucapkan, “alhamdulillah” sedangkan saudaranya atau temannya hendaklah mengucapkan, “yarhamukallah (Semoga Allah merahmatimu). Jika saudaranya berkata ‘yarhamukallah’ maka hendaknya dia berkata, “yahdikumullah wa yushlih baalakum (Semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki hatimu).” (HR. Bukhari no. 6224 dan Muslim no. 5033)

Mengucapkan Salam Ketika Masuk Rumah

Dalam QS. An-Nuur : 27-29 :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta ijin dan memberikan salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat ijin. Dan jika dikatakan kepadamu : “Kembali (saja)lah”; maka hendaknya kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan”.

Berbicara Dengan Nada yang Sopan

Berbicara adalah kebutuhan kita sebagai manusia. Berbicara merupakan salah satu cara yang efektif bagi kita untuk berkomunikasi. Dengan berbicara kita bisa menyampaikan maksud dan tujuan serta buah pikiran kita dengan cepat.

Komunikasikanlah sesuatu dengan kata-kata yang tepat dan dengan cara yang baik jangan sampai menjadi bumerang bagi diri sendiri sebagaimana ungkapan “Mulutmu harimaumu akan menerkam kepalamu”. Apalagi kalau kata-kata yang diucapkan merupakan ucapan yang tidak benar atau berupa kebohongan dan sampai menimbulkan fitnah karena “Fitnah lebih kejam dari pembunuhan”. Alangkah besar dampak suatu kebohongan yang dituduhkan pada orang lain bahkan lebih buruk dari menghilangkan nyawa sekalipun. Jadi, walau “lidah tak bertulang” tapi pengaruhnya sangat besar pada keharmonisan hubungan antar sesama manusia.

Tidak Memotong Pembicaraan Orang Lain

Kita hendaknya jangan memotong pembicaraan orang lain yang sedang berbicara karena memotong pembicaraan orang lain untuk tujuan apapun tidak dibenarkan sama sekali. Termasuk di dalamnya adalah menginterupsi guru atau dosen yang sedang mengajar dengan sebuah pertanyaan sebelum sang guru / dosen tersebut memberikan waktu khusus untuk bertanya kepadanya.

Tidak Menertawakan Orang yang Memiliki Kekurangan Fisik

Secara logika, dengan menertawakan kekurangan orang lain maka mereka beranggapan diri mereka sempurna. Kesimpulannya mereka menertawakan dan mengeluarkan kata-kata penggambaran kekurangan fisik orang lain untuk semakin mengukuhkan diri sebagai manusia sempurna. Padahal tanpa mereka ucapkan, semua orang juga tau bahwa seseorang itu memang punya kekurangan fisik. Ada juga sebagian orang yang, walau lihat ada kekurangan, mereka ngenggep hal yang wajar.

Permisi Ketika Lewat di Depan Banyak Orang

Ucapan permisi ini biasa kita ucapkan ketika sedang berjalan kaki & melewati orang yang ada disekitar kita. Tapi saat ini, hal tersebut mulai pudar atau bahkan punah secara perlahan tetapi pasti karena sudah banyak kita lihat & denger saat ini, sudah banyak sekali manusia yang ketika berjalan kaki tidak pernah atau enggan mengucapkan kata “ Permisi “ ketika ada orang disekitarnya alias acuh tak acuh. Sungguh ironis sekali, ketika hal sederhana seperti itu saja tidak mampu kita lakukan bagaimana kita bisa membangun negeri ini menjadi negeri yang rukun & damai tanpa ada permusuhan & perselisihan seperti yang terjadi saat ini.

Mungkin bagi anda, mengucapkan Permisi adalah suatu hal yang sudah tidak jamannya lagi seperti jaman Bung Karno atau Pak Soeharto yang terlihat kolot. Tapi dari merekalah kita mengerti tentang sikap & pelajaran moral yang kecil tapi dampak begitu besar terhadap rasa peduli kita terhadap lingkungan disekitar kita. Dan menghindari diri kita menjadi pribadi yang individulisme yang tidak peduli dengan keadaan lingkungan sekitar kita.

Menghargai Hak Orang Lain

Karena secara fitrah, manusia selalu ingin “dihargai”, bukan “menghargai”. Artinya, manusia itu benar-benar egosentris. Dia selalu ingin “difahami”, namun jarang sekali berusaha untuk “memahami”. Akibatnya, berat untuk hormat dan menghargai orang lain.

Dalam Islam, sikap menghargai orang lain merupakan identitas seorang Muslim sejati. Seorang yang mengakui dirinya Muslim, ‘wajib’ mampu menghargai orang lain. Baginda Rasulullah SAW menjelaskan, “Tidak termasuk golongan umatku orang yang tidak menghormati mereka yang lebih tua dan tidak mengasihi mereka yang lebih muda darinya, serta tidak mengetahui hak-hak orang berilmu.” (HR. Ahmad).

Adanya tafsir resmi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya terkait dengan pembatasan HAM di Indonesia telah memberikan kejelasan bahwasanya tidak ada satupun Hak Asasi Manusia di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. Karena di dalam pasal 28 J ayat 2 telah dijelaskan, yang bemakanakan bahwa HAM di Indonesia muncul ketika berada di tengah-tengah masyarakat demokratis yang di dalamnya penuh dengan nilai-nilai agama, moral, keamanan dan ketertiban umum. Jadi HAM tidak dapat digunakan sebebas-bebasnya menurut kehendak perorangan.

Berkata & Berbuat Jujur

orang lebih suka berkomunikasi lewat SMS atau pesan tertulis lain, ketimbang berbicara langsung maupun lewat telepon. Sebab dengan menulis pesan, mereka dapat mengemukakan hal secara terus terang, tanpa ada tekanan. “Orang lebih suka membahas informasi sensitive melalui pesan tertulis daripada komunikasi suara,” jelas pakar psikologi kognitif Fred Conrad, salah satu ilmuwan yang terlibat dalam penelitian tersebut. Saat mengetikkan pesan, tanpa disadari kita tidak melibatkan rasa bersalah yang ada pada saat kita menyampaikan pesan itu secara lisan.

Para ilmuwan juga menemukan bahwa orang cenderung menjawab secara detil dan jelas pertanyaan melalui pesan tertulis, dibanding secara lisan. ”Kami yakin, orang memberi jawaban dengan lebih tepat dan detil melalui pesan tertulis sebab tidak ada tekanan sebesar saat mereka menjawab secara lisan,” jelas Conrad.

Mengirim pesan tertulis kini sudah menjadi perilaku respon instan yang cukup mendunia, terlebih lagi pengguna ponsel terus bertambah. Bahkan orang lebih merasa efektif berkomunikasi melalui SMS atau pesan tertulis lain daripada melalui komunikasi suara. (ictwatch.com; may 2012)

Ternyata ga cuma cewek looh yang bisa patah hati, cowok juga iya. Kan sama-sama manusia dan yang pasti punya hati..

Mau tauuu apa yang biasa dilakuin ama cowok-cowok ketika mereka patah hati??? Menurut salah satu media online ada 7 kebiasaan yang para cowok lakuin ketika mereka sedang patah hati. Ini diaaa….

Cekidot!!

7 Kebiasaan Yang Dilakukan Cowok Ketika Patah Hati

1. Berkumpul dengan Teman
Saat patah hati, cowok biasanya akan mencari teman atau berkumpul bersama sahabat-sahabatnya. Cowok tidak butuh teman untuk mencurahkan kesedihannya, atau menceritakan bagaimana sakitnya patah hati, tapi hanya agar tidak selalu teringat rasa sakit hatinya.

2. Mencari Teman Kencan Baru
Beberapa cowok mengatasi patah hatinya dengan coba melupakan sang mantan kekasih secepat mungkin. Karena itu, mereka akan mulai mencari teman kencan baru hanya untuk menghapus memori tentang mantan kekasih mereka.

3. Menyibukkan Diri
Sebagian besar cowok berusia di atas 30 mengatasi patah hati dengan bekerja di kantor sampai larut malam. Menyibukkan diri di kantor bisa jadi pelarian dari rasa sakit.

4. Makan
Ternyata bukan wanita saja yang memilih makanan untuk mengobati patah hatinya, tapi juga cowok. Biasanya mereka akan memilih junk food untuk ‘mematikan’ rasa sakit hati lewat pikiran. Makan menjadi aktivitas mekanis bagi cowok untuk membantunya tetap sibuk.

5. Menonton TV
Saat patah hati, cowok biasanya akan menonton TV seharian walaupun tidak ada program acara yang menarik baginya. Menenggelamkan diri dengan menonton film atau pertandingan olahraga di TV adalah salah satu cara pria untuk mengusir sakit hatinya sejenak.

6. Olahraga
Olahraga juga dijadikan sarana bagi cowok untuk menuangkan kekesalan dan rasa sedih karena putus cinta. Biasanya mereka akan melakukan olahraga berat di gym, salah satunya angkat beban. Sakit yang dirasakan pada tubuhnya, diharapkan bisa mengalihkan rasa sakit hatinya.

7. Travelling
Sebagian cowok mengatasi patah hatinya dengan berpergian, sebagai pengalihan rasa sakit. Tak peduli ke tempat yang dekat atau jauh, perjalanan bisa sedikit mengusir emosi negatif karena perpisahan. Mereka juga mengharapkan bisa bertemu teman baru, atau bahkan kekasih baru di tempat tersebut.

Nah itulah 7 kebiasaan yang dilakukan oleh cowok ketika mengalami tragedi patah hati, apakah ada beberapa point atau kebiasaan diatas menjadi kebiasaan anda ketika mengalami patah hati?

Setidaknya 7 kebiasaan cowok ketika patah hati diatas dapat menjadi informasi yang menarik untuk anda, terutama bagi anda yang memang kebetulan sedang patah hati dan bingung ingin melakukan apa.

  • JILBAB MEMPERKECIL RESIKO KANKER

Memakai jilbab dapat memperkecil resiko terkena kanker tenggorokan dan hidung. Alasannya karena jilbab mampu menyaring sejumlah virus yang mampir ke saluran pernapasan bagian atas. Profesor Kamal Malaker asal Kanada menyatakan bahwa perempuan yang menutup kepalanya dengan jilbab jarang sekali terserang virus epstein barr yang menyebabkan kanker nasofaring yaitu jenis kanker yang paling banyak diderita masyarakat, untuk jenis kanker Telinga Hidung Tenggorokan (THT) Kepala Leher (KL).

 

  • SHALAT, OBAT BERBAGAI PENYAKIT

Prof. Dr. Andri dari Paris menyebutkan bahwa gerakan-gerakan dalam shalat bisa menurunkan dan mengurangi penyakit kegemukan, rematik, diabetes, batu empedu, sembelit dan sebagainya. Gerakan oto pada waktu shalat bisa mengakibatkan urat-urat otot  menjadi besar dan kuat. Prof. Dr. Kohirasch dan Prof. Dr. Leube menyebutkan bahwa gerakan shalat dapat mengurangi dan mencegah penyakit jantung, paru-paru, sembelit, empedu, asma, kegemukan, diabetes dan rematik.

 

  • BOCAH 5 TAHUN HAFAL DAN PAHAM AL-QUR’AN

Seorang anak Iran bernama Sayyid Muhammad Husein Tabataba’i berhasil menghafal 30 juz al-Qur’an dalam usia 5 tahun. Ia mampu menerjemahkan arti setiap ayat kedalam bahasa ibunya (Persia). Bahkan dia mampu mengetahui letak setiap halaman ayat al-Qur’an. Diusia 7 tahun ia berhasil meraih gelar doktor honoris causa dari Hijaz College Islamic University, Inggris pada Febuari 1998. Ia menjalani ujian menghafal, menerjemahkan, menafsirkan, dan menerangkan al-Qur’an. Ia lulus dengan baik dalam semua ujian tersebut.

 

  • KRITERIA YANG LAYAK MENJADI TEMAN

Syekh Az-Zarnuji dalam Ta’ilim al-Muta’allim berpendapat bahwa ada 3 sifat orang yang layak dijadikan temandalam hidup ini yaitu orang yang memiliki sifat tekun, tidak suka berbuat dosa, dan jujur dalam bersikap dan bertindak. Sedangkan yang harus dijauhi adalah teman yang mempunyai sikap pemalas, pengangguran atau tidak pandai bergaul, banyak bicara, suka mengacau, dan gemar memfitnah orang. Orang yang memiliki sifat ini dapat mengantarkan seseorang kepada kemudharatan dalam hidup.

 

  • SIWAK DAN MADU MEMPERKUAT INGATAN

Ini juga masih menurut az-Zarnuji, menururnya untuk mempertahankan dan memperkuat ingatan hafalan dapat dilakukan dengan rajin bersiwak dan minum madu. Disamping itu, segala sesuatu yang bisa mengurangi perlendiran dahak dan mengurangi perlemakan kulit badan yang diakibatkan terlalu banyak makan, juga bisa memperkuat daya ingat untuk hafalan. Sesuatu yang bisa memperbanyak lendir dahak dapat membuat orang jadi pelupa. Begitu juga degan prilaku maksiat dan suka gelisah karena berbagai urusan dunia.

 

  • METODE MENGHAFAL YANG EFEKTIF

Metode ini diperuntukan bagi anda yang masih berstatus pelajar atau mahasiswa. Agar dapat menghafal atau memgingat pelajaran dengan baik masih menurut syekh az-zarnuji ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Pelajaran hari kemarin hendaknya diulang sebanyak 5 kali hari lusa 4 kali hari kemarin lusa 3 kali hari sebelum itu 2 kali dan hari sebelumnya lagi 1 kali. Hendaknya dalam mengulang pelajaran jangan pelan-pelan sebaiknya sedikit keras dan penuh dengan semangat tinggi.

 

  • ZAM-ZAM BAIK UNTUK IBU HAMIL DAN MENYUSUI

Sebuah hadits menyebutkan “ air zam-zam penuh berkah, ia adalah makan yang mengenyangkan dan obat bagi penyakit”. (HR. Bukhari dan Muslim) bedasarkan beberapa penelitian air zam-zam mengandung mineral kalsium, magnesium, dan fluorida yang tinggi dan memiliki muatan ion-ion yang seimbang yang berfungsi membantuk tulang dan gigi, menurunkan tekanan darah, kemampuan mengikat kolesterol, membantu pembentukan otak, yang itu sangat baik untuk ibu hamil dan menyusui.

Banyak orang yang belum mengetahui banyak tentang sastra Indonesia. Padahal ini salah satuu ilmu penting yang kelak akan kita wariskan kepada anak cucu kita. Perjalanan sastra Indonesia itu sendiri dapat ditelusuri melalui periodisasi perkembangan sastra Indonesia. Selain mengetahui siapa dan apa karya para pengarang pada periode tertentu kita juga dapat memahami bagaimana prosesnya sehingga satu periode (yang lebih dikenal dengan nama angkatan) itu muncul.

Pada dasarnya ini dimaksudkan agar kita dapat mengetahui secara baik karakteristik karya dari setiap angkatan. Badasarkan periode munculnya karya sastra beserta pengarangnya sastra Indonesia terdiri atas :

  1. Sastra Indonesia lama

Bentuk dari sastra Indonesia lama itu sendiri berupa : puisi, prosa ataupun drama. Sedangkan objek sastra lama yaitu sastra daerah Melayu yang belum mendapat pengaruh dari budaya sastra barat (Eropa). Hal ini disebabkan karena bahasa Indonesia itu sendiri tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu. Namun bukan berarti bahasa Melayu sama dengan sastra Indonesia karena memang kenyataannya bahasa Melayu berbeda dengan bahasa Indonesia.

Ciri-ciri sastra lama yaitu :

  • Berbentuk hikayat, contohnya : Hikayat Hang Tuah, Hikayat Mahabharata, Hikayat Ramayana, Hikayat Seribu Satu Malam.
  • Berbentuk dongeng, contohnya : Cerita Pak Lebai Malang, Cerita Pak Pandir, Dongeng Lutung Kasarung, Dongeng Terjadinya Gunung Tangkuban Perahu.
  • Bentuk kitab-kitab, contohnya : Tajussalatina, Bustanussalatina.

 

  1. Sastra Indonesia modern

 

  1. Angkatan awal abad 20 (1801 – 1920)

Prosa sendiri baru muncul di permulaan abad 20 dalam bentuk “ feuileton “ di surat-surat kabar. Contohnya : roman Nyai Dasima , Nyai Permana. Sedangkan dalam bentuk prosa karya tersebut berbentuk riwayat (biografi atau otobiografi). Misalnya : biografi Ki Hajar Dewantara, lalu bentuk kisah seperti Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura ke Kelantan, Melawat ke Barat, Catatan di Sumatra.

 

  1. Angkatan 20-an

Para penulis novel Indonesia ditahun 20-an biasa disebut angkatan 20, angkatan Siti Nurbaya, atau angkatan Balai Pustaka. Ciri sastra pada zaman itu masih kemelayu-melayuan, artinya masih banyak bahasa Melayu yang digunakan dalam novel tersebut. Namun jika dibandingkan dengan angkatan sastra lama bahasa yang digunakan oleh angkatan 20-an sudah lebih maju dan modern.

Beberapa contoh hasil karya di angkatan 20-an: Siti Nurbaya, Menebus Dosa, Kasih Tak Terlarai, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat.

 

  1. Angkatan 30-an (pujangga baru)

Sedangkan diangkatan 30-an ini ciri yang nampak pada beberapa karya sastranya antara lain menggunakan pola pantun dan syair meskipun ada pola lain, pilihan katanya mempergunakan “ kata-kata pujangga “  atau “ bahasa yang indah “, dan gayanya cenderung beraliran romantis.

Beberapa contoh karya dari angkatan 30-an: Tak Putus Dirundung Malang, Dian yang Tak Kunjung Padam, Layar Terkembang, Nyanyian Sunyi dan Buah Rindu, Belenggu, Jiwa Berjiwa, Pancaran Cinta, Madah Kelana, Airlangga, Tanah Air, Ken Arok dan Ken Dedes, Rindu Dendam, Bebasari, Di Bawah Lindungan Kabah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.

 

  1. Angkatan ‘45

Nama sastrawan hebat diangkatan ’45 antara lain: Chairil Anwar, Idrus, Kartakusumah. Angkatan ini lazim disebut dengan angkatan Chairil Anwar atau angkatan Jepang atau Angkatan Modern.  Angkatan ini merupakan aliran modern dalam kesusastraan Indonesia karena disebabkan dorongan kebebasan yang sebebas-bebasnya dan lepas dari segala ikatan.

Beberapa hasil karya sastra yang ada di angkatan ’45 : Deru Campur Debu, Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain Menuju Roma, Aki, Atheis, Zahra.

Pada angkatan ’45 ini respon atas pujangga baru. Jika pujangga baru lebih kearah yang beraliran romantik, maka angkatan ’45 lebih mengutamakan penggambaran kehidupan secara nyata (realisme).

 

  1. Angkatan ‘66

Pada angkatan ’66 ini lebih menyuarakan suasana protes, kebangsaan dan situasi politik pada saat itu. Beberapa karya diangkatan ’66 antara lain: Tirani, Benteng, Majoi, Manusia Tanah Air, Perlawanan, Balada Orang-orang Tercinta, Blues Untuk Bonie, Sajak-sajak Sepatu tua, Potret Pembangunan dalam Puisi, Pesta, Tahun-tahun Kematian, Surat cinta Untuk Enday Rasidin, Jalan Tak Ada Ujung, Harimau-harimau.

 

  1. Angkatan 70-an

Sedangkan pada angkatan ini memunculkan gejala lain dalam sastra Indonesia Modern yaitu gejala kembali ke akar budaya tetapi tetap dengan melakukan pembaruan. Angkatan ini juga disebut dengan angkatan kontemporer.

Beberapa karyanya antara lain: O Amuk Kapak, Adam Ma’rifat, Wah Aum Gerr, Blok, Sumur Tanpa Dasar, Merahnya Merah, Lukisan Perkawinan, Wek-wek Wek, Dari Pojok Sejarah, 99 Untuk Tuhanku, Slilit sang Kyai, Orang-orang Bloomington, Olenka, Sri Sumarah dan Bawuk.

 

 

 

  1. Angkatan 80-an

Diangkatan 80-an ini merupakan lanjutan dari angkatan 70-an. Pada angkatan ini lebih dipengaruhi oleh benturan kebudayaan dari Barat dan Timur.

Beberapa karya sastra yang dibuat di tahun 80-an antara lain: Masalah Sunyi, Yang Berdiam dalam Mikropon, Kalung dari Teman, Saksi Mata, Manusia Kamar, Kenduri Air Mata, Robocop, Air Mengukir Ikan, Matahari Berkabut, Impian di Depan Cermin.

 

  1. Angkatan 90-an

Diangkatan 90-an ini lebih cenderung surealisme maksudnya aliran yang mementingkan aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dalam citraannya serta dalam pembongkaran bahasa. Terkadang juga bersikap hampa dan mulai memunculkan masalah jenis atau gender.

Karya yang muncul diangkatan ini adalah: Nikah Ilalang, Kill The Radio, Sagra, Kalimati.

 

  1. Angkatan 2000

Angkatan ini dicetuskan oleh sastrawan dan kritikus sastra korie layun rampan. Angkatan ini dipengaruhi reformasi yang terjadi di Indonesia.

Beberapa karya yang lahir pada angkatan ini antara lain: Larung, Siapa Bilang Saya Monyet, Koinobori.

 

 

©       Aku rela sakit apa aja. Cuma satu penyakit yang ga aku tahan.

Apa????

Sakit malarinduku padamuuuu J

 

©       Kalo aja hati bisa ngomong aku pasti malu banget

Lho??? Emang kenapa??

Iya. Soalnya hati aku selalu bilang  “ aku cinta kamu ” J

 

©       Aku sesak nafas

Nah lhoo… kamu sakit??

Enggak.

Terus???

Hati aku Cuma sesak aja, hati aku terlalu dipenuhi sama nama kamu J

 

©       Setiap hal di dunia ini pasti memiliki pasangan. Betul?

Yapp betul banget.

Saos sama kecap. Kanan sama kiri. Ayah sama bunda. Atas sama bawah. Baik sama buruk. Cantik sama ganteng. Dll….

Lalu..

Yaaa aku Cuma berharap kalo kelak pasangan aku KAMU ! J

 

©       Pernahkah aku menyakiti dirimu??

Entahlah…

Jika iya mungkin itu bagian dari perjalanan cinta kita. J

 

©       Kamu tahu benda apa yang paling bulat??

Heeemmm… donat?

Donat emang bulat tapi ada yang lagi yang lebig bulat. Apa?

Heemm mungkin bola sepak.

Right. Tapi ada lagi.. mau tahu apa.

Apa?

Cinta aku sama kamu J

©       Kalo aku jalan berdua sama kamu pasti orang-orang pada ngeliatin aku.

Oya? Kok bisa begitu??

Iya soalnya dari ujung rambut sampai ujung kaki aku penuh sama bunga. Bunga cinta kamu J

 

©       Kamu tahu apa anugerah yang paling indah dari Tuhan untuk aku?

Apa??

KAMU ! melihat kamu tersenyum, melihat kamu tertawa, melihat kamu orang yang aku sayang bahagia J

 

©       Boleh aku pinjem hp kamu?

Buat apa?

Aku mau kirim pesan cinta ke hati kamu J

 

©       Bisa tolong guyur aku ga?

Emang kenapa?

Hati aku panas terbakar sama bara cinta kamu J

 

©       Bisa pinjem kunci ga?

Kunci apa?

Apa aja. Kunci yang bisa membuka pintu hati kamu buat aku J

 

©       Kamu denger sesuatu ga?

Apa ya? Enggak tuh.

Masa seh?

Iya. Emang kenapa?

syukurlah kalo ga denger, soalnya aku malu kalo sampai detakan jantung aku kedengeran, kalo lagi sama kamu. Suaranya kenceng banget J

Kayu manis Cina tercatat sebagai salah satu rempah tertua di Cina. Betapa tidak, rempah ini sudah dikenal orang sejak 2.700 tahun sebelum masehi. Dewasa ini, tanaman asal Asia ini telah banyak digunakan dalam berbagai industri. Sayangnya di Indonesia tanaman ini belum dikembangkan dengan baik. Padahal dengan meningkatnya kebutuhan tanaman ini di Pasaran dunia perlu dipikirkan pengembangannya di Tanah air. Apalagi tanaman ini tidak sulit dibudidayakan secara intensif.

Tanaman ini dapat di perbanyak melalui biji, cangkokan ataupun tunas air yang telah berakar dan terdapat pada pangkal tunggal batang. Untuk memperoleh bibit berkualitas baik dipilih pohon induk yang berkualitas baik dan memenuhi syarat. Pemilihan ini didasarkan pada sifat-sifat baiknya yang tampak, kadar minyak asiri dalam kulit batang dan sinamasidehida sebagai komponen utama minyak tersebut. Kulit berkualitas tinggi aromanya lebih kaya dan menonjol serta lebih manis dan pedas atau hangat.

Pemanenan dapat dilakukan dengan menguliti tanaman baik yang belum ditebang maupun yang sudah ditebang. Panen biasa dilakukan ketika umur 4-5 tahun. Biasanya ditujukan untuk penjarangan. Saat ini pemupukan sangat diperlukan yaitu ketika tunas baru bermunculan. Agar kebun tidak terlalu lembab cukup dipelihara 1-3 tunas saja. Setelah tunas minimal berdiameter 4 cm, pada umur 3-4 tahun dapat dilakukan penebangan.

Proses berikutnya yakni menguliti batang kayu manis. Sebelum dikuliti, kulit batang harus dikerik dahulu untuk menghilangkan lapisan kulit luar yang berwarna hijau dan rasanya pahit. Setelah itu, batang dipotong melingkar dengan jarak setiap potongan sekitar 60 cm. Lalu pengulitan dimulai dari bawah menjurus keatas dengan lebar 4 cm.

 

SUMBER : MAJALAH TRUBUS, DESEMBER 2003

 

Penanaman buah seringkali mengeluh, srikaya yang ditanam di halaman berbuah kecil dan tidak seragam. Seorang kolektor tanaman memiliki cara agar srikaya memiliki buah yang banyak. Kuncinya pada pemangkasan dan pemupukan yang teratur. Pemangkasan dilakukan secara rutin setiap sebulan sekali dengan cara membuang pucuk tanaman sepanjang 30 cm. Mengabaikan pemangkasan berarti menghambat pembungaan. Buang ranting tua supaya tumbuh pucuk yang baru. Percabangan yang terlalu banyak menghalangi sinar matahari. Saat pemupukan harus tepat waktu. Srikaya itu tumbuh di tanah yang subur dan kaya akan hara. Oleh karena itu, berikan pupuk kandang 30-40 kg setiap 6 bulan. Selanjutnya tambahkan kembali 10 kg pupuk kandang. Idealnya pupuk diberikan menjelang musim kemarau atau musim hujan. Pupuk tersebut ditabur secara merata.

Setelah buah berukuran sebesaar bola ping pong lakukan seleksi. Pilihlah buah atau bunga yang sehat. Buah yang jelek segera dibuang. Buah yang masih muda dibungkus dengan kertas koran agar tidak diserang oleh lalat buah. Selain itu ada cara lain menanam srikaya yaitu dengan cara mengepotnya tanpa memangkas ranting. Caranya dengan mengokulasi srikaya. Untuk mempercepat pertumbuhan ukuran batang atas dan bawah harus sesuai. Dengan cara ini hasil okulasi dapat bertahan hidup. Tetapi penanaman srikaya secara okulasi itu mengalami pertumbuhan yang lambat.

Jika tanpa okulasi tinggi srikaya merah umur 12 tahun mencapai 5-7 M. Jika ditanam di pot kemungkinan sosoknya lebih pendek. Tetapi berproduksinya lebih cepat. Setahun setelah okulasi pohon belajar berbuah. Normalnya ketika berumur 3 tahun. Dan kita hanya mampu mempertahankan 2-3 buah perpohon karena cabangnya masih kecil. Produksi terus meningkat seiring dengan pertumbuhan umur, yakni menuai 40-70 buah dari tiap pohon. Hal yang lebih penting yakni dalam rasa tetap manis, pendek, sarat buah, paduan buah merah dan daun hijau serta perawatan mudah.

 

SUMBER : MAJALAH TRUBUS

 

1

Mia = Masalah ?

 

 

 

Terlihat seorang cewek dengan wajah serius melintas di jalanan dengan sepeda keranjang tua setianya. Cewek itu memakai blazer hitam dan rok pendek penuh lipatan dengan warna yang sama. Kemeja dalamnya berwarna putih dan dasinya membentuk silang warna merah. Tas selempang putihnya menyilang dengan manis di badannya. Di permukaan blazernya terjahit lambang sebuah sekolah yang sangat ternama, SMA Pelita Nusa.

Cewek itu bernama Mia. Rambutnya lurus melampaui bahu dan dia selalu mengikatnya saat ke sekolah. Poninya panjang menyentuh alisnya. Badannya nggak terlalu tinggi dan dia lumayan kurus.

Mia mengayuh sepeda keranjangnya dengan cepat. Rasanya dia sudah mengayuh sepedanya secepat mobil F1 yang lagi balapan. Pantatnya bahkan nggak menempel di jok. Dia juga nggak perlu rem untuk berbelok maupun untuk meluncur di turunan. Dia nggak peduli dengan apapun yang terjadi selain tiba di sekolah tepat waktu dan terhindar dari hukuman.

Begitu dilihatnya gerbang sekolah dari jauh dan lapangan terlihat sepi, dia segera meningkatkan kecepatannya. Kemudian dia masuk ke halaman sekolah dan menuju ke parkiran. Lalu dengan polosnya dan tanpa beban menaruh sepedanya begitu saja diantara mobil Avanza dan Mercedes.

Kemudian Mia berlari dengan cepat. Lapangan berpasir yang cukup mengepul hari itu diabaikannya. Lapangan terlalu luas dan kelasnya di lantai tiga terlalu jauh untuk dicapai.

Akhirnya saat berlari di tengah lapangan, Mia berhenti untuk melepas dua sepatunya. Kemudian dia berlari dengan cepat menuju ke kelasnya dengan kedua sepatu ditenteng di tangan.

♥♥♥

          Sekarang pukul 07.40, itu artinya bel udah berbunyi 10 menit yang lalu.

Mia nggak mau menyerah. Masih ada harapan. Setidaknya guru belum masuk ke kelas, sehingga dia bisa masuk, berpura-pura tenang dan segalanya bisa jadi lancar.

Dia berlarian di koridor yang lenggang. Menaiki tangga dengan cepat tanpa peduli seberapa banyak keringat yang ada di tubuhnya.

Akhirnya dia melihat kelasnya, XI IPA 5.

Tanpa mengurangi kecepatan, Mia menggeser pintu kelas.

BRAK!

JREEEENGG!!!

Semua mata di dalam kelas itu menatap Mia datar. Lebih tepatnya, mereka semua terlihat seperti orang Cina dengan mata sesipit itu. Segala kegiatan berhenti, cuma bernapas yang mereka terus lakukan.

Mia berdiri di depan pintu dengan tangan terbentang dan mulut terbuka untuk berekspirasi secara maksimal. Tali sepatu masih terlilit diantara jarinya. Ditatapnya kelas yang lengkap. Tanpa guru.

Fiuuh…

Mia tersenyum.

Tanpa dia sadari Pak Banu muncul dan berdiri di belakangnya. Wajahnya yang tegas dan bulat mengerut melihat Mia. Tangannya terangkat dan menjewer kuping cewek yang nggak beruntung itu.

“A-aduh!” keluh Mia kesakitan sambil memutar badannya.

Kelas jadi ramai, mereka semua tertawa pelan.

“Mia!” teriak pak Banu, “Kamu lagi!”

“Maaf, pak.” Bisik Mia sambil terus menggerakan kepalanya mengikuti tarikan tangan Pak Banu.

“Kamu tau apa hukumannya buat kamukan?” tanyanya.

Mia mengangguk dengan mata terpejam menahan sakit.

 

♥♥♥

          Mia emang bener-bener cewek yang nggak beruntung. Dia kini sedang berjongkok dan berlompat-lompat di koridor depan kelasnya dengan kedua tangan di telinga. Dia harus melakukan itu terus menerus sampai jam istirahat datang.

Sebenarnya ini bukan kali pertamanya Mia mendapatkan hukuman seperti ini. Dia emang lumayan sering terlambat. Bagi sekolah dengan level tinggi seperti ini, murid yang terlambat lebih dari 3 kali termasuk langka. Dan untuk kasus Mia, dia udah terlambat 5 kali.

Pagi ini dia kembali terlambat gara-gara tidur terlalu larut. Sebenernya itu nggak akan terlalu parah kalau aja dia nggak lupa ngerjain peer mengarang Bahasa Inggrisnya dan nggak lupa kalau jarak rumah dan sekolahnya luar biasa jauh.

Mia cuma bisa mengelus dada atas kejadian ini. Dia sudah terbiasa dengan nasib buruk yang sering menimpa dirinya.

Beberapa murid yang sedang melintas atau baru saja kembali dari toilet berbisik dengan tatapan rendah melihatnya. Mia nggak bisa melakukan apapun kecuali tertunduk dengan wajah malunya dan melanjutkan hukuman itu apapun yang terjadi.

♥♥♥

 

Akhirnya bel sekolah berbunyi nyaring, tanda jam istirahat telah tiba.

Terdengar pintu kelas digeser, seseorang akan keluar dari sana. Mungkin Pak Banu. Masih dengan tubuh berjongkok, tangan di telinga, rambut berantakan ke depan wajah dan muka keletihan, Mia membalikkan tubuh, menghadap ke pintu.

“Hah?!” Mia berteriak kaget sambil menundukkan kepalanya cepat-cepat.

Ternyata bukan Pak Banu yang keluar, yang keluar adalah seseorang membuat jantung Mia berdebar kencang datang melintas. Mia berusaha agar wajahnya tidak terlihat, tapi dia masih terus mengawasi Rafi dengan lirikan matanya.

Rafi.

Dia akan lewat disamping Mia.

Rafi keluar dari kelas dengan kedua tangan di dalam saku. Satu langkah keluar dari kelas, dia langsung berhenti. Kepalanya menoleh ke kiri, melihat Mia yang sedang tertunduk dengan gemetaran.

Tatapan mata Rafi yang sedingin es melihat Mia melalui lensa kacamatanya. Beberapa detik dia terdiam dengan tatapan tajam ke arah Mia.

“Dasar bodoh.”

Langkah Rafi mulai terdengar. Dia bergerak menjauh dengan ketukan langkah kaki yang berirama.

Secepat kilat Mia mengerutkan alis dan memanyunkan bibirnya. ‘Dasar bodoh?’, apa kalimat itu diucapkan Rafi kepadanya? Atau dia cuma berhalusinasi?

Mia tertunduk masih dengan berfikir. Kemudian ada langkah setengah berlari yang datang mengejar Rafi. Mia tahu, itu pasti Dona, teman sekelas Rafi yang selalu mengikuti Rafi kemanapun dia pergi.

“Rafi!” panggilnya.

Tuh kan… itu suaranya Dona.

Mia mengelus dada dan menghembuskan napas kuat-kuat untuk bersabar.

Rafi adalah cowok di sekolah yang sudah setahun ini disukai oleh Mia secara diam-diam. Mia tahu kalau dia nggak mungkin bisa mendapatkan Rafi. Rafi itu orang yang nyaris sempurna. Wajahnya ganteng, gayanya keren, dia pendiam, pintar, dan akan menjadi ahli waris atas 3 perusahaan milik ayahnya. Sedangkan Mia? Dia cewek biasa yang sering nggak dianggap, sering mendapat nilai jelek, tidak punya sahabat dekat dan bisa masuk ke sekolah semahal ini karena beasiswa yang didapatnya karena dulu ayahnya berjualan di kantin sekolah.

Dona merupakan satu diantara ratusan penggemar Rafi yang beruntung. Dia yang paling memenuhi kualifikasi untuk menjadi pacar Rafi. Cewek itu cantik, dia pintar dan ayahnya seorang pengacara terkenal. Itu membuat harapan Mia untuk mendekati Rafi semakin mustahil.

Setelah langkah Rafi dan Dona tidak terdengar lagi, Mia kembali melanjutkan hukumannya sampai pak Banu menemuinya dan mengizinkannya untuk masuk ke kelas. Pfuuh…

2

Gempa?

Tamu Tak Diundang?

 

 

Malam hari, pkl. 17.25

Sebuah mobil BMW hitam melaju di jalan.

“Besok hari pertama syuting. Pasti jadi hari yang panjang dan melelahkan.” Kata Dema yang sedang menyetir mobil.

“Udah pasti. Apalagi kita bakalan main bareng.” Kata Vian yang sedang memegang majalah, “tiga sepupu main bareng di satu film besar. Padahal kita kan baru pertama kali ikut casting, eh diterima.”

“Itu gara-gara lo berdua saudara gue.” Dema menyombongkan diri, “biar belum pernah main film, gue kan udah cukup lama jadi model majalah.”

Vian meminyingkan bibir, meremehkan kata-kata kakak sepupunya yang sombong itu. Sementara Radit, yang paling muda diantara ketiganya hanya menatap kosong ke jalanan melalui kaca jendela. Dia terlihat tidak tertarik dengan obrolan dua kakak sepupunya itu.

“Lagian ngapain sih lo berdua ikut-ikutan gue?” tanya Dema, “tiba-tiba muncul di sana trus ikutan casting?”

“Daripada gue kuliah. Iya kan?” balas Vian sambil menunjukkan senyum manisnya yang membuatnya keliatan seperti anak perempuan. Dema melirik kesal pada Vian yang menjadikan dirinya sebagai tempat pelarian.

“Lo, Dit? Tumben lo ikut-ikutan gue kayak gini?” Dema bertanya pada Radit.

“Gue nggak mau terus-terusan di rumah dan jadi bonekanya kakek.” Balasnya datar tanpa menggerakkan bola matanya, “lagian gue bosen ngerjain yang itu-itu aja. Sekali-kali pengen keluar.”

Dema berdehem, menatap serius bayangan Radit yang duduk di kursi belakang dari kaca depan mobilnya.

“Kalo lo sendiri, Dem?” tanya Vian pada Dema, “jadi model aja belom becus, sekarang malah mau jadi pemain film.”

Dema tersenyum penuh maksud, “kalo gue? Gue cuma mau ngehindar dari kakek yang terus-terusan nyuruh gue nikah. Lo tau kan gue paling nggak bisa terikat dengan komitmen apapun?” jawabnya.

Vian mengangguk sok ahli. Kemudian dia kembali menyender dan melanjutkan kegiatan membaca majalahnya.

Ketiga sepupu ini dilahirkan dengan sifat dan wajah yang berbeda-beda.

Yang pertama bernama Dema. Dia yang paling tua diantara ketiganya. Umurnya 27 tahun. Dari wajahnya terlihat kalau dia sudah dewasa. Meski sebenarnya dia sangat nggak berprinsip dan masih suka main-main kayak anak kecil. Mukanya ganteng, garis tulangnya kokoh seperti laki-laki macho. Brewok dan kumisnya tumbuh tipis untuk memaksimalkan perannya di film nanti.

Vian yang kedua. Umurnya 19 tahun. Orangnya supel, ramah, lucu dan cerewet. Mukanya cantik dan putih mulus seperti boneka. Sebenarnya dia punya banyak penggemar sejak kecil. Apalagi dia termasuk cowok penuh kelembutan yang tau gimana caranya menarik hati perempuan. Tapi dia orang yang nggak pernah menganggap sesuatu dengan serius. Mungkin dia cuma belum dewasa.

Radit yang terakhir, yang paling muda diantara ketiganya. Dia baru 16 tahun, baru tiga bulan lulus dengan NEM tertinggi di sekolahnya dan bisa lulus semuda itu karena ikut kelas akselarasi berkali-kali. Dia adalah pangeran di keluarga besar Asmadiputra, karena dia satu-satunya yang paling perfect. Dilihat dari segi manapun, dia terlihat seperti pangeran dunia nyata. Wajahnya keren, otaknya encer dan dia adalah cucu kesayangan kakek, yang katanya akan mendapat warisan keluarga paling besar kalau nanti kakek meninggal. Hanya satu kekurangan Radit, dia orang yang sangat tertutup, berbicara seperlunya dan nggak terlalu baik dalam interaksi sosial.

Persis seperti apa yang ada dalam fikiran Vian saat ini. Dia merasa aneh melihat Radit yang duduk bersebelahan dengannya di kursi belakang. Mata Radit melihat keluar jendela dengan sangat tajam. Alis Vian mengeriting melihat tatapan Radit.

Memang seperti itulah tatapan Radit. Tajam, kadang terlihat sangat angkuh dan kasar. Semua benda yang dia lihat, dilihatnya dengan tatapan seperti sebuah rasa benci, meskipun maksudnya bukan begitu. Dingin dan tajam, mungkin dua kalimat itu yang tepat untuk menggambarkannya.

“Dit.” Vian memanggil.

“Hm?” Radit menanggapi datar.

“Apa lo selalu menatap orang kayak gitu?” tanya Vian.

Radit menoleh dengan wajah tidak mengerti. Vian dengan wajah kanak-kanaknya yang imut menatap Radit. Matanya mengatakan secara tidak langsung kalau Radit pasti mengerti maksud ucapannya tadi.

“Dia main di film ini karena sifatnya yang itu. Karena tatapan matanya cocok sama karakter di skenario. Tipe cowok dingin yang rela mati demi prinsipnya,” Dema menyahut dari depan, “Dia beda sama elo, Vian. Yang diterima karena lo cocok jadi peran banci di film.”

Vian memukul bahu Dema pakai majalah. Radit kembali membuang mukanya. Dema tertawa geli saat berhasil membuat Vian marah.

Lalu tiba-tiba…

Ckkkiiiittt

Dema menginjak rem. Mobil berhenti 6 km dari pintu masuk tol Bandung.

Tanah bergoyang, cukup kuat dan sangat terasa. Tiga laki-laki dalam mobil itu terdiam bingung. Di sekitar mereka masih banyak mobil lain yang berjalan meski jalanan berguncang. Dema terdiam cemas dengan punggung bersandar dan kedua tangan memegang erat setir mobil.

Tanah terasa bergoyang sekitar 20 detik. Setelah itu getarannya hilang. Meski begitu, tetap saja yang tadi itu merupakan kejadian yang tak pernah diharapkan untuk terjadi dan sangat mengkhawatirkan.

“Ya ampun…” Vian akhirnya bisa berbicara, “tadi itu gempa ya?” dia bertanya dengan mata bulat dan mulut menganga.

Dema tak bisa menjawab karena syok.

Radit justru menoleh dengan polos. Jangan-jangan dia nggak ngerasain ada gempa saking seriusnya melototin jalan?

“Mungkin.” Radit akhirnya merespon tak acuh.

“Itu tadi gempa!” teriak Dema, “gempa yang sangat kuat!”

“Jangan-jangan abis ini bakalan ada tsunami?” gumam Vian.

Radit dan Dema mematung dan merinding mendengarnya.

Hanphone Dema berdering saat getaran hilang. Dema tetap pada posisinya. Dadanya kembang kempis dengan kencang. Tangan masih di setir, punggung masih bersandar dan tatapan mata masih kosong. Kayaknya dia cukup parno gara-gara kejadian tadi.

Perlahan, Dema memasukkan tangan ke dalam saku mantelnya dan mengambil telepon. Dibacanya nama pada layar. Panggilan dari Dudi, sahabat yang juga merangkap sebagai manajernya.

“Halo? Ada apa?” tanya Dema.

“Lo tuh yang ada apa! Baru aja ada gempa disini!” teriak Dudi panik.

“Gue tau. Disini juga terasa.” Jawab Dema.

“Kalian bertiga baik-baik aja? Vian sama Radit masih utuh?” tanya Dudi.

Dema memalingkan wajah ke kursi belakang dengan malas. Dilihatnya Vian yang tersenyum manis seperti malaikat dan Radit yang bertopang dagu melihat keluar jendela dengan tampangnya yang dingin.

“Sempurna.” Kata Dema.

“Aduuuh… syukurlah…” Dudi bernapas lega.

“Gimana keadaan disana?” tanya Dema.

“Keadaan disini sangat buruk. Gempanya kuat disini. Semua orang keluar dari gedung dan berlarian ke jalanan. Kantor agensi kita aja kacanya pada retak. Listrik mati dan pohon tumbang di jalanan. Banyak kecelakaan terjadi.” Ucap Dudi, “Kalau kalian? Dimana kalian sekarang?! Harusnya gue yang nanya! Gue kan manajer kalian?!” Dudi berteriak keras.

“Masih di jalan.” Jawab Dema.

“Dimananya?” Dudi mendesak.

Dema melihat keluar jendela dengan bingung. Di seberang sana, dia melihat gedung tinggi dengan lampu bersinar berwarna kemerah-merahan. Dema mencoba membaca kalimat di gedung itu.

“Dekat parahayangan hotel.” Jawabnya.

“Gawaatt… sebaiknya kalian nggak usah terusin perjalanan.” Kata Dudi stres.

Dema mengeritingkan alisnya, “Kenapa?”

“Sepuluh kilometer dari tempat lo sekarang ada kecelakaan beruntun dan jalanan anjlok. Nggak mungkin kalian bisa lewat sana. Terlalu berbahaya. Tadi gue dikabarin sama temen.” Sahutnya.

“Trus, gue puter balik aja?” tanya Dema.

“Mampus deh.” Dudi menepuk jidatnya.

“Ada apa lagi?” Dema bertanya panik.

“Kalian kejebak disana. Di belakang kalian juga diblokir. Kecelakaan sama jalanan retak.” Jelasnya.

“Trus gue mesti gimana?” Dema mulai pasrah. Mungkin ini emang udah takdirnya untuk berakhir dengan hal menyedihkan seperti ini.

Mengetahui percakapan yang mulai serius, Vian dan Radit mulai melirik ke Dema, mendengarkan percakapan itu dengan seksama. Suara Dudi yang cempreng dan besar itu terdengar meski nggak lewat loudspeaker.

“Sebentar… biar gue pikirin.” Dudi berfikir seperti paranormal.

Dema menyandarkan kepalanya ke sandaran kepala di jok. Dia mulai malas dan ingin sekali keluar dari tempat itu. Kemudian, sambil menunggu jawaban Dudi, tiba-tiba dia mendapat ide.

“Berapa jarak blokiran dari sini kalo gue puter balik?” Dema bersemangat.

“Kira-kira sepuluh kilometer.” Dudi memperkirakan.

“Oke, makasih ya.” Kata Dema.

Lalu dia memutuskan sambungan dan me-nonaktifkan ponselnya.

Vian yang penasaran memajukan tubuhnya kepada Dema, “Kita kemana, Dem?” tanyanya ingin tahu.

“Duduk dan jangan banyak tanya.” Suruh Dema sambil menarik perseneling dan memutar arah mobilnya, “kita bakalan keluar dari sini.”

 

♥♥♥

          Mobil berguncang kanan kiri saat melintasi jalanan yang berbatu, berlubang dan rusak. Vian dan Dema memerhatikan sekeliling, hanya Radit yang kayaknya nggak terlalu terpengaruh dengan situasi ini. Dia tetap tenang.

Dema membawa mereka ke suatu tempat, nggak tahu ini daerah apa. Tadi Dema puter balik, lalu masuk ke jalanan tikus dan akhirnya sampai di tempat ini. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah hamparan luas sawah yang gelap serta suara nyanyian kodok dan jangkrik.

“Ini dimana, Dem?” Vian melihat pemandangan itu dengan bingung.

“Nggak tahu.” Jawab Dema.

“Dimana hotelnya?” Vian bertanya polos dan bodoh.

“Dasar bego! Kita nggak mungkin nemuin hotel disini!” Dema membentak.

Vian kembali mengangguk sok ahli.

Kemudian mobil berhenti. Lampu mobil menyoroti sebuah rumah yang pertama mereka lihat. Sebuah rumah mungil, satu-satunya rumah yang berdiri di depan hamparan sawah tadi.

Dema terdiam menimbang-nimbang beberapa saat. Lalu dia mematikan mesin, memarkirkan mobil di dekat rumah itu.

“Ayo, turun.” Ajak Dema sambil membuka pintu mobil.

Vian beranjak turun dengan semangat sementara Radit turun dengan tenang. Dema berjalan memimpin menuju ke rumah itu. Saat dilihatnya, dia terpaku sejenak sampai Vian datang dan berdiri di sampingnya.

Vian memperhatikan rumah kecil bercat kuning dengan dua lantai itu. Sebenarnya rumah itu biasa saja, keliatannya sempit. Tapi entah kenapa… pernak-pernik dan penampilan rumah itu terlihat unik. Lucu dan menarik. Tapi entah kenapa perasaan mereka jadi nggak enak kalau membayangkan penampilan dari pemilik rumah se-eksentrik itu. Jangan-jangan pemiliknya laki-laki gemuk hitam yang memakai pakaian cewek dan berlipstik merah.

“Rumahnya lucu.” Vian berkomentar ragu.

Dema tersenyum kecut, “Iya.”

Rumah itu berpagar. Dema memutuskan untuk berteriak dari luar.

“Permisi.” Teriak Dema.

Masih belum ada sahutan.

“Permisiii!!!” Vian membantu sambil meninggikan suaranya.

“Sebentar.” Teriak seseorang dari dalam, kedengarannya seperti suara cewek.

Ada suara langkah kaki berlari di tangga. Dema dan Vian melirik. Kayaknya ada seseorang yang merespon mereka.

Tapi tiba-tiba terdengar suara jatuh disertai rengekan.

“Aduuh… sakiit…”

Krek

Pintu terbuka. Seorang cewek dengan napas cepat membuka pintu. Mukanya kelihatan meringis dan bloon. Rambutnya acak-acakan kemana-mana. Dia kelihatan kebingungan sambil mengamati orang-orang yang datang ke rumahnya.

Dema tersenyum sangat manis, “Hai.” Sapanya.

Cewek itu masih bengong dan akhirnya gelagapan sendiri, “Ha-hai.”

“Boleh kami masuk?” tanya Dema dengan suaranya yang matang.

Dema dan Vian kelihatan mempersiapkan senyum maut mereka. Hanya Radit yang paling tak berekspresi, mukanya galak. Dema tersenyum sok keren sementara Vian cengar-cengir kayak orang gila. Niatnya sih mereka mau membuat iamge baik di depan Mia. Tapi semua itu malahan membuat Mia jadi tambah bingung.

Mia memperlihatkan wajah polosnya yang tidak mengerti, “Kalian siapa?” tanyanya dengan curiga.

Dema membungkuk, “Terima kasih.”

Lalu Dema masuk begitu saja ke dalam rumah Mia. Cewek si pemilik rumah justru terpaku dengan mulut komat-kamit tanpa kata. Vian berlarian masuk seperti ke rumah sendiri. Hanya Radit yang masih di luar.

Mia melongo dengan mulut menganga. Dia lalu melihat Radit yang berdiri disana. Radit tahu kalo cewek bermuka aneh itu merasa kaget dengan musibah yang baru saja menimpanya. Tapi bukannya minta maaf atau apa, Radit menatap Mia datar dan langsung berjalan masuk.

Mia masih di depan pintu rumahnya. Otaknya masih memroses kejadian tadi dengan kecepatan 56 kbps. Setelah cukup lama berbengong-bengong di sana, akhirnya dia masuk ke dalam dan melihat 3 makhluk tak tau diri itu.

“Eh eh, gue nggak bilang boleh masuk.” Sahut Mia dari ambang pintu.

Ketiga cowok keren itu nggak menjawab. Mereka melepas mantel mereka dan memandangi rumah kecil Mia. Gelagat mereka udah kayak orang yang diterima di rumah itu. Udah serasa jadi pemilik rumah malahan. Si Vian malah langsung nuangin air dingin ke dalam gelas dan meminumnya.

“Kalian semua siapa? Gue laporin pak RT kalo kalian semua berniat jahat!” teriaknya mengancam. Tapi setelah dilihat-lihat, mukanya nggak kelihatan kayak orang yang mengancam. Dia ngomong dengan muka datar, nggak sinkron sama kalimat yang dia ucapkan.

Dema melirik dengan senyum manis yang selalu jadi senjata andalannya untuk meluluhkan hati wanita, “Kita bertiga nggak berniat jahat. Kita cuma mau numpang disini buat beberapa malam.” Ucapnya sambil minum.

Pipi Mia menggembung, matanya menyipit.

“Hah? Numpang?” tanyanya.

Dema kembali melirik dengan apel di giginya, “Iya.”

Lalu ketiga cowok nggak tau sopan santun itu mulai melakukan segala hal yang tak dibenarkan. Mereka mengintip sana-sini dan mengeluarkan ini-itu dari tempatnya. Mia yang berdiri di luar masih berfikir soal yang tadi.

“Tapi-tapi, ini kan bukan hotel.” Mia membalas lugu.

“Hai…!!!”

Tiba-tiba wajah Vian muncul di depan muka Mia. Cewek itu mundur mendadak sampai tubuhnya menyentuh tembok. Wajah Vian terlihat sangat besar dilihat dari jarak yang sangat dekat dari matanya. Vian tersenyum dengan aneh.

“Namanya siapa?” tanya Vian.

Mia terdesak dengan mata menatap ngeri.

“Mi-mia.” Jawabnya.

Vian mundur dan mengulurkan tangannya. Masih dengan posisi tersudut dan wajah ketakutan, Mia menjabat tangan Vian. Dari mukanya itu udah ketahuan kalau dia benar-benar tak bisa menerima apa yang sedang terjadi.

“Nama gue Vian.” Cowok itu tersenyum, “Yang mukanya tua namanya Dema dan yang keliatan galak itu namanya Radit.”

Dema dan Radit menoleh dengan kesal saat dijelek-jelekkin sama Vian. Vian justru tersenyum dengan sengat manis hingga menimbulkan efek gliter berterbangan di wajahnya sampai Mia tersipu.

“Jadi, kita boleh nginep disini kan?” tanya Vian.

Mia gagap dan tidak bisa menjawab.

“Tenang, nanti kita bayar ganti ruginya.” Dema menyahut.

Mia jadi tambah bingung.

Ditambah lagi saat Vian menaruh tangannya di samping kepala Mia. Cowok itu memasang wajah penuh pesona dan menatap Mia dalam. Mia sampai merasa dingin saat cowok ganteng itu di depannya.

“Ada berapa kamar di rumah ini?” tanyanya dengan suara diberatkan.

“Ti-tiga.” Mia gagap.

“Bagus kalo gitu. Satu orang dapet satu kamar.” Vian bernapas lega.

Mia sewot, “Hah? Trus gue tidur dimana?”

Tiba-tiba Dema berdiri maju dan merangkul pundak Vian dan Radit dengan wajah mesum yang menggelikan, “Bercanda kok. Kita bertiga bisa tidur bersama dalam satu kasur.” Ucapnya manis.

Mia ternganga saat melihat mereka bertiga seperti trio homo. Wajahnya pucat dengan aroma kengerian yang terpancar jelas. Radit segera menurunkan tangan Dema dari pundaknya dengan wajah memerah menahan malu.

“Kalian…” Mia bergumam, “kalian mencurigakan.”

 

♥♥♥

          “Ini kamar bekas orang tua gue.” Mia menunjukkan kamar tempat kedua orang tuanya dulu tidur.

Itu hanyalah sebuah kamar kecil yang melompong. Tidak ada apapun kecuali sebuah lemari dan kasur yang digulung di pojok ruangan.

“Kemana keluarga lo?” tanya Radit.

Mia menoleh dengan kaget. Ini pertama kalianya Radit bersuara sejak kedatangannya di rumahnya.

Mia menatap Radit dengan bloon. Radit mengeluarkan tatapan dinginnya. Akhirnya Mia tersadar dan langsung salting.

“Aku… aku tinggal sendirian.” jawabnya.

Saat Mia mengatakan itu, ada perubahan emosi yang terlihat dari mata Dema dan Vian. Hanya Radit yang tetap stabil. Dema dan Vian terlihat menaruh simpati atas hal yang dikatakan Mia, sementara Radit tidak.

“Sebenernya keluarga aku udah lama pindah ke tempat nenek. Cuma aku yang masih mau disini. Soalnya aku kan sekolah disini.” Mia berujar polos.

Saat dia mengucapkan itu terlihat kesedihan di wajahnya. Sepertinya dia merasa sedih untuk mengingat kembali kenangan itu. Mungkin selama ini dia merasa kesepian setelah tinggal di rumah itu sendirian.

“Kamar mandinya dimana?” tanya Vian.

“Di bawah tangga. Kamar mandinya cuma itu.” Jawab Mia.

Dema mengusap perutnya, “Oh ya, tadi kayaknya gue nyium bau makanan.” Ucap Dema sambil melirik jahil kepada Mia.

Mia memonyongkan bibirnya, “Itu gue yang masak.”

“Asyiiik… ayo makaann!!” teriak Vian.

Mia melihat Vian dengan senyum kecil yang terus berkembang. Sepertinya yang dikatakan Vian barusan merupakan ide bagus.

 

♥♥♥

          “Lo semua tunggu dulu disini. Biar gue siapin makanannya.” suruh Mia.

Mia berjalan masuk menuju ke dapur, meninggalkan ketiga cowok itu di tengah rumahnya.

“Rumahnya nggak berantakan sama sekali. Apa disini nggak kena gempa?” tanya Dema sambil mengamati isi rumah itu.

“Atau rumahnya tahan gempa?” tanya Vian.

Dema menatap Vian jengkel, seolah berkata kalau itu nggak mungkin.

“Kayaknya disini nggak kena gempa. Liat aja muka tuh cewek.” Radit menyahut sambil melihat Mia yang sedang meniupi tangannya yang kepanasan setelah memegang pegangan panci.

“Iya juga sih.” komentar Dema. Dia menyadari kalau cewek itu memang kelihatan nggak memiliki beban di wajahnya. Mungkin di sana efek gempa itu emang nggak terlalu parah dibandingkan tempat lain.

“Mia!” panggil Vian.

“Apa?!” Mia menyahut.

“Disini kena gempa nggak sih?” tanyanya.

“Ya iyalah. Gempanya kuat banget. Tadi rumah berantakan. Semua gelas di pinggir meja jatuh ke bawah. Aduuh… gue nggak nyangka bakalan ada gempa. Emangnya kenapa?” Muka Mia yang kusam dan kucel kayak pembantu nongol di ambang pintu dengan bloon, “ah? Emangnya kenapa?” tanyanya lagi.

Ketiga cowok itu ill feel melihat tampang Mia. Mereka terpaku tak bergerak, “Nggak. Nggak ada apa-apa kok.” Gumam Vian.

Mia masuk kembali ke dalam dapur.

Tak beberapa lama kemudian, Vian melihat Mia datang sambil membawa sepanci sayur yang masih mengeluarkan asap. Mia menaruhnya di sebuah meja lantai di tengah rumah. Kemudian Mia membuka tutup pancinya.

“Makanannya udah jadi?” tanya Vian.

“Iya.” Jawab Mia.

Vian, Dema dan Radit duduk di lantai melingkari meja kotak itu. Mia berjalan masuk kembali ke dalam dapur untuk mengambil sebuah rice cooker yang sudah tua dan menaruhnya di dekat kaki meja.

“Makan apa nih?” tanya Vian sambil berlutut dan mengintip isi panci itu.

“Itu cuma sop bakso.” jawab Mia, “biarpun cuma begitu, bikinnya susah lho.”

“Udah jangan banyak pidatonya. Ayo cepet tuangin nasinya.” Kata Dema. Kelihatannya cowok berbadan bongsor itu udah nggak kuat menahan lapar yang ditahannya sejak lima jam yang lalu.

Akhirnya Mia menuangkan nasi dan acara makan malam dimulai.

Mia terpaku dan tersenyum melihat ketiga tamunya meniupi makanan yang telah ia buat. Dema yang sedang memonyongkan bibirnya untuk meniup nasi kemudian mengangkat wajahnya dan menyadari keanehan dari tatapan Mia.

“Kenapa senyam-senyum begitu?” tanya Dema.

Mia tersenyum, “Sebenernya gue jarang masak. Jadinya gue seneng bisa jadi koki buat kalian semua. Gue juga seneng kalian mau makan masakan gue, biasanya kan gue makan sendirian.”

Dema mengangguk mengerti. Vian melahap sendok pertamanya.

“Gimana? Enak nggak?” tanya Mia pada Vian. Dia begitu semangat mengajukan pertanyaannya sampai-sampai matanya membesar dan tubuhnya merapat ke depan.

Vian terlihat mengunyah dengan serius dan raut mukanya tiba-tiba berubah. Vian terlihat menelan makanan itu dengan susah payah. Senyumannya pun terlihat sangat dipaksakan.

“E-enak.” Jawab Vian sambil tersenyum paksa.

Mia tersipu-sipu.

“Enak nggak, Dem?” kini Mia bertanya pada Dema saat cowok itu juga ikut memasukkan sendok ke mulutnya.

Dema mengangguk dan bergumam, “Mmm.”

Mia tersenyum semakin lebar. Wajahnya cerah.

Mia menoleh ke Radit yang mengunyah sangat pelan. Mia menatap Radit dengan senyum tiada henti sedangkan cowok dingin itu terlihat tidak sependapat dengan dua sepupunya yang lain. Radit menatap Mia dingin,  “Lo itu sebenernya bisa masak nggak sih? Sopnya nggak enak.”

 

♥♥♥

          “Dia marah ya?” Vian berbisik pada Dema.

Dema mengangguk.

Saat Radit mengatakan secara jujur kalau masakannya gak enak, Mia langsung cemberut dan masuk ke kamarnya.

Kini tiga cowok itu duduk dalam keheningan di meja lantai tanpa tahu apa yang harus mereka lakukan untuk membuat cewek itu nggak marah lagi.

“Dit,” Panggil Dema. Radit menoleh dengan matanya yang dingin.

“Minta maaf sama dia.” Suruh Dema.

“Kenapa harus minta maaf? Apa salah gue?” tantangnya.

“Lo nggak sadar kalo lo udah nyakitin dia?” tanya Dema sambil menyalakan rokok dan menghisapnya. Dia kembali melirik ke Radit dan mengepulkan asap.

Radit terdiam.

Dema dan Vian berdiri.

“Hooam… ngantukk…” Vian menguap lebar-lebar.

“Dit, kita ke atas duluan ya?” ujar Dema.

Mereka berdua lalu naik ke atas tangga. Mereka sengaja meninggalkan Radit sendirian supaya cowok itu mau minta maaf pada Mia. Mereka berdua tahu kalau Radit nggak bakalan mau minta maaf di depan mata mereka. Cowok itu emang paling susah untuk mengalah dan meminta maaf.

Tak lama setelah Dema dan Vian naik, Radit ikut berdiri.

Dia berjalan mendaki tangga. Tapi baru beberapa anak tangga yang dilangkahinya, dia turun dengan sangat lamban dan langsung mengetuk pintu kamar Mia dengan malas-malasan.

Mia membuka pintu. Kepalanya terlihat menyembul di celah pintu yang terbuka sedikit. Mukanya terlihat kesal. Ditatapnya Radit dengan sangat tak bersahabat. Senyumnya ketus melihat orang yang udah bikin dia sakit hati itu.

“Maaf atas yang tadi.” Kata Radit. Tanpa penyesalan di wajahnya.

Mia terdiam sebentar. Dia tertunduk dengan wajah cemberut. Tapi sesaat kemudian dia terlihat menarik napas dalam dan melihat Radit sayu.

Melihat perubahan emosi di mata Mia membuat alis Radit mengerut.

“Gak usah dipikirin. Lo emang bener kok. Dari dulu gue emang nggak pernah bisa ngelakuin sesuatu dengan bener.” Ucapnya sedih sambil menutup pintu kembali dengan sangat pelan.

Radit masih berdiri di sana. Terpaku memahami apa yang sedang terjadi.

♥♥♥

          Dema, Vian dan Radit berada di kamar bekas orang tua Mia. Tiba-tiba ada dering handphone berbunyi. Seseorang menghubungi Dema.

“Halo?” sapa Dema.

“Dem, ada kabar buruk.” Kata Dudi, sang manajer.

“Ada apa?” Dema bertanya dengan nada malas.

“Pak sutradara sekarang sedang dioperasi. Dia jadi korban kecelakaan saat gempa. Katanya beberapa tulangnya patah. Kemungkinan syuting akan ditunda sekitar 14 hari.” Kata Dudi panik, “Ngomong-ngomong sekarang lo dimana? Dua cowok ganteng itu ada sama elo kan?”

“Kita lagi nginep di rumah seseorang.” Jawab Dema.

“Rumah? Rumah siapa?” tanya Dudi bingung.

“Tenang aja, disini tempatnya cukup baik.” Dema mencoba menenangkan manajernya itu, “nggak usah khawatir, Dud.”

“Jaga dua orang itu, Dem. Lo kan yang paling tua.” Dudi memperingatkan.

Dema menurunkan hape dan mematikannya. Ditatapnya hape itu seolah itu adalah Dudi, “sial. Emangnya umur gue berapa sih?” gumamnya kesal gara-gara  dirinya dibilang tua sama Dudi.

Vian melirik penasaran, “Ada apa, Dem?” tanyanya.

“Syuting ditunda 14 hari. Pak sutradara lagi sakit.” Jawabnya sambil menaruh hape di atas meja dan membaringkan tubuhnya ke atas kasur.

Ketiga cowok itu kini berbaring bersama di atas satu kasur empuk yang cukup besar, bekas orangtua Mia. Mereka harus bertahan tidur kayak ikan asin begitu untuk sementara waktu, mengingat keadaan yang serba sederhana.

“Dem.” Panggil Radit, “Lo pegang uang?”

Dema melihat Radit dan berfikir sebentar, “Umm.. enggak. Tapi gue bawa kartu kredit.” Jawabnya.

“Lo?” Radit bertanya kepada Vian.

“Gue paling cuma punya 20 ribu.” Jawabnya polos.

Radit mengangguk. Dia tahu ada hal gawat yang sedang terjadi. Tapi dua cowok yang bersamanya itu kayaknya masih belum paham tentang apa yang dipikirkan olehnya.

“Emang kenapa, Dit?” Vian menyenggol Radit.

Radit melirik Vian dengan dongkol, “Kalo kita nggak punya uang begini, berarti cewek malang itu yang harus menanggung biaya kita.”

 

♥♥♥

          Malam ini jam menunjukkan pukul 20.12. Ketiga cowok itu mulai membereskan kasur untuk tidur mereka nanti. Dengan bahu membahu mereka menata ulang kamar itu dan memasang seprei di atas kasur.

Di saat seperti itu, tiba-tiba ada seseorang yang membuka pintu. Dema yang sedang menungging menoleh ke belakang dan melihat Mia yang sudah berpiyama berdiri di ambang pintu.

“Ini. Ini bantalnya.” Mia melempar tiga bantal bersarung bunga-bunga.

Dema berhasil menangkap satu, “Makasih.” Ucapnya.

Wajah Mia kelihatan suntuk dan tak bersahabat. Tanpa bicara apapun akhirnya cewek itu menutup pintu dan pergi.

“Kenapa dia?” tanya Vian bingung.

Dema mengangkat bahu, “nggak tahu.”

Lalu dua orang itu melihat Radit. Cowok itu sedang menyibukkan dirinya dengan berpura-pura membenarkan seprei. Mungkin dia nggak mau dipersalahkan atas ngambeknya cewek pemilik rumah.

“Itu bukan salah gue,” Radit berbisik sambil terus bergerak, “tadi gue udah minta maaf. Jadi sekarang, itu bukan urusan gue lagi.”

 

♥♥♥

 

Mia sedang duduk di meja lantai. Dia sedang menulis hitung-hitungan di buku peernya. Kemudian Vian turun dengan handuk terlilit di lehernya. Dia berjalan menuju Mia dan langsung berlutut di belakang Mia. Kepalanya bergerak di samping bahu Mia. Matanya melirik penuh rasa ingin tahu tentang apa yang sedang dilakukan cewek itu.

“Lagi ngapain?” tanya Vian.

Mia melihat Vian yang berada di dekatnya dengan penuh keterkejutan. Matanya yang membesar menatap mata Vian yang penuh rasa penasaran. Mia menatap cowok itu aneh sebelum akhirnya menjawab, “Matematika.”

“Oo…” Vian mengangguk. Kemudian dia merangkak dan duduk di depan Mia.

“Kok nggak jadi tidur?” tanya Mia.

“Badan lengket sih.” Keluhnya, “nggak bisa tidur nyenyak kalo nggak mandi.” Jawabnya. Mia mengiyakan.

Kemudian Vian terdiam dan melihat Mia menghapus angka-angka dibuku tulisnya dengan penuh kekuatan dan wajah yang terlihat menderita.

“Lo nggak ngerti matematika ya?” Vian bertanya polos.

Mia mengangkat wajahnya dan tertangkap basah.

“Hah?” tanyanya, berpura-pura tak mendengar.

“Tuh kan, bener kan? Lo nggak bisa matematika kan?” Vian tertawa, dia semakin mengejek Mia.

Mia manyun, “Ngerti dikit kok. Gue nggak bego-bego banget. Masih ada yang lebih bego daripada gue.” Ucapnya dengan alasan klise.

Mia masih terus berusaha menghapus sebersih mungkin tulisan di halaman buku tulisnya hingga poninya bergerak maju mundur mengikuti gerakan badannya. Vian melihat soal yang ada di buku paket Mia.

“Kalo yang beginian sih kerjaannya Radit.” Kata Vian yakin.

Mia berhenti menghapus, “Radit? Cowok yang pake kacamata?”

Vian mengangguk.

Mia menatap Vian dan berbisik, “Mana dia?”

“Lo nggak bisa nanya sama dia. Dia lagi mandi.” Jawab Vian.

Mia tertunduk dengan wajah memerah. Ketahuan deh kalo dia emang berniat nanya soal peernya itu sama Radit. Dari tampangnya sih, emang udah kelihatan pinter. Tapi apa iya dia bisa menjawab soal itu.

Lalu ada suara pintu terbuka.

Mia melanjutkan aktivitas menghapusnya yang melelahkan.

“Tuh, si Radit tuh!” tiba-tiba Vian memekik dan menunjuk ke belakang.

Mia menoleh dan melihat Radit yang sedang menghanduki rambutnya yang basah. Radit yang merasa dipanggil ikut menatap Mia. Sekejap Mia tertegun saat melihat wajah Radit yang keren tanpa kacamata itu.

Vian berjalan menghampiri Radit dan menepuk bahunya, “Dit, ajarin dia matematika tuh.” Katanya sambil tersenyum.

Lalu Vian berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

Kini tinggal Mia dan Radit yang ada di ruangan itu. Radit masih berdiri di sana dan menunggu Mia untuk bicara.

“Ini soal trigonometri. Bisa bantuin nggak?” Mia bertanya dengan senyum manis yang dipaksakannya sambil menunjukkan soal di buku paket matematikanya. Mukanya yang udah aneh jadi tambah aneh.

Radit menatap Mia datar. Tanpa menjawab apa-apa, dia berjalan naik ke atas tangga sambil terus mengeringkan rambutnya.

Jreng jreng!!

Mia merasa sakit hati. Harga dirinya udah runtuh di depan cowok sengak itu. Tubuhnya membatu dan digetuk palu hingga hancur menjadi debu. Dia nggak nyangka cowok itu sombong bukan main.

“HEH! HEH! Jangan sombong deh mentang-mentang pinter!” teriak Mia dari bawah dengan sejuta kekesalannya.

Radit tak peduli. Dia berjalan terus meninggalkan Mia.

Mia panas. Bibirnya mulai bergerak-gerak dengan mata menyipit.

“Ih, nyebeliiiin!!” keluhnya sambil menendang-nendangkan kaki.

 

♥♥♥

          Mia masih tetap di tempatnya sejak satu jam yang lalu. Masih tetap kepusingan dengan soal trigonometri yang tak bisa dijawabnya.

Lalu ada langkah kaki yang terdengar menuruni tangga. Dema turun dengan handuk yang juga melingkar di lehernya. Dia turun sambil membawa sebungkus ciki yang terus dilahapnya. Itu kan ciki punya Mia yang disimpan di dalam lemari.

Dema menghampiri Mia dan duduk di seberang cewek yang kelihatan keracunan matematika itu.

“Belum selesai juga?” tanya Dema, “perasaan dari tadi gue liat elo ngerjain nomor yang itu-itu aja.” Komentarnya.

Mia mengangkat wajahnya dan menunjukkan wajahnya yang pucat pada Dema. Dema tahu kalau cewek itu sedang berusaha menahan airmatanya. Lalu dengan lemah Mia menggeleng, “Belum.” Jawabnya.

Dema menawarkan ciki yang dipegangnya, “Mau?”

Mia langsung memasukkan telapak tangannya ke dalam bungkus ciki itu dan mengeluarkan tangannya dengan jumlah ciki maksimal yang dapat dia ambil.

“Makasih.” Mia berkata dengan matanya yang layu. Lalu memasukkan semua ciki itu ke dalam mulutnya.

“Lo lagi belajar apa sih?” Dema melirik tulisan Mia.

“Matematika. Ini tentang trigonometri.” Jawabnya lemas.

“Sayang, gue nggak pernah bisa matematika.” Keluh Dema.

“Oya? Masa sih?” tiba-tiba Mia jadi semangat. Dema mengangguk, mengiyakan pernyataannya tadi. Perasaan Mia jadi lebih baik. Dia merasa jadi agak mendingan setelah menemukan orang yang sama-sama bego matematika seperti dirinya.

“Radit pasti bisa ngerjain ini semua.” Kata Dema.

Mia merengut kesal saat nama itu disebut lagi, “Cowok belagu itu kan? Ngapain nanya sama dia? Pelit! Tadi gue udah nanya tapi dicuekin!”

Mia kemudian melihat ke Dema dengan penasaran. Cowok dengan badan atletis itu menyadari ada pertanyaan yang akan dilontarkan oleh cewek imut itu.

“Dem, kok lo sama Vian bisa sih temenan sama orang kayak gitu. Lo sama Vian orangnya baik. Cuma dia doang yang jahat.” Bisik Mia, masih berusaha menjelek-jelekkan nama Radit.

“Yakin?” tanya Dema suram.

Mia menoleh cepat, “Hah?”

Lalu badan Dema maju ke atas meja, wajahnya medekati wajah Mia. Mata Mia membulat dan alisnya keriting saat melihat tatapan Dema yang tajam. Wajah mereka sangat dekat sangat itu sampai membuat Mia deg-degan.

“Sebenernya…” Dema berbisik mistis, “Nggak ada orang baik diantara kita.”

Deg!

Jantung Mia serasa ditusuk pake tombak. Dia membatu diselimuti hawa horor yang mencekam.

 

♥♥♥

          Ketiga cowok ganteng itu sedang duduk di dalam kamar baru mereka yang cukup sempit itu. Mereka kayaknya belum bisa tidur, mereka hanya tidur-tiduran di atas kasur sambil main hape dan baca majalah.

Lalu terdengar suara ketukan pintu.

“Masuk.” Suruh Dema.

Mia membuka pintu. Dia terlihat masuk dengan mata mengawasi.

“Kok belom tidur?” ketusnya galak.

Vian memalingkan wajahnya dari majalah, “Lo sendiri? Ngapain masih kesini?” dia menjawab dengan sama ketusnya.

“Gue cuma mau ngasih tahu kalo disini tuh ada peraturannya. Semuanya harus udah tidur jam sebelas.” Kata Mia, “Sekarang liat, lima belas menit lagi udah mau jam sebelas. Kalo kalian semua nggak bisa tidur…,”

Ketiga cowok itu cuek dengan ancaman yang diberikan Mia. Mereka masih melakukan kegiatan mereka masing-masing.

“Mending kita abisin bareng-bareng sopnya.” Sambung Mia.

Saat Mia bilang kayak begitu, ketiga cowok tadi langsung menghentikan kegiatan mereka, mematikan lampu kecil di dekat sana, menarik selimut ke tubuh mereka dan berpura-pura tidur.

Mia cemberut, dia merasa jadi orang paling nyeremin di dunia hanya gara-gara sop bikinannya nggak enak.

Tapi ia segera tersenyum kecil saat melihat ketiga cowok itu pura-pura tidur dengan gaya mereka masing-masing. Kelihatan sangat lucu.

“Selamat malam.” Mia tersenyum dan menutup pintu.

Saat langkah Mia terdengar menjauh dan menghilang, Vian kembali menyalakan lampu dan membuka halaman majalahnya. Dema kembali menyalakan handphone dan mengutak-atiknya. Tapi Radit masih tetap dibawah selimut. Mungkin dia emang berniat untuk tidur.

“Cewek itu polos.” Komentar Vian, tetap fokus pada majalahnya.

Dema merespon datar, “hm.”

“Cewek itu bodoh.” Radit menimpali dari balik selimutnya.

Vian dan Dema mengangguk bersamaan, “Iya!”

 

 

 

3

A Brand New Day

 

 

Ketiga cowok itu bangun bersamaan pada pukul 10 pagi. Mereka turun dari kamar mereka dan melihat rumah sepi. Mereka bangun sesiang itu karena kemarin adalah hari yang begitu melelahkan bagi mereka bertiga.

Begitu bangun, mereka mendatangi meja yang tertutup oleh tudung saji. Dema yang udah kelaparan segera membukanya.

Mereka bertiga saling berpandangan saat melihat tiga mangkuk bubur ayam yang sudah dingin tergeletak di atas meja. Dema mengambil kertas kecil yang ada di atas meja dan membacanya.

Ini sarapan kalian. Jaga rumah baik-baik ya.

          Dema menggeleng lemas dan menutup kembali tudung sajinya.

Vian menggaruk rambutnya dan mengamati sekeliling, “dia nggak punya tivi ya? Gue pengen liat berita nih.” Keluhnya.

Radit menatap Vian, “dia nggak punya apa-apa di rumah ini.”

♥♥♥

 

Sekarang jam 14.50 WIB.

Dari jauh, terlihat Mia mengayuh sepedanya dengan wajah ceria, wajah tanpa beban yang hanya dimiliki orang-orang polos seperti dirinya. Dia baru saja pulang dari sekolah. Meski banyak hal menyedihkan dan menyiksa terjadi di sekolah, untungnya dia punya kelemahan yang membuatnya ‘mudah lupa’ atas berbagai musibah yang menimpanya. Jadi kalau ada masalah, beberapa saat kemudian dia bisa tertawa dengan mudahnya karena dia udah melupakan masalah itu.

Mia berhenti agak jauh dari rumahnya. Mulutnya menganga dan matanya terbelalak tidak percaya atas apa yang dilihatnya saat ini. Dia melihat beberapa orang membawa masuk kardus-kardus besar ke dalam rumah kecilnya.

Karena penasaran akan apa yang terjadi, Mia segera mengayuh kembali sepedanya dan langsung masuk ke dalam rumahnya. Didalamnya dia melihat Vian sedang menonton dari sebuah tv 29 inch di tengah rumah. Ada juga sebuah kipas besar dan kardus kosong bergambar mesin cuci di permukaannya.

“A-apa-apaan nih?” Mia bertanya bingung, “Siapa yang beli ini semua?”

Ketiga cowok itu menoleh datar, “Kita.”

“Ya ampuun… tagihan listrik bulan ini bisa-bisa membengkak.” Mia panik sambil memegangi kedua pipinya, “lagian emang listriknya cukup?”

“Gak apa-apa. Yang penting hidup jadi lebih mudah.” Ucap Vian yang lagi tiduran di lantai sambil mencet remote ke arah tivi, “listriknya untuk hari ini kita irit-iritin dulu. Besok mau digedein watt-nya.”

Mia terdiam.

“Apaan tuh?” Dema melirik ke arah kantong yang dibawa Mia.

“Ini makan siang.” Jawab Mia.

Vian langsung duduk dan mengambil kantung itu, dia melihat isi di dalamnya.

“Ayam? Tumben.” Ledeknya.

Mia meminyingkan bibirnya.

“Udah jangan banyak komentar. Ayo makan.”

 

♥♥♥

          Setelah acara makan selesai, Vian lagi ngeliat-liat foto yang dipajang di sebuah lemari kecil di dekat tangga. Dia serius banget memandangi satu persatu wajah orang yang ada disitu.

“Mia, ini keluarga lo ya?” tanya Vian.

Mia berjalan mendekat dan berdiri di samping Vian. Dia ikut melihat foto-foto itu, “Iya. Itu emang foto keluarga gue.”

“Ini ibu-bapak lo?” Vian menunjuk sebuah foto yang menampilkan gambar jadul sepasang orang tua yang sedang tersenyum.

“Iya.” Mia menjawab.

“Kalo yang itu? Itu foto siapa?” Vian menunjuk ke bingkai foto yang paling ujung, yang warnanya pink dengan bentuk-bentuk hati. Disitu ada gambar seorang cowok ganteng yang memakai seragam seperti punya Mia.

“Hah?” Mia terburu-buru mengambil bingkai itu dan menyembunyikannya di balik punggungnya. Mukanya langsung memanas dan dia jadi salting.

“Ciee… foto siapa tuh?” Vian terus menyudutkan Mia.

“Bu-bukan. Ini…” Mia kebingungan menjawab.

Lirikan mata Vian semakin menjadi-jadi, “Siapa?”

Muka Mia jadi merah muda, dia gelagapan harus ngejawab apa.

“Itu tadi foto Rafi. Dia ketua OSIS di sekolah.” Jawab Mia sebisanya.

“Umm…” Vian mengangguk, “Kalo yang ini foto siapa?” Vian menunjuk foto yang sedang dipegangnya.

Di foto itu terlihat seorang cowok berdiri bersama seorang anak kecil.

Mia langsung terdiam. Lamunannya membumbung tinggi. Ada kelembutan dan kesenduan yang terlihat di wajahnya. Vian menatap dalam mata Mia saat cewek itu terdiam dengan tatapan kosong ke arah gambar dalam foto itu.

“Itu kakakku.” Bisiknya tersenyum.

“Lo punya kakak cowok?” Vian bertanya bingung. Diperhatikannya lagi foto itu, “Mukanya mirip Radit ya?”

“Namanya Rian. Dia meninggal setahun yang lalu.” Bisik Mia. Vian menoleh kaget, “Tapi dia nggak mirip sama Radit. Kak Rian nggak senyebelin itu. Dia orang yang baik. Dia selalu nganter dan jemput aku di sekolah pake sepeda. Dia nggak pernah bikin aku sedih. Dia rela nggak kuliah supaya aku bisa sekolah.” Mia nggak terima kakaknya yang baik disamain sama orang kayak Radit.

Vian menaruh lagi foto itu dengan rasa berdosa.

Mia masih tersenyum dengan sedikit wajah sedih.

Dema dan Radit yang ada di sekitar sana dan ikut mendengarkan percakapan tadi langsung melirik Mia dengan penuh simpati. Mereka baru tahu Mia punya kakak dan sudah meninggal.

Mia menghembuskan napasnya, “Yah… biar bagaimanapun, aku tetap sayang sama kak Rian. Aku nggak pernah lupa berdoa untuknya setiap hari dan selalu datang ke kuburannya seminggu sekali.” Mia meneteskan airmata.

Tiga cowok itu panik luar biasa.

Mereka nggak pernah tahu apa yang harus dilakukan kalau ada cewek menangis. Mereka lebih siap menghadapi kebakaran atau apapun dibandingkan menghadapi seorang cewek yang sedang menangis.

“Mia?” Vian berteriak, “jangan nangis!”

Vian berteriak dan menyuruh Mia berhenti menangis. Dia nggak tahu cara apa lagi yang bisa dilakukan selain itu. Kemudian Mia memejamkan mata dan menarik ingusnya, mencoba berhenti menangis.

Radit dan Dema bertatapan bingung dengan jantung berdebar. Lalu Dema membawa kaleng fanta yang dipegangnya kepada Mia. Kayaknya dia mau mencoba menghibur anak itu.

“Mia… jangan nangis dong,” Dema tersenyum manis, “mending kita minum fanta aja ya?” Dema berusaha membuat mukanya jelek dan membuat Mia tertawa. Tetapi tetap tidak bisa membuat Mia terhibur.

Radit masih duduk di meja, memegang PSPnya dan melihat Mia dengan mata tak berkedip dan mulut terbuka.

“Kak Rian…” Mia semakin terisak, “Kakak…”

 

♥♥♥

 

Malam harinya, sekitar jam tujuh malam, Mia dan ketiga cowok itu lagi nonton tv. Kemudian Dema melihat selembar kertas yang terletak dibawah meja.

“Mia, ini brosur apaan?” tanya Dema.

Mia yang lagi mengaduk secangkir teh  di meja dapur melirik dan melihat kertas warna merah yang dipegang Dema. Matanya bengkak sehingga dia keliahatan seperti boneka setan. Bola matanya kelihatan dua kali lebih besar gara-gara menangis.

“Itu bazar malam sekolah gue. Emangnya kenapa?” cetusnya serak.

“Dimana bazarnya? Meriah nggak?” tanya Dema, kayaknya dia tertarik tuh.

“Di perumahan Royal Sweet. Emangnya kenapa?” tanya Mia lagi, dari suaranya, kayaknya dia sama sekali nggak tertarik dengan bazar itu.

“Kesana yuk? Ini kan malem minggu.” Ajak Dema.

Mia datang dan duduk di dekatnya, “Gue belom pernah kesana.”

“Ini kan acara sekolah. Emangnya nggak wajib?” Dema melirik ke Mia.

“Cuma yang nyumbang sama yang punya modal yang bisa ikut.” Jawab Mia, masih dengan nada bicara yang nggak tertarik.

“Trus, elo nggak boleh dateng?”

Karena Dema bertanya dengan sangat semangat, Mia akhirnya menoleh dan melihat wajah Dema. Dema melihat wajah Mia yang suntuk dan dipenuhi kerutan. Kelihatannya cewek itu lagi bosen atau bad mood. Mia ikut melihat Dema. Cowok ganteng itu mukanya berseri-seri, kayaknya dia ngidam banget mau ke bazar itu.

“Ya boleh lah. Sebagai pembeli.” Jawab Mia, “Tapi percuma kan kalo kesana tapi nggak beli apa-apa? Kita kan nggak punya uang.”

Setelah ngomong kayak gitu, Mia meminum tehnya dengan wajah suntuk dan tak bersemangat ke arah tv. Dema tersenyum menatap Mia dengan kerlipan bintang di ekor matanya, kayaknya dia udah punya rencana.

“Mia.” Panggilnya.

Mia menoleh, masih dengan wajah betenya.

“Cepet ganti baju. Kita berangkat.”

 

♥♥♥

          Mia berjalan dengan jaket cardigan putih dan syal hitam di lehernya. Dia berpakaian seperti orang kutub begitu karena malam ini cukup dingin dan berangin. Meskipun matanya udah agak mendingan, dia masih pilek akibat nangis, membuatnya flu berat. Karena masih juga terasa dingin, cewek itu bahkan memasukkan tangan ke dalam kantong celananya.

Mia berjalan di tengah barisan cowok-cowok ganteng. Tapi, sebagai cewek lugu yang bodoh, dia nggak punya beban apa-apa. Padahal banyak cewek-cewek yang berjalan selalu melihat sirik ke arahnya.

“Dimana bazarnya?” tanya Dema.

“Di sana. Deket kok. Paling cuma jalan setengah jam.” Jawab Mia.

Saat Mia bilang kalau mereka harus jalan setengah jam, ketiga cowok itu berhenti berjalan, membiarkan Mia berjalan sendirian di depan. Lalu ketiga cowok itu mulai saling bertatapan, tercengang dengan kalimat ‘setengah jam’ tadi.

 

♥♥♥

 

Akhirnya, setelah ‘hampir satu jam’ berjalan kaki, mereka sampai di acara bazar yang dimaksud. Acara bazarnya diadakan di jalan utama sebuah komplek perumahan elite, sekitar sepuluh meter di belakang gedung sekolah Mia. Acara ini diadakan di jalan utama karena tempatnya lebih luas dan lebih menarik perhatian sehingga lebih banyak pembeli yang datang.

“Apa temanya Jepang?” tanya Vian bingung saat melihat bazar malam itu terlihat seperti festival Jepang. Banyak barang-barang berbau Jepang yang dijual dan orang-orang yang memakai kimono.

“Temanya ganti-ganti sih. Mungkin tema malem ini Jepang.” Jawab Mia cuek, dia emang nggak pernah datang ke bazar itu sebelumnya.

“Dema mana?” Mia bertanya pada Vian, soalnya Dema udah nggak kelihatan lagi sejak tadi sampai di tempat itu. Kayaknya cowok itu semangat banget mau ke bazar dan langsung mencar tanpa bilang-bilang.

“Mana ya? Gue cari dulu deh. Lo tunggu disini dulu sama Radit.” Suruh Vian.

Lalu cowok itu berjalan sambil celingak-celinguk nyariin Dema yang pergi entah kemana.

Mia tetap berdiri diposisinya. Kemudian dia melihat Radit yang berdiri tenang disampingnya. Mia melihat Radit, mengamati cowok itu dengan bola matanya yang bergerak-gerak. Ternyata kalau dilihat dari dekat, cowok dingin itu malah kelihatan tambah ganteng.

Mia tertunduk saat menyadari kalau tiba-tiba perasaannya jadi aneh. Kenapa dia tiba-tiba jadi suka sama Radit? Kenapa tiba-tiba jantungnya berdebar sangat cepat saat melihat Radit?

Tapi Mia segera menartik napas dalam dan menghembuskannya. Bagaimanapun, cowok kayak Radit nggak mungkin suka sama cewek nggak berotak seperti dirinya. Bagaimanapun, mereka berdua punya sejarah panjang yang nggak bagus. Jadi sebaiknya… lupain aja.

“Tunggu disini sebentar.” Suruh Radit.

Mia menoleh, melihat cowok itu udah berjalan meninggalkannya. Radit berjalan menjauh dan menghilang diantara orang-orang yang berlalu lalang. Mia kini sendirian. Dia tetap di tempatnya dengan cukup bosan, kayaknya bazar meriah ini nggak terlalu menarik buat dirinya.

“Mia?” panggil seseorang, Mia membalikkan badannya.

“Ra-rafi?” Mia terbelalak dan menganga. Tubuhnya serasa kaku saat melihat Rafi yang sempurna itu berdiri sangat keren di depannya.

“Lagi ngapain disini?” tanya Rafi, dengan mata tajam.

Mia menelan ludahnya. Kayaknya Rafi tidak menyambut baik kedatangannya malam itu. Itu membuat Mia hanya bisa tertunduk ketakutan.

“Apa nggak sebaiknya lo pulang?” bisik Rafi.

“Hah?” Mia bertanya pelan dengan wajah bloonnya. Dia nggak mendengar dengan jelas ucapan Rafi barusan. Dia merasa Rafi mengatakan hal yang jahat, tapi mungkin saja dia salah dengar.

Wajah kebingungan Mia beradu dengan wajah kukuh tak berekspresi Rafi. Mia mendongakan kepalanya, melihat Rafi yang begitu tinggi.

“Ini.”

Tiba-tiba Radit datang dan menawarkan sekotak kue ke depan Mia. Mia yang kaget dan tidak mengerti mengambil kue itu. Dia lalu tertunduk sebentar saat tahu betapa sakit hatinya dengan ucapan dan tatapan mata Rafi.

Kemudian Radit dan Rafi bertatapan tajam. Mia melihat kedua cowok yang memiliki sifat hampir sama itu kelihatan saling membenci. Dengan wajah polosnya, Mia terdiam dan melihat.

“Cowok kayak lo nggak pantes ada disini. Pergi sana.” Usir Radit dengan suaranya yang pelan namun mengancam.

“Lo siapa? Lo bukan anak sekolah ini kan?” tantang Rafi.

Tiba-tiba Radit memegang tangan Mia. Cowok itu berbalik badan dan menarik Mia pergi dari tempat itu. Mia terseok-seok di belakang, entah kenapa cewek itu masih belum mau pergi dari Rafi.

“Radit. Tunggu, Dit.” Teriak Mia. Tapi Radit nggak menghiraukannya. Sebelum berjalan terlalu jauh, Mia sempat menoleh ke belakang untuk melihat Rafi. Dia masih di tempatnya dengan tangan terkepal, sepertinya cowok itu masih kesal.

Mia mengalihkan wajahnya, kini dia melihat tangan kanannya yang sedang digenggam sangat erat oleh tangan Radit yang dingin. Cowok yang suka bikin dia bete itu berjalan di depannya, membawanya berjalan entah kemana.

Rafi masih berdiri di tempatnya. Baru kali ini dia melihat ada orang yang bisa mengeluarkan tatapan seperti apa yang dilihatnya tadi. Ini pertama kalinya juga dia bertemu Radit. Dan ini benar-benar pertemuan yang buruk.

“Hei.” Seseorang menepuk bahu Rafi.

Rafi berbalik.

Dia melihat Dema dan Vian. Rafi mengerutkan alis melihat dua orang yang tak dikenalnya itu tersenyum licik penuh rasa kesal ke arahnya.

Dema melepas rokok dari mulutnya, “jangan ganggu Mia. Dia baru aja nangis di rumah. Dia butuh hiburan disini.” Ucapnya macho, seperti jagoan laki-laki yang selalu terlihat di film aksi.

Vian tersenyum manis seperti perempuan, “jangan ganggu dia ya? Kalau masih ganggu dia, aku yang akan turun tangan.” Ancamnya dengan manis.

Rafi terhenyak.

Saat dia kembali sadar, Dema dan Vian sudah pergi meninggalkannya.

Lagi-lagi suatu hal yang tidak terduga. Darimana 3 laki-laki itu berasal? Kenapa mereka semua berhubungan dengan Mia? Hal itu membuat Rafi semakin kesal dan marah atas semua perlakuan yang diterimanya. Dia bertekad untuk mencari tahu identitas ketiga cowok itu.

Sementara itu, Mia yang sedang diseret-seret akhirnya berhenti berjalan. Radit melepaskan tangan Mia di depan sebuah stand dengan banyak balon-balon.

Mereka berdua berdiri disana. Kepala Mia tertunduk, dia sedang melihat dengan pandangan kosong ke arah kue yang dipegangnya. Radit yang merasa aneh melirik ke Mia. Dia berpikir kalau cewek itu pasti sedang sedih gara-gara hal tadi.

“Cepet dimakan.” Suruh Radit.

Mia melihat ke arah Radit, “Vian sama Dema mana?” tanyanya.

Radit terdiam. Dari matanya, Radit tahu kalau Mia khawatir sama kedua sepupunya yang nggak tahu diri itu.

“Ayo kita cari.” Ajak Radit.

Akhirnya Radit berjalan memimpin dan Mia mengikuti di belakang. Namun untuk kali ini, tanpa pegangan tangan.

 

♥♥♥

 

Ternyata mereka menemukan kedua sepupu gila itu sedang asik-asikan bermain di sebuah permainan lempar-lemparan panah. Mereka tersangkut disana setelah sempat berbicara pada Rafi.

Dilihat dari belakang, Vian dan Dema yang teriak-teriak heboh itu saling rangkul-rangkulan. Mereka kelihatan kayak sepasang homo. Mia dan Radit yang melihat dari belakang menunjukkan wajah terpukul dan jijik mereka.

“Mereka… seperti sepasang homo.” Gumam Mia. Radit terdiam setuju. Ternyata selama ini dia tidak sadar kalau kedekatan sebagai saudara sepupu bisa menjadi boomerang dan membuat mereka disangka homo.

Tiba-tiba, Vian menoleh dan tercengang heboh melihat Mia.

“Mia? Sini, Mia! Sini!” Vian berteriak dari jauh, mengajak Mia untuk bergabung bersama dirinya dan Dema.

“Enggak ah. Nggak mau.” Mia menggeleng ngeri, dia nggak mau gabung sama dua cowok abnormal itu.

Tapi sialnya, Vian justru mendatangi dan menarik paksa tangannya. Mia ditarik untuk mendekat ke Dema.

“Mau boneka yang mana?” tanya Dema.

Mia tersenyum paksa saat ditanya begitu. Dia lalu melihat ke rentetan boneka yang dipajang di rak dekat situ.

“Yang kelinci.” Jawab Mia.

Setelah itu, Dema yang sok jagoan akhirnya mulai melemparkan tiga panah ke arah tiga kartu AS yang ditempel pada papan dengan jarak dua meter dari tempatnya. Dia harus mengenai dengan tepat tiga kartu As itu untuk bisa mendapatkan boneka kelinci yang diinginkan Mia.

Dua panah pertama berhasil menancap di dua kartu As.

Entah karena terbawa suasana atau pengen banget punya boneka kelinci itu, tiba-tiba Mia ikutan heboh dan bersorak menyemangati Dema.

“Dema! Dema!” teriak Mia.

Tiba-tiba Vian dan Mia sontak jadi tim heboh disana.

Dema sendiri udah sok jadi jagoan karena dia pikir dia bisa berhasil untuk yang ketiga kalinya.

Tapi…

“Yaah… dikit lagi tuh, Dem.” Keluh Vian.

Mia berhenti bersorak saat lemparan terakhir Dema gagal mengenai sasaran. Dema yang kecewa berat terdiam disitu.

Lalu tiba-tiba, masih di stand permainan yang sama, ada tiga kali panah yang terlempar dan mengenai tepat di tiga kartu As.

Si pemilik permainan segera menyerahkan boneka kelinci yang masih terbungkus plastik rapi kepada Mia.

Mia yang kebingungan itu lalu melihat ke arah sana, ke arah orang yang bermain tadi. Ternyata Radit. Dia yang berhasil mengenai tiga kartu As tadi dan memenangkan boneka itu.

“Radiiitt!!! Lo kereeennn!!!” Vian berteriak heboh dan bertepuk tangan.

Radit melirik dengan singkat. Matanya masih dingin.

Mia tersenyum dengan sangat lebar. Seolah berterima kasih kepada Radit atas boneka kelinci itu.

Tapi cowok itu malah berbalik badan dan berjalan pergi dengan tak acuh.

Spontan, muncul api membara di balik punggung Mia.

 

♥♥♥

 

Setelah dari stand permainan tadi, mereka berempat sedang jalan bersama. Tiba-tiba Dema berjalan meninggalkan langkah yang lain.

“Mau kemana, Dem?” tanya Mia.

“Beli rokok sebentar.” Jawabnya tanpa berhenti melangkah.

Mendengar jawaban itu, mendadak Mia jadi marah. Dia kan udah bikin peraturan kalau Dema nggak boleh merokok. Sejujurnya Mia melakukan itu hanya karena dia parno Dema akan dapat penyakit gawat atau apalah.

“Heh! Dema! Jangan beli rokok!” teriaknya.

“Udah biarin aja. Dia emang nggak bisa lepas dari benda itu.” Kata Vian.

Mia manyun. Dia pengen banget bisa bikin Dema jauh dari benda itu. Dia cuma nggak mau Dema kena penyakit yang parah gara-gara kebiasan buruknya itu.

Vian melihat gerobak penjual es krim. Dia jadi pengen beli minuman itu.

“Lo mau es krim?” tanya Vian pada Mia.

“Mau.” Pekiknya ceria.

“Lo, Dit?” tanya Vian.

Radit menggeleng.

Akhirnya, Vian berlari menuju tempat penjual es krim. Membuat Mia lagi-lagi harus berdiri berdua sama Radit. Gara-gara nggak mau bikin masalah, Mia lebih memilih untuk diam.  Lagian… cowok itu juga kayaknya emang nggak peduli sama apapun di dunia ini. Bagi Mia, Radit tuh nggak asik!

 

♥♥♥

          Setelah membeli dua cone es krim coklat, Vian akhirnya berjalan lagi menuju tempat Mia dan Radit menunggu. Tapi begitu keluar dari kerumunan, dia melihat seorang laki-laki berlari kencang hingga menabrak seorang cewek dan membuat cewek itu terjatuh.

“Aw!” keluhnya kesakitan.

“Heh! Kalo jalan liat-liat dong!” Vian memaki laki-laki yang udah buru-buru kabur itu. Lalu dia melihat cewek yang duduk di jalan. Cewek itu kelihatan kesakitan. Vian menawarkan tangannya tetapi cewek itu memilih untuk berdiri sendiri.

“Lo nggak apa-apa?” tanya Vian.

Cewek itu nggak menjawab, mukanya galak banget sampai membuat Vian terpaku. Kemudian secara mengagetkan muncul seorang pria bertubuh besar yang memegang lengan cewek itu dan memaksanya berjalan cepat menjauh dari Vian.

“Heh! Dia mau dibawa kemana?!” teriak Vian.

Cewek itu menoleh ke belakang, terus melihat ke Vian seolah meminta tolong dengan wajah ketakutan. Vian hanya bisa terdiam di tempat dengan terus mengamati.

Tiba-tiba sebuah gerobak yang lewat membuat pandangan Vian tertutup. Dia berusaha bergerak di tengah sesak orang yang berlalu lalang. Dia terus berjinjit dan mengejar, ingin terus melihat cewek itu.

Tapi sayangnya, jejak cewek itu sudah tak terlihat. Vian berhenti mengejar dengan napas kecewa. Entah kenapa dia benar-benar merasa harus menolong cewek itu. Lenyapnya cewek misterius tadi menyisakan banyak tanda tanya dalam diri Vian.

 

♥♥♥

          Mia menjilat-jilat es krimnya sambil mendengarkan cerita Vian tentang cewek misterius yang baru dilihatnya. Radit, Mia dan kini sedang duduk di sebuah bangku kayu di dekat toko boneka.

“Kayak gimana ciri-cirinya?” Mia bertanya dengan bibir belepotan es krim.

“Cewek. Rambutnya panjang gitu sebahu.” Jawab Vian. Kelihatannya dia begitu penasaran sama cewek itu sampai-sampai lupa dengan es krim yang dibelinya dengan begitu semangat.

“Ada jutaan cewek yang punya rambut sebahu.” Balas Mia bete.

Radit menoleh, melihat Mia yang duduk di sampingnya dengan coklat yang berlumuran di bibirnya. Menyadari kalau dirinya lagi diliatin, Mia menoleh dan menatap Radit bingung.

“Kenapa, Dit?” tanyanya.

“Ayo cari Dema. Ini udah malem, kita harus pulang.”

♥♥♥

          Dema membakar rokoknya dan berjalan mengelilingi pameran seni yang tersusun di sepanjang tepi jalan. Sampai pada akhirnya, dia melihat beberapa pengunjung sedang melukis di atas gelas kaca. Dema merasa tertarik melihat itu. Dia terdiam disana untuk melihat sambil menghempaskan asap rokoknya.

“Maaf, Pak.” Suara seseorang.

Dema menoleh ke seorang wanita berpakaian kimono biru yang duduk di dalam stand tersebut.

“Tolong matikan rokok anda. Kami disini butuh kenyamanan.” Ucap wanita itu dengan penuh kesopanan.

Dema terdiam dengan mata menatap tajam, tapi akhirnya dia membuang rokok itu dan menginjaknya. Lalu dia melihat wanita tadi tersenyum ke arahnya. Dema yang keren sepertinya tertarik pada wanita berkimono itu. Dengan memasang gaya kerennya, dia tersenyum mendekat.

“Anda guru disini ya? Guru apa?” tanya Dema.

“Saya guru seni disini.” Ketusnya. Sepertinya dia bukan wanita yang mudah didekati. Dia melihat Dema dengan sangat tak bersahabat.

“Siapa nama Anda?” Dema bertanya dengan senyum penuh rayuan.

Wanita dengan mata indah itu melirik dengan judesnya, menantang mata Dema yang dipenuhi makna rayuan yang dalam.

“Nama saya Sista.” Jawabnya pelan.

Dema mengangguk. Saat itu gak bisa dipungkiri kalau gaya Dema yang keren cukup membuat guru itu tersenyum kecil.

Dema itu emang kelihatan menarik. Dia kelihatan sangat dewasa dengan bulu-bulu tipis di wajahnya. Mukanya ganteng dan dia punya jurus memikat wanita yang ampuh melalui sorot matanya dan senyumannya.

Bu Guru bernama Sista itu sendiri terlihat sangat menarik bagi Dema. Guru itu terlihat masih muda dan bermata bagus. Ditambah dengan sikap juteknya, itu membuat Dema semakin penasaran untuk mendekatinya.

“Boleh saya ikut melukis?” Dema memajukan badannya.

“Harus bayar sepuluh ribu dulu.”

“Ini.” Dema mengeluarkan uang dan memberikannya pada Sista.

Guru itu lalu memberikan Dema sebuah gelas kaca dan alat lukisnya. Kemudian Dema masuk ke stand dan duduk di sebuah bangku disamping Sista. Wanita itu sempat menatap Dema dengan sangat kesal. Tapi Dema kelihatan nggak peduli. Dia duduk disana dengan sangat serius saat sedang melukis.

Melihat perubahan ekspresi yang begitu drastis dan kesungguhan Dema saat melukis membuat Sista jadi memperhatikan Dema tanpa dia sadari. Dema yang merasakan perhatian itu menoleh dan tersenyum manis. Sista segera memundurkan wajahnya dan salah tingkah saat Dema menatapnya begitu.

 

♥♥♥

 

Mia bersama Vian dan Radit berjalan bersama mencari Dema. Di tengah jalan, Mia menabrak seseorang. Langkahnya mundur saat ada seseorang yang berbadan lebih besar berdiri menghadangnya.

“Do-dona?” Mia bertanya kaget.

Ternyata cewek yang ditabrak Mia tadi adalah Dona, cewek gaul di sekolah yang sama sekali tidak dekat dengan Mia.

“Lagi ngapain disini? Ngeliat-liat?” Dona melipat kedua tangannya.

Mia tertunduk. Dia tahu dia nggak bisa berbuat apa-apa atas penghinaan ini.

“Iya.” Bisiknya.

Tiba-tiba Radit menarik tangan Mia. Dona membalikkan badan, melihat Mia yang berjalan tertarih-tatih dipaksa Radit.

Seseorang menepuk bahu Dona. Cewek cantik itu berbalik dan melihat Vian yang sedang tersenyum cantik. Dona mengeritingkan alisnya.

“Denger ya, jangan sengak jadi cewek!” bentak Vian telak.

Dona tercengang, dia nggak bisa ngomong apa-apa.

Vian mengibaskan kepalanya dengan angkuh dan berjalan meninggalkan cewek yang nyari ribut itu.

“Dit!” teriak Mia. Radit nggak mempedulikannya, dia cuma berjalan menjauh sambil terus menarik Mia hingga cewek itu kesakitan.

Hingga akhirnya, Mia menarik dan melepas tangannya.

“Sakit tau, Dit!” teriaknya. Radit menoleh, matanya galak banget.

“Cewek lemah!” balas Radit.

Mia mendengus kesal. Udah tangannya ditarik-tarik, trus sekarang dia dikatain cewek lemah.

Radit malah berbalik badan dan meninggalkan Mia.

Masih dengan rasa gondok yang luar biasa, akhirnya Mia berjalan pelan untuk mengikuti Radit. Cowok nggak berperasaan itu berjalan santai seolah nggak terjadi apa-apa. Sementara Mia terus melihat pergelangan tangannya yang merah.

 

♥♥♥

          “Taraaaa…” Dema menunjukkan hasil seninya dengan senyum lebar yang sangat manis kepada Sista.

Sista melihat hasil seni Dema. Dia menggambar sebuah hati dengan cat pink. Gambarnya mungkin terlihat sederhana. Tapi bentuk hati yang ia buat cukup bagus dan warna yang ia pakai terlihat cocok untuk apa yang ia buat.

“Lumayan.” Sista mengirit pujiannya.

Dema memandang lagi gambarnya dengan bangga, “Ini lebih dari lumayan.”

Sista menarik napas dalam. Cowok ini benar-benar menganggu dirinya.

“Ini.” Dema menyodorkan gambar yang ia buat kepada Sista.

“Itu untuk anda bawa pulang. Anda kan sudah bayar.” Jawabnya.

Sista menatap mata Dema. Entah kenapa… laki-laki itu terlihat sangat dalam dengan tatapan matanya hingga Sista memberanikan diri untuk menatapnya lebih lama.

“Simpan ini. Untuk kenang-kenangan.” Bisik Dema.

Saking terpakunya dengan tatapan mata Dema, Sista tak menyadari kalau kini lukisan kaca itu berada di dalam genggaman tangannya.

Dema melepaskan mata Sista dan berjalan pergi.

Lalu saat Dema sudah meninggalkannya, guru itu melihat lagi gambar hati yang sedang dipegangnya.

Kemudian Sista mendongak dan melihat Dema berjalan menjauh. Tiba-tiba Dema berhenti berjalan. Sista menunggu reaksi selanjutnya dari cowok itu. Lalu Dema berbalik badan, tersenyum pada Sista seolah akan berkata kalau dia pasti akan kembali lagi.

Sista hanya terpaku. Kemudian dia melihat lagi gambar itu. Laki-laki menyebalkan yang tiba-tiba datang ke kehidupannya malam ini memberikan sebuah hati padanya.

 

♥♥♥

          Mia dan ketiga cowok itu berjalan pulang menuju rumah. Mereka berjalan berjauh-jauhan. Ketiga cowok itu dengan tak berperasaan berjalan di depan meninggalkan Mia yang tertatih-tatih di belakang karena kakinya sakit akibat terlalu lama berjalan.

“Dema jangan ngerokok!” Mia berteriak dari belakang.

“Sedikit lagi habis nih, tanggung.” Jawabnya.

Tiba-tiba Dema menoleh ke belakang, melihat Mia yang berjalan dengan aneh.

“Kaki lo sakit?” tanyanya, sambil mengepulkan asap rokok.

Mia menunduk, “Sedikit. Kayaknya kebanyakan jalan.” Jawabnya pelan sambil memperhatikan pergelangan kakinya.

“Naik.” Suara Dema.

Saat Mia mendongak, dia melihat Dema berjongkok dan menawarkan punggung. Dia nggak langsung naik, dia malahan diam untuk mikir-mikir dulu.

“Ayo cepet.” Suruh Dema sambil menepuk punggungnya.

Akhirnya Mia naik ke atas gendongan Dema. Cowok bertubuh besar itu dengan mudah membawa Mia di atas punggungnya. Mia melingkarkan lengannya di leher Dema. Hal yang dilakukan cowok dengan parfum yang menyengat itu mengingatkan dia akan Kak Rian, kakaknya yang sangat menyayanginya.

“Maaf ya ngerepotin.” Bisik Mia.

Dema nggak menjawab, mereka yang lain juga cuma diam dan melanjutkan perjalanan. Vian dan Radit juga terlihat sangat membantu. Mereka berdualah yang membawakan kantung-kantung belanjaan. Apalagi Radit, mukanya menjadi merah muda kalau ada orang yang melihatnya sambil memeluk sebuah boneka kelinci berwarna pink.

♥♥♥

“Dia udah tidur?” Dema berbisik pelan.

Vian melirik ke punggung Dema. “Iya.” Jawabnya.

Mia emang udah tertidur pulas di punggung Dema. Pipinya menempel di punggung Dema dan mulutnya terbuka sedikit. Untungnya dia nggak ngiler.

“Kalo diliat-liat…”  Vian bergumam, “Dia cantik kalo tidur.” Pujinya sambil memandangi wajah Mia.

“Iya kan, Dit?” Vian melirik dan bertanya pada Radit. Cowok dingin itu menengok dan melihat ke arah si cewek tidur yang mulai memperlihatkan air liur di ujung bibirnya.

“Dia kalo tidur tambah jelek.” Radit berbisik lalu memalingkan wajahnya.

Tiba-tiba, dari arah depan, terlihat dua cewek sedang berjalan dan menertawakan sesuatu. Dema mengeritingkan alis saat tahu kalau yang mereka tertawakan itu adalah Radit. Adik sepupunya itu terlihat cuek memeluk boneka kelinci yang sangat bertolakbelakang dengan wajahnya yang keren.

“Tinggal aja boneka itu kalo nyusahin, Dit.” Ucap Dema.

Radit tetap cuek, mukanya menatap lurus ke depan.

“Biarin aja. Nanti dia ngambek kalo bonekanya ditinggal.”

 

 

 

 

 

4

Mia & Nata

          Keesokan harinya, ketiga cowok itu bangun bersamaan jam sepuluh pagi. Saat bangun, mereka cuma menemukan tiga bungkus nasi uduk di atas meja yang sama sekali nggak membangkitkan selera makan mereka.

Saat membuka pintu kamar mandi, Vian terkejut melihat betapa tingginya tumpukan pakaian kotor dalam keranjang.

“Ya ampuun… cuciannya banyak banget.” Keluh Vian.

“Apa nggak ada gelas bersih?” tanya Radit saat melihat tumpukan gelas dan piring kotor di atas bak cuci piring.

“Lantainya kotor banget sih?” Dema bertanya sambil mengangkat sebelah kaki dan melihat betapa kotor telapak kakinya.

Ketiga cowok itu bertatapan dengan satu ide yang sama di fikiran mereka.

“Kita harus bersihin rumah ini.” Ide Dema.

Yang lain setuju.

 

♥♥♥

          Di jam istirahat, Mia berjalan menuju ke kafetaria dan duduk di salah satu meja kosong sendirian. Maklum, sebagai murid yang nggak populer di sekolah, dia belum menemukan sahabat sejati yang bisa menerima dirinya apa adanya.

“Hai.” Sapa seseorang.

Mia kaget melihat seseorang yang menyapanya.

“Hai.” Balas Mia.

Ternyata orang yang menyapa Mia itu adalah Nata, temannya di kelas sepuluh. Aneh juga tiba-tiba Nata menyapanya dan duduk bersamanya hari ini. Mereka berdua emang nggak deket. Secara, Nata itu adalah salah satu murid terkaya di sekolah ini dan dia nggak pernah bicara banyak dengan Mia.

“Udah lama kita nggak ketemu, Mia.” ujar Nata.

“Iya.” Mia tersenyum salah tingkah.

“Kamu bawa bekal apa?” tanya Nata penasaran. Dia memajukan wajah dan meminta Mia membuka kotak makanannya. Mia yang menyadari hal itu langsung membuka pelan kotak bekalnya. Meskipun dia tahu kalau isinya nggak seberapa.

“Cuma mie goreng pake nasi.” Jawab Mia. Dia menunjukkan nasi dan mie yang ditaruh berhimpitan dalam kotak makannya.

“Kamu mau bekalku?” Nata memajukan kotak makannya ke depan Mia.

“Apa itu?” tanya Mia.

Nata membuka tutup kotak makan tupperware ungu yang pasti mahal itu.

“Ini spagetti saus tomat yang dicampur daging giling.” Jawab Nata.

Mia hanya melongo melihat makanan yang kelihatan enak dan bagus itu. Bener-bener beda jauh dengan apa yang dibawanya.

“Kamu mau tukeran bekal?” Nata menawarkan.

“Hah?” Mia terkejut.

“Ini.” Nata memberikan kotak bekalnya pada Mia.

“Jangan… kayaknya aku nggak cocok sama bekal kamu.” Dia menggeleng dan menjauhkan kotak makan itu.

“Sini.”

Tiba-tiba Nata mengambil kotak makan Mia dan langsung memakan bekalnya. Mia menganga dengan panik saat Nata melakukan itu. Dia kan nggak tahu apa-apa tentang Nata. Cewek kayak dia mungkin aja alergi sama makanan-makanan murah.

“Aduuh…” Mia mengeluh panik.

Nata mengunyah mie goreng itu dengan santai. Lalu dia melihat Mia yang masih terdiam dan belum menyentuh bekalnya.

“Ayo dimakan.” Suruhnya.

Mia mulai memegang kotak makan itu. Dia kemudian melihat sumpit kecil terselip di dalamnya. Lalu dia mulai memakan makanan yang sebenarnya dia nggak mengerti itu. Rasanya lumayan enak, meski lidahnya masih belum terbiasa.

Akhirnya mereka berdua sangat menikmati acara makan di jam istirahat itu. Nggak aneh kalau Mia jadi doyan sama makanan mahal seperti bekal yang dibawa Nata. Tapi yang aneh adalah, Nata kelihatan benar-benar menikmati bekal yang dibawa oleh Mia sampai-sampai dia menghabiskannya dengan sangat cepat.

“Itu pengawal kamu ya?” Mia berbisik sambil melirik seorang laki-laki yang berdiri di pintu masuk kafetaria.

Nata ikut melihat ke arah yang sama. Laki-laki yang berdiri di sana menoleh dan melihat sangar ke arah mereka berdua.

“Jangan diliat. Anggep aja nggak ada.” Suruh Nata.

Mia mengangguk.

Sesaat kemudian, Mia terlihat memikirkan sesuatu. Dia menatap Nata dengan alis berlipat dan bibir menguncup.

“Ini pertama kalinya kita ngomong kayak gini kan?” tanya Mia.

“Ini yang kedua kalinya.” Jawab Nata.

“Ah? Masa?” Mia kaget dengan jawaban itu. Menurut ingatannya yang lemah, dia belum pernah berbicara apapun pada cewek itu.

“Kamu inget orang yang ngomong ‘kamu pake sepatu terbalik, bodoh?’” tanya Nata. Mia terdiam dengan dada sesak, “Itu aku.”

 

♥♥♥

          Mia membawa keluar sepedanya dari parkiran dan menuntunnya menuju ke gerbang sekolah.

“Mia.” Sapa seseorang.

Mia menoleh dan melihat Nata bicara dari dalam mobilnya.

“Apa?” tanya Mia.

“Aku mau nganter kamu pulang.” ucap Nata.

“Tapi aku kan bawa sepeda?” Mia bertanya polos.

Nata nggak menjawab, dia langsung membuka pintu mobilnya dan menarik Mia masuk.

 

♥♥♥

          “Aku nggak nyangka kalo orang kayak kamu ternyata menyenangkan juga.” Puji Nata mendadak saat dalam perjalanan.

“Hehehe… makasih.” Mia tertawa dengan besar kepala.

“Tadinya aku pikir isi otak kamu cuma cukup untuk bicara sama batu.” Ucap Nata lagi. Clep! Hati Mia tertusuk panah dan pecah berantakan. Tawa bangganya berubah jadi senyum tersiksa.

“Ah, masa begitu? Apa aku keliatan bego banget?” tanya Mia panik. Maklum, meski selama ini dia sering bertingkah laku seperti orang bego, dia pikir orang lain nggak tahu tentang rahasia besarnya itu.

“Kamu lugu.” Nata tersenyum saat melihat ekspresi Mia. Mia yang mendengar penjelasan itu menghembuskan napas lega. Kayaknya dia masih bisa terima kalau dibilang lugu dibanding bego.

“Tapi kadang lugu sama artinya kayak bodoh.” Sambar Nata.

Clep! Lagi-lagi perasaan dia harus terluka saat menerima kenyataan pahit tersebut. Akhirnya Mia lebih memilih untuk melupakannya sebelum hatinya terluka terlalu dalam. Lagipula… dilihat dari wajahnya yang tanpa beban, kayaknya Nata nggak berniat buat nyakitin perasaannya Mia.

“Kardus-kardus ini isinya makanan?” tanya Mia saat melihat bertumpuk-tumpuk kardus di dalam mobil.

“Iya. Ada yang kamu mau? Ambil aja.” tawar Nata.

“Emm…” Mia bergumam dan berfikir tentang makanan-makanan itu. Dia jadi teringat sama ketiga cowok tak diundang yang ada di rumah sekarang. Tiba-tiba Mia jadi ingin membawa pulang kardus-kardus isi makanan ringan dan snack itu ke rumah untuk ketiga cowok itu.

“Buat orang tua kamu mungkin?” Nata menebak.

“Orang tua aku sekarang tinggal di kampung.” Jawab Mia.

Nata menoleh tercengang, “Jadi kamu tinggal sendirian?”

Mia gagap. Dia nggak tahu harus menjawab apa, “Aku… aku sekarang tinggal sama tiga kucing nyasar.” Jawabnya.

Akhirnya, Mia sampai di rumah. Dia nggak turun dengan tangan hampa. Disamping kakinya terdapat tiga tumpukan kardus isi snack dari Nata.

“Makasih ya, Ta.” Mia tersenyum.

“Sama-sama. Itu semua nggak pernah aku sentuh semenjak ada di mobil.” Jawab Nata mengenai kardus-kardusnya.

“Itu sepeda kamu.” Nata menunjuk ke belakang.

Di belakang sana, bodyguard Nata datang sambil mengayuh sepeda Mia dengan bersusah payah. Mia tercengang sekaligus kasihan melihat bodyguard yang keren itu harus mengayuh sepedanya.

Tiba-tiba Nata turun dari mobil. Mia membesarkan matanya.

“Aku mau main ke rumah kamu sebentar.” Katanya santai.

Mulut Mia menganga dengan sangat paniknya.

“Hah?”

Gawaaattt… ketiga cowok itu kan ada di rumah!

 

♥♥♥

          Sementara itu, di dalam rumah…

“Uuhh… capeekk…” Vian meregangkan badannya yang letih sehabis dua jam membereskan semua pekerjaan rumah.

“Semua pakaian udah lo cuci?” tanya Dema yang lagi berkaca di cermin wastafel, dekat pintu kamar mandi.

“Udah.” Jawab Vian, “capeekkk…”

“Semua piring sama gelas udah gue cuci, pakean udah gue jemur.” Lapor Radit.

Dema mengangguk. Dia juga udah menyapu dan mengepel seluruh rumah. Kemudian dia melanjutkan lagi acara bercerminnya. Dia mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi bulu itu.

“Ternyata jenggot gue udah berantakan.” Curhatnya. Lalu dia mulai mengambil alat cukur yang tergeletak di atas wastafel.

Di sisi lain, Radit terliat mengucek matanya dengan keras.

“Kenapa?” tanya Vian.

“Ada yang masuk ke mata gue.” Radit masih terus kesakitan.

Vian berdiri. Dia menghampiri dan menarik tangan Radit.

“Sini gue liat.” Vian meminta Radit membuka matanya. Tangan Vian mulai memegang mata Radit dan membukanya, mengamati apa yang salah di dalam mata sepupunya itu.

 

♥♥♥

 

“Kenapa? Boleh kan gue mampir?” Nata mendesak, membuat Mia jadi nggak enak untuk menolaknya.

“Tunggu sebentar disini. Sebentar.” Pinta Mia. Dia lalu buru-buru masuk ke dalam rumah untuk memberitahu ketiga cowok itu.

BRAK

Mia membuka dan menutup pintu secepat kilat. Dia lalu bersandar di balik pintu, melihat Dema yang lagi cukuran di depan cermin dengan hanya menggunakan celana boxer serta Vian yang lagi melihat mata Radit.

Mia tercengang melihat Vian yang memunggunginya. Dari belakang, Vian terlihat kayak orang yang mau nyium Radit. Membuat rambut Mia jadi berdiri.

“Kalian ini lagi ngapain sih? Kenapa berbuat mesum di rumah gue?” bisik Mia dengan tak percaya. Padahal mereka berdua kan ganteng, sayang banget kalau ternyata mereka saling mencintai.

“Siapa yang berbuat mesum?” tanya Vian dengan polosnya.

Saat Vian berbalik, baru kelihatan Radit yang sedang menutup matanya.

“Apa cukuran itu mesum?” tanya Dema dengan bingung, masih dengan krim putih yang menempel sepanjang dagunya.

“Siapa yang mesum sih?” Vian menoleh pada Dema. Dua cowok itu saling bertatapan dengan mulut menganga, mengeluarkan tampang bego yang jarang mereka perlihatkan. Mereka penasaran siapa yang berbuat mesum.

Cuma Radit yang masih sibuk mengucek matanya yang merah dan terasa perih. Saat melihat Radit yang begitu, Mia menelan ludah dan sadar kalau dugaannya salah.

“Diluar ada temen gue. Dia mau masuk. Sekarang kalian naik ke atas, masuk ke kamar dan jangan keluar sampai gue suruh.” Jelas Mia cepat.

“Emangnya kenapa kalau ada temen lo?” tanya Vian.

“Nanti gimana gue bisa jelasin soal elo bertiga sama dia?” tanya Mia panik.

Dema sama Vian masih mengeluarkan tampang bloonnya. Mia buru-buru mengambil sapu yang ada di balik pintu seperti ksatria mengambil pedangnya, “cepet ngumpet ke atas atau gue pukul pake ini!”

 

♥♥♥

          “Ayo masuk.” Mia membuka pintu.

Nata yang sejak tadi berdiri menunggu diluar tersenyum dan membuka sepatunya sebelum masuk ke dalam rumah Mia.

“Silahkan duduk. Aku buatin minum dulu ya?”  Mia mempersilahkan.

Kemudian dia menuju dapur dan membuat sirup. Nata berdiri di tengah rumah, memperhatikan rumah Mia yang kecil itu dengan senyum kecil diujung bibirnya. Kelihatannya Nata sangat senang bisa main ke rumah Mia. Dia juga kelihatan mengamati rumah itu, seperti sedang mencari sesuatu.

Akhirnya, Nata benar-benar menemukan sesuatu di atas tivi.

“Mia.” Panggilnya.

Kepala Mia muncul di ambang pintu dapur.

“Ini celana siapa?” Nata memegang boxer merah milik Vian.

Mulut Mia membulat, “Oh, itu… itu celana gue.”

Nata kaget, “Kamu pakai celana laki-laki?”

Mia mundur dengan muka melas, “Iya. Kadang-kadang.”

Nata menaruh lagi celana itu di tempat asalnya. Mia mengaduk sirup dengan jantung berdebar-debar. Entah apa lagi yang akan ditemukan Nata di rumah itu yang akan membuatnya kelihatan seperti orang bodoh.

Ternyata Nata emang berbakat jadi detektif. Setelah menemukan celana boxer  milik Vian barusan, dia menemukan alat cukur punya Dema yang dipenuhi krim dan bulu jenggot.

“Kok ada alat cukur disini? Emangnya kamu abis nyukur apa?” tanya Nata.

Mia menoleh dan melihat alat cukur itu. Tamatlah riwayatnya.

“Nyukur rambut.” Jawab Mia ragu. Dia tahu jawabannya itu akan membuatnya terlihat seperti orang paling goblok sedunia.

“Ini kan bukan alat cukur rambut, ini kan alat cukur jenggot yang biasa dipakai sama anak cowok.” Nata menjelaskan.

Mia nggak bisa menjawab, dia nggak berani keluar dari dapur. Rasanya dia pengen nangis saat itu juga. Tega banget sih tiga cowok itu menghancurkan imejnya.

“Ini apa? Kamu ngerokok?” tanya Nata lagi saat melihat bungkusan rokok yang sudah kosong di tempat sampah.

Mia keluar dari dapur membawa dua gelas sirup.

“Kadang ngerokok itu bagus buat ngilangin stres.” Jawab Mia sambil tersenyum kuda. Tapi Nata hanya mengangguk biasa, seolah berkata ‘iya, masuk akal kalau orang seperti Mia melakukan hal bodoh itu’.

Hati Mia terasa ditusuk-tusuk. Ini benar-benar suatu cobaan berat baginya. Entah bagaimana pandangan Nata terhadapnya setelah kejadian ini.

Nata mendatangi Mia yang duduk di meja lantai. Lalu dia duduk di lantai dan meminum es sirup yang Mia buat.

“Rumah kamu aneh.” Bisik Nata dengan segenap jiwa.

Mia cemberut, “Iya, aku tahu.”

“Aku jadi pengen nginep.” Balas Nata.

“Hah?” Mia kaget. Tadi kan Nata bilang rumahnya aneh, kenapa sekarang dia bilang mau nginep?

“Gimana kalo malem ini aku nginep?” tanya Nata dengan mata yang cerah.

“Nginep?” tanya Mia pelan.

Nata tersenyum dan mengangguk. Kayaknya dia sangat bersemangat.

“Bo-boleh.” Jawab Mia gagap.

Tiba-tiba ada suara benda jatuh disertai suara berisik manusia. Nata yang pendengarannya sangat tajam itu langsung melirik penuh tanda tanya.

“Itu suara apa?” tanyanya.

“Ah? Apa?” tanya Mia dengan cengengesan. Dia tahu kalau suara itu mungkin adalah suara dari tiga cowok yang sekarang sedang bersembunyi di lantai atas.

“Di atas ada orang ya?” tanya Nata.

Belum sempat Mia menjawab, Nata langsung berdiri dan bergegas menaiki anak tangga. Dia berjalan sangat pasti menuju ke asal suara, menuju ke kamar tidur ketiga cowok itu.

BRAK

Nata membuka pintu. Vian terlihat salah tingkah saat dia kepergok nyaris melompat keluar jendela. Dia menjadi gagap saat Nata menatapnya tajam ditambah lagi, dia melihat Mia yang kelihatan panik dengan mulut bergerak-gerak tanpa suara yang mengatakan ‘bego lo!’.

“Kamu kan…” Nata menggantung kalimatnya. Dia merasa pernah bertemu dengan Vian.

Vian yang mukanya semanis wanita itu juga mengembangkan senyumannya, “Hai. Lo yang di bazar waktu itu kan? Ternyata lo temennya Mia ya?”

Nata tersenyum sangat manis pada Vian saat berhasil menemukan cowok itu. Dia memang sengaja mendekati Mia hanya karena dia sempat melihat Vian jalan bersama cewek itu. Dan Nata adalah orang yang ditemui Vian sehabis dia memberi es krim, seorang cewek yang waktu itu jatuh setelah ditabrak cowok.

“Mia?” panggil Vian.

Cewek itu menoleh bloon, “I-iya?”

“Genteng lo yang bocor udah gue betulin. Permisi.” Vian berbalik dengan tergesa-gesa dan langsung keluar dari jendela dan lompat ke bawah. Dia menyusul Dema dan Radit yang udah turun dan bersembunyi di dalam mobil.

Nata cuma bengong aja pas Vian melompat nekad dan terdengar bunyi degum dari bawah. Mia juga menampilkan ekspresi mukanya yang bloon banget.

“Apa dia nggak pernah diajarin keluar lewat pintu?” bisik Nata.

Mia cuma bisa mengangkat lemas bahunya.

 

♥♥♥

          Mia mengantarkan Nata keluar dari rumahnya. Cewek itu tiba-tiba aja berjalan keluar rumah tanpa bicara sepatah kata pun.

“Makasih ya?” ucap Nata.

“Oh, sama-sama.” Mia membungkuk dengan cepat.

Nata tersenyum manis sedangkan Mia menatap kaku.

“Kamu nggak jadi nginep?” tanya Mia.

“Nggak.” Nata menggeleng, “aku mau tapi aku nggak bakalan boleh.”

Mia mengerti. Tapi seharusnya dia mengerti dari tadi kalau orang yang hidupnya sesempurna Nata harus berfikir ratusan kali untuk menginap di rumah kecil sederhana bersama orang mini kecerdasan seperti dirinya.

“Tapi kok aku nggak liat 3 kucing peliharaan kamu ya?” sindir Nata.

Mia menjadi gagap dan nggak tahu harus menjawab apa.

“Oh… mereka bertiga emang suka begitu. Tapi kalo malem pasti pulang.” Jawabya sambil cengar-cengir nggak karuan.

“Laki-laki yang tadi betulin genteng kamu itu.” Kata Nata.

Mia melirik, “Kenapa?”

“Siapa dia?” Nata bertanya dengan matanya yang serius.

“Namanya Vian.”

“Dia tinggal dimana?”

“Rumahnya di… di sana.” Mia menunjuk asal-asalan. Bahkan dia sendiri nggak ngeliat arah yang dia tunjuk.

Nata melihat ke arah yang ditunjuk Mia, “Dimananya?”

“Di situ. Tapi gue nggak tahu dimana rumahnya.”

Nata melihat Mia dan tersenyum lagi.

“Dadah.” Nata tersenyum sambil membuka pintu mobilnya.

“Daah.” Mia melambai manis saat Nata masuk ke dalam mobil.

Fiuuuh…

Akhirnya Nata pergi juga. Untung dia nggak jadi nginep.

 

♥♥♥

          Sekarang jam setengah tujuh malam. Ketiga ‘kucing’ itu udah balik ke rumah. Mereka lagi bergantian main PS.

“Cewek itu kan yang gue bilangin waktu itu. Yang ditarik sama bapak-bapak pake kacamata item waktu di festival.” Ujar Vian sambil memium segelas air dingin. Mia yang sedang serius memotong daging itu tak terlalu menanggapi.

“Namanya Nata. Yang pake kacamata itu bodyguardnya.” Jawabnya.

“Ooo…” Vian mengangguk mengerti.

Vian lalu berdiri di belakang Mia. Dia memperhatikan keseriusan cewek itu yang jarang dilihatnya. Mia cuma bisa serius tentang satu hal, yaitu ‘masak’.

“Lagi mau masak ya?” tanya Vian.

“Iya.” Ketusnya.

“Kita rencananya mau makan diluar. Mau ikut?” tawar Vian.

Mia berbalik badan, menatap tajam mata Vian sambil bertolak pinggang.

“Nggak ada acara makan diluar.” Kecam Mia.

Saat Mia bilang begitu, Radit dan Dema yang lagi main PS langsung menoleh dengan tatapan lesu tak bergairah. Seolah-olah mereka tahu mimpi buruk apa yang akan mereka hadapi.

“Tunggu dulu sebentar. Kalian harus makan masakan gue.” Tegasnya.

Lalu cewek itu pun mulai ribut lagi di dapur, mencoba membuat masakan yang biasanya gagal.

“Apa-apaan ini? Kenapa pintunya harus dikunci?” teriak Vian saat dia tahu kalau pintu luar dikunci.

“Malam ini kita makan daging. Makanya kalian nggak usah buang-buang duit. Pintunya gue kunci supaya kalian nggak bisa kabur!” Sambung Mia lagi, masih dengan wajah judesnya.

“Hoaamm… membosankan.” Dema menutup mulutnya yang menguap.

“Kapan nih makanannya jadi? Aku lapeerr…” keluh Vian sambil mengusap perutnya. Dua cowok itu terlihat ingin mengacaukan acara makan malam, hanya Radit yang masih stay cool tanpa banyak bertingkah.

“Hei! Pada mau kemana?” Mia keluar dari dapur saat melihat ketiga cowok itu berjalan bersamaan menuju ke atas tangga.

“Nunggu di kamar.” Balas Dema.

“Kalo makanannya udah jadi kalian harus turun!” teriak Mia.

“Tenang aja!” Balas Vian.

Mia berkacak pinggang dan manyun. Dia kesel banget tiga orang itu ngeremehin kemampuannya dalam memasak. Sebenernya dia cukup curiga atas kelakuan tiga makhluk itu, tapi dia mencoba percaya dan masuk kembali ke dalam dapur untuk melanjutkan kegiatan favoritnya yang sering mencelakai banyak orang.

 

♥♥♥

          Akhirnya masakannya jadi. Mia buat sop daging malam itu. Dia nggak tahu apa hasil masakannya bisa lebih baik dari yang pernah dia buat. Yang pasti, kali ini dia lebih tahu komposisi seimbang untuk membuat sopnya. Lagian… sop punya kenangan pahit tersendiri yang memotivasinya untuk bisa membuat sop yang enak meski cuma sekali sepanjang hidupnya.

“Dema, Vian, Radit! Cepetan turun!” teriak Mia dari bawah tangga.

Nggak ada respon.

“Demaaa!!” Mia teriak sampai terbungkuk-bungkuk.

Karena curiga ada hal yang nggak beres, Mia naik ke atas dengan segenap emosinya. Dia lalu berdiri dan mengetuk pintu kamar.

“Cepet keluar! Makanannya udah jadi!” teriak Mia sambil terus mengetuk pintu. Tapi nggak terdengar suara orang, cuma ada bunyi lagu yang cukup berisik.

Karena panik, Mia segera membuka pintu dan ternyata pintunya nggak dikunci. Alangkah betenya dia saat dia melihat kamar itu kosong dan jendela terbuka. Dengan mulut terbuka dan wajah shock, dia mengutuk dalam hati.

“Sialaaann…”

 

♥♥♥

          Ketiga cowok keren itu berjalan di tengah malam yang sepi dan dingin. Mereka bertiga bermantel hitam malam itu, berjalan lambat menuju ke salah satu restoran di dekat sana.

“Apa kita nggak apa-apa ninggalin Mia sendirian?” Radit berbisik cemas.

Dema dan Vian menoleh, melihat kekhawatiran di wajah Radit.

“Kita nggak akan pergi lama kok.” Sambar Dema.

“Iya. Kita kan cuma mau beli makanan trus pulang. Kita juga beliin Mia makanan. Bisa aja masakan dia gagal lagi. Iya kan?” Vian membalas.

Meski begitu Radit masih saja cemas. Dia masih berjalan dengan tangan masuk ke dalam saku dan kepala tertunduk.

♥♥♥

          Sementara itu, Mia sedang di rumah dan bolak-balik nggak karuan dengan emosi yang sangat memuncak-muncak.

“Awaass aja. Kalo sampe mereka pulang, bakal gue remeeesss…” Mia mengomel sendirian di tengah rumah. Dia telah menyiapkan berjuta rencana buruk di dalam otaknya untuk membalas perbuatan tiga ‘kucing’ nyasar yang nggak tahu diri.

Tiba-tiba,

Tok tok tok

Terdengar suara ketukan pintu. Pasti  tiga orang nyebelin itu udah pulang.

“Udah nggak usah pulang! Kalian emang nggak tau diri! Jangan balik lagi kesini! Pergi!” teriak Mia dengan segenap kekesalannya.

Ternyata tiga orang cowok itu bener-bener nggak tahu diri. Setelah diteriaki oleh Mia kayak tadi, mereka masih terus mengetuk pintu.

“Ngapain terus ngetok-ngetok pintu? Pergi dan jangan balik lagi!” teriak Mia.

Ternyata ketiga cowok itu masih belum kapok juga. Mereka terus mengetuk pintu, malah ketukan mereka semakin keras dan panjang. Itu membuat asap keluar dari lubang hidung Mia. Dia lalu berjalan menuju ke pintu dengan dada membusung karena marah.

BRAK!

“Apa…”

Belum sempat Mia menyelesaikan kalimatnya, seorang pencuri mendekap tubuhnya dari belakang dengan sangat kuat. Sebelah tangannya juga menutup mulut Mia. Cewek lugu itu sadar apa yang sedang terjadi. Rumahnya sedang dimasuki oleh pencuri. Mereka ada tiga orang!

Mia nggak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya yang mungil itu didekap dengan sangat kasar dan dia nggak bisa melawan kekuatan seorang laki-laki yang mencengkramnya.  Sementara, tepat di depan matanya, dia melihat dua kawanan pencuri bertopeng itu mengobrak-abrik rumahnya.

Mereka mungkin mengetahui kalau belakangan ini banyak paket kiriman barang-barang elektronik mahal yang dibeli dari uang tiga cowok itu.

Mia nggak terlalu kaget jika para pencuri itu mengincar tivi atau barang elektronik lainnya. Tapi yang paling membuat bola matanya terbelalak adalah saat salah satu pencuri itu berdiri di hadapan semangkuk sop bikinannya yang terletak di atas meja. Dari mata pencuri itu, ada aura kejahatan yang dapat dirasakan Mia.

Makanya dia memberontak, menggerakkan seluruh badannya agar bisa lepas.

“Jangan sentuh sopnya! Jangan SENTUUUHH!!!” teriak Mia. Pencuri yang memeganginya langsung mengunci mulut Mia kembali.

Lalu, pencuri itu langsung menendang meja hingga mangkuk sop itu terguncang dan terbalik. Mia nggak bisa menahan rasa sedihnya. Tubuhnya langsung mengulai lemas dan matanya berkaca-kaca.

♥♥♥

          Di saat gawat darurat kayak gitu, akhirnya ketiga cowok itu sampai di rumah. Mereka langsung mengetuk pintu dan membuat ketiga pencuri yang ada di dalam rumah jadi panik nggak karuan.

“Mia? Mia!” panggil Dema dari luar.

Vian yang sejak tadi mengetuk pintu menatap Dema dan Radit dengan bingung. Mereka lebih merasa wajar kalau tiba-tiba Mia mengonggong dari dalam dibandingkan kesunyian kayak gini.

Radit yang paling khawatir terhadap Mia langsung maju dan mendorong pintu. Tiga pencuri tadi sudah terlihat naik ke atas tangga. Yang terlihat hanyalah Mia yang duduk dengan mata kosong di lantai.

“Brengsek!” kecam Radit. Dia lalu berlari ke atas, mengejar tiga pencuri tadi. Dema yang menyadari keadaan itu ikut berlari kencang menyusul Radit. Mereka berdua berlari melintasi Mia yang hanya duduk dengan wajah penuh airmata.

Sesampainya mereka berdua di atas, mereka berhasil menangkap dua pencuri tadi dan sempat menghajar wajah mereka. Dema hanya membanting punggung pencuri itu ke tembok sementara Radit, yang entah kenapa, tiba-tiba saja menghajar dengan sangat brutal pencuri yang terbaring di atas lantai.

Saking melihat emosi Radit, Dema sampai terpaku dan menghentikan tindakannya. Baru kali ini dia melihat Radit memukul orang, dengan sorot mata yang begitu dipenuhi kebencian.

Melihat muka pencuri yang sudah babak belur itu dan tenaga Radit yang tak kunjung berkurang, Dema melepas pencuri yang dipegangnya. Dia membiarkan pencuri itu pergi lewat jendela dan menarik bahu Radit.

“Udah, Dit. Cukup.” Bisik Dema.

Radit duduk, dilihatnya pencuri yang nyaris pingsan itu merangkak menjauh. Napas Radit memburu, sepertinya dia belum melampiaskan segenap kebenciannya walaupun para pencuri itu sudah kabur lewat jendela.

Disisi lain, Dema berdiri dengan wajah cemas. Baru kali ini dia melihat adik sepupunya itu seperti ini. Itu membuatnya ketakutan.

“Mia?” Vian menghampiri Mia dengan cemas, “Lo nggak apa-apa?” tanya Vian sambil memegangi tubuh Mia. Cewek itu bener-bener sakit hati, ditatapnya Vian dengan penuh emosi sambil airmatanya menetes.

“Mau apa kalian balik lagi kesini?” sinisnya.

“Beruntung kita balik lagi kesini. Gimana kalo terjadi apa-apa yang buruk sama elo?” tanya Vian.

Tiba-tiba garis mulut Mia turun dratis, dia akan meledak sebentar lagi.

“Sopnyaaaa…” Mia menangis sambil membuka lebar mulutnya.

“Udah jangan nangis…” bujuk Vian.

Mia terus menjerit, “Sopnyaaa…”

Akhirnya, karena Mia nggak mau berhenti nangis, Vian memeluk Mia. Dia sibuk mengusap rambut dan punggung Mia untuk membuatnya tenang.

Radit dan Dema berdiri di anak tangga, melihat pemandangan menyedihkan itu dan mendengar suara tangis Mia yang rasanya tak akan cepat berhenti.

 

♥♥♥

          Vian masuk ke dalam kamar lalu bersandar di balik pintu. Mereka bertiga berkumpul di kamar atas, dalam keadaan yang lelah dan pusing.

“Dia masih nangis.” Keluh Vian.

Radit dan Dema yang ada di sana hanya terdiam.

“Ini semua kesalahan kita.” Bisik Vian lagi, “seharusnya kita nggak pergi karena dia sendirian. Ini pikir ini pertama kalinya dia masak yang enak. Kita malah mengacaukan segalanya.”

Mereka semua terdiam. Mereka tahu dimana letak kesalahan mereka.

Dema berfikir. Tiba-tiba dia tersenyum lalu melirik Radit. Radit yang sadar ada makna tersembunyi dari senyum dan lirikan itu mengerutkan alisnya.

“Lo pernah masak sebelumnya?” tanya Dema dengan senyum penuh arti.

Tatapan Radit menjadi datar, dia tahu ada yang nggak beres.

Vian justru tersenyum dengan lesung pipinya yang manis.

Jadi… mereka bakalan masak?

 

♥♥♥

          Mia nggak nyangka akhirnya bisa melihat pemandangan menggelikan itu. Tiga cowok ganteng memakai celemek norak miliknya dan mereka semua sedang mengacaukan isi dapur. Mia duduk di dekat meja dan menonton sebagai jurinya. Tiga cowok itu berusaha menghibur Mia. Cewek dengan mata sembab itu hanya bertopang dagu dengan bosan. Sepertinya usaha mereka untuk membuat Mia tersenyum kembali nggak berhasil.

“Taraa!!!” Vian dengan bangganya menunjukkan semangkuk sop yang mereka bertiga buat. Dema dan Radit buru-buru mencopot celemek mereka.

“Gimana, Mia?” tanya Vian sumringah.

Mia masih saja bertopang dagu dengan wajah bosan.

“Kalian bertiga keliatan kayak bencong.” Curhatnya.

Tiga cowok itu membatu lalu hancur berkeping-keping. Baru kali ini mereka menerima penghinaan yang teramat dalam sepanjang umur mereka.

“Kita bertiga udah masak sop lagi. Kita makan yuk?” tanya Vian.

Vian menaruh semangkuk sop itu di atas meja. Dia lalu duduk di hadapan Mia.

Akhirnya, dengan sedikit malas-malasan Mia lalu mengambil sendok dan mulai memaksakan dirinya untuk menerima makanan itu. Para cowok itu lalu ikut bergabung untuk menikmati masakan buatan mereka.

Dari luar rumah, terlihat bayangan mereka melalui jendela. Benar-benar kehidupan yang harmonis. Mereka berempat duduk mengelilingi meja dan berdoa sebelum makan. Hingga akhirnya…

“Huueekk!!! Makanannya nggak enaaaakkk!!!” Mia menjerit.

 

♥♥♥

          “Padahal tadi gue udah kasih garem yang cukup.” Tambah Dema.

Mereka bertiga, alias para cowok-cowok itu masih membahas soal ‘masakan yang nggak enak’ yang membuat Mia semakin murung. Padahal sekarang mereka udah berada di bawah selimut dengan lampu kamar yang dimatikan.

“Mungkin ini belom rejeki kita.” Radit menyahut sok bijak.

“Mia udah tidur belum ya?” bisik Vian pada keduanya.

“Udah. Dia kalo belom tidur pasti kedengeran suara ributnya.” Jawab Dema.

Dengan mata nyaris terpejam, Vian mengangguk setuju. Mia kalau belum tidur emang suka banget gentayangan dan bikin ribut. Tapi malam ini, suasana sunyi sepi, itu mungkin pertanda kalau cewek itu udah tidur.

Tapi pada kenyataannya…

“Hah? Cuma dua belas ribu?” Mia terbelalak saat mengetahui jumlah tabungan yang dimilikinya tinggal dua belas ribu, “Ya ampuun… gak bisa begini. Ini sih nggak bakalan cukup.” Keluhnya panik.

“Mau dikasih makan apa tiga orang itu? Ini nggak bisa dibiarin!” tegas Mia.

Sambil mengepalkan tangan, Mia melihat ke kalender yang di permukaannya terdapat lambang sebuah toko kue dekat situ. Dengan senyum yang penuh ceria, dia menyiapkan sebuah rencana untuk hari esok.

 

 

 

 

5

Mia Kerja ??

 

Keesokan paginya, ketiga cowok itu bangun di jam Mia biasanya berangkat ke sekolah. Tapi, saat itu rumah udah kosong. Sarapan udah tertata di atas meja. Cewek itu kayaknya udah berangkat ke sekolah karena sepedanya juga udah nggak ada.

“Dia udah berangkat. Kenapa pagi banget?” Vian menggaruk kepalanya sambil melihat ke jalanan luar.

Dema dan Radit nggak menjawab. Radit sibuk membuat kopi di dapur sementara Dema duduk di dekat meja sambil menyalakan tivi.

“Ini masakan buatan dia ya?” tanya Dema sambil memandangi sepiring nasi goreng yang dia temukan di atas meja.

Vian melirik ke dalam, “kayaknya sih gitu.” Jawabnya.

Dengan mata datar yang polos, Dema menatap Vian, “Yan, tukang bubur genit yang biasa datang itu udah lewat blom?”

 

♥♥♥

 

Di kelasnya, Mia sedang serius mengerjakan tugas Matematika yang diberikan. Dia sangat serius hingga terkaget-kaget ketika namanya dipanggil.

“Mia.” Panggil Pak Edwin.

Mia menelan ludah dan meninggalkan mejanya saat menyadari dia akan segera mengetahui nilai ulangan Matematikanya.

Begitu berdiri di samping meja guru, Mia tertunduk. Firasatnya nggak begitu bagus, kayaknya dia dapat nilai jelek.

“Bagaimana ini, Mia? Kenapa nilaimu turun belakangan ini?” tanya Pak Edwin dengan tegas dan terarah.

Mia melihat nilainya, 4,3. Mungkin itu nilai paling jelek di kelasnya.

“Maaf, Pak. Saya emang kurang ngerti pelajaran ini.” Ucapnya sedih.

Pak Edwin memberikan kerta sulangan itu pada Mia.

“Belajar lebih rajin. Saya nggak mau liat nilai kamu seperti ini.” Pintanya.

Mia tertunduk menyesal, “Iya, Pak.”

♥♥♥

 

Siang ini, ketiga cowok itu berkumpul di kamar. Mereka baru balik dari hypermarket. Rencananya mereka akan belanja banyak. Tapi entah kenapa, mereka pulang dengan tangan hampa dan wajah ditekuk.

“Kartu kredit kita semua diblokir kakek. Tamatlah riwayat kita.” Dema mengeluh sambil melempar enam lempengan kartu kredit ke atas meja.

“Kalian berdua udah nggak pegang uang sama sekali?” tanya Radit pada dua kakak sepupunya.

“Enggak.” Jawab Vian polos, “abis sama sekali. Paling cuma ada dua ribu di kantong gue, kembalian naik bis.”

Ketiga cowok itu kini terdiam. Setelah cukup bersenang-senang selama terbebas dari kakek, akhirnya mereka merasakan hilangnya kebebasan mereka. Akses kartu kredit mereka diblokir, dan hanya kakek yang bisa melakukan itu.

Saat itu, tiba-tiba saja hanphone Dema berdering. Itu adalah panggilan dari sebuah nomor tak dikenal.

“Halo? Ini siapa?” Ujar Dema.

“Dimana kalian sekarang?!” Tiba-tiba sebuah teriakan membuat Dema dengan refleks menjauhkan handphone dari lubang telinganya.

Saking besarnya tuh suara, Radit dan Vian yang ada disana bisa mendengar teriakan orang diseberang sana. Mereka saling bertatapan kaget saat mereka bisa mengenali suara itu.

“Paman?! Darimana paman tahu nomor ini? Dari Dudi?” teriak Dema.

Seperti yang mereka bertiga duga, itu adalah suara Paman Beno. Paman Beno sebenarnya tidak punya hubungan darah dengan keluarga besar mereka. Dia hanya seorang ‘ajudan’ setianya kakek yang selalu berusaha membuat mereka bertiga memenuhi apapun keinginan kakek.

“Udah jangan banyak bicara! Kalian kenapa enggak pulang? Kakek sangat marah. Dia bilang akan membunuh kalian kalau kalian bertiga pulang. Dema, kau curi uang kakekmu ya? Jawab!” bentak Paman Beno.

“Sedikit. Nanti aku kembalikan.” Jawabnya pelan.

“Kakek kamu sangat marah, tau! Dia nggak ngajarin kamu jadi maling! Kalo kamu pulang, kakek akan ngawinin kamu sama janda lima anak dan kamu bakalan dikirim ke pedalaman! Kamu ngerti nggak?!” gertaknya lagi.

Dema masih saja cuek, baginya hal seperti ini bukan untuk pertama kalinya dan dia udah pernah menghadapi yang jauh lebih buruk. Dia malah sibuk memutar-mutarkan telunjuk ke lubang telinganya. Gak tahu kenapa, telinganya berdengung setelah teriakan tadi.

“Kasih teleponnya ke Vian. Aku mau denger suaranya. Jangan-jangan dia udah mati gara-gara kamu.” Suruh Paman.

Dema mengulurkan tangannya ke Vian. Cowok bermuka cewek itu mengambil handphone dengan loyo. Dia sempat terdiam suntuk beberapa saat sebelum akhirnya berbicara dengan Pamannya.

“Halo?” sapa Vian lemas.

“Halo, Vian?” tanya Paman Beno.

“Iya, ini aku.” Vian menjawab ogah-ogahan.

“Gimana kabarmu?” Paman Beno menginterogasi lagi.

“Baik.”

“Dema nggak mengajakmu melakukan hal-hal yang aneh kan?” bisik Paman Beno dengan penuh kecurigaan. Kasian banget Dema, kesannya dia tuh selalu salah dan semua yang dilakukannya nggak pernah benar.

“Aku maunya sih begitu, tapi ternyata enggak.” Balas Vian.

“Kakekmu mau kamu pulang. Ada kesempatan masuk perguruan tinggi di luar negeri. Kakekmu mau kamu kuliah disana. Dia nggak sayang ngeluarin uang ratusan juta buat itu!” Paman Beno mengumumkan.

Vian mengangguk seperti seorang yang sudah sangat mengerti.

“Oo, begitu ya? Jadi kakek sekarang suka pake celana dalem cewek?” balasnya sengaja. Dema menahan tawanya saat mendengar hal itu.

“BUKAAANN!!!” Paman Beno berteriak geram.

“Vian! Dengerin paman! Kamu harus kuliah. Siapa nanti yang gantiin kakekmu itu? Siapa yang memimpin perusahaannya?” tanya Paman Beno mendramatisir.

“Aku nggak mau. Aku nggak mau jadi kayak kakek.” Tolak Vian.

Terdengar suara tarikan napas Paman Beno. Kayaknya dia udah capek bicara sama Vian. Dia sama nakal dan keras kepalanya kayak Dema. Mereka berdua emang paling nggak bisa diatur.

“Vian, mana Radit? Kasih teleponnya ke Radit.” Suara Paman Beno terdengar mendayu-dayu. Dia udah nggak kuat menahan seluruh cobaan yang Tuhan kirim melalui dua bersaudara itu. Kini harapannya cuma satu, Radit.

“Halo?” Radit menyapa dengan gaya andalannya, datar tak beremosi.

“Radit. Gimana keadaanmu?” tanya Paman Beno lembut.

“Baik.” Jawab Radit.

Lalu terdengar jeda beberapa detik, Paman sedang menarik napas.

“Radit, kamu kan yang paling bener diantara kedua sepupumu itu. Suruhlah dua orang itu supaya mau pulang. Kakek disini selalu menangis kalau ingat kalian. Dia mau kalian cepat pulang.” Paman Beno memohon.

Radit terdiam beberapa detik.

“Kayaknya nggak bisa, Paman.” tegas Radit lembut.

“Ah? Kenapa?” paman tak menyangka Radit menolak hal itu.

“Aku suka tinggal disini.” Jawab Radit dengan suatu nada kebahagiaan yang terdengar dari suaranya yang datar. Saat Radit mengatakan hal itu, Dema dan Vian terkejut dan menoleh.

“Tinggal? Tinggal dimana? Tinggal di hotel kan?” tanya Paman.

Tit.

Sambungan diputus oleh Radit. Dia lalu menatap dua kakak sepupunya dengan senyum penuh kemenangan.

“Dia bilang kita nggak usah pulang.” Kata Radit.

Dema menyunggingkan senyum keren saat melihat sifat buruknya mulai menular kepada Radit, “Bagus.” Puji Dema.

 

♥♥♥

 

Sepulang sekolah, Mia menuju ke parkiran. Hari itu dia terlihat tergesa-gesa. Saking buru-burunya, dia nggak sadar kalau sejak tadi Nata mengejar dan memanggilnya dari belakang.

“Mia!” Panggil Nata.

Mia menoleh, dia melihat Nata berdiri ngos-ngosan setelah kecapekan mengejar. Sang bodyguard memayungi dengan setia di belakangnya. Mia cuma menatap dungu Nata yang masih mengatur napasnya.

“Hari ini aku anter pulang ya?” Nata menawarkan.

“Enggak usah. Makasih.” Mia menolak lembut. Nata merengut kecewa.

“Kenapa emangnya?” tanya Nata.

“Aku mau kerja.” Jawabnya lugu.

“Kerja? Kerja dimana?” Nata kelihatan terkejut dengan jawaban itu.

“Di toko kuenya Ibu Yuri.” Jawab Mia.

Lalu Mia melihat angka di jam tangan Nata. Waktunya udah semakin dekat, dia harus segera berangkat kalau dia nggak mau dipecat dihari pertamanya kerja.

“Aduh Nata. Maaf ya, aku harus buru-buru.” Kata Mia. Dia langsung naik ke atas sepeda dan bersiap mengayuh. Tapi sebelum itu dia menoleh ke belakang dan melihat Nata, “Dadaah…” Mia tersenyum lebar.

Nata melambai, “dadaaah…”

Mia mulai mengayuh, membawa sepedanya menuju gerbang sekolah.

♥♥♥

          Sepeda Mia berhenti dan terparkir di depan sebuah toko kue yang indah. Mia segera membuka pintu dan masuk ke dalam. Di bagian etalase, dia bertemu dengan Bu Yuri, si pemilik usaha yang bersedia memberikannya pekerjaan.

“Selamat siang, Bu.” Mia membungkuk dengan sedikit kaku.

Bu Yuri menoleh, “Mia? Kamu sudah datang ternyata.” Katanya.

Mia terus memegangi tasnya dengan takut, keringat meluncur di jidatnya. Dia nggak tahu udah berapa lama dia terlambat datang di hari pertamanya kerja. Matanya yang was-was itu membuat Bu Yuri tertawa pelan.

“Tenang aja, Mia. Kamu cuma telat lima menit. Gimana? Sudah siap?” tanya Bu Yuri pada Mia.

“Siap, bu.” Mia tersenyum senang karena Bu Yuri mau memaafkannya.

Lima menit kemudian, Mia sudah berganti baju. Dia memakai topi tenis warna merah dan celemek merah berlogo ‘Starlight Bakery’ dengan kemeja putih dan celana panjang merah. Itu adalah seragam resmi toko kue ini.

Akhirnya dia pun mulai bekerja. Toko kue ini lumayan elite karena harga kuenya yang cukup mahal dan tempatnya yang terancang baik seperti sebuah kafe. Toko nggak terlalu ramai siang itu, tetapi pesanan melalui telepon cukup mengantri.

Satu jam kemudian, Mia menjaga toko kue itu hanya bertiga dengan karyawan lain disana. Sebenarnya ada enam karyawan yang bertugas siang itu, hanya saja tiga orang yang lainnya sedang mengantarkan pesanan.

“Mia?” panggil Bu Yuri.

“Ya?” Mia menoleh.

“Fikri belum datang?” tanya Bu Yuri.

Mia terdiam sejenak. Dia mengingat lagi sosok ‘Fikri’ dalam ingatannya.

“Belum, bu. Dia masih nganterin pesanan.” Jawab Mia.

Bu Yuri mengangguk, tapi terlihat kecemasan di matanya.

“Kenapa, Bu?” Mia bertanya saat menyadari rasa cemas yang terselubung itu.

“Ada satu pesanan kue penting yang harus diantar.” Jawab Bu Yuri, “kue itu untuk acara arisan yang harus sampai setengah jam lagi. Tempatnya sih deket, di jalan Mawar dekat rumah kamu. Kuenya juga paket kecil. Isinya cuma bolu.”  Ucap Bu Yuri sambil menunjukkan kotak kardus kecil yang diikat pita dan dibungkus plastik.

“Biar saya aja yang anter, Bu.” Mia menunjuk dirinya dengan penuh semangat. Bu Yuri melirik dengan penuh ketidakyakinan.

“Kamu bisa?” tanyanya.

“Iya.” Mia mengangguk dengan penuh harapan. Seolah dia benar-benar ingin melakukan pekerjaan itu.

Karena melihat niat tulus Mia dan semangatnya, akhirnya Bu Yuri mengeluarkan selembar kertas kecil dari saku jasnya. Dia memberikannya kepada Mia.

“Ini alamatnya?” tanya Mia.

Bu Yuri mengangguk.

Mia ikut mengangguk dan langsung keluar dari meja kasir. Dia lalu keluar dari toko dan menggantung plastik berisi kotak kue di pegangan sepeda kemudian meluncur menuju alamat yang dimaksud.

♥♥♥

          “Selamat siang. Mau pesan apa?” Reta bertanya ramah pada tamu berwajah tampan yang datang siang itu.

Cowok berkacamata dan berwajah dingin itu tak menjawab. Dia melirik ke belakang, ke meja-meja kafe yang dipenuhi tamu dan melihat beberapa orang pelayan toko yang sedang mondar-mandir. Sepertinya dia sedang mencari seseorang dan nggak berhasil menemukannya.

“Apa kue paling enak disini?” ketus cowok itu.

Reta bergumam dan melihat ke kaca toko beberapa saat, “Ini. Ini bolu coklat asli yang cuma kita buat satu buah untuk hari ini. Harganya lima puluh ribu.” Reta menunjuk sebuah kue berbentuk lingkaran di dalam etalase, ukurannya sedang dan lapisan coklatnya terlihat sangat tebal.

“Oke.” Jawab si cowok.

Reta menekan tombol pada mesin uang. Cowok itu menyerahkan uangnya.

“Mau dibungkus?” tawar Reta kemudian.

Cowok itu mengangguk.

Reta sibuk memasukkan kue itu ke dalam kotak kue berbentuk lingkaran warna merah hati kemudian mengikatnya dengan pita putih. Lalu dia mendorong kue itu, mendekatkan ke tubuh sang pembeli.

“Ini kuenya. Terima kasih.” Reta tersenyum manis.

Cowok itu sama sekali nggak menyentuhnya.

“Aku titip ini.” Kata si cowok pada Reta.

“Ah?” Reta bertanya tak mengerti.

“Kasih kue ini ke Mia. Terima kasih.”

Setelah mengatakan itu, cowok yang mukanya ganteng itu keluar dari toko. Reta menatap bingung dari dalam. Cowok itu masuk ke dalam mobilnya.

Reta melirik lagi kue itu. Dalam hati dia berfikir kalau Mia adalah cewek yang sangat beruntung bisa mendapat pemberian dari seorang cowok sekeren itu. Tapi Mia nggak akan terlalu senang, justru dia akan sangat kebingungan saat dia tahu kalau cowok yang melakukan itu semua adalah… Rafi.

 

♥♥♥

          “Udah jam berapa sekarang?” tanya Radit.

“Jam lima.” Jawab Dema.

Ketiga cowok itu merasa kebingungan dengan lenyapnya Mia secara tiba-tiba. Jam segini harusnya dia udah berada di rumah. Radit dan Dema yang terlihat paling cemas. Vian hanya bertopang dagu dengan bibir menguncup sambil memperhatikan dua sepupunya.

Keadaan cukup sunyi. Rasanya… ada yang hilang saat Mia nggak ada.

“Kemana sih anak itu?” keluh Dema.

“Mungkin dia ada semacam pelajaran tambahan sepulang sekolah.” Vian menjawab datar dan ragu, “atau dia kena hukuman gara-gara dapet nilai ulangan jelek.” Tebaknya lagi.

Radit memakai jaketnya yang tergantung di balik pintu masuk. Dema dan Vian yang melihatnya menatap Radit dengan penuh tanda tanya.

“Mau kemana?” tanya Dema.

“Ke sekolahnya. Gue mau cari dia.” Radit menjawab tanpa menoleh.

Dia langsung membuka pintu dan keluar.

Dema dan Vian ikut menyusul Radit, mereka memutuskan untuk mencari Mia.

Hmm… tumben banget sih mereka peduli.

♥♥♥

          Setengah jam kemudian, mereka bertiga tiba di sekolah Mia. Sebuah gedung sekolah yang sangat besar, dengan tiga lantai dan biaya yang mahal.

Mereka bertemu dengan seorang satpam yang sedang menggembok pagar sekolah. Saat itu, badan mereka melemas. Sepertinya sekolah akan ditutup. Seandainya benar begitu… kemana Mia?

“Pak, apa masih ada orang di dalam?” Dema bertanya panik dengan napas yang masih terasa pendek. Saking cemasnya, mereka bertiga berlari cukup cepat dalam perjalanan menuju sekolah.

“Wah… gedung sekolah udah kosong dari jam lima. Memangnya ada apa, Mas?” tanya satpam itu.

Dema tersenyum dan menggeleng pelan, seolah berkata kalau nggak ada apa-apa yang terjadi. Satpam itu lalu berjalan pergi meninggalkan gedung sekolah yang terlihat gelap karena sekarang sudah magrib.

Dema berbalik badan, melihat wajah dua sepupunya yang pucat.

“Kemana dia biasa pergi?” tanya Dema yang keletihan hingga asap tipis terlihat keluar dari mulutnya.

Entah kenapa… tiba-tiba mereka jadi seperti mencari sesuatu yang sangat penting dan berharga. Kecemasan terlihat jelas dari wajah mereka.

“Dia nggak bilang apa-apa sama kita.” Sambung Vian.

Dema berkacak pinggang dan mendengus, “Kemana sih dia?” hentaknya.

Mereka bertiga terdiam untuk berfikir mencari jalan keluar.

“Kita berpencar aja.” Ide Radit.

Vian menoleh, “Setuju.”

 

♥♥♥

          Sekarang pukul tujuh tepat. Mia kembali ke toko kuenya sudah satu jam yang lalu. Bu Yuri masuk ke dalam toko setelah rehat sebentar untuk pulang ke rumahnya yang berada tak jauh dari situ. Sesampainya Bu Yuri, dia melihat Mia sedang berdiri di belakang meja kasir. Dia terlihat sedang membungkus kue yang dibeli oleh salah seorang pengunjung.

Melihat Mia, Bu Yuri tersenyum kecil dan menghampirinya.

“Gimana Mia? Sudah diantar?” tanya Bu Yuri.

“Sudah, Bu. Apa masih ada lagi yang harus diantar?” Mia bertanya lesu. Seolah dia nggak mengharapkan ada pesanan lain yang harus diantar.

“Nggak.” Jawab Bu Yuri.

Mia mengangguk, dengan wajah kusam dan mata sayu. Sepertinya Mia juga mengkhawatirkan tiga kucing yang sekarang ada di rumah. Apa mereka udah makan? Apa meraka butuh baju bersih? Apa mereka nggak mengacaukan isi rumah? Semua itu terus memenuhi isi pikiran Mia. Terlebih dia sama sekali nggak menyebutkan tentang pekerjaan ini supaya mereka nggak khawatir.

Jauh dalam hatinya, Mia sangat menyayangi ketiga orang yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupannya itu. Sudah dua tahun ini dia hidup sendirian di rumah itu. Sejak dulu, dia selalu bergantung pada kakak Rian dan kedua orang tuanya. Dia selalu merasa ‘tak berguna’, selalu lemah dan tak berdaya.

Tapi, setelah kedatangan ketiga kucing itu, dia merasa dirinya lebih berarti, lebih bermanfaat sebagai manusia. Kini dia punya tanggung jawab atas tiga orang itu. Dia ingin bisa melakukan apa saja demi kebahagiaan mereka. Meski mereka juga sering bikin onar, tapi… dia kini nggak sendirian.

“Kenapa? Kamu mau pulang?” tanya Bu Yuri ketika melihat ekspresi itu.

Mia tertunduk. Dia benar-benar mencemaskan tiga orang itu.

“Sebenernya… saya harus pulang sekarang.” Bisiknya takut.

Tiba-tiba Bu Yuri mengangkat tangan Mia dan memasukkan sesuatu ke dalam kepalan tangannya. Mia sadar apa yang terjadi tapi dia merasa aneh. Masa’ dia sudah mendapatkan uang di hari pertamanya kerja.

“Ini. Ini uang untuk hari ini.” Bisik Bu Yuri lembut.

“Tapi kan Bu, ini hari pertama saya kerja.” Ucap Mia.

“Simpan ini. Dulu ibu kamu sempat jadi sahabat baik saya. Anggap ini hadiah. Sekarang, kamu harus pulang. Ganti baju kamu ya?” Bu Yuri menyentuh kepala Mia dengan penuh kasih sayang.

“Makasih, Bu.” Mia tersenyum.

 

♥♥♥

 

Mia telah berganti baju. Dia baru keluar dari kamar mandi saat Reta tiba-tiba saja bergerak mendekatinya sambil membawa dus kue.

“Mia.” Panggil Reta.

“Ya?” Mia menoleh.

“Seseorang nyuruh aku ngasih ini ke kamu. Maaf aku tadi lupa ngasih tau soalnya aku tadi bantuin bikin kue ulang tahun di dapur. Sori ya?” Reta meminta maaf sambil menyerahkan dus kue itu.

Mia menerimanya dengan wajah polos, “Nggak apa-apa kok. Oia, ini dari siapa?” tanya Mia penasaran. Seumur hidup, mungkin ini pertama kalinya dia mendapat hadiah seperti itu.

“Nggak tahu. Cowok yang ngasih. Dia pake kacamata, orangnya ganteng tapi tatapannya serem gitu. Mungkin dia seumuran sama kita.” Reta menguraikan ciri-ciri orang misterius itu.

Trus, gak tahu kenapa, orang yang muncul di dalam pikiran Mia adalah Radit. Deksripsi fisiknya emang mirip. Saat menduga kalau orang itu adalah Radit, tiba-tiba Mia jadi sumringah. Dadanya jadi dipenuhi rasa bahagia. Dia nggak menyangka kalau Radit akan melakukan hal semanis itu padanya.

“Makasih ya.” Mia tersenyum lebar. Reta mengangguk.

“Aku harus pulang dulu. Dadaahh… selamat berjuang ya?” Mia berjalan membawa kue itu dengan sejuta rasa bahagia meninggalkan toko.

 

♥♥♥

          Mia membuka pintu rumah. Selain dus kue itu, dia juga membawa kantung belanjaan. Isinya adalah ayam bakar, makanan favoritnya Dema. Dia merasa bahagia saat itu. Terutama karena dia bisa membelikan makanan seenak itu setelah beberapa hari belakangan mereka makan masakan nggak enak buatannya.

“Semuanya, aku pulang!” teriak Mia.

Dia segera melepas sepatunya dan meletakkan barang belanjaannya ke atas meja. Dia kemudian masuk ke dalam kamar, melepas baju sekolahnya dan menggantinya dengan kaus biasa. Saat keluar dari kamar dan menjepit rambutnya ke atas, dia cukup merasa aneh. Rumah terlihat sepi dan tak bernyawa saat itu.

“Dema, hari ini gue bawa makanan enak! Radit! Vian!” teriak Mia dari bawah tangga. Tapi masih belum ada tanda-tanda mereka.

Mia lalu mendaki tangga menuju ke atas, dia melihat kamar yang kosong. Dia lalu memeriksa ke seluruh ruangan yang lainnya, mereka bertiga masih belum ditemukan juga.

Mia bete! Dia berfikir pasti ketiga cowok itu sekarang lagi keluyuran dan makan di luar. Itu adalah hal yang paling dibencinya.

“Mereka pada kemana sih?” Mia mendumel sambil melipat tangannya.

 

♥♥♥

          Setengah jam kemudian, terdengar suara pintu terbuka. Mia yang sedang berada di dalam kamarnya yakin kalau itu adalah tiga kucing itu. Ada suara yang datang, dan itu mirip suara Vian.

Mia keluar dari kamar dan berdiri di tengah rumah.

“Heh!” Mia berkacak pinggang.

Tiga laki-laki dengan wajah keletihan itu menatap lemas.

“Kalian abis darimana?” tanya Mia, “Ayo jawab!” galaknya.

Ketiga cowok itu melihat Mia dengan wajah bingung. Mereka bertiga kelihatan berantakan dan kepusingan. Sempat terlihat keterkejutan dan kekakuan beberapa saat ketika mereka melihat Mia.

Tiba-tiba Vian berlari dan memeluk Mia, “Mia?”

Mia mengerutkan alisnya. Vian masih memeluknya. Mia melemaskan tubuhnya dan pasrah saat dirinya dipeluk. Dia melihat Radit dan Dema yang juga kelihatan kotor dan capek. Itu membuat Mia semakin nggak ngerti.

“Ya ampuuunn….” keluhnya, “Kalian kenapa sih?”

 

♥♥♥

          “Jadi kalian nyariin gue?” tanya Mia sambil melahap ayam bakarnya.

“Iya.” Jawab Vian.

“Untuk apa nyariin gue? Emangnya gue anak kecil?” tantang Mia.

“Dasar cewek nggak tau diri! Dipeduliin orang malah begitu!” ketus Vian.

Mia merenyun.

“Udah, mulai besok elo nggak usah kerja.” Kata Dema.

Mia melirik Dema. Cowok itu kelihatan nggak serius soal perkataannya tadi. Dema nggak memandang Mia, dia malah asyik memakan ayam bakarnya.

Mia tertunduk. Sepertinya akan ada hal sedih yang diutarakannya.

“Tapi aku bekerja begini kan untuk kalian. Aku bekerja seperti ini supaya kalian bisa makan makanan enak. Aku begini cuma buat kalian bertiga yang datang entah darimana dan seenaknya tinggal disini. Aku nggak punya uang buat bisa membuat kalian nyaman. Disamping itu… keluargaku juga punya hutang yang harus dilunasi. Aku harus kerja biar bisa menyelesaikan semuanya.” Bisik Mia.

Ketiga cowok itu terlarut dalam kesedihan. Saat mendengar dan melihat Mia mengucapkan hal itu, mereka seolah merasakan semua yang pernah dialami gadis itu. Mereka juga sadar kalau ternyata mereka ingin ikut terlibat.

Dalam kehidupan Mia…

 

♥♥♥

          “Mia.” Panggil Vian.

Mia yang sedang mengupas apel menoleh, “apa?”

“Ini kue punya siapa?” Vian menyinggung soal kue di dalam kulkas.

Sontak tubuh Mia menjadi kaku. Itu kan… kue dari Radit.

“Ooh… ya-yang itu? Makan aja.” Mia mempersilahkan.

Vian mengeluarkan kue itu dan membawanya ke atas meja.

Tiba-tiba Radit turun dari atas tangga. Mia yang melihatnya langsung tertunduk salah tingkah saat degupan jantungnya serasa mencepat. Dia merasa malu pada Radit. Dia merasa kalau Radit mungkin aja mulai jatuh cinta sama dia.

Radit semakin mendekat. Mia membuang wajah dan mengatur napasnya seperti orang yang sedang melahirkan. Radit yang mulai menyadari keanehan itu lalu duduk di samping Mia, dia ingin ikut menikmati kue itu.

“Kenapa?” tanya Radit.

Mia menoleh gagap, “a-apa? Nggak ada apa-apa.”

Radit menatap Mia datar dan cukup dalam. Dengan susah payah Mia berusaha menelan ludahnya dan membuang wajahnya. Dalam hati, Radit lagi bertanya-tanya tentang hal apa yang membuat cewek aneh itu jadi semakin aneh.

“Dit, cobain nih.” Vian menyodorkan sepotong kecil kue itu pada Radit.

Radit mengambil dan menggigitnya. Sesaat kemudian, dia mulai nggak terlalu fokus pada Mia sehingga cewek itu bisa bernapas normal kembali.

Akhirnya malam itu pun menjadi pesta yang cukup meriah bagi keempatnya. Banyak tawa yang terjadi malam itu. Tapi tetap aja Mia masih suka deg-degan nggak jelas kalau bertatapan dengan Radit.

Dalam pikirannya yang sempit itu, Mia berhipotesis kalau Radit cuma pura-pura nggak tahu. Sejenak Mia sempat berfikir kalau Radit kelihatan cuek banget dan mustahil memberikannya kue setelah melihat ke sejarah perkelahian mereka yang cukup panjang. Tapi dengan deskripsi fisik yang disebutkan Reta tadi, satu-satunya yang paling masuk akal bagi Mia adalah… Radit.

 

 

 

♥♥♥

          Malam harinya, jam setengah sebelas.

Mia masih menyapu lantai untuk membereskan bekas makan. Dia sudah merasa ngantuk malam itu, makanya gerakan menyapunya malas-malasan dan dia terus-terusan menguap dengan ganas.

Tiba-tiba, ada seseorang yang masuk ke dapur. Auranya beda banget dan bisa dikenali Mia dengan yakin. Itu pasti Radit. Kalau malam-malam begini, dia suka tiba-tiba bangun trus minum air putih. Itu udah kebiasannya.

Mia yang sedang memegang sapu akhirnya mematung. Dia sedang mencoba untuk berbicara. Sebenarnya dia ingin mengucapkan terima kasih atas kue yang diberikan Radit tadi.

Hap.

Mia membalikkan badan. Berhadapan satu lawan satu dengan Radit yang menatapnya datar dan sedikit kaget.

“Radit.” Panggil Mia.

Radit menoleh, terdiam menunggu kalimat selanjutnya.

“Makasih buat kuenya.” Mia mengucapkan itu dengan malu-malu.

Radit masih terdiam.

“Gue nggak tahu kenapa lo tiba-tiba ngasih kue itu. Ternyata lo orangnya baik juga ya? Pake nggak ngasih tahu nama segala. Emang maksudnya apa sih?” tanyanya penasaran dengan wajah tak berdosa.

Radit masih diam. Tatapannya nggak berubah sama sekali.

“Bukan gue yang beli kue itu.” Ucapnya.

Mia melongo, “hah?”

“Emang kenapa lo bisa berfikir gue mau beliin kue buat elo?” tantang Radit.

Mia menganga. Sialan banget tuh cowok!

“Apa?!” Mia berteriak.

Radit berbalik badan dan meninggalkan Mia. Cewek itu berdiri dengan syok dengan harga diri yang hilang entah kemana. Cowok itu bener-bener nggak berperasaan. Mia jadi nyesel udah memuji-muji dia dalam hati.

“Sialan lo, Dit! Awas lo!”

 

 

6

Kak Dema ?

 

Pagi ini, tumben-tumbennya ketiga cowok itu bangun bareng dengan Mia. Cewek itu akhirnya menikmati kali pertamanya sarapan bareng sebelum berangkat ke sekolah. Suasana hari itu lumayan berbeda, atmosfir yang ada sedikit lebih akrab dibanding hari-hari sebelumnya.

Ketika itu, Mia menuntun sepeda keranjangnya keluar rumah untuk segera berangkat ke sekolah. Dema juga ikut keluar rumah sambil menghirup dalam-dalam udara pagi yang sejuk dan segar.

Di saat yang tenang, tiba-tiba ada sebuah motor ngebut ke arah Mia yang sedang mengayuh sepeda dengan pelan, di posisi yang tak terlalu jauh dari rumahnya.  Dema yang juga berada di luar rumah melihat kejadian itu. Dia mencemaskan Mia.

“MIA!” teriak Dema.

Mia menoleh bingung, kakinya masih terus mengayuh. Lalu motor itu melesat, bunyinya yang garang mengagetkan Mia dan membuat cewek itu menjatuhkan dirinya untuk terhindar dari tabrakan.

BRUKK

Mia terjatuh cukup keras. Ditambah kondisi jalan yang dipenuhi pasir dan batu-batu kecil, membuat semua badan Mia lecet, kotor dan terasa sakit. Akhirnya dia duduk di jalanan sambil menghilangkan semua kotoran yang menempel di kulitnya.

“Eh, gila! Kalo bawa motor hati-hati dong!” Mia memaki si calon penabrak.

Dema berlari kencang mendekati Mia. Dia bertolak pinggang sebentar saat melihat motor itu sudah menjauh. Dengan menahan rasa marah pada si pengendara motor, Dema mengulurkan tangannya. Dia membantu Mia berdiri kembali.

“Lo nggak apa-apa?” tanya Dema.

“Nggak apa-apa. Cuma berdarah sedikit.” Jawabnya lugu.

Dema lalu membantu mendirikan sepeda Mia. Mia masih sibuk membersihkan kulitnya dari pasir dan kotoran.

“Ayo naik.” Panggil Dema.

Mia menoleh, dia sangat terkejut pas ngeliat Dema udah duduk di jok depan sepedanya dengan wajah tegas.

“Cepet naik. Gue anterin.” Katanya.

“Nggak usah. Gue bisa ke sekolah sendiri kok.” Dia menggeleng dan mencoba untuk meminta Dema membiarkannya berangkat sendiri.

Tapi kayaknya Dema nggak bakalan nyerah semudah itu.

“Gue nggak bakal turun dari sepeda ini. Jadi sekarang cepet naik.” Pintanya dengan tatapan mata yang sangat lembut.

Mia terdiam saat melihat tatapan lembut Dema yang disertai senyum tulus yang tersungging kecil di ujung bibirnya. Dia ingat akan seseorang yang mempunyai dua hal yang sama dengan itu. Dia ingat dengan kak Rian, kakaknya.

Akhirnya, dengan perasaan yang jadi sangat mellow, Mia naik perlahan ke jok belakang sepedanya. Dia duduk menyamping dengan pandangan yang kosong. Dia sedang mengingat masa lalunya, seolah semua itu kini terjadi lagi.

Dia lalu berpegangan dengan tangan kanannya, meremas ujung baju Dema. Sepeda itu mulai bergerak. Gerakannya pun nyaris sama dengan yang selalu kak Rian lakukan. Pelan, tapi terasa menyenangkan.

Mia terdiam dengan perasaan yang sangat dalam. Kepalanya tertunduk, melihat jalanan yang dilewatinya. Perjalanan itu terasa sangat lambat dan menyenangkan, tak pernah ingin dia akhiri.

Dia ingat dengan kak Rian, yang dulu selalu mengantarkannya ke sekolah. Persis seperti apa yang terjadi saat ini. Semuanya hampir sama. Perasaan bahagia yang sempat menghilang itu pun dapat ia rasakan kembali.

Seolah kak Rian telah hidup kembali dalam diri Dema.

Mia tersenyum bahagia.

Lalu tanpa ia sadari, ia mulai menangis.

♥♥♥

          Mia akhirnya sampai di sekolah. Begitu turun, airmatanya sudah kering. Dia berdiri di depan Dema dengan sangat sedih. Lain halnya dengan Mia, Dema kelihatan begitu peduli hari itu. Matanya penuh rona dan dia tidak pernah berhenti tersenyum, meski hanya diujung bibirnya.

“Makasih.” Bisik Mia tertunduk.

“Nanti jam satu gue jemput.” Kata Dema.

Mia mengangkat kepalanya dan menatap Dema tak percaya. Baru kali ini dia bisa merasakan perhatian yang begitu dalam dari seorang laki-laki yang biasanya super cuek dan nggak beraturan itu.

Melihat keterkejutan di wajah Mia, Dema tersenyum semakin lebar.

“Sana, masuk. Nanti terlambat.” Ucapnya.

Mia tersenyum, itu termasuk kalimat yang sering diucapkan olah kak Rian.

“Iya.” Mia mengangguk semangat.

Lalu dia berbalik badan, berjalan cepat dengan penuh rasa semangat menuju ke kelasnya. Dema memandang dari jauh, kemudian dia tertunduk sambil tertawa pelan. Dia sedang menikmati perasaan aneh dalam hatinya setelah bisa menjadi ‘sesuatu’ bagi Mia. Entah mengapa, dia suka melakukan itu.

Setelah itu dia kembali memutar arah sepedanya dan bergegas pulang.

 

♥♥♥

 

Dema menghentikan sepedanya saat dia melihat seseorang sedang buru-buru keluar dari sebuah rumah. Wanita itu mengunci pintu rumahnya dengan sangat panik. Dema terdiam mengamati dari seberang jalan.

Saat wanita itu menoleh, Dema tersenyum. Dia membawa sepedanya dengan cepat menuju ke Sista, guru seni yang sempat ditemuinya di bazar.

Sista terkejut saat sepeda itu berdecit sangat dekat di depannya. Dia semakin syok saat melihat Dema-lah yang mengendarainya. Cowok berwajah ganteng itu tersenyum dengan tulus sambil menunjukkan deretan gigi putihnya.

Wajah Sista yang kaget itu seperti sedang melihat hantu. Mulutnya terbuka dengan telunjuk mengarah ke wajah Dema dengan gemetaran.

“Kamu kan…?” gumamnya.

“Hai, bu guru.” Goda Dema dengan wajah teramat keren.

Meski begitu, wajah Sista masih syok.

“Kenapa kamu kesini?” tanyanya ketakutan.

“Kenapa? Telat ya?” sindir Dema.

Guru itu menunduk, “Iya.” Bisiknya pelan.

“Ayo aku antar.” Dema memutar sepedanya, kembali ke arah sekolah.

“Aku nggak perlu dianter.” Tolaknya.

Dema menoleh. Guru berambut panjang yang cantik itu kelihatan membuang wajahnya sambil sesekali melirik. Dema udah berpengalaman soal yang namanya wanita. Tipe seperti Sista udah pernah dia kenal sebelumnya. Guru itu sebenarnya hanya tak ingin dilihat lemah oleh laki-laki. Dema harus mencari cara cerdas untuk bisa meruntuhkan keegoisan guru itu.

“Sekolahnya udah bel. Guru macam apa yang terlambat datang ke sekolah?” ledek Dema. Sista melirik dan berfikir atas kalimat Dema tadi.

Dia kemudian berjalan dengan wajah bingung. Dia lalu duduk menyamping di jok belakang lalu merangkul perut dema. Sista memalingkan wajahnya yang memerah akibat menahan rasa gugupnya.

“Pegangan yang kuat.” Suruh Dema.

Sista memeluk Dema lebih erat.

Dan mereka pun pergi.

 

♥♥♥

          Di rumah, Radit dan Vian sedang bahu membahu mencuci piring bekas sarapan. Radit yang mencucinya sementara Vian yang mengelapnya sebelum ditaruh di rak piring.

Mereka cukup kalem dan tenang saat melakukan itu, tak banyak yang bersuara. Radit terlihat serius, karena dia memang selalu serius melakukan apapun. Sementara Vian merasa bosan. Dalam benaknya, Vian sedang memikirkan Radit. Ada perubahan yang dirasakannya selama Radit tinggal disini.

Meski ini cuma firasat dan perasaannya, Vian merasa dugaannya kali ini kuat. Meski nggak tereskpos secara blak-blakan, Vian merasa selama ini aura Radit berubah. Yang pasti hal ini yang untuk pertama kalinya. Dan saat dimana aura itu kian terasa, ketika ada Mia di rumah.

“Mia.” Vian berbicara tiba-tiba.

Radit mendengar, tapi tak menoleh, “Kenapa?” sahutnya cuek.

“Lo jatuh cinta sama dia ya?” tanya Vian.

Radit berhenti bergerak, dia menoleh dengan galak.

“Enggak.” Ketusnya.

Vian mengangguk, “Bagus kalo gitu.”

Karena nggak mengerti, sambil mencuci piring, Radit terus melirik.

“Apanya yang bagus?” Radit bergumam bingung.

Vian menoleh. Wajahnya biasa saja. Tapi kalimat selanjutnya mungkin akan terdengar sangat luar biasa.

“Soalnya gue suka sama dia.”

♥♥♥

          Dema mengantarkan Sista ke sekolah. Guru itu turun dari boncengan dengan wajah bersemu. Dia baru saja mengalami menit-menit penuh ketegangan saat harus duduk dan merangkul Dema.

“Makasih.” Ujar Sista.

“Sama-sama.” Balas Dema.

Guru itu masih belum mau beranjak. Dema tahu kalau dia sebenarnya masih ingin bicara lebih jauh, hanya saja dia malu mengutarakannya.

“Cepet sana masuk, murid-murid udah nunggu di dalem.” Ucap Dema.

Sista mengangkat wajahnya dan tersenyum tulus. Dia lalu melambai seolah berkata ‘dadah’ kemudian berbalik badan dan berlari-lari kecil menuju ke kelas yang harus diajarnya.

 

♥♥♥

 

 

“Selamat pagi.” Bu Sista berjalan di depan kelas.

Mia dan semua teman sekelasnya sudah berkumpul di ruang seni. Semua duduk di bangku yang melingkar dan masing-masing membawa sebuah naskah.

Bu Sista tersenyum malu pada semua muridnya. Dia tahu dia terlambat sepuluh menit. Semua muridnya menatap dengan kesal, hanya Mia yang terlihat cengengesan.

“Maaf ibu terlambat,” Bu Sista menarik napas dalam, “jadi hari ini kita akan kembali berlatih drama. Kalian ingat kan kalau pementasannya tinggal beberapa hari lagi? Mungkin kita akan mengadakan latihan sepulang sekolah selama tiga hari untuk mematangkan akting kalian.” Jelasnya.

Dona mengangkat tangannya.

“Iya. Ada apa?” tanya Sista.

Dona memainkan pensilnya, tepat disampingnya ada Rafi. Mia yang sedang tadinya melihat Dona malah jadi memerhatikan Rafi.

“Lala sakit, Bu. Kemarin dia masuk rumah sakit. Dia kena demam berdarah.” Ucapnya, “harus ada yang gantiin dia.”

Bu Sista terkejut dengan hal itu.

Mia tak mendengarkan, dia sibuk memandangi Rafi.

“Mm… bagaimana ya? Lala kan jadi tokoh utamanya. Siapa ya yang cocok ngegantiin?” Bu Sista bergumam dan berfikir. Dia harus mencari pengganti Lala. Pementasan drama akan dilangsungkan tiga hari lagi.

Lalu dia melihat Mia. Anak muridnya itu sedang menopang dagu dan termangu dengan wajah bloon ke arah Rafi.

“Mia.” Panggilnya.

Tubuh Mia bergetar karena kaget. Dia langsung melihat Bu Sista dengan mata membelalak, “i-iya, bu.”

Bu Sista terdiam sebentar, ada yang dia pikirkan, “Mia.” Gumamnya, “kau yang akan menjadi cinderella menggantikan Lala.”

 

♥♥♥

          Mia berdiri berhadapan dengan Rafi. Ini saatnya dia harus menghafalkan dialognya sebagai cinderella yang baru. Sebelumnya Mia berperan jadi labu, yang nantinya disihir jadi kereta kencana. Ini benar-benar merupakan suatu perubahan drastis. Dia akan menjadi cinderella dan pangerannya adalah Rafi, sementara Dona akan menjadi kakak tirinya.

“Aku harus pergi, pangeran.” Mia berbisik dengan mata tak berkedip melihat Rafi. Jantungnya berdetak sangat cepat ketika dia bisa melihat dengan detil seluruh bagian wajah Rafi.

Kemudian Mia berbalik cepat dan melangkah satu kali.

“Tunggu.” Rafi menarik lengan kiri Mia.

Mia terdiam dengan wajah cengengesan.

Akhirnya dia membalikkan badannya lagi, menunggu Rafi mengucapkan dialognya. Tapi sebelum mengatakan itu, Rafi cukup lama menatapnya dalam. Membuat pikiran Mia jadi kosong, terbang kemana-mana.

“Sebelum pergi, beritahu aku namamu.” Bisik Rafi.

Mia melamun terlalu jauh. Matanya menatap mata Rafi tak berkedip. Kayaknya dia lupa kalau ini adalah gilirannya. Sementara Mia terus menatap Rafi dengan mulut terbuka dan tampang terpesona, Dona mulai meremas pensil yang dipegangnya. Bu Sista juga jadi keheranan.

“Mia.” Panggil Bu Sista.

Mia tak mendengar. Dia sedang mengkhayal.

Rafi yang ikut melihat kejanggalan itu mengeritingkan alis. Terutama saat melihat Mia tiba-tiba tersenyum dengan sangat anehnya.

“Mia?” Rafi bertanya.

Mia masih tak menjawab.

“Mia?” Rafi mengeraskan suaranya.

Mia tersentak kaget. Matanya berkedip dan dia kebingungan.

“A-apa?” tanyanya.

Tawa semua murid meledak. Mereka menertawai kebegoan Mia yang kronis itu. Bu Sista menggeleng kecewa sementara Dona tersenyum sinis.

Mia melihat sekeliling. Dia sadar dia telah berbuat satu kebodohan lagi.

Kemudian dia menoleh ke Rafi dengan takut. Jangan-jangan Rafi marah karena dia telah mengacaukan segalanya.

Tapi…

“Ah?” Mia tak percaya Rafi tertawa.

Rafi tertawa! Benar-benar tertawa. Tawa yang benar-benar tulus.

Mia terpaku melihat itu.

Rafi menaruh tangannya ke atas kepala Mia dan mengusapnya, “bodoh.”

Mia melihat Rafi lagi. Dia sudah berhenti tertawa.

“Apa sih yang lo pikirin?” tanyanya.

Mia terdiam. Masih terpesona dengan tawa itu.

 

♥♥♥

          “Saya kira saya nggak bisa, Bu.” Ucapnya.

Bu Sista tak mau mendengar, “cuma kamu yang pantas menggantikan Lala. Ibu lihat ada sisi di diri kamu yang mirip dengan sifat asli cinderella.”

Mia terdiam. Sejujurnya dia memang senang bisa mendapat peran itu dan beradegan mesra dengan Rafi. Tapi dia hanya takut tak bisa menanggung tanggung jawab sebesar itu. Dia takut dia akan mengacaukan segalanya.

Kini Mia tinggal berdua dengan Bu Sista di ruang seni. Dia mencoba mundur baik-baik dari peran itu.

“Tapi Bu, daya ingat saya lemah. Saya takut lupa dialognya.” Ucapnya pelan.

Bu Sista menoleh dengan wajah capek, “Mia… saya nggak nyuruh kamu menghapal dialognya. Kamu berhak berimprovisasi seandainya kamu lupa. Ibu sangat yakin kamu bisa memerankan tokoh itu, Mia. Kamu harus lebih percaya diri.”

Mia terdiam. Tapi tetap saja dia tidak bisa merasa tenang. Dia tak tahu apa yang akan terjadi bila dia mengacaukan segalanya.

 

♥♥♥

 

Mia sedang berdiri dan mencari-cari Dema. Dia sudah menunggu di trotoar depan sekolah selama 5 menit dan Dema belum juga datang. Dia agak khawatir dengan orang itu. Secara, selama ini Dema tuh bener-bener nggak pernah bisa memegang janjinya dan bersifat semaunya. Dia jadi takut nggak akan dijemput. Itu akan memaksanya jalan kaki menuju ke rumah dan itu akan sangat menyita waktu dan membuatnya terlambat datang ke tempat kerjanya.

“MIA!!” teriak seseorang.

Mia menoleh ke kiri, Dema sedang mengebut dengan sepda ke arahnya bahkan sampai dia tak menempelkan pantatnya ke jok. Mia melambai dengan senyum terkembang dari jauh. Sekilas dia melihat kakaknya yang berada di atas sepeda itu, sedang terburu-buru untuk menjemputnya.

“Makasih udah mau jemput.” ucap Mia.

Dema mengangguk dengan mulut terbuka untuk bernapas cepat. Mia terdiam karena tiba-tiba Dema tersenyum penuh arti pada Mia. Cewek itu merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan Dema.

“Ada apa? Kenapa cengengesan?” tanya Mia curiga.

Awalnya Dema masih terdiam, seolah ingin membiarkan Mia dihantui rasa penasaran. Tapi akhirnya, dia nggak bisa menahan keinginannya untuk menyampaikan kabar bahagia itu pada Mia.

“Kita bertiga udah dapet kerja.” Kata Dema

“Oh ya! Waaah!!” Mia melompat girang sambil bertepuk tangan. Ada raut kebahagiaan yang sangat terpancar di wajahnya. Dia terus tersenyum lebar, Dema jadi sangat puas bisa memberikan kejutan itu.

“Dimana?” tanya Mia penasaran.

Dema mengeluarkan sesuatu. Selembar brosur lowongan kerja. Mia terbelalak. Dia merampas kertas itu dari tangan Dema dan membacanya. Dia sangat terkejut dengan kalimat di brosur itu.

“Haah?!” Mia teriak.

Dema menatap cewek itu aneh, “Kenapa kaget begitu?”

“Gue kan juga kerja di tempat ini.” Mia menunjuk logo toko kue starlet yang terpampang di brosur itu.

“Oh ya?” Dema bertanya balik.

“Iya.” Mia meyakinkan, “Kalian dapet giliran kerja jam berapa?”

“Jam tiga siang sampai jam tujuh. Tiap Selasa sampai Jumat.” Jawabnya.

Mia semakin terkejut, “Waah… kalo gitu sama dong.” Ucapnya.

Mia terbengong cukup lama karena nggak menduga hal ini.

“Ayo cepet naik. Kita harus buru-buru pulang trus kerja.” Dema menepuk jok sepeda di belakangnya. Mia langsung duduk di belakang dan berpegangan. Dengan penuh semangat, Dema terus mengayuh sambil mencondongkan badannya ke depan. Mia memeluk Dema dengan kedua tangannya saat sepeda itu meluncur kencang.

♥♥♥

          Di perjalanan, Mia teringat dengan kedua orang yang masih ada di rumah. Mereka berdua kayaknya belum makan. Dia pun merasakan betapa datarnya perut Dema yang sedang dipeluknya. Sepertinya dia juga belum makan. Dibanding rasa lapar di tubuh kurusnya, Mia lebih memikirkan tentang tiga orang itu.

“Kak, apa kita beli makan dulu untuk makan siang?” tanyanya pada Dema.

Dema yang sedang mengayuh itu mengingat kembali ucapan Mia barusan, “Ah? Lo bilang apa?” tanyanya.

“Kalian bertiga udah makan blom? Kita beli makanan dulu ya? Aku bawa uang nih.” Ucap Mia, dengan kepolosannya.

“Barusan… lo manggil gue Kakak ya?” tanya Dema.

Mia terdiam dan berfikir. Dia sama sekali nggak merasa mengatakan itu. Mungkin karena terbawa situasi yang begitu mirip dengan masa lalu bersama kak Rian, sehingga kalimat itu spontan terucap tanpa sengaja.

“Ah? Apa gue manggil begitu?” Mia bertanya ragu.

Dema berdehem, mengiyakan pertanyaan tadi.

“Hehehe… kalo gitu maaf ya.” Mia tertawa malu.

“Mulai sekarang…” Dema berbisik, “Panggil gue Kak Dema.”

 

♥♥♥

          Kini, mereka sudah berada di Starlet Bakery and Cafe. Dengan memakai seragam mereka, mereka sedang berbaris di depan Bu Yuri yang akan memberikan mereka briefing tentang hari pertama mereka bekerja.

“Kalian mengerti tugas kalian kan?” tanya Bu Yuri.

“Mengerti.” Jawab mereka serempak, kecuali Radit.

“Disini tersedia motor untuk kalian saat mengantar pesanan. Uang bensin akan djatahkan jadi jangan takut.” Ujar Bu Yuri.

“Iya. Kami mengerti Ibu Yuri.” Sahut Mia seorang diri dengan suara keras.

Hal itu sampai membuat Dema dan Vian menoleh ke arah Mia karena bingung, sedangkan Radit cuma bergumam ‘norak’ dengan wajah datarnya.

Hari ini Mia terlihat begitu bahagia karena bisa bersama-sama terus dengan tiga orang itu. Dia begitu cerah dan berseri-seri seperti matahari di musim semi.

“Untuk pekerjaan awal… Ibu minta kalian sebarkan brosur ini pada orang yang lewat di depan toko kita. Kalau sudah tersebar habis, kalian mulai kerja di dalam. Bisa kan?” tanyanya.

“Iya.” Dema yang bertubuh tinggi itu menyahut.

“Mia.” Panggil Bu Yuri.

“Ya, bu.” Mia melirik Bu Yuri yang berdiri agak jauh darinya.

“Kamu temani mereka ya?” pinta Bu Yuri.

“Hm.” Mia mengangguk yakin.

 

♥♥♥

          Baru lima menit mereka berempat bekerja. Mia yang serius membagikan brosur kepada para pejalan kaki yang lewat mendengarkan bisik-bisik murid SMU yang lewat di dekatnya. Mereka berbisik sambil menunjuk-nunjuk. Membuat Mia penasaran akan apa yang sedang mereka bicarakan.

“Sebelah kiri.” Bisik murid SMA yang berambut panjang pada temannya. Mereka berdua melihat ke arah toko, “Ke sana yuk? Liat deh, pelayannya cakep-cakep.” Bisik mereka lagi.

Mia melirik ke belakang, ketiga cowok itu lagi dikerubungi cewek-cewek yang mau minta brosur. Semua cewek-cewek itu langsung masuk ke toko setelah menerima brosur. Lain halnya sama Mia, dari tadi orang yang mau menerima brosurnya hanyalah ibu-ibu atau bapak-bapak. Udah gitu,  semua yang dikasih brosur sama dia malah melengos pergi dan membuang brosurnya ke jalan.

“Huh. Dasar cowok.” Dia mendumel dalam hati.

Mia melihat lagi cowok-cowok itu. Ada sedikit rasa kesal di hatinya. Terutama karena mereka semua kelihatan sangat menikmati keadaan itu. Vian terlihat paling banyak menyedot perhatian karena sikapnya yang rame dan dia nggak sungkan untuk memberi tahu nama ataupun dicubit pipinya. Dema juga sama sok-nya sama Vian. Dia ikut-ikutan tebar pesona ke semua cewek. Hanya Radit yang paling tahu diri, dia cuma tersenyum biasa sambil membagikan brosur tanpa berniat mencari popularitas.

Saat melihat Radit, Mia jadi nggak bisa mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. Dia terpaku dengan memeluk tumpukan brosur yang belum dibagikannya. Melihat wajah Radit yang begitu senang ketika banyak orang masuk ke dalam toko membuat Mia kaku.

Tapi saat melihat banyak cewek yang mendesak-desak Radit dengan berjuta pertanyaan, wajah Mia jadi kusut. Dia kesel sekaligus cemburu. Apalagi saat Radit cuma menjawab pertanyaan itu dengan tersenyum manis. Membuat Mia jadi menggerutu dalam hati dan menyipitkan matanya.

Deg.

Tiba-tiba Radit mengangkat wajahnya dan melihat Mia. Cewek yang suka berantem sama cowok itu langsung berbalik badan dan menghampiri orang-orang yang berjalan agak jauh, nggak lain dan nggak bukan, Mia akan membagikan brosur itu pada ibu-ibu dan bapak-bapak. Dia cuma takut seandainya Radit menyadari kalau ada yang aneh dengan tatapannya tadi.

Mia terus menjauhkan dirinya dari Radit. Membagikan brosur itu dengan panik agar bisa melupakan perasaan yang masih terasa mengganjal di hatinya. Semoga aja Radit nggak sadar atas yang tadi terjadi.

Di saat yang sama, Radit jadi tak peduli lagi pada siapa brosur itu dia bagikan. Dia terus berusaha melihat Mia diantara orang-orang yang terus berlalu lalang di depan wajahnya. Nggak tahu kenapa, dia jadi takut cewek itu melakukan hal-hal bodoh dan ceroboh seperti kesalahan yang selalu dia lakukan.

 

♥♥♥

 

Sore harinya, mereka berempat kebagian tugas di dalam kafe. Karena banyaknya pengunjung baru yang berdatangan, hari itu kafe jadi sangat ramai. Beberapa pengunjung yang nggak kebagian meja akhirnya menyerah dengan membeli paket take away.

“Mia?” Panggil seseorang ragu.

Mia membalikkan badan ke asal suara yang memanggilnya. Dia melihat Nata duduk di meja nomor enam sedang tersenyum dan melambai ke arahnya.

“Nata?” Mia tersenyum. Dia pun menghampiri Nata.

“Hai, Nat.” sapa Mia dengan manis.

Nata menatap Mia dengan tak percaya, “Mia, kamu kerja sambilan disini?”

“Iya.” Jawab Mia, “ini yang aku maksud tokonya bu Yuri.”

Tiba-tiba Vian datang membawakan sepiring kecil brownies kukus dan secangkir latte yang dipesan Nata.

“Ini pesanannya. Selamat menikmati ya.” Vian menyapa dengan sangat manis. Setelah itu, Vian beranjak pergi, kembali ke dapur.

Tiba-tiba wajah Nata memucat. Dia kaku seperti patung.

Mia yang melihatnya langsung syok, “Kamu kenapa, Nat?” gumam Mia mistis saat melihat wajah Nata yang pucat. Kemudian wajahnya jadi tak terlihat karena dia menundukkan kepalanya.

“Aku nggak kenapa-napa.” Nata mengambil cangkir dan meminum lattenya.

Mia masih merasakan ada kejanggalan pada sahabatnya itu.

“Tolong tinggalkan aku.” Bisiknya.

Akhirnya, dengan sedikit keengganan, Mia meninggalkan Nata.

 

♥♥♥

          Mia sedang menata kue yang baru dibuat ke dalam etalase. Kemudian dia berdiri dan melihat hasil tatanannya yang lumayan rapi.

“Ssst, Mia.” Panggil seseorang.

Mia menoleh, dia melihat Vian memanggilnya dari balik pintu ruang katering yang masih belum dipakai. Ruang katering itu rencananya baru dipakai minggu depan setelah mesin-mesin besar yang dipesan sampai.

Melihat ajakan Vian, Mia akhirnya masuk ke dalam ruang katering itu. Begitu Mia datang, Vian langsung menutup pintu dan menarik tangan Mia. Cewek yang nggak tahu apa-apa itu bergerak pelan saat ditarik.

“Lo mau ngapain sih?” tanya Mia dengan sedikit jengkel.

Vian berhenti berjalan dan berbalik, mereka berdiri berhadapan di dalam ruangan kosong yang tak bercahaya itu.

“Kita makan kue ini yuk?” Vian menunjukkan sekotak kecil kue hijau dengan potongan kiwi diatasnya.

“Lo nyuri ya?” tebak Mia panik.

“Enggak. Tadi gue nemuin uang sepuluh ribu di kantongnya Dema trus gue beliin ini.” Bisiknya.

“Itu sama aja nyuri tau!” ketus Mia.

Vian cuma tersenyum kuda. Mia akhirnya melihat ke arah kue itu.

“Itu kankue kiwi yang baru launching di sini.” Balas Mia.

“Kita makan berdua ya?” ajak Vian sambil membuka plastik transparan yang menutupi kue itu.

“Iya. Gue juga penasaran mau nyobain yang ini.” Akhirnya Mia terayu bujukan maut yang dilakukan Vian. Dia udah nggak sabar mau nyobain kue yang baru dua hari jadi menu di kafe. Sambil menunggu Vian membuka tutupnya, Mia tak berhenti menjilati bibirnya karena tergiur.

Akhirnya mereka membelah kue itu dan memakannya bersama.

“Enakkan?” tanya Vian.

Mia mengangguk.

BRAK

Pintu dibuka.

Radit berdiri di ambang pintu.

Mia menoleh, melihat Radit. Kelihatannya Radit terkejut menemukan duaorang itu di dalamsana.

“Radit?” Mia kaget dan memasang wajah lugu, “Lo mau nyobain kue?” tanya Mia sambil menunjuk kue di tangan Vian.

Radit diam. Dia kelihatan kesal.

“Jangan makan gaji buta. Pelanggan kita lagi banyak.” Ketusnya.

Radit lalu membanting dan menutup pintu kembali.

Mia jadi nggak nafsu makan. Ucapan Radit tadi ada betulnya juga.

“Aduh… Radit bener.” Mia menyesal.

“Tapi kuenyakanbelom abis.” Ujar Vian sambil terus mencolek kue itu dan memakannya.

“Gue mau ke depan ya? Kasian yang lain pada sibuk. Toko kitakanlagi promosi.” Ucap Mia.

Mia lalu keluar dari ruang katering. Dia mengelap mulutnya dan berdiri di samping Radit yang sedang memasukkan kue ke dalam boks-boks yang nanti akan diantarkan ke rumah pemesan.

Radit masih dingin. Itu membuat Mia jadi nggak enak. Jangan-jangan Radit marah sama dia gara-gara kelalaiannya dalam bekerja. Mia pun melirik Radit sedikit demi sedikit. Cowok itu kelihatan serius dan cekatan mengemas pesanan-pesanan itu tanpa mempedulikan dirinya.

“Mau dibantuin nggak?” tanya Mia dengan tersenyum manis.

Radit masih tak bereaksi.

“Maaf deh soal yang tadi. Gue emang salah udah ngelalaikan tugas. Sekarang gue mau bantu lo. Bolehkan?” tanya Mia dengan menyesal.

Radit menoleh cepat.

Lalu dia menatap Mia dalam. Radit menatap Mia sambil terus menumpuk kotak-kotak pesanan hingga akhirnya dia berbalik badan dan pergi meninggalkan Mia dengan membawa tiga tumpuk kotak pesanan.

Cewek itu cuma bisa melirik sinis cowok rese itu.

“Dia itu bener-bener nggak berhati! Liat aja mukanya yang nggak pernah punya ekspresi! Jangan-jangan dia itu mayat idup yang nggak bisa ngerasain apa-apa! Cowok nyebelin!” omel Mia dalam hati.

 

♥♥♥

 

“Apa Fikri masih belum balik?” tanya Bu Yuri pada Mia.

“Belum. Dia belum balik sejak dua jam yang lalu. Katanya jalan utama menuju ke rumah pemesan macet, Bu.” Lapor Mia.

Bu Yuri terlihat gundah, “Umm, kue ulang tahun ini harusnya dikirim sekarang. Pemesannya sudah menelpon barusan.” Bu Yuri membawa sekotak kue ulang tahun di tangannya.

“Biar saya yang antar.” Radit tiba-tiba muncul.

Mia yang melihat cowok itu hanya terpaku.

“Oke. Tapi karena motor delivery kita terpakai semua, kamu pakai motor saya aja,” katanya, “Mia, kamu tolong pegang kotaknya. Kalian pergi berdua ya?” pinta Bu Yuri.

Radit terdiam nggak bereaksi.

Tapi Mia?

Rasanya dia terkena serangan jantung mendadak.

Boncengan dengan Radit? Ini mukjizat atau kutukan ya?

♥♥♥

          Radit naik ke atas motor. Mia menunggu dengan memegang kotak kue itu di tangannya. Melihat kedinginan dan sikap acuh tak acuhnya Radit, membuat Mia kesal dan terus mengomel dalam hati. Tuh cowok kayaknya nggak pernah mengganggap dia ada.

“Pegang kotaknya baik-baik. Jangan sampe jatoh.” Ketus Radit.

“Iya. Aku tau.” Mia cemberut.

Setelah Radit siap, Mia bergerak menuju jok belakang.

“Jangan pegang-pegang gue dengan nggak jelas.” Tambah Radit.

“Adaapa sih? Kenapa lo jadi marah-marah begitu?” tanya Mia kesal.

“Ah? Siapa yang marah?!” bentak Radit.

Mia terdiam saat dibentak.

Nggak bisa dipungkiri perasaannya terluka gara-gara itu. Ucapan Radit itukanselalu aja beremosi dan tajam.

Radit juga menyadari kalau dia sudah kelewatan.

“Maaf.” Bisik Radit. Dia lalu menelan ludahnya, “gue minta maaf.”

Mia belum mau bergerak.

Radit pun akhirnya menatap Mia dengan rasa bersalah, “Ayo cepet naik.” Pintanya lembut.

Mia tertunduk dan langsung naik ke belakang motor. Radit memakai helm dan membawa motor itu melaju menuju alamat yang dimaksud.

♥♥♥

 

“Hot capuccino. Meja nomor 10.” Ucap Reta pada Dema. Dema lalu membawakan nampan yang sudah berisi secangkir hot capuccino ke meja nomor 10. Meja urutan terakhir seperti itu letaknya agak jauh ke dalam.

Dia pun akhirnya bisa melihat si pemesan. Orang itu sedang sibuk menuliskan sesuatu di atas tumpukan kertas yang dibawanya.

“Ini pesanannya.” Ucap Dema.

“Makasih.” Balas orang itu.

Dema membungkuk disamping tubuh sang pemesan.

“Lagi sibuk ya?” bisiknya.

Sista menoleh dan terkejut, “Hah?! Kamu lagi?! Kenapa sih kita selalu ketemu?” keluhnya sambil menjauhkan wajahnya dari wajah Dema.

“Yang pasti kali ini kamu yang nyamperin akukan?” sindir Dema.

Sista mengerutkan alisnya, “Aku nggak berniat begitu. Kamu pasti barukandisini?” tanya Sista dongkol.

“Iya.” Dema tersenyum manis.

“Dema!” teriak Reta.

Dema memejamkan matanya dan bergumam, “damn! ”

Dia sebenarnya masih ingin berlama-lama dengan guru itu, tapi pekerjaan yang lain sudah menunggunya.

“Selamat menikmati.” Bisik Dema.

Sista cuma meringis, menolak mentah-mentah rayuan gombal Dema.

Dema lalu kembali ke meja kasir, menghampiri Reta.

“Adaapa?” tanyanya.

“Vian lagi nyuci piring di dapur. Dia minta bantuan.” Kata Reta.

Dema segera berjalan masuk ke dalam dapur, melihat Vian sedang mencuci piring seorang diri. Dema segera menggulung lengan seragamnya untuk membantu Vian. Tapi tiba-tiba…

“Cewek di meja nomor 10.” Sahut Vian.

Dema berhenti bergerak. Vian melirik nakal.

“Apa dia sasaran elo berikutnya?”

“Ya.” Jawab Dema.

“Dia nggak sama kayak cewek lain yang pernah lo sakitin, Dem. Lo cuma penasaran sama dia ajakan? Trus setelah dia jatuh cinta sama lo, lo akan tinggalin dia? Sebaiknya lo berhenti sebelum lo nggak sadar kalo nggak lebih dari seorang cowok yang nggak punya keinginan untuk terikat dengan apapun.” Jelas Vian, dengan kedewasaan yang mendadak muncul di wajah kekanakkannya.

Dema terdiam. Tapi setelah itu, dia tersenyum.

“Gue nggak akan terikat sama dia. Sama kayak cewek lain yang pernah ada dalam kehidupan gue.” Katanya.

“Tapi gimana seandainya… dia bisa bikin lo berubah?” tantang Vian.

Dema tertawa meremehkan, “itu nggak mungkin.”

 

♥♥♥

          Dalam perjalanan pulang, Mia yang udah sangat kecapekan akhirnya mengantuk di atas motor. Pandangannya mulai tertutup sedikit demi sedikit. Kepalanya mulai menempel dan terpentok-pentok ke punggung Radit. Radit tahu ada yang nggak beres, dia lalu membuka kaca helmnya.

“Mia?” panggil Radit, “Mia?”

“Ya? Ya? Kenapa?” Mia menegak karena kaget.

“Jangan tidur. Nanti jatuh.” Radit mengingatkan.

“Ma-maaf.” Jawab Mia.

“Pegangan.” Kata Radit.

“Apa?” Mia memajukan wajahnya.

Tiba-tiba tangan Radit langsung menarik tangan Mia dan menaruh tangan Mia dipinggangnya. Mia cuma bisa termangu bloon.

“Pegangan,” bisik Radit, “Gue mau ngebut.”

 

♥♥♥

          Sista keluar dari Starlet Bakery. Saat itu dia berpapasan dengan Dema yang sedang naik motor. Karena kaget, langkah Bu Sista terhenti tiba-tiba. Dia menatap Dema dengan sangat terkejut.

“Mau kemana?” tanya Dema.

“Mau pulang.” Jawabnya pelan.

“Ayo aku anter.” Ajak Dema.

“Emangnya kamu mau kemana?” Sista bertanya.

“Beli bahan kue. Ayo cepat naik.” Suruhnya lagi.

“Nggak usah, makasih.” Sista menolaknya.

“Cepat naik. Langitnya mendung, kayaknya bakalan turun hujan.” Analisa Dema dengan yakin.

Sista menghembuskan napas. Dengan langkah yang agak terpaksa, dia berjalan menuju ke motor dan duduk di belakang Dema.

Dema menstarter motor dan mengantarkan Sista pulang.

 

♥♥♥

          Motor berhenti di depan rumah Sista. Saat itu hujan sudah turun dengan cukup lebat. Sista dan Dema sama-sama kebasahan. Sista lalu turun dan berdiri di bawah teras rumahnya agar terhindar dari hujan. Dema masih di atas motor, hujan menuruni wajahnya dengan telak karena dia nggak memakai helm.

“Ayo turun dulu. Hujannya kayaknya masih lama.” Suruh Sista, “Mau masuk dulu? Aku buatin teh ya?” tanyanya lagi.

“Nggak usah. Makasih banyak.” Dema tersenyum.

“Kamu mau pergi hujan-hujan begini?” teriak Sista.

Dema masih tetap tersenyum manis, “Cepat masuk ke dalam dan mandi. Aku harus pergi dulu.” Ucapnya.

Sista terdiam. Dema yang kebasahan itu akhirnya pergi. Wanita itu masih melihat Dema dari kejauhan. Dalam hati, dia berterima kasih sedalam-dalamnya untuk cowok yang membingungkan itu.

 

♥♥♥

 

Mia dan Radit berdiri di depan sebuah ruko kosong. Mereka sedang berteduh dari hujan deras di depan mereka.

“Sampai kapan kita teduh disini?” tanya Mia.

“Lo nggak liat diluar ujan deras?” bentak Radit.

“Tapi nanti kita bisa kelamaan. Kasian Vian sama Kak Demakan?” tanyanya polos.

“Kak Dema?” Radit bertanya soal awalan ‘kak’ yang diucapkan Mia.

“Emang kenapa? Dia baik kok sama gue.” Jawab Mia.

Mia tertunduk dengan wajah anak kecil yang sedang melamunkan sesuatu. Radit masih menatap Mia yang hanya setinggi bahunya. Cewek itu sedang memikirkan sesuatu. Pasti dia sedang memikirkan Vian dan Dema.

Radit menggeleng dengan pasrah. Anak itu emang terlalu baik padaorang lain sampai-sampai tidak pernah memedulikan dirinya sendiri.

Radit melepas jaket kulitnya, “Pake ini.”

Radit memberikan jaketnya pada Mia. Mia hanya memegangnya, masih dengan setengah sadar.

“Mau ngapain?” tanya Mia.

“Cepet pake.” Ketus Radit dengan wajah galak.

Mia tak melakukannya. Dia masih tak mengerti.

“Ayo cepat pake!” bentaknya lagi karena melihat Mia yang diam saja. Dia juga memberikan helm motor pada Mia, “pake ini juga.” Tambahnya.

Mia hanya menerima helm serta jaket itu, tanpa menghilangkan kedunguan dari sorot matanya.

Kemudian Radit berjalan menuju ke motornya, tanpa helm ataupun sesuatu yang menutupi kulitnya. Akhirnya dia pun kehujanan. Tapi dia sama sekali nggak peduli sama hal itu. Dia naik ke atas motor meski air hujan saat itu cukup terasa menyakitkan saking derasnya.

“RADIIT!!” Teriak Mia.

“Cepet pake!” teriak Radit.

Mia terdiam dan melihat Radit dengan hening. Radit kelihatan sangat sedih di atas motor saat itu. Entah kenapa, matanya yang biasanya terlihat kuat itu seperti orang yang ingin menangis. Dia hanya terdiam dan terhenyak sesaat. Dia belum pernah melihat tatapan sesedih dan semenyakitkan itu.

Radit segera memalingkan wajahnya, Mia tertunduk dan melihat dua benda yang dipegangnya itu.

“Radit.” Panggil Mia dengan suaranya yang tidak terdengar jelas.

Radit masih diam, belum menoleh.

“Radit.” Mia memanggil lebih keras.

Radit menoleh dengan refleks, wajahnya terlihat kosong beberapa saat.

“Dit, jaket sama helmnya kegedean.” Keluh Mia.

Dia lalu mengangkat tangannya, menunjukkan seberapa panjang kelebihan bahan jaket itu hingga membuatnya seperti nggak punya tangan. Helm itu pun membuat dia seperti jadi makhluk alien.

Sebenarnya Radit hampir aja terkekeh-kekeh. Dia hanya menahan senyum di bibirnya. Aduuh… rasanya dia udah nggak kuat lagi pengen ketawa.

“Jangan bawel. Ayo naik.” Ketusnya.

Tapi… bagaimanapun, Radit tetap aja Radit. Ya kan?

 

♥♥♥

          Malam harinya…

Mia belajar di meja makan tengah ruangan. Di dekat sana, ada tivi yang sedang menyala. Sambil membawa kopi, Dema menghampiri dan duduk di samping Mia. Kemudian dia mengambil remote dan mengecilkan volume suara tivi.

“Kok suara tivinya dikecilin?” Mia bertanya.

“Kalo mau belajar dengan baik, suasananya harus tenang kan?” tanya Dema.

“Gedein aja suara tivinya, gue lebih suka kalo berisik, soalnya gue jadi nggak stres.” Dia menjelaskan kekurangan dirinya.

Dema mengambil remote dan membesarkan suara kembali. Mia kembali fokus pada pelajarannya, sementara Dema menaruh cangkir kopinya dan melirik ke Mia yang sedang serius.

“Lagi ngerjain peer apa?” Dema kelihatan pensaran.

“Matematika.” Jawab Mia.

Dema melihat cewek yang mulai dianggap adiknya itu. Mia kelihatan sangat konsentrasi dan serius mengerjakan peer matematikanya. Meski begitu, dia keliatan sangat pusing dan kacau. Kayaknya dia emang paling nggak bisa mengerjakan soal matematika.

Dema cukup kasihan melihat Mia. Sebenarnya dia mau banget ngebantuin anak itu, tapi dia sendiri nggak pernah bisa matematika. Selama ini dia bisa naik kelas aja udah suatu mukjizat. Dia nggak pernah bisa berprinsip, bahkan demi kepentingan dirinya sendiri.

Lalu Vian juga datang dan duduk mengapit Mia sambil memakan satu bungkus coklat. Dia kelihatan sedang menyaksikan acara tivi dan belum terlalu mempedulikan Mia yang ada disampingnya.

“Vian, lo ngerti soal yang ini nggak?” tanya Mia sambil menunjuk soal integral yang ada di buku.

“Enggak.” Vian menjawab lugu tanpa melihat soal yang dimaksud.

Melihat dua ‘sahabat’ bodohnya itu, Mia hanya bisa menghembuskan napas pasrah. Dia emang nggak bisa mengandalkan dua orang yang sama-sama nggak berpikiran itu. Yang bisa diandalkan paling cuma satu orang, Radit. Tapi dia lebih parah lagi dibandingin dua orang itu. Radit sama sekali nggak tertarik untuk ngebantuin. Dasar pelit ilmu!

“Mia.” Panggil Dema.

Mia menoleh, “apa?”

“Ngomong sana sama Radit. Kadang dia kalo lagi baek, mau bantuin.” Ucapnya.

“Males ah ngomong sama dia! Dia paling nggak mau bantuin. Mendingan gue ngerjain sendiri. Gue pasti bisa ngerjain ini semua kok!” tegasnya semangat.

Dema mengangguk setuju.

Tiga jam kemudian…

“Radit.” Mia memanggil dari luar kamar Radit.

Radit membuka pintu dengan wajah amat sangat nggak bersahabat.

“Gue mau minta tolong ajarin. Boleh nggak?” Mia mendirikan buku peernya. Wajahnya udah nggak berbentuk. Udah empat jam dia bergulat dengan sepuluh soal itu-itu aja yang nggak pernah ketemu jawabannya.

“Kenapa nggak minta tolong sama Vian?” sindir Radit cemburu.

“Vian? Dia kan nggak bisa.” Balasnya.

“Sekarang udah jam sebelas, gue mau tidur.”

BRAK!

Pintu ditutup dengan telak di wajah Mia. Cewek itu sempat syok dan membatu. Dia nggak nyangka kalo cowok itu bener-bener nggak bisa diajak damai. Tuh cowok angkuh banget sih mentang-mentang pinter.

“Dasar cowok pelit! Kikir!” teriak Mia kesal.

Dengan sejuta rasa kesal, Mia berlari turun dan kembali ke depan tivi.

♥♥♥

          Tengah malam, sekitar jam setengah satu, Radit menuruni tangga. Dia terdiam dan cukup tersentuh saat melihat Mia tertidur di atas meja saat belajar. Tapi dia malah berbelok dan masuk ke dapur dan minum air, seperti kebiasaannya.

Dia lalu berjalan, kembali menuju ke tangga untuk naik ke atas. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Dia menoleh dan melihat cewek menyedihkan itu. Meskipun setengah dari dirinya menyatakan ‘nggak mau’, tapi Radit toh akhirnya mendekati dan melihat soal-soal yang super sulit buat Mia. Untungnya dia masih ingat dengan pelajaran itu.

Radit melihat Mia. Cewek itu tertidur pulas dengan kepala di atas kedua tangannya yang terlipat. Mulutnya terbuka sedikit dan dia kelihatan sangat damai saat itu. Radit masuk ke dalam kamar Mia, lalu dia keluar sambil membawa selimut dari atas kasur dan menutupi badan Mia dengan selimut itu.

Radit pun mulai mengerjakan soal demi soal itu. Dia benar-benar serius mengerjakannya meskipun dia butuh waktu lama untuk mengingat lagi semua hitung-hitungan yang dipelajarinya dua tahun yang lalu.

“Udah selesai?” tanya seseorang.

Radit menoleh kaget. Dema berdiri dengan berlipat tangan di atas anak tangga. Dia memakai kaos tak berlengan malam itu, membuat otot lengannya terlihat jelas. Sedangkan wajahnya dipenuhi senyuman kepuasan.

“Bagimu soalnya mudah kan?” tanyanya lagi.

Radit membuang wajahnya, kembali menulis.

“Biasa aja.” Jawab Radit dingin.

“Akhirnya gue nggak usah minta elo untuk bantuin dia kan?” ucap Dema.

“Hm.” Sahut Radit.

Radit benar-benar berusaha nggak terpancing oleh kata-kata Dema. Dia memusatkan konsentrasinya kepada soal matematika itu.

“Kenapa? Apa lo punya perasaan lebih ke dia?” tanya Dema.

Tiba-tiba Radit terhenyak. Gerakan tangannya berhenti dan dia menatap buku tulis itu dengan sangat sendu. Sepertinya dia sendiri sedang tersiksa dalam perasaan yang dia rasakan. Mungkin dia belum pernah tahu kalau ternyata cinta bisa seberat dan sedalam ini.

Dema tersenyum. Sepertinya dugaannya benar soal Radit.

“Dema,” desah Radit, “Itu bukan urusan elo.”

Dema lalu turun dari tangga, dia berjalan menghampiri kemudian menggendong Mia di atas kedua lengannya. Mia yang sedang tertidur itu terkulai saat digendong. Dema yang kuat dan berbadan kekar itu sama sekali nggak terbebani saat menggendong Mia.

Dema lalu masuk ke dalam kamar Mia. Dia membaringkan Mia di atas kasur kemudian menutupi tubuh cewek itu dengan selimut. Sebelum pergi dia sempat berdiri memandangi cewek itu dari ambang pintu. Dia tersenyum kecil sebelum akhirnya menutup pintu dan melihat ke arah Radit kembali.

“Makasih buat bantuannya.” Ujar Dema.

Radit nggak menanggapi hal itu. Dema berjalan meninggalkan Radit dengan perlahan untuk naik lagi ke lantai atas.

Lalu…

“Sama-sama.” Bisik Radit.

 

 

 

8

Radit Or… Rafi ???

 

 

 

Pagi harinya…

“Aduuh… telat lagi…” Mia berudaha mengikat dasinya secepat mungkin di depan kaca. Pagi ini dia kembali telat gara-gara tadi malam tidur terlalu larut. Setelah memakai dasi, dia langsung menghampiri meja belajar.

Dia membuka-buka laci untuk mencari buku peernya semalam. Karena setelah mengacak-acak laci buku itu belum ketemu juga, akhirnya Mia memeriksa isi tasnya.

Alangkah kagetnya dia saat melihat isi tasnya. Yang pertama paling mengejutkannya adalah susunan buku dalam tasnya. Buku cetak yang besar dan tinggi berderet di belakang, semua buku tulis berbaris di depan dengan posisi yang nyaris sempurna. Itu adalah salah satu hal yang paling mustahil dilakukannya. Soalnya, Mia itu kan kalo beresin buku pasti pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah dan dia nggak bakalan ingat untuk menyusun isi tasnya serapi itu.

Mia melihat buku yang dicarinya di dalam tas. Dia mengeluarkannya dan melihat isinya. Dan itu membuatnya semakin terperangah saat melihat seluruh nomor peer di bukunya telah terisi dengan penuh dan rapi. Itu membuat senyum bahagianya terkembang sangat indah.

Mia terlonjak saat melihat jam bekernya menunjukkan pukul 06. 35. itu artinya 25 menit lagi sebelum bel sekolah berbunyi dan kalau nggak mau terlambat, dia lagi-lagi harus mengayuh sepeda kayak pembalap sepeda di olimpiade dunia. Dia segera memasukkan bukunya kembali ke dalam tas dan menggendongnya.

BRAK

Mia membuka pintu. Dia melihat Radit dan langsung memeluk cowok itu dari belakang.

“Makasih buat peernya.” Ucapnya singkat, lalu berlari meninggalkan Radit.

Cowok yang lagi bikin susu di dapur itu mematung.

Vian yang lagi menggigit roti ikut termangku melihat pemandangan itu.

Dema sendiri baru keluar dari dalam kamar mandi saat Mia berlari keluar pintu rumah dengan tergesa-gesa.

“Mia! Gue anter ya?!” teriak Dema dari dalam.

Mia mengeluarkan sepedanya, “nggak usah, Kak! Udah telat nih! Dadaah…!!!” teriaknya bersemangat.

Dema terdiam dengan handuk di lehernya. Dia lumayan kecewa karena nggak bisa mengantar Mia pagi ini. Tapi saat dia menoleh, dia tersentak melihat Vian. Cowok itu bener-bener menganga dan syok dengan wajah ke arah dapur.

Karena penasaran dengan apa yang dilakukan cowok itu akhirnya Dema melihat ke dalam dapur. Ada Radit di dalam sana yang sedang mencelup-celupkan teh dengan wajah merah merona. Sepertinya dia tersipu-sipu dan sedang mencoba menahan rasa gembiranya.

Dema ikut syok dan menganga seperti Vian.

Apa yang salah ya sama ketiga cowok itu?

 

♥♥♥

 

Kemudian, di sekolah…

“Mia.” Panggil pak Beno.

Mia mendongak, “Ya, pak.” Sahutnya.

Lalu Mia berdiri, berjalan menuju ke meja guru. Disana pak Beno menantinya dengan wajah sedikit curiga.

“Apa betul kamu mengerjakan ini sendirian?” tanyanya.

Mia melihat nilai di buku tulisnya. Dia mendapatkan nilai sepuluh. Itu membuatnya tertunduk. Bukan dia yang mengerjakan semua soal itu, tapi Radit.

“Nggak, Pak. Saya… dibantu orang lain.” Bisiknya.

“Siapa?” tanya Pak Beno.

Mia bergumam dan berfikir sebentar. Dia bingung harus menyatakan Radit itu sebagai ‘siapanya’ dia.

“Anu, sama orang yang namanya Radit.” Katanya.

Pak Beno mengembalikan buku peer Mia.

“Belajar yang rajin. Lain kali saya mau kamu dapat nilai sepuluh dari hasil kerka keras kamu seorang diri.” Tegasnya berwibawa.

Mia tersenyum, “Baik, Pak.”

♥♥♥

          Mia berdiri di depan jendela kelasnya, dia sedang melihat ke lapangan utama sekolah. Murid-murid kelas sepuluh sedang bermain baseball di bawah. Karena pada istirahat hari itu dia lagi malas ke kantin, maka dia memutuskan untuk tinggal di kelas dan menonton latihan baseball itu untuk mengisi waktu.

“Selamat ya.” Bisik seseorang.

Mia menoleh kaget. Rafi yang keren banget itu berdiri di depannya. Itu membuat Mia harus berjuang sekuat tenaga menyembunyikan kerasnya debaran jantung yang dirasakannya.

“Nilainya sempurna. Gue bahkan nggak mungkin seteliti itu mengerjakannya.”  Rafi memuji. Lagi-lagi pujian seperti itu membuat Mia jadi merasa bersalah. Dia tertunduk karena malu mengatakan pada Rafi apa yang sebenarnya terjadi.

“Sebenernya itu bukan gue yang ngerjain, tapi orang lain.” Gumamnya sedih.

“Siapa? Pasti salah satu diantara 3 laki-laki itu kan?” tanya Rafi.

Mia mendongak kaget, “Ah?”

“Kayaknya yang pake kacamata. Radit ya?” tebak Rafi.

“Darimana elo tau tentang mereka?” Mia mengeritingkan alisnya.

Rafi menawarkan tangan. Mia menjabatnya dengan terkesima.

“Sekali lagi, selamat atas nilainya. Tetap berjuang ya?” ucap Rafi sambil tersenyum. Saat Rafi tersenyum, seolah-olah ada kerlap-kerlip cahaya yang bertebaran dan menyinari wajah cowok itu, membuat Mia seperti mau melayang.

“Iya. Makasih banyak.”

♥♥♥

 

“Aku pulaaang!” tiba-tiba Mia berkata seperti itu saat masuk ke dalam rumah.

Vian yang sedang turun di tangga menatap aneh.

“Tumben ngomong kayak komik begitu.” Komentarnya.

Mia nggak peduli. Dia menaruh sebuah kotak makanan di atas meja.

“Radit, gue bawa hadiah buat elo!” teriaknya, memanggil Radit.

Vian semakin cepat menuruni tangga. Dia langsung duduk di dekat Mia.

“Hadiah apa? Emangnya Radit ulang tahun?” tanyanya.

“Kotak ini isinya makanan Jepang semuanya. Kesukaannya Radit.” Mia menjelaskan apa yang dibawanya.

“Kenapa cuma Radit yang dibeliin? Buat aku mana?” Vian menunjuk wajahnya dengan tampang memelas.

“Kemarin Radit bantuin gue ngerjain peer dan hari ini gue dapet nilai sepuluh. Gue seneng banget. Apalagi Rafi juga ngucapin kalimat yang manis soal itu. Uuuh… so sweeeett…” Mia tersenyum bahagia mengingat kejadian bersama Rafi di sekolah.

Tanpa mereka berdua sadari, Radit berada di atas tangga dan mendengar hal itu. Nggak tahu kenapa tiba-tiba dia jadi marah dan kesal mendengar nama Rafi disebut-sebut.

“Radit! Ayo sini turun!” Mia melambaikan tangan dengan bahagia. Dia mengangkat kotak itu dan menunjukkannya pada Radit yang masih berdiri di atas tangga, menghadap ke mereka berdua. Mia menunjukkan kotak makanan itu dengan sangat bangga dan ceria untuk merayu Radit.

“Untuk apa beli makanan itu? Buang-buang uang aja.” Ketus Radit.

“Hah?” Mia menganga dengan hati tertancap belati.

“Gue nggak mau makan itu!” sinis Radit lagi.

Kemudian cowok itu berbalik badan dan kembali naik ke atas. Mia menganga dengan syok. Semua yang telah dia lakukan ternyata masih ditolak juga sama cowok yang satu itu.

“Hah?! Dasar cowok nggak tau diuntuuuung!!” teriak Mia jengkel.

Melihat kejadian itu, membuat Vian punya kesempatan.

“Kalo gitu… gimana kalo hadiahnya buat gue aja. Hm?” Vian melirik dengan sok imut sambil mengedipkan matanya.

Bibir Mia yang manyun jadi semakin manyun. Dia mendengus kayak banteng ngeliat kain merah. Dia lalu menjatuhkan kotak itu dengan keras ke atas meja.

“Terserah!” teriaknya. Mia lalu berdiri dan membuka pintu kamarnya.

BRAK!

Dia membantingnya menutup.

 

♥♥♥

          Jam lima sore harinya, di Starlet Bakery…

Mia melihat Radit diluar toko bersama seorang siswi berseragam SMA. Si cewek terlihat menyodorkan sebuah kado ke hadapan Radit. Cukup lama cewek itu menyodorkan barang itu tapi Radit tak sekali pun menggerakkan tangannya.

Melihat itu, Mia jadi kesal. Dia menganggap kalau cowok itu bener-bener nggak berperasaan, sejak tadi dia menduga kalau cewek itu pasti ingin memberikan kado itu tetapi Radit nggak mau menerimanya. Dan dia, sebagai salah satu musuh Radit, dia ingin membela cewek itu.

Makanya, Mia langsung  berjalan keluar toko. Dia berdiri mengamati kejadian itu sambil bertolak pinggang. Si cewek berseragam SMA masih memohon-mohon sambil menyodorkan kado yang dibawanya.

“Maaf, tapi saya nggak akan terima kado itu.” Ucap Radit.

“Saya mohon. Ambil pemberian ini.” Suara si cewek terdengar terbata-bata, Kayaknya dia hampir menangis.

“Bawa pulang itu dan jangan lakukan hal kayak gini lagi.” Suruh Radit.

“Heh!” bentak Mia tiba-tiba.

Radit plus cewek SMA itu kaget dan menoleh cepat.

“Apa-apaan sih lo itu? Apa lo nggak mikirin perasaan dia? Harusnya elo lebih lembut ngomongnya!” Mia mengomeli Radit.

“Jangan suka ikut campur urusan orang.” Balas Radit dingin.

“Cowok nggak punya hati!” bentak Mia.

Mia lalu mengambil kado dari tangan cewek SMA itu dengan kasar. Dia langsung mendorong kotak kado itu ke dada Radit hingga mau nggak mau cowok itu harus memegangnya.

“Liat kan, kadonya sekarang udah diterima?” Mia bertanya pada si cewek.

Cewek itu diam, sekarang dia malah kelihatan takut.

“Radit! Bilang makasih!” suruhnya tegas.

“Apa-apaan lo?!” Radit sewot.

Mia berdiri di belakang Radit. Dia menarik pipi Radit hingga membuat senyuman palsu di wajah ganteng cowok itu.

“Makasih atas kadonya.” Ucap Mia, mewakili Radit.

“Sama-sama.” Balas si cewek tersenyum.

Akhirnya, setelah seluruh misinya selesai, si cewek berjalan pergi.

Mia tersenyum karena bisa membantu. Sementara Radit cuma mematung dengan wajah kesal. Mia berbalik, dengan senyum penuh kemenangan dia melipat tangan dan menajamkan matanya.

“Kenapa sih lo nggak bisa berpura-pura baik sedikit? Bayangin gimana perasaan cewek itu! Jangan jadi orang egois!” cetusnya.

Mia berbalik dan masuk kembali ke dalam toko seperti seorang pemenang. Sedangkan Radit masih menatap kado itu. Namun akhirnya dia masuk ke dalam toko sambil tetap membawa kado itu dan mencoba menerima kalimat Mia.

 

♥♥♥

          Sore itu cukup panas. Mungkin itu yang membuat orang malas keluar rumah sehingga kafe jadi cukup sepi dan membuat banyak pelayan yang telah direkrut akhirnya saling mengobrol untuk mengisi waktu.

Radit berdiri di depan meja kasir, dia sedang mengantarkan nampan kosong.

“Permisi.” Salam seseorang.

Radit menengok, melihat Rafi yang datang  ke toko kue itu.

Mata Radit menyorotkan ketidaksukaannya kepada Rafi. Kedua cowok ganteng yang memiliki banyak kesamaan sifat itu saling beradu pandangan.

“Mana Mia?” tanya Rafi tajam.

“Dia nggak kerja hari ini. Ada apa?” Radit bertanya dengan lebih jutek.

Rafi cukup geram melihat kelakuan Radit.

“Hai, Raf.” Panggil seseorang.

Rafi menoleh. Mia berdiri dengan senyum ceria sambil memeluk nampan kosong di dadanya. Saat melihat cewek itu, Rafi tersenyum sinis. Radit yang ikut melihat kejadian itu lansung melotot. Dia bergumam ‘dasar bego’ dalam hatinya, meskipun cewek yang dia maksud bego itu nggak menyadari.

“Hai.” Balas Rafi, dengan senyumannya yang mematikan.

“Ada apa? Tumben dateng. Mau beli apa?” tanya Mia.

Radit menyipitkan matanya. Tiba-tiba ada perasaan benci dan kesal dalam hatinya. Mungkin dia lagi cemburu.

“Sebenarnya… gue kesini untuk ngasih ini.” Rafi menunjukkan sebuah buku bersampul warna biru dengan tebal sekitar 300 halaman. Mia menerima pemberian Rafi lalu menatap bingung benda itu.

“Itu buku latihan matematika untuk ngebantu hukuman lo.” Jelasnya.

“Waah… makasih.” Mia sumringah, wajahnya menyiratkan kegembiraan dan rasa senang yang sangat besar.

“Bukunya bagus lho. Banyak rumus-rumus cepatnya.” Sambung Rafi lagi, dengan sikap tubuh yang lebih santai dan wajahnya yang lebih dihiasi senyum.

Mia membuka-buka halaman buku itu sepintas. Matanya mulai terasa jereng saat melihat isi buku yang penuh dengan angka-angka dan simbol matematika yang sangat sulit dimengerti olehnya.

“Ya ampuun… kenapa kepala gue tiba-tiba pusing?” Mia mengeluh saat merasa tantangan yang ada dalam buku itu terlalu berat. Dia memegangi kepalanya sambil terus membolak-balik halaman buku itu.

“Kalo masih nggak ngerti juga, kita bisa belajar bareng di rumah gue.” Tawarnya.

Radit menganga syok saat mendengar tawaran gombal itu. Entah kenapa tiba-tiba dia jadi begitu ekspresif dan nggak suka melihat keakraban dua orang itu.

“Ah yang bener?” dia nggak menyangka ajakan itu dan dia sangat menginginkan hal itu terjadi.

Rafi mengangguk.

“Makasih banyak ya.” Mia berkata lembut.

“Kalo gitu sekarang gue pamit pulang.” Ucap Rafi.

Mia kelihatan nggak terima, “Lho, kenapa buru-buru?” tanyanya.

“Sebenernya hari ini ada les penting. Harus pergi sekarang kalo nggak mau telat.” Jawabnya.

“Dadah.” Rafi tersenyum dan berbalik.

“Dadaaah.” Mia membalas dengan lebih bersemangat.

Rafi membuka pintu dan keluar dari toko. Mia terus melambai ceria ke arah Rafi. Radit udah bener-bener terpanggang setelah tiga menit berdiri disana. Dia udah benar-benar terpanggang api cemburu.

Rafi membuka pintu mobilnya. Sebelum masuk ke dalam mobil, dia sempat melihat ke dalam toko melalui pintu toko yang terbuat dari kaca. Pandangan sinisnya langsung tertuju pada Radit. Kedua cowok itu bertatapan dingin penuh dendam selama beberapa detik sebelum akhirnya Rafi masuk ke dalam mobil.

Mia menoleh, menatap Radit. Cowok itu mukanya jadi kelihatan aneh. Pas Mia tengok, cowok itu jadi kelihatan agak salting dan ke-gap hingga membuat mukanya jadi merah.

“Lo kenapa, Dit?” Mia bingung.

Cowok itu jadi kaku kayak patung.

“Nggak ada apa-apa.” Radit membuang mukanya dan berjalan pergi.

Mia masih berdiri di tempatnya dan meminyingkan bibir melihat gelagat Radit.

“Dasar cowok aneh.” Gumamnya.

 

♥♥♥

 

“Mia. Ayo makan.” Ajak Dema.

Mia masih duduk di meja belajar kamarnya.

“Ah? Makanannya udah diangetin?” teriaknya cempreng dari dalam kamar.

“Udah sama gue.” Balas Dema.

“Makan duluan aja! Gue masih banyak tugas!” Teriak Mia.

“Tugas apaan lagi sih?” keluh Dema yang sedang menata piring ke atas meja. Kayaknya dia jadi kesal juga dengan kesibukan ‘sang adik’ yang dirasakannya tak pernah berakhir.

Radit kebetulan ada di meja. Dia lalu berdiri dan membuka pintu kamar Mia.

Cewek itu lagi di meja belajarnya, menulis sesuatu dari buku yang tadi sore dikasih sama Rafi. Melihat buku itu membuat Radit jadi teringat dengan cowok brengsek yang memberikannya.

“Lagi ngapain sih? Apa lo nggak tahu kalo ini waktunya makan?” ketus Radit dari balik pintu.

Mia berhenti menulis dan melirik dengan kepolosannya, “Dit, apa sebaiknya gue belajar bareng sama Rafi aja?” tanyanya.

Tatapan Radit melembut. Dia sangat sedih mendengar hal itu. Mia menunggu, dengan ketidakpekaannya pada perasaan Radit.

“Nggak perlu.” Bisiknya.

“Kenapa?” tanya Mia layu.

“Nanti gue bantu.” Jawab Radit.

“Oya?” Mia sumringah.

“Iya. Sekarang cepet keluar dari sini trus makan.” Suruh Radit sambil menutup pintu kembali.

Mia yang mendengar hal itu segera menutup semua buku, menaruh pensil ke dalam kotaknya dan mematikan lampu belajar. Dia keluar kamar dan bergabung bersama yang lain.

 

♥♥♥

          Mia berdiri di samping Radit. Cowok itu sedang menghadap ke arah ruang tengah yang dihuni oleh Dema dan Vian. Kayaknya cowok itu lagi berfikir untuk memutuskan tempat dimana dia akan mengajari Mia. Dia lumayan putus asa saat ngeliat dua cecurut itu lagi rebahan di depan tivi sambil ngakak-ngakak.

“Kita belajar dimana?” Mia berbisik.

“Disini aja.” Jawab Radit.

“Udah sana belajar di dalem kamar Mia aja. Disini Mia nggak bakalan bisa pinter. Malem ini kita mau nonton Scary Movie 1 sampe 4. Kita bakalan ngakak sampe ketiduran.” Ketus Dema sambil mengaduk mangkuk berisi popcorn. Si Vian kayaknya udah mulai gila duluan. Dia nggak berhenti-hentinya guling-gulingan sambil terbahak-bahak.

Mia terdiam, dia menunggu reaksi Radit.

Sementara Radit? Cowok itu kelihatan aneh. Mukanya kayak menguap dan menjadi merah merona. Kayaknya… dia deg-degan kalau mesti belajar di kamar dengan cewek itu.

Akhirnya, meski Mia nggak sadar apa yang terjadi sama Radit, cowok itu pun memutar gagang pintu dan masuk ke dalam kamar Mia. Mia yang begitu lugu dan tak berotak itu sama sekali nggak memikirkan apa yang dipikirkan Radit.

Kebetulan di dalam kamar Mia ada dua kursi. Mereka berdua langsung duduk cukup berjauhan di meja belajar Mia yang emang cukup panjang.

Radit membuka buku cetak punya Mia. Mia merapikan mejanya seperti anak TK yang baru masuk sekolah. Dia sangat nggak sabaran mau memulai acara belajar mengajar ini. Dia ingin berguru pada Radit yang pinternya naujubilah itu.

“Kita belajar apa ya? Hmm… limit ya?” tebak Mia.

“Terserah.” Ketusnya.

Mia mengangguk dan memainkan pensil dengan hati penuh harap. Dia benar-benar mengharapkan ini akan jadi hari pertama belajarnya yang menyenangkan dan berkesan. Sepertinya Mia mulai menyukai Radit dan ingin membuat suatu perubahan yang lebih baik dalam hubungan mereka.

Radit masih diam dan membaca buku itu. Mungkin dia mencoba untuk mengingat dan memahami pelajaran yang sudah lama tak pernah dibacanya itu lagi.

Terasa kesunyian yang cukup membosankan buat Mia. Dia nggak berhenti bergerak dan mencoba untuk terus melakukan sesuatu di saat Radit sedang anteng-antengnya membaca.

“Sebenernya sekarang umur lo berapa sih, Dit?” Mia berusaha memecahkan kesunyian dan membuka percakapan.

“Tujuh belas.” Radit menjawab cuek.

“Sama dong. Tapi kok elo nggak sekolah?” tanya Mia.

“Baru lulus.” Singkatnya lagi.

“Ooh.” Mulut Mia membulat.

Radit menutup bukunya, dia sedikit menggeser kursinya maju.

“Ayo kita mulai.” Ajaknya.

♥♥♥

 

Saat sedang nonton film Scary Movie berdua, tiba-tiba Dema berdiri dan mengambil jaket yang tergantung di balik pintu masuk. Vian yang lagi rebahan di lantai langsung melongo.

“Mau kemana, Dem?” tanya Vian.

“Beli rokok.” Jawabnya sambil memakai jaket dan sepatu.

“Nitip chitatos sama cola ya?” Vian meninggikan suaranya.

“Oke!” Dema menjawab, “Titip Mia ya!”

“Oke.” Balas Vian.

 

♥♥♥

          “Ya ampuun… Radit ganteng banget kalo diliat dari deket kayak gini. Mukanya serius banget ngerjain soal. Bikin dia tambah keren.” Gumam Mia.

Cewek itu lagi tersihir oleh ketampanan seorang cowok bernama Radit. Dia sedang menuliskan sesuatu yang juga sedang dia jelaskan pada Mia. Tapi cewek lemot itu malahan sibuk berkhayal sambil memandangi muka Radit.

“Ngerti?” tanya Radit.

“Ah? A-apa?” Mia kaget saat tertarik paksa dari lamunannya.

“Jangn ngelamun gitu kalo lagi dijelasin! Pantesan aja nggak pernah dapet nilai bagus di sekolah!” bentak Radit kesal.

Mia manyun dengan wajah bersalah, “Maaf…”

Radit berusaha menerima permintaan maaf itu. Dia menarik napas dalam.

“Kita coba sekali lagi. Liatin baik-baik.” Ucapnya lembut.

Mia mengangguk. Dia mulai terlihat serius mendengarkan penjelasan dan melihat apa yang sedang ditulis Radit. Saking semangatnya, badannya sampai condong ke depan dan kepalanya menutupi buku.

“Jangan terlalu maju, tulisannya jadi nggak keliatan.” Keluh Radit jutek.

Mia kaget dan spontan memundurkan tubuhnya dengan cepat. Dia lalu melirik Radit dengan bibir monyong, “Sayang dia orangnya galak. Coba dia nggak galak kayak gini. Pasti gue udah jatuh cinta.” Mia bergumam lagi sambil terus memperhatikan apa yang diajarkan Radit.

“Ngerti sekarang?” tanya Radit.

“Hm.” Mia mengangguk yakin.

“Coba kerjain nomor 1.” Suruh Radit.

Dengan semangat yang luar biasa, Mia mengambil buku itu dan mencoba mengerjakannya seolah-olah dia emang bisa. Sementara Radit tersenyum kecil saat melihat kelakuan dan semangat cewek itu. Apapun yang terjadi untuk saat ini dia sangat menikmati detik-detik yang ada bersama dengan Mia.

♥♥♥

          Dema sedang menaruh lima kaleng coca cola di atas lipatan lengannya. Supaya tetap kelihatan cool, dia lebih memilih membawa kaleng-kaleng itu di atas lengannya dibandingkan membawa keranjang.

Tiba-tiba, ada sebuah tangan yang menggapai tepat melintas di depan mata Dema. Dema yang nggak menyadari kedatangan orang itu langsung menoleh kaget, dan ternyata, orang itu juga nggak kalah kagetnya kayak Dema.

“Hai.” Dema tersenyum penuh pesona.

Sista cukup jual mahal dengan berpura-pura kesal.

“Lagi-lagi ketemu kamu.” Jutek Sista kesal.

“Kenapa? Kangen ya?” goda Dema.

“Apa? Kangen? Yang bener aja!” gerutunya.

Dema tersenyum, menyadari daya tarik yang dimiliki cewek itu. Lalu dia melihat kekeranjang yang dibawa Sista. Cewek itu memasukkan barang yang sangat banyak ke dalam keranjang sekecil itu.

“Belanjanya banyak. Untuk satu bulan ya?” tanya Dema.

Sista mengulum bibirnya, matanya menyiratkan kalau dia nggak berminat menjawab pertanyaan itu. Dema cuma tersenyum kecut, dia tahu kalau wanita itu memang cukup sulit untuk ditaklukan.

Mereka berdua akhirnya membayar belanjaan dan berdiri di luar supermarket. Malam itu jalanan dan tempat di sekitar mereka cukup sepi. Jalan raya di depan supermarket kelihatan hanya dilalui beberapa mobil sejak tadi.

Mereka berdiri dengan saling melirik. Dema bersiap mengeluarkan jurus rayuannya sementara Sista kelihatan gugup dan tertunduk.

“Mau kuantar?” Dema menawarkan rayuannya.

Sista mengangkat wajahnya.

“Nggak usah.” dia menjawab ketus dan langsung berbalik badan, berjalan dengan langkah cepat meninggalkan Dema. Cowok keren yang super ganteng itu cuma melirik dan tersenyum sinis, dia tahu kalau dia nggak akan bisa berhenti mengejar wanita itu sebelum Sista akhirnya menyerah dan mencintainya.

Dema melihat Sista yang berjalan semakin jauh. Kemudian dari jarak yang cukup jauh dia melihat Sista akan menyeberang ke seberang jalan. Di saat itu juga dia melihat sebuah truk datang dengan sangat cepat dari sisi yang berlawanan.

Tanpa bicara, Dema berlari. Karena terlalu membebani, dia rela menjatuhkan kantung belanjaannya. Dia berlari dengan sangat cepat hingga rambutnya yang mulai gondrong serta jaketnya melambai ke belakang.

Sista mulai melangkahkan kakinya ke jalan raya. Truk besar itu semakin cepat melaju ke arahnya. Dema mempercepat langkahnya. Wajahnya sangat serius dan panik saat berlari. Urat lehernya tampak menonjol saat dia menabrakkan gigi-giginya.

“AWAAAASSS!” Dema berteriak.

Sista menoleh, dia terpaku sesaat ketika melihat truk itu.

Dema berlari seperti seorang atlit profesional.

Supir di dalam truk itu mengerem, kecepatan mobil itu berkurang, tapi belum berhenti melaju.

Dema melompat dan memeluk Sista. Mereka jatuh dan sedikit berguling ke tepi jalan, tepat di bawah sorot lampu jalan.

Sista tergeletak sambil merintih kesakitan. Matanya terpejam saat menahan rasa sakit di tulangnya. Perlahan dia membuka matanya, melihat cahaya lampu di atasnya yang sangat terang. Sedetik kemudian dia teringat Dema dan dia menoleh, melihat tubuh Dema yang tak bergerak di sampingnya.

“Dema…” bisik Sista parau.

Dia lalu bangun dan merangkak, mencoba menggoyang tubuh Dema.

“Dema…” dia memanggil dengan setengah menangis.

Dema masih terpejam, dia kelihatan nggak sadarkan diri.

Sista lalu memeluk Dema.

“Dema…” lirihnya lagi.

Cowok itu tersenyum dalam kepura-puraannya. Badannya bergetar saat menahan tawa. Menyadari keanehan itu, Sista melirik dan melihat wajah Dema yang memerah karena berusaha nggak tertawa.

“DEMA!” bentaknya bete.

Dema tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut. Cewek itu mukanya dipenuhi kerutan, tandanya dia udah bener-bener kenyang dikerjain. Sementara Dema masih tertawa sampai memegang perutnya yang serasa dikocok-kocok.

“Ngapain sih pura-pura mati kayak tadi? Hah!” Sista dongkol dan berdiri.

Dema ikut berdiri, masih tertawa.

Lalu Sista melirik, dia melihat kain jaket di siku Dema dipenuhi bercak darah.

“Ah!” Dia menjerit, “Kamu berdarah!” paniknya.

Dia lalu menarik tangan Dema, menggulung jaketnya dan menemukan kulit Dema yang terkelupas hingga mengeluarkan banyak darah. Sementara wanita itu mulai panik dan ketakutan, orang yang terluka itu justru tersenyum sambil memandangi wajah wanita yang berada di depannya.

Sista mengeluarkan sapu tangan, mencoba mengeringkan darah itu.

“Ayo kita kerumahku. Ini harus diobati.” Ucapnya.

 

♥♥♥

          Sepuluh menit kemudian mereka berdua tiba di rumah Sista. Di rumah minimalisnya yang dipenuhi perabotan kaca dan kayu, Dema duduk di sofa ruang tamu sambil mengusap kulitnya yang mulai terasa perih.

Sista datang membawa sebaskom air, kain dan kotak p3k. Dia langsung membersihkan luka Dema dengan air yang sebelumnya ditetesi cairan antiseptik. Dia terlihat sangat berhati-hati membersihkan luka itu.

Saat itu Dema diam saja, ikut memperhatikan lukanya.

“Dengan siapa kamu tinggal disini?” Dema bertanya.

“Sendirian. Rumah orang tuaku ada di dekat sini.” Jawabnya.

Luka itu telah bersih dan sedang ditutup perban. Mereka terdiam.

“Sudah selesai.” Ucap Sista, “aku minta maaf.”

Dema tersenyum, “nggak apa-apa.”

Saat itu, mereka berdua bertatapan dalam. Jarak wajah mereka berdua sangat dekat dan terasa ada aura berbeda dalam hati mereka saat itu. Sista berdebar dan tak bisa bergerak karena mata Dema begitu tajam menatapnya. Dia mengira Dema akan menciumnya. Tapi…

“Makasih atas perbannya. Aku pamit pulang. Permisi.” Bisiknya tajam.

Laki-laki tinggi itu berdiri dan berjalan keluar tanpa menoleh. Meninggalkan sejuta tanda tanya pada diri Sista…

 

♥♥♥

          “SELESAAII!!” Mia mengangkat dua tangannya dengan puas. Dia udah serasa jadi juara dunia saat berhasil mengerjakan soal itu.

“Lo menghabiskan waktu setengah jam dan 5 lembar kertas coret-coretan cuma untuk mengerjakan soal nomor 1.” Ketus Radit, membuat rasa gembira Mia jadi lenyap tak bersisa.

“Gue kan bego. Maaf…” Mia berujar sedih.

Radit memeriksa jawaban Mia. Cewek itu mendekat dengan wajah yang mengamati, dia penasaran dengan jawabannya.

“Betul nggak?” tanyanya.

“Nyaris. Tapi jawaban akhirnya salah sedikit.” Jawab Radit.

Tubuh Mia mundur, dia merasa dunia ini udah berakhir buat orang bego seperti dirinya.

“Jangan takut. Kita coba lagi ya?” tawar Radit.

Mia melirik, dengan sejuta tanda tanya.

“Tumben nih cowok baek.”  Pikirnya dalam hati.

Radit mulai memegang pensil, “Sekarang tolong perhatikan baik-baik.”

Maka Radit pun mulai bercuap-cuap, menjelaskan dengan sesabar mungkin pada cewek yang cuma punya kapasitas 36 kbps, alias lama banget loadingnya. Akhirnya Mia pun duduk mendekat hingga tubuh mereka berdua menempel. Dengan penuh semangat Mia memperhatikan sementara Radit menjelaskan. Mereka berdua cukup akrab malam itu sehingga keributan yang seringkali terjadi di antara mereka mereka seolah nggak pernah terjadi.

“Udah ngerti blom?” tanya Radit.

“Duuuh… yang ini susah banget, jelasin lagi!” rengek Mia.

“Bego lo!” bentak Radit kesal.

“Masih mending bego tapi baek daripada pinter tapi sombong!” balas Mia.

Hmm… kayaknya mereka berdua nggak akan pernah bisa seakrab yang kita semua bayangkan.

♥♥♥

          Mia sedang mengerjakan soal dari buku paketnya. Radit memperhatikan mata Mia yang merah dan sayu. Dia yakin kalau sebenarnya cewek itu udah setengah tidur sejak tadi. Tapi Mia terus memaksakan dirinya untuk belajar.

“Lo udah ngantuk?” tanya Radit.

“Belom.” Bisiknya layu.

“Sana tidur. Besok kita lanjutin lagi.” Suruh Radit.

“Nggak mau. Malem ini kita belajar sampe jam sepuluh ya?” Mia bertanya dengan matanya yang mulai sering berkedip. Sesuai kalimatnya, berarti Mia berfikir dia bisa bertahan setengah jam lagi melawan rasa kantuknya.

Meski sudah tahu kalau itu nggak mungkin, Radit menjawab, “Iya.”

 

♥♥♥

          Tepat jam sepuluh, Dema membuka pintu rumah.

Vian sudah berdiri di dekat sana, dengan tangan terlipat dan wajah dewasa.

Melihat wajah serius itu, Dema jadi agak kaku.

“Apa yang terjadi? Apa perlu tiga jam cuma buat beli itu semua?”

Dema menunduk, sepertinya dia enggan menceritakan kejadian itu.

“Ada masalah sedikit.” Jawabnya singkat.

Vian masih serius dan wajahnya begitu dewasa. Ekspresi Vian yang jarang muncul itu benar-benar menyudutkan Dema yang perasaannya sedang kacau. Dia tahu kalau sorot wajah Vian yang seperti itu akan menyusahkannya, anak manis itu akan berubah menjadi orang yang sangat berbahaya jika dia sudah mengeluarkan wajah dewasanya.

“Apa luka itu gara-gara cewek yang lo sukai itu?” tanya Vian.

Dema menatap Vian, matanya terlihat sendu.

“Apa lo masih kurang puas sama semua korban lo yang lain? Apa lo harus melihat dia terluka dulu sebelum lo bisa berhenti mempermainkan perasaannya, begitu kan?” sindir Vian.

Perasaan Dema hancur berkeping-keping. Semua yang difikirkannya tertebak oleh Vian. Dia memang merasa bersalah telah melakukan semua ini. Dia merasa kalau tak lama lagi dia akan menyakiti Sista, sama seperti yang dulu sering dia lakukan pada semua wanita dalam hidupnya. Tapi entah kenapa… dia jadi tidak ingin melukai wanita yang satu itu. Wanita itu berbeda dengan semua wanita lain yang pernah ada dalam hidupnya.

“Tinggalkan wanita itu dan antarkan aku beli chitatos.” Ketus Vian.

Dema tertunduk dan tersenyum pahit, “oke.”

 

♥♥♥

          Mia tertidur lelap di atas meja belajar. Ternyata dia sedang bermimpi malam itu. Dia bermimpi sedang berdansa berdua bersama Radit di tengah istana yang sering dilihatnya di film. Dia menari dengan gaun indah bersama Radit yang menjadi pangeran dan memakai mahkota. Mereka berdua kelihatan sangat serasi.

Mia tersenyum manis dan Radit juga melakukan hal yang sama. Mimpi itu benar-benar terasa nyata dan indah. Mia sendiri pasti nggak akan mau terbangun dari mimpi yang mustahil terjadi itu.

Dalam mimpi, Mia melihat dirinya dan Radit berdansa lalu berhenti sesuai dengan akhir musik. Saat itu terdengar suara tepuk tangan meski nggak terlalu jelas apakah ada orang lain dalam mimpi itu.

Kemudian Mia melihat Radit yang menatap wajahnya dengan penuh cinta. Saat itu dia merasa kalau si pangeran akan mencium bibirnya. Hal i tu membuat Mia cengengesan dan nggak sabar menunggu. Dengan terburu-buru dia menutup wajah dan memonyongkan bibirnya pada pangeran, minta dicium.

Radit melirik cewek itu dengan jijik saat bibirnya semonyong ikan mas koki.

“Ssst.” Bisik Radit, “Ssst!”

Meski begitu, mata Mia masih tertutup dan bibirnya masih kayak Omas.

Radit memajukan wajahnya mendekat ke wajah Mia. Dia memperhatikan raut wajah jelek cewek aneh itu. Alisnya mengerut saat menyadari betapa lenturnya bibir Mia hingga bisa berbentuk seperti itu.

“Mia.” Panggil Radit, “bangun.”

Mata Mia terbuka perlahan. Saat itu bayangan Radit masih terlihat samar-samar. Hingga akhirnya dia menyadari kalau dia sudah terbangun dari mimpi indahnya dan Radit benar-benar berada di depan wajahnya.

“Hwaaa!!!” dia berteriak dengan syok sambil menjauhkan tubuhnya.

Radit menyipitkan mata dan semakin yakin kalau cewek itu gila.

Mia terbelalak dengan mulut menganga dan napas naik turun. Dia nggak tahu apa Radit udah menciumnya atau belum. Refleks, dia langsung menutup bibir dengan telapak tangannya.

Radit cuma bisa terdiam melihat kelakuan cewek itu.

“Dasar aneh!” ketus Radit.

“Kenapa lo bangunin gue?!” teriak Mia.

“Gara-gara lo tidurnya ngigo!” Radit lebih berteriak.

“Aturan lo jangan bangunin gue!” teriak Mia marah.

“Emangnya kenapa?!” balas Radit melotot.

“Soalnya tadi gue hampir nyium…,” tiba-tiba Mia kehilangan teriakannya.

Dia jadi berfikir dua kali untuk menjawab pertanyaan Radit. Mana mungkin sih dia berteriak trus bilang ‘soalnya tadi gue hampir nyium elo!’. Bisa-bisa si Radit jadi hidrocephalus  alias jadi besar kepala.

“Soalnya apa?” tantang Radit sinis.

“Soalnya tadi gue hampir nyium Rafi dalem mimpi.” Jawabnya malu.

Radit geram. Tiba-tiba dia gerah nyampe ke ubun-ubun saat nama itu disebut. Dia segera berdiri, berbalik badan menuju pintu.

“Eh, Radit, tunggu!” cegah Mia.

Radit berhenti bergerak, menoleh sedikit dengan wajah seperti hantu.

“kenapa?” desahnya suram.

Mia yang nggak tahu kenapa Radit bisa jadi begitu langsung merinding.

“Makasih buat belajarnya.” Mia berbisik.

“Sama-sama.”

Cowok yang lagi dibakar api cemburu itu pun keluar dari kamar, berusaha memedam setan dalam hatinya yang benar-benar ingin melenyapkan orang bernama Rafi itu dari dunia ini.

 

 

9

Happy Birthday, Rafi!

          “Nanti malam kamu datang ke pesta ulang tahunnya Rafi?” tanya Nata pada Mia. Mereka berdua kini sedang berjalan di koridor sekolah sehabis jam istirahat sambil menenteng kotak bekal masing-masing.

“Iya. Kalo kamu?” Mia balik bertanya.

“Aku nggak bisa. Nanti malam aku harus menghadiri peresmian hotel baru yang dikelola Papa.” Jawab Nata.

“Oh iya ya. Kamu kan sibuk.” Mia menyahut.

“Lagipula… pasti akan datang Dona dan kawan-kawannya kan? Itu akan sangat menyebalkan. Aku nggak suka sama mereka.” Curhat Nata.

“Iya juga sih. Tapi kan nggak enak kalo nggak datang.” Bisik Mia.

Nata berdehem setuju.

“Makasih ya kamu mau tukeran bekal lagi hari ini.” Ujarnya ceria.

“Sama-sama.” Mia tersenyum.

“Besok kamu bisa bawa bekal yang ada bakwannya?” tanya Nata penuh harap.

Mia mengangguk, “Bisa kok.”

“Makasih. Tapi aku maunya bakwan yang dijual di warung ya?” pinta Nata.

Mia menganga dan bengong sebentar, memikirkan dalam hati betapa anehnya orang kaya yang berdiri di sisinya itu.

“I-iya.” Jawab Mia.

 

♥♥♥

          Sore hari, Mia keluar dari rumah dengan pakaian rapi.

Baru berjalan beberapa langkah, dia bertemu dengan Radit, persis di bawah sebuah pohon besar. Cowok itu datang dari arah berlawanan dengan gaya yang sangat keren. Wajahnya yang ganteng dan dingin itu beradu dengan Mia yang melongo karena kaget.

“Darimana lo?” tanya Mia.

Cowok super ganteng itu terdiam sebentar, “jalan-jalan.”

Mia ikut diam untuk berfikir sebentar.

“Temenin gue yuk?” ajaknya.

Radit mengeritingkan alisnya, “Kemana?”

“Ke toko hadiah.” Balas Mia tersenyum.

“Dimana?” Radit bertanya lagi.

Mia maju, memegang tangan Radit dan menariknya, “udah deh, ikut aja yuk? Nanti juga tahu.” Dia sangat cerah dan membuat Radit nggak bisa menolak.

Sesampainya mereka di toko itu…

“Mau beli kado?” tanya Radit.

Mia yang sedang melihat-lihat mengangguk.

Mereka berdua berada di dalam sebuah toko yang sangat bagus. Mungkin sama bagusnya seperti toko souvenir di luar negeri. Beragam pernak-pernik lucu di jual di dalam toko yang sangat besar dan terang itu.

“Gimana kalo yang ini?” Mia bertanya tentang benda yang dipegangnya dengan penuh harap.

Radit melihat sebuah ukiran bentuk rumah yang terbuat dari kaca itu, dia lalu melihat Mia yang sedang menunggu jawaban darinya. Sesuatu tergambar jelas dari wajah cewek yang satu itu, dia kelihatan tertekan, kebingungan dan cemas.

“Ini pertama kalinya lo ke pesta ulang tahun?” tanya Radit.

“Pertama kalinya setelah sepuluh tahun.” Jawabnya.

Radit sudah menduga hal itu. Cewek itu kayaknya kelihatan nggak tahu hadiah apa yang harus dia beli sebagai kado.

“Siapa yang ulang tahun?” Radit bertanya.

Dengan mata seperti anak kecil Mia mengangkat kepalanya, “Rafi.”

Radit nggak berubah emosi saat itu. Dia hanya menatap Mia dalam.

“Mungkin dia nggak akan suka sama itu,” komentar Radit, “apa lo nggak bisa ngebayangin benda apa yang cowok kayak dia suka?”

Mia terkejut, dia nggak menyangka Radit akan memberinya masukan.

“Trus gue mesti beli yang kayak gimana?” tanya Mia.

Sepuluh menit kemudian…

“Harga parfumnya mahal, Dit.” Keluh Mia, “lagian, darimana lo tau kalau dia suka pake parfum?” tanya Mia.

“Dia cowok metroseksual. Emangnya lo nggak bisa nyium bau dia dari jarak satu meter?” Cetusnya.

Mia terdiam. Ucapan Radit ada benernya juga. Pantesan aja dia bisa mengenali  bau Rafi dari jauh.

“Ayo kita bayar.” Radit berjalan memimpin menuju ke kasir.

Mia buru-buru mengejar untuk mengatakan sesuatu yang penting.

“Dit.” Panggilnya, “Radit.”

Radit melirik.

“Uang gue kurang.” Mia menelan ludahnya.

Cowok itu terdiam dengan mata datar, “Biar gue yang bayar.”

“Tolong dibungkus sekalian.” Suruh Radit pada wanita penjaga kasir.

“Tapi Dit, itu kan gaji lo!” Paniknya.

“Bisa tenang sedikit nggak sih?!” bentak Radit.

Mia kembali tenang dan diam. Dia berdiri di belakang Radit dengan kepala tertunduk dan hati dag dig dug nggak tentu. Cowok itu bener-bener nggak bisa ditebak dan sulit dimengerti. Dia kadang-kadang bisa jadi baik, tapi dia sih lebih sering galak. Tapi kok dia mau ngelakuin hal kayak gini… hmm, ada apa ya?

“Ayo pulang.” Ajak Radit.

Mia mengambil bungkusan hadiah dan berjalan cepat menjajari Radit. Cowok itu berjalan di depan dengan sangat lurus dan terlihat berwibawa. Mia berjalan di belakang dengan tak mengerti.

Sedangkan Radit? Nggak tahu kenapa dia jadi ingin membuat senang cewek itu. Meski sebenarnya dia juga nggak bisa memungkiri kalau hal yang dia lakukan tadi sama saja dengan berada di pihak Rafi, orang yang nggak disukainya.

Kayaknya Radit mulai jatuh cinta pada Mia. Tapi cewek itu nggak menyadarinya.

“gue nggak bisa ngerti sikap dia!” keluhnya dalam hati.

Terkadang cinta itu harus berkorban, melakukan sesuatu yang paling kita benci demi seseorang yang paling kita sayangi. Tanpa berharap seseorang yang paling kita sayangi itu akan menyadari dan membalas semua hal yang telah kita lakukan. Memang terasa menyakitkan, tapi mungkin itu yang terbaik.

 

♥♥♥

          Malam harinya, Mia sudah bersiap pergi ke rumah Rafi.

“Baju lo norak. Apa lo nggak punya baju yang lebih mendingan?” komentar Vian. Mia tetap cuek.

“Jangan komentar. Ini emang pertama kalinya gue dateng ke acara ulang tahun kelas atas. Lagian, ini baju bekas lebaran tahun lalu, baru dipake dua jam.” Jawabnya mengenai baju terusan selutut warna hitam yang dipakainya.

Sejujurnya warna baju itu dan modelnya cukup bagus dibadan Mia. Cuma, kalau dibayangin sama semua tamu Rafi yang lain, Mia akan benar-benar jadi pusat perhatian dan pusat penghinaan.

“Lo bakal kebanting sama tamu-tamunya Rafi yang laen.” Imbuh Vian lagi.

“Biarin aja. Emangnya kenapa?” Mia masih nggak ambil pusing.

“Apa lo nggak dandan? Muka lo tuh dikasih make up dikit kek.” Vian masih terus saja cerewet, membeberkan beragam kekurangan cewek itu.

“Jangan. Begitu juga udah cantik. Biarin aja dia terlihat alami.” Dema menyambar sambil membuka kulkas, “Dia udah keliatan cantik.” Tambahnya.

Mia termangu tak bergerak. Dia merasa melayang dengan pujian itu.

“Apa iya?” tanyanya dengan wajah memerah.

Dema mendengar langkah kaki. Radit turun dan berdiri di bawah tangga.

“Iya kan, Dit?” Dema menoleh pada Radit.

Radit menatap Mia. Cewek itu udah ke-geer-an sebelum Radit menjawab.

“Biasa aja. Tapi bajunya agak norak.” Cetusnya.

Mia membatu dan pecah berkeping-keping.

“Gue benar-benar harus pergi sebelum berniat bunuh diri!” Mia yang kesal karena semua celaan itu buru-buru memakai sepatunya. Tubuhnya mengeluarkan api dan halilintar karena marah.

“Pake jaket ini, diluar dingin.” Tiba-tiba Dema berlari menghampiri Mia dan menawarkan jaket hitam yang sering dipakainya.

Mia mengambil jaket itu dengan senang hati, “Makasih.”

Tapi senyuman itu hanya untuk Dema. Begitu melihat Vian dan Radit, api berkobar di balik punggungnya, tandanya dia masih bete sama hal tadi.

Tok tok tok

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Mia yang kebetulan ada di dekat sana langsung membuka pintu.

Semua orang yang berada di dalam rumah itu melihat ke seseorang yang berdiri dengan manis di depan pintu. Gadis bermuka jutek itu sebenarnya berpenampilan sangat cantik.

“Nata?” tanya Mia.

Nata melirik ke arah dalam rumah, melihat ke arah tiga cowok itu. Mia yang menyadari itu langsung panik. Dia nggak mau kalau Nata berfikiran yang bukan-bukan tentang Dema, Vian dan Radit. Dia takut kalau Nata berfikir dia adalah wanita psikopat yang suka menyimpan cowok-cowok ganteng di dalam rumahnya.

“Na-Nata, dengerin gue dulu.” Pinta Mia.

Nata hanya menatap Mia datar, “genteng lo bocor lagi?” tanyanya.

Mia ternganga dengan polos. Apa ini kebegoannya atau sebaliknya?

“I-iya. Mereka itu tukang betulin genteng langganan.” Jawab Mia.

Nata melirik ke dalam, wajahnya jadi semerah tomat saat melihat Vian yang melambai manis ke arahnya.

“Ayo kita segera pergi.” Nata tertunduk dan menarik tangan Mia.

Akhirnya Mia pun masuk ke dalam mobil Nata.

Tiga cowok itu berdiri menatap kepergian Mia dari dalam rumah.

Mereka bertiga kayaknya sedang merasakan hal yang sama.

“Entah kenapa gue khawatir sama dia.” Gumam Dema.

“Gue juga.” Sambar Vian.

Radit masih diam. Meski begitu dia sangat setuju dengan apa yang dikatakan dua orang sepupunya. Cewek itu emang nggak akan pernah bisa jauh dari masalah.

♥♥♥

          Dona melihat Rafi dari jauh, di tangannya terdapat gelas berisi koktail. Rafi yang berulang tahun hari itu kelihatan gelisah. Dari tadi cowok itu tak henti-hentinya melihat ke pintu masuk, seolah sedang menanti-nanti kedatangan seseorang yang sangat penting.

Kemudian Dona mendekati Rafi. Cowok itu nampak tak acuh saat wanita cantik itu mendekatinya.

“Siapa yang kamu tunggu?” selidik Dona.

Mata Rafi begitu dingin dan kasar. Dia nggak menjawabnya.

“Mia? Apa dia orangnya?” tebak Dona.

Rafi bereaksi. Dia cukup terkejut saat mendengar nama itu.

“Dia nggak akan datang. Dia nggak akan berani datang ke pesta ini.” Dona berucap angkuh sambil menyeruput sedikit minumannya.

Rafi mendingin, “dia pasti datang.” Ucapnya.

Dona tersenyum sinis, “lo masih mikirin taruhan itu ya?”

Kelopak mata Rafi tersingkap melebar, dia terkejut mendengarnya.

“Gue udah tahu semuanya dari Edward. Dia bilang lo taruhan sama dia kalo lo bisa macarin Mia. Iya kan?” tanyanya.

Rafi terdiam, mulutnya terasa kaku.

Kemudian dengan sorot mata yang melembut Rafi berbalik badan dan meninggalkan Dona. Wanita itu terhenyak dan tak bisa percaya dengan apa yang baru saja dia lihat hingga tubuhnya mematung.

Ada sesuatu di mata Rafi. Sesuatu yang bukan biasanya.

Jangan-jangan… dia benar-benar telah jatuh cinta pada cewek itu?

 

♥♥♥

          “Kok lo nggak jadi pergi ke acara hotel?” Mia bertanya.

Nata cuek, “gue datang atau enggak akan sama aja. Disitu hanya akan berkumpul orang-orang dewasa yang membosankan. Papa akan sangat sibuk dengan semua tamunya, dia mungkin nggak akan sadar kalau gue pulang lebih dulu.” Meski dia berbicara dengan datar, Mia tahu kalau sebenarnya dia sangat sedih.

“Jangan bicara begitu, biar gimanapun itu Ayah kamu kan?” balas Mia.

Nata tak mengubah kekesalan yang terlihat dari wajahnya. Nata terdiam sementara Mia memikirkan cara untuk menghibur temannya itu.

“Lo ngasih kado apa?” tanya Mia manis.

Nata menoleh, “dasi.”

“Dasi?!” Mia kaget.

“Itu dasi dari Amerika. Harganya sama kayak harga motor baru.” Sambungnya.

Mia menganga dengan wajah gembel. Dia membayangkan betapa nggak adilnya dunia ini.  Dasi = Motor???

“Kalo lo ngasih hadiah apa?” Nata bertanya.

Mia bergumam, “hmmm… anu…” Dia berfikir untuk mencari-cari kata yang tepat untuk mengutarakan perasaannya.

“Gue ngasih parfum.” Lemahnya.

“Oh ya? Parfum merek apa? Mahal nggak?” tanya Nata penasaran.

Mia tertunduk. Dia bingung, “mm… apa ya? Nggak tahu deh, mereknya nggak terkenal. Tapi harganya mahal juga.” Jawab Mia. Tiba-tiba dia jadi ingat sama Radit, cowok yang membelikan benda itu dengan uang gajinya setelah bekerja dua minggu. Dia merasa nggak enak hati. Dia merasa kalau dia jahat sama cowok itu.

“Mia,” panggil Nata.

Lamunan Mia buyar, dia menoleh ke arah Nata.

“Apa?” tanyanya dengan wajah polos.

Tiba-tiba Nata memajukan wajahnya dengan mata mengamati. Mia yang salting langsung memundurkan wajahnya dengan alis berkerut.

“Lo nggak mandi ya?” tanya Nata lugu.

“AAKKH!!!” Tubuh Mia terhempas ke belakang dan nyaris jatuh. Baru kali ini dia melihat ada orang bertanya sejahat itu dengan wajah tak berdosa. Mia juga nggak nyangka kalau dia terlihat kayak orang tolol yang nggak mandi sebelum pergi ke acara ulang tahun.

Nata menunduk, membuka-buka kotak di dekat kakinya. Lalu dia mengeluarkan sebuah lipstik dan sebuah bedak. Ditatapnya Mia dengan wajah penuh rencana yang tidak dijamin keberhasilannya.

“Ayo gue dandanin.” Nata tersenyum.

Mia masih menganga karena kekurangan oksigen. Ya ampuun… dia benar-benar tertusuk oleh kalimat Nata barusan.

♥♥♥

          “Kita udah sampe.” Ucap Nata.

Mia kaget, dia langsung mengangkat wajahnya dan menuntaskan khayalannya yang masih diselimuti tentang Radit. Dia melihat ke luar jendela, ke sebuah istana terang benderang yang berada di sisi kirinya.

“Ini rumah Rafi?” tanya Mia lemas.

“Iya.” Nata menjawab sambil mengambil kadonya.

Mia melihat Nata yang turun. Dengan perasaan yang entah kenapa jadi nggak bersemangat, akhirnya Mia ikut turun dari mobil.

Begitu turun, semua tamu yang berjalan di sekitar sana melihat ke arahnya. Mia yang nggak menduga apapun bersikap biasa saja. Dia sama sekali nggak memperhitungkan penampilannya.

Sejujurnya, Mia terlihat sangat cantik malam itu. Meski gaun itu nggak mahal, modelnya lumayan juga. Di mobil tadi dia sempat didandani secara sederhana oleh Nata. Rambutnya disisir rapi dan diurai. Wajahnya diberi lipstik dan diberi bedak. Meski dia nggak banyak bergaya, ada aura lain terlihat dari wajahnya. Maklum, dari dulu kecantikannya emang selalu tertutup oleh kebegoan yang terpancar lebih kuat dari wajahnya.

 

♥♥♥

 

Nata dan Mia berjalan menuju ke pintu masuk, kado yang mereka bawa sudah ditaruh di meja penerima kado di bagian depan. Nata berhenti berjalan dan menoleh ke belakang saat menyadari kalau Mia tertinggal di belakangnya. Cewek itu kelihatan nggak bergairah, doi menapaki tangga dengan sangat lamban.

“Ayo Mia.” Ajak Nata.

Mia mengangkat wajahnya, menunjukkan wajah suntuk dan lesunya. Nata menggeleng pelan dan turun, dia lalu menarik tangan Mia untuk memaksanya berjalan dengan cepat.

“Jadi cuma kayak gini pestanya?” tanya Nata saat melihat isi pesta itu.

Mia terdiam. Untuk orang selevel Nata, acara ulang tahun seperti ini mungkin terlihat biasa dan umum. Tapi bagi Mia, dia merasa sangat kaku dan salah tingkah. Dia selalu berfikiran negatif tiap kali ada orang yang menatap ke arahnya, meski sebenarnya nggak begitu.

“Mana Rafi?” tanya Mia.

Nata mengangkat bahunya, “nggak tau. Mungkin lebih ke dalam. Coba kita liat kesana.” Ucapnya.

Kemudian Nata berjalan ke depan meninggalkan Mia. Sebelum tertinggal akhirnya Mia mengikuti Nata dari belakang. Selama itu pun, dia terus saja menunduk karena merasa merasa tak percaya diri. Dia merasa hanya dia yang nggak pantas ada di tempat itu. Hanya dia.

 

♥♥♥

          “Mia, itu Rafi.” Nata menyenggol siku Mia.

Mia melihat ke depan, etelah mencari-cari akhirnya dia melihat Rafi yang sedang berbicara dengan seseorang. Rafi kelihatan sangat ganteng malam itu. Rafi yang memakai jas hitam rapi nampak sangat berkharisma dan dewasa, membuat jantung Mia jadi dag dig dug nggak karuan.

“Ayo.” Nata menarik tangan Mia.

Mereka berjalan menuju Rafi. Cowok itu sudah sendirian sekarang. Dia mengangkat gelas dan ingin meminumnya.

“Rafi.” Panggil Nata.

Rafi berhenti bergerak, gelas itu nggak jadi menyentuh bibirnya. Dia menoleh dengan mata terbuka lebar, ketika melihat Mia datang. Dia pun berbalik badan, menghadap ke arah dua wanita itu, dengan senyum yang mengembang sangat manis dan mata tertuju pada Mia yang berdiri di balik punggung Nata.

“Happy Birthday.” Nata menyalami Rafi.

“Makasih.” Rafi tersenyum kecil.

Mia masih tertunduk di balik punggung Nata, sepertinya dia malu dan canggung. Rafi melirik dan menunggu wanita itu berbicara, senyum manis nan tulus di bibirnya tak juga hilang.

Akhirnya Mia mendongak, berjalan pelan ke depan Rafi.

“Selamat ulang tahun.” Mia mengangkat tangannya.

Rafi melihat ke tangan Mia sebelum menjabatnya lembut.

“Makasih.” Balas Rafi.

Mereka berdua tiba-tiba terdiam. Mia nggak tahu mau bicara apa, dia merasa bingung sedangkan Rafi juga ikut terdiam.

“Tadinya gue pikir lo nggak akan dateng.” Ucap Rafi.

Mia melihat Rafi, “maaf ya, tadi cuma ada sedikit masalah.” Lemahnya.

Rafi tersenyum, stay dengan gayanya yang keren abis. Mia lalu menoleh, mengamati sekitarnya. Tiba-tiba dia menyadari sesuatu yang sangat gawat.

“Nata kemana?” tanyanya panik saat nggak melihat Nata di dekatnya.

Rafi melihat ke belakang, ikut membantu mencari Nata.

Tiba-tiba…

“Hai, Raf.” Sapa seseorang.

Rafi menoleh, teman lamanya berdiri di belakangnya dan tersenyum akrab.

“Hey, man!” Rafi tersenyum dan memeluk cowok yang nggak kalah ganteng itu. Mereka berdua kelihatan sangat akur, pasti dulu mereka sahabat dekat.

“Kapan dateng?” tanya Rafi.

Cowok itu bergumam, “mmm… baru tiga jam yang lalu. Pesawatnya penuh belakangan ini. Tadinya gue mau dateng lebih cepet buat bikin surprise party, tapi nggak kebagian tiket.” Ceritanya.

Rafi tertawa. Mia masih berdiri di belakang Rafi. Saat teman lama Rafi itu menatapnya, Mia jadi kaget dan salah tingkah. Tanpa sadar dia berdiri disitu dan ikut mendengarkan pembicaraan dua cowok bertampang high class itu. Saat menyadari keadaan itu, Rafi mengenalkan teman itu pada Mia.

“Mia, kenalin, dia Alfred.”

Alfred yang ganteng itu tersenyum pada Mia hingga cewek itu menegak. Alfred menawarkan tangan kemudian Mia menjabatnya dengan canggung.

“Hai, Mia.” Alfred menyapa.

Mia tersenyum kaku, “Hai. Salam kenal.” Ucapnya.

Lalu pembicaraan kembali mengalir diantara dua orang itu. Mia jadi terabaikan dan merasa bingung kemana dia harus pergi. Nata sama sekali nggak terlihat dan semua orang di dalam sana sama sekali nggak dikenalinya.

Hingga saat dia ingin beranjak dan pergi…

“Tunggu sebentar ya?” pinta Rafi.

Mia terdiam. Tangannya dipegang oleh Rafi.

Cowok itu kembali berbalik badan, meneruskan pembicaraan serunya bersama Alfred yang ramah. Tangan kiri Rafi masuk ke dalam saku celana sedangkan yang kanan memegang erat tangan Mia yang berdiri di belakangnya, seolah nggak akan membiarkan Mia merasa seorang diri di tempat itu.

Mia tertunduk, melihat ke tangannya yang dipegang Rafi dengan mata kosong.

Ya Tuhaaann… apa yang sedang ia rasakan saat ini…???

♥♥♥

          Mia terus dibawa Rafi kemanapun dia pergi. Dia mengenalkan Mia pada semua sahabat dan saudara jauhnya. Dia berhasil membangun hubungan yang baik antara Mia dan sepupu wanitanya sehingga Mia punya teman bicara dan nggak kesepian lagi.

Tiba-tiba, saat sedang berdiri di dekat jendela dan melihat ke luar, Mia melihat seseorang. Dia melihat seseorang diseberang istana itu, meski gelap, dia tahu siapa orang itu. Dia tahu siapa orang yang memakai payung dan menunggunya di bawah gerimis hujan.

“Mia.” Panggil seseorang.

Mia berbalik badan dan melihat Rafi berdiri di depannya.

“Mau diantar pulang?” tawarnya.

Tiab-tiba wajah Mia langsung berubah ceria. Rafi sendiri kaget melihat perubahan emosi itu, “nggak, Raf. Nggak usah. Gue bisa pulang sendiri.” Dia berkata dengan sangat bersemangat hingga membuat Rafi bingung.

“Oke.” Jawabnya.

“Hmm… makasih atas semuanya. Ini malam yang nggak terlupakan.” Bisiknya.

Rafi tersenyum, “makasih udah mau datang.” Ucapnya.

“Aku pulang dulu. Permisi.”

Mia berjalan melintasi Rafi. Cowok itu berdiri tegak dan tersenyum, menikmati perasaan dalam hatinya yang terasa sangat manis. Mia keluar dari rumah dengan langkah cepat, seolah udah nggak sabar menemui seseorang yang telah menunggunya di seberang jalan.

“Udah selesai pestanya?” tanya Radit.

Mia tersenyum lebar, “udah nunggu lama ya?” tanyanya.

“Lumayan.” Jawabnya.

Mia tersenyum, dia berdiri di bawah gerimis hujan.

“Ayo pakai payung. Kita harus pulang.” Suruh Radit.

Mia berjalan dan berdiri di bawah payung yang dipegang Radit. Akhirnya mereka berdua berjalan bersama-sama menuju ke rumah, tanpa menyadari bahwa Rafi melihat kebersamaan mereka berdua dari jendela rumahnya dengan hati yang teriris-iris.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

10

Time Goes On…

          “Vian.” Dema memanggil dari lantai atas.

“Apaan?” ketus Vian yang menjawab dari lantai bawah.

Dema berlari turun tangga dan menemui Vian.

“Apa lo nggak punya baju bersih?” tanya Dema yang bertelanjang dada.

Vian menoleh dengan pisang goreng di mulutnya, “Nggak punya.”

Dema lalu membuka keranjang pakaian kotor dan melihat banyak sekali pakaian menumpuk di dalamnya.

“Ya ampuuunn… apa-apaan sih ini?!” bentaknya jengkel.

“Gara-gara Mia kerja, dia jadi sering capek dan nggak inget nyuci baju lagi. Jadinya pakaian kotor numpuk begitu.” Sambar Vian.

“Trus kenapa lo diem aja?” Dema marah.

Vian ikut naik darah, “Emangnya gue harus gimana?” dia melotot.

Kemudian Radit masuk ke dalam rumah membawa belanjaan.

“Kita harus bantuin Mia beresin rumah ini.” Ucapnya.

Dema dan Vian menganga tak percaya.

 

♥♥♥

          Terdengar suara seseorang yang datang. Itu pasti Mia, cewek itu seharusnya emang pulang jam segini. Saat itu, ketiga cowok yang kelelahan itu lagi duduk dan makan mie seduh di tengah rumah.

Pintu dibuka, Mia terpaku saat melihat isi rumahnya. Ketiga cowok kekurangan tenaga itu hanya duduk di tengah rumah dengan wajah pucat.

“Waah…” dia terkesima, “Siapa yang ngeberesin ini semua?” tanyanya dengan wajah berseri-seri.

“Kita bertiga.” Sahut Vian lemas.

Mia duduk di dekat mereka dan mengamati wajah ketiga cowok itu satu persatu dengan penuh tanda tanya.

“Yang bener?” desaknya tak yakin.

Vian yang paling gemas akhirnya menoleh, menatap Mia dengan wajah kecapekan, “Iya. Ini kita bertiga yang beresin. Terserah mau percaya apa enggak.” Ujarnya pasrah.

Senyum Mia terkembang lebar, “Kalo gitu makasih ya.” Katanya.

Tok tok tok

Tiba-tiba ada suara pintu diketuk. Mia segera berdiri dan berlari menuju pintu. Dia membuka pintu itu dan tiba-tiba napasnya serasa berhenti saat melihat siapa orang yang berdiri di hadapannya.

“Apa kabar, Mia? Lama tidak bertemu.” Ucap Pak Idrus, orang yang tak disnagka-sangka akan datang hari itu.

Mia masih trauma, kesadarannya belum kembali sepenuhnya.

“Ba-baik.” Jawabnya gagap.

“Boleh saya masuk?” liriknya tajam.

Mia tersentak kaget, matanya terbelalak tiba-tiba.

“Bo-boleh. Tapi… tolong tunggu sebentar.” Mia menoleh ke belakang dan mendorong pintu agar tak terbuka terlalu lebar. Dia lalu melihat ke arah tiga cowok yang sedang menyeruput mie.

“Kalian masuk ke kamar. Cepet…” Mia berbisik dengan panik.

“Siapa yang dateng?” Vian bertanya tanpa suara.

“Jangan banyak tanya. Cepet…” Mia menghentakkan kakinya, dia kelihatan kebakaran jenggot hingga membuat ketiga cowok itu berdiri dan masuk ke dalam kamar Mia.

Begitu ketiga cowok itu menghilang, Mia kembali membuka pintu dan tersenyum pada pak Idrus, laki-laki setengah tua yang berpakaian safari mahal yang sedang berkunjung ke rumahnya.

“Silahkan masuk.” Mia membukakan pintu dengan sopan.

Laki-laki itu membuka sepatunya dan masuk perlahan-lahan ke dalam rumah. Mia berlari dan mengelap lantai tempat Pak Idrus akan duduk. Dia sibuk menyiapkan tempat untuk tamu penting itu.

“Duduk disini, Pak. Biar saya buatin teh dulu.” Ucap Mia.

“Tidak, tidak usah.” Cegah pak Idrus.

Mia nggak jadi berdiri, dia duduk di seberang pak Idrus dengan cemas. Dia tahu kalau pembicaraan ini akan sangat tidak menyenangkan. Satu-satunya hal yang berkaitan dengan pak Idrus adalah hal yang buruk.

Sementara, ketiga cowok itu menguping bersama dari balik pintu kamar Mia. Mereka ikut penasaran dengan apa yang akan dibicarakan dua orang itu.

“Mia, kamu sebenarnya tau kan maksud kedatangan saya kesini?” tanyanya dengan suara yang bersahaja.

Mia tertunduk, “Iya, Pak.” Bisiknya.

“Sebenarnya saya tidak ingin membicarakan tentang hal ini padamu. Saya tau keluargamu sedang kena masalah. Saya juga menganggap kalian sebagai saudara dekat saya. Tapi saya mohon usahakanlah jumlah itu. Setengah atau seperempatnya juga tidak apa-apa, yang penting saya punya uang untuk mempertahankan bisnis saya yang hampir bangkrut.” Pak Idrus menjelaskan dengan sangat berwibawa.

Mia sendiri masih tertunduk, dia tahu seberapa besarnya peran pak Idrus dalam membantu ekonomi keluarganya selama ini. Dia juga tahu kalau pak Idrus adalah orang baik dan dia juga tahu kalau belakangan ini usaha bengkel pak Idrus yang biasanya ramai mulai ditinggalkan pelanggan.

Tapi… benar-benar tidak ada jalan lain, kecuali…

“Iya. Saya janji akan melunaskan secepatnya.” Tegas Mia mengangguk yakin.

 

♥♥♥

 

“Emangnya berapa sih hutangnya?” tanya Vian.

Mia meminum tehnya, “33 juta.” Jawabnya tenang.

“33 juta?!” Vian terbelalak.

Baginya uang segitu emang bukan jumlah yang besar, tetapi membayangkan uang segitu banyaknya ditambah keadaan Mia yang kekurangan kayak gini, dia cuma berfikir kemana semua uang itu pergi.

“Banyak banget. Emangnya uang sebanyak itu buat apaan aja?” sambar Dema yang sedang menggoreng nasi.

“Banyak.” Mia menjawab malas.

“Trus kalo nggak dibayar gimana?” Vian melirik dengan penasaran.

Phiuuuh… Mia menghembuskan napas letih. Dia kemudian bertopang dagu di atas meja dengan tatapan menyerah.

“Gue harus pergi dari sini. Pulang ke kampung trus sekolah disana.” Gumamnya lesu.

Vian menoleh dan memandang wajah cewek itu dari samping seserius mungkin. Mia sedang melamunkan banyak hal dalam pikirannya. Meskipun dia  tahu kalau pasti akan sulit, tapi dia udah pernah janji sama kak Ryan kalo dia nggak akan jadi orang yang mudah menyerah.

“Kalo dipikir-pikir mungkin enak tinggal di sana. Tapi aku nggak boleh nyerah. Aku udah janji sama kakak akan jadi orang yang sukses.” Mia mengepalkan tangan dan menatap ke atas. Dia yakin kalo dia pasti bisa melakukannya. Semangat Mia itu pun akhirnya menular ke Vian.

Vian ikut mengangkat kepalan tangannya ke atas, “Chayo, Mia!”

 

♥♥♥

          Malam harinya, Vian sama Radit lagi duduk di meja tengah sambil bermain kartu remi. Dema turun dari tangga dan langsung mengetuk pintu kamar Mia. Dia mengetuk beberapa kali, tetapi cewek itu nggak juga menyahut.

“Dia lagi keluar. Katanya dia mau beli ikan yang lagi didiskon deket toko Starlet.” Sambar Radit cuek tanpa mengalihkan mata dari kartu-kartu yang dipegangnya.

Kemudian Dema berdiri di samping Radit yang sedang duduk.

“Ini.” Ucap Dema.

Radit melirik dan melihat Dema menyodorkan handphone ke arahnya.

“Apa?” mata Radit menajam kepada Dema.

“Paman nggak mungkin percaya kalo gue yang ngomong. Vian juga nggak mungkin dipercaya begitu aja. Satu-satunya yang bisa diandalkan cuma elo biar bisa nolongin Mia.” Jelasnya dengan bersahaja.

Radit mengambil handphone itu. Dia tahu kalau ini memang cara yang tepat untuk bisa menyelamatkan cewek itu dari utang yang melilitnya. Radit terdiam sesaat untuk menyusun kalimat di kepalanya. Lalu dia menghubungi Paman Beno.

“Halo, Paman?” ucap Radit.

“Radit? Syukur kamu menelpon. Kakek ingin bicara.” Paman berkata dengan sangat bersemangat. Dia langsung menuju ke kursi besar yang diduduki kakek. Kakek sedang duduk menatap ke luar jendela setinggi 3 meter di dalam kamarnya.

“Halo?” sapa kakek, dengan suara serak.

“Apa kabar, kek?” Radit bertanya.

“Sangat tidak baik. Kalian bertiga membuat keadaan kakek semakin buruk. Sebenarnya kalian bertiga benar-benar membingungkan kakek. Kakek berikan yang terbaik demi kalian semua tetapi kalian selalu menolak.” Kakek meledak.

“Maaf kek, mungkin semua itu cuma masalah waktu.” Balas Radit datar.

Kakek menghela napas sabar.

“Kalian bertiga dimana sekarang?” tanyanya lembut.

“Di suatu tempat kek. Sebenernya Radit juga nggak tau ada dimana.”

“Apa kalian baik-baik saja?” Kakek bertanya dengan cemas.

“Ya kek, kami baik-baik aja.” Jawab Radit.

“Bagus. Jadi ada maksud apa nelpon kesini?” tanya kakek yang kini berkuasa sendirian di tengah istananya.

Radit yang mendengar pertanyaan itu langsung melirik penuh arti kepada dua kakak sepupunya yang duduk di dekatnya. Mereka berdua kelihatan menyimak dengan baik percakapan itu. Mendengar pertanyaan kakek, Radit tersenyum.

“Kita… dapat masalah, kek.” Ucap Radit.

Vian dan Dema ikut tersenyum dan memuji jawaban Radit.

“Masalah? Masalah apa?” kakek terdengar sangat khawatir.

“Vian kena penyakit, kek.” Radit tersenyum.

Vian menganga dan nggak menyangka kalau dirinya jadi alasan. Dema yang duduk di dekat Vian cuma ikut tersenyum dan merangkul bahu cowok itu.

“APA?” kakek berdiri dari kursinya dan kelihatan ketakutan, “Penyakit? Penyakit apa?”

“Dia sering bertingkah aneh belakangan ini.” Ucap Radit.

Kakek mengerutkan jidatnya yang penuh kerutan, “Aneh?” tanyanya.

“Dia sering memandangi wajahnya di cermin dengan tatapan kosong. Dia suka tiba-tiba menangis kalau menonton tv dan yang lebih aneh, dia sering mengunci dirinya di kamar mandi tanpa sebab.” Cerita Radit.

Vian mengamuk dan ingin merampas handphone itu, dia nggak terima dirinya dideskripsikan secara gila-gilaan oleh Radit. Tapi hal itu segera dicegah oleh Dema, dia langsung menutup mulut Vian dengan tangan kanannya dan menahan tubuh Vian agar dia nggak bisa meraih handphone itu.

“I-itu penyakit apa?”       tanya Kakek.

“Aku kurang tau, kek. Tapi sepertinya parah. Mungkin hanya terjadi seratus tahun sekali dan menyerang satu diantara tiga ratus juta orang. Aku takut penyakit ini tidak ada penangkalnya dan akan membuatnya bunuh diri.” Karang Radit.

Vian benar-benar mengamuk. Dema meniban tubuh Vian yang meronta di atas lantai. Tangan Vian menggapai-gapai ke atas dan ingin mencakari wajah Dema. Dema masih duduk di atas perut Vian dan menutup mulut cowok itu.

“Apa? Apa yang harus kakek lakukan?” tanya Kakek lemas.

“Tinggalkan uang tunai 50 juta di tong sampah di depan supermarket Yami-Yami jam satu siang ini.” Suruh Radit.

“Apa uang itu cukup untuk mengobatinya? Apa tidak kurang?” kakek bertanya dengan super duper panik.

“Aku tidak tau, kek. Tapi tidak ada salahnya kalau kita mencoba.” Radit menjawab dengan nada yang sangat sempurna, seolah-olah si Vian emang lagi sakit parah dan bakalan mati.

“Baik, kakek berikan uangnya sesuai permintaan. Jaga Vian baik-baik. Bilang sama dia kalau kakek menyayanginya.” Bisik kakek dalam. Dia lalu memandang sangat dalam keluar jendela kamarnya.

“Terima kasih, kek.” Radit mematikan sambungan.

Dia lalu meletakkan handphone Dema tersebut di atas meja dan berjalan tanpa beban apapun menuju ke lantai atas. Dema terdiam dan mengurangi tenaganya saat melihat kepergian Radit. Vian akhirnya dapat menikmati udara bebas kembali.

“Gue nggak tau dia ternyata sehebat itu.” Gumam Dema.

“Iya, ternyata dia emang gila!” Vian berteriak kesal.

Dema terdiam dan mengangguk. Vian semakin marah melihat Dema yang masih menduduki perutnya.

“Dema, cepet berdiri! Sakit nih!” keluhnya.

Dema lalu berdiri pelan dan mengambil secangkir kopi lalu berjalan menuju pintu dan keluar rumah. Kini tinggal Vian sendirian yang masih terbaring di tengah ruangan sambil terus mengaduh dan merenungi dirinya yang sedang sial.

 

♥♥♥

          “Darimana uang sebanyak ini?” Mia tercengang saat melihat begitu banyak uang yang tersimpan di dalam koper hitam kecil itu.

“Ini uang hasil kerja keras kami.” Kata Vian.

Mata curiga Mia melirik ketiga cowok itu bergantian, “Emangnya kalian kerja apa bisa dapat uang sebanyak ini? Jangan-jangan kalian mencuri ya?” dia lalu tersenyum sinis.

“Ampun deh, Mia! Emangnya tampang kita sebejat itu?” balas Vian.

“Itu nggak penting. Sekarang bayar semua hutang-hutangmu. Beli sepeda yang baru, bayar listrik dan beli baju baru.” Dema yang sedang serius mengukir kayu itu akhirnya bersuara juga. Dema akhir-akhir ini emang sering iseng dan membuat beragam benda dari kayu yang dia ukir sendiri.

“Jangan. Lebih baik sisanya ditabung.” Mia tersenyum. Kayaknya dia udah lupa sama masalah ‘darimana datangnya’ uang sebanyak itu.

“Buat apa ditabung?” keluh Vian capek.

“Buat kita.” Mia tersenyum semakin lebar, matanya berbinar cerah. Ketiga cowok itu langsung menatap Mia dengan seribu tanda tanya.

“Kalian nggak akan pergi dalam waktu dekat ini kan? Jadi uangnya buat jaga-jaga aja.” Mia tersenyum semakin lebar. Dia berfikir kalau dia masih bisa tinggal bersama ketiga cowok itu lebih lama dan uang itu bisa disimpannya untuk kebutuhan mendatang. Tapi entah mengapa… kayaknya ketiga cowok itu meragukan hal tersebut. Apa yang sebenarnya terjadi ya?

♥♥♥

          Radit menatap tanggal-tanggal pada kalender yang terpasang di dinding kamar. Nggak terasa kalau waktu dua bulan yang diliburkan itu akan segera berakhir. Tinggal menunggu hitungan hari sampai tiba saatnya harus pergi dari rumah itu.

BRAK

Pintu terbuka. Dema dan Vian masuk.

Begitu melihat dua orang itu, Radit segera mengalihkan perhatiannya dari kalender. Dia cukup kaget dengan kedatangan dua orang itu. Dia nggak mau menunjukkan apa yang sedang ia pikirkan saat ini.

“Tinggal beberapa hari lagi ya?” tanya Dema sambil membuka lemari pakaian dan berganti kaus. Vian duduk di tepi jendela sambil memakan apel.

Radit terdiam.

“Ternyata… meninggalkan tempat ini lebih sulit dari yang dibayangkan. Benar kan?” Dema melirik pada Radit. Cowok itu masih berpura-pura tak peduli.

“Banyak yang udah terjadi disini sampai ngebuat gue nggak pengen pergi.” Vian menyambung dengan lirih, pandangannya jatuh ke halaman di luar sana.

Radit tertunduk dan berbisik, “Ya, gue juga.”

 

11

KUNJUNGAN BU GURU

          Siang ini di koridor sekolah, Mia sedang berjalan berdua bersama Nata setelah balik dari kantin.

“Kemarin gue nggak nyangka Bu Sista datang.” Nata mengeluh.

Mia menoleh tak mengerti, “Datang? Ngapain?”

“Lo inget agenda pertemuan wali kelas dengan wali murid kan?” tanya Nata. Meskipun nggak ngerti apa yang dimaksud Nata, Mia tetap penasaran.

“Trus?” tanyanya.

“Bu Sista pasti akan datang ke rumah lo dan bertemu dengan kedua orang tua elo untuk membicarakan prestasi lo di sekolah.” Jelasnya pelan.

“Trus?” Mia masih belum nyambung.

“Sayang dia nggak ketemu Papa soalnya Papa lagi di Jerman. Akhirnya mereka bicara lewat webcam. Dia bilang gue murid rajin di sekolah. Cuma… kadang gue nyepelein tugas praktik dan lemah di bidang olahraga.” Ceritanya tanpa menoleh.

“A-apa dia juga ngomongin yang buruk tentang kita?” Mia melotot panik.

“Ya iyalah. Masa dia cuma ngomongin yang baik-baiknya doang.” Ketus Nata.

Mia mangap dengan histeris. Gawaattt…

“Mia, emangnya giliran kamu kapan?” Nata menoleh ingin tahu.

Muka Mia memucat. Nata udah tahu jawabannya.

♥♥♥

          Mia langsung masuk ke dalam rumahnya begitu tahu apa yang akan terjadi. Dia langsung berdiri dan melihat ke kalender. Vian yang kebetulan tengkurep di tengah rumah sambil baca komik itu cuma bengong melihat kelakukan cewek itu.

“Gawat. Sekarang tanggal 22 ya? Ya ampuun…” Mia menarik rambutnya.

“Gawat kenapa?” tanya Vian loyo, dia nggak tertarik.

Mia berlutut di dekat Vian. Cewek itu melihat Vian dengan mata penuh harap. Feeling Vian tiba-tiba jadi buruk.

“Aku boleh minta tolong?” tanya Mia, dengan wajah sok imut.

Vian malah jadi mual ngeliatnya, “A-apa?” tanyanya.

 

♥♥♥

          “Aku dapat wig-nya!” Vian masuk ke dalam rumah sambil menunjukkan wig yang dipinjamnya dari salon tetangga.

“Apa guru lo nggak bakalan curiga?” tanya Radit.

“Aduuh… nggak ada waktu buat itu.” Mia sibuk mengancingkan baju batik yang dipakai Radit dengan tergesa-gesa.

Radit kini sudah memakai peci, celana panjang dan baju batik yang sudah pudar warnanya bekas orang tua Mia. Dia nggak bisa menolak saat cewek itu berlutut-lutut dan nggak mau melepaskan kakinya kalau dia nggak mau berpura-pura jadi bapaknya selama beberapa menit.

Sementara Radit sudah selesai menyamar, Vian sibuk berdandan sendiri. Dia memakai baju daster milik Ibu Mia dan memakai wig. Wajahnya yang mulus dan emang mirip cewek itu dengan mudah bisa disamarkan.

“Apa gue nggak terlalu muda buat jadi bapak-bapak?” tanya Radit saat melihat dirinya di cermin yang terlihat kayak pak Lurah, meskipun mukanya yang super ganteng itu terlalu cakep untuk menjadi bapak-bapak.

“Nggak.” Jawab Mia, berusaha supaya Radit mau membantunya.

“Apa gue nggak terlalu cantik untuk jadi ibunya Mia?” tanya Vian genit.

“Sejujurnya sih iya.” Jawab Mia lagi.

“Bagaimana? Aku cantik kan?” Vian menoleh dan mengedipkan mata. Daster oranye dan wig itu benar-benar cocok di badannya.

“Bagus, Vian!” Mia bertepuk tangan dan tersenyum.

Mia melihat lagi ke sekeliling, kayaknya semua udah siap. Tapi… masih ada sesuatu yang kurang.

“Kemana Kak Dema?” tanya Mia.

Vian menaikkan bahu, “Nggak tau tuh. Sejak tadi pagi nggak balik-balik.”

Mia terdiam bingung. Tumben banget Kak Dema pergi lama tanpa bicara sebelumnya. Kemana dia ya?

♥♥♥

          “Selamat siang.” Bu Sista memberi salam.

“Selamat siang, Bu.” Mia membuka pintu rumahnya, “Si-silahkan masuk.”

Mia mempersilahkan bu Sista masuk ke dalam rumahnya. Bu Sista masuk dengan sopan, melangkahkan kakinya pelan dan berdiri di dekat meja yang memang terletak langsung di tengah rumah yang kecil itu.

“Duduk, Bu. Saya buatkan teh dulu.” Ucap Mia.

Setelah dipersilahkan, Bu Sista segera duduk di atas lantai, menaruh tas jinjingnya di atas meja dan mengamati rumah mungil itu sementara Mia sedang membuat teh di dapur.

Nggak lama kemudian, Mia datang dengan cangkir putih berisi teh panas. Dia nampak gemetaran dan sangat canggung saat harus duduk berhadapan seperti itu dengan Bu Sista.

“Mana orang tuamu? Kamu nggak lupa agenda kunjungan ini kan?” tanyanya dengan penuh senyum.

Mia mengangguk gemetar, “I-iya.” Ucapnya.

“Tolong panggil mereka kesini. Ibu harus bicara.” Katanya.

Mia menelan ludahnya, “Ba-baik.”

Lalu Mia pun berlari naik ke atas tangga. Bu Sista menyeruput sedikit teh di dalam cangkir dan menunggu dengan tenang. Beberapa detik setelah itu, terdengar suara langkah kaki. Vian sama Radit yang lagi menyamar jadi ibu-bapak Mia turun dari atas sementara Mia membuntuti di belakang mereka.

“Selamat siang.” Vian memberi salam dengan manisnya.

Sista terdiam sesaat. Dia mengamati dengan aneh dua orang di depannya. Radit yang lagi menyamar jadi bapak-bapak mukanya kelihatan ganas dan jutek banget. Sementara Vian yang kelihatan banget terlalu ‘muda’ cuma senyam-senyum dengan sangat nggak rasional.

“Se-selamat siang.” Akhirnya Sista menjawab.

“Kami berdua orang tuanya Mia. Ada apa Ibu guru datang kesini?” tanya Vian.

Bu guru kelihatan curiga dengan dua makhluk itu. Mia yang melihat raut bingung dan curiga bu guru cuma bisa menggigit bibirnya dan tertunduk sambil terus komat-kamit dan berdoa dalam hati. Dia ikut duduk di belakang Vian dengan harap-harap cemas.

“Ini adalah agenda kunjungan saya selaku wali kelasnya Mia. Banyak laporan yang mesti saya sampaikan pada anda berdua tentang prestasi belajar Mia di sekolah.” Akhirnya Bu Sista mengeluarkan map laporan Mia ke atas meja. Meski terlihat masih ragu, dia berusaha untuk percaya.

“Ooh… jadi bagaimana prestasi Mia di sekolah?” tanya Vian.

Bu Sista membuka map itu, menunjukkan selembar daftar nilai Mia yang didapatnya selama 3 bulan pertama. Map itu lalu diberikan kepada Vian. Vian membacanya dengan seksama.

“Sebenarnya harus saya akui nilai Mia di sekolah menurun belakangan ini. Meskipun nilai mata pelajaran eksaknya mengalami kenaikan, tapi dilihat dari sisi pelajaran lain, nilai Mia menurun. Apa ini karena Mia bekerja sehingga dia tidak punya waktu belajar?” Bu Sista bertanya peduli, dia ingin Mia bisa dimengerti. Sejujurnya dia tahu kalau Mia punya potensi yang cukup bagus, tapi entah kenapa nilainya nggak pernah stabil. Kadang menaik dan kadang menurun.

“Sebenarnya bukan begitu Ibu guru. Mia cuma suka malas kalau mengerjakan peer. Jadi sebenarnya ini kesalahan kami berdua yang kurang mempedulikannya. Iya kan, Pa?” Vian merangkul Radit dan sok romantis.

Wajah Radit memucat karena jijik dengan adegan itu.

“Iya.” Ketusnya nggak peduli.

“Itu kertas laporan nilai Mia dalam tengah semester ini. Yang tintanya merah itu artinya dia tidak lulus nilai standar dan harus mengikuti remedial. Laporan ini sebagai acuan agar bapak dan ibu bisa memantau perkembangan  Mia di Sekolah.” Bu Sista berkata dengan sangat lembut dan perhatian.

Radit membaca laporan nilai itu dengan serius. Dari belakang, Mia ikut menengok dan melihat nilainya. Dari jauh, dia tahu kalau dia mendapat banyak remedial. Makanya dia langsung manyun.

“Bodoh sekali dia. Masa nilai merahnya banyak banget.” Ketus Radit, dengan pengucapan sadis yang biasa diucapkannya. Mendengar itu, Bu Sista jadi ternganga tak mengerti.

“Iih… Papa ngomong apaan sih? Papa ngegemesin deh.” Vian mencubit pipi Radit dengan genit dan gemas. Radit masih saja datar dan merasa jijik.

“Hentikan…” bisik Radit. Vian menurunkan tangannya.

Sementara itu, Mia yang duduk di belakang mulai meminyingkan bibirnya melihat saat dua cowok itu saling berpegangan.

“Menjijikan. Kalau dilihat dari sini mereka keliatan seperti pasangan homo.” Pikirnya dalam hati.

SRRAAKK

Pintu terbuka. Semua kegiatan terhenti karena kaget.

Semua mata tertuju pada Dema. Dema yang tinggi itu berdiri dengan senyum indah tanpa menyadari apa yang sedang terjadi.

“Hai, semuanya. Ada apa ini?” tanyanya.

Dema akhirnya melihat ke arah Sista. Matanya terbuka melebar melihat cewek itu ada di rumah. Sista menunjukkan ekspresi yang lebih syok lagi.

“Ka-kamu?” Sista terbata-bata.

“Hai.” Dema tersenyum lebar.

Bu Sista menatap Mia.

“Mia? Dia…??” Alis Bu Sista mengeriting.

“Dia…” Mia nggak bisa meneruskan kalimatnya. Dia nggak tahu harus menjelaskan Dema sebagai apa dalam skenario ini.

“Saya kakaknya Mia.” Sahut Dema.

Bu Sista kembali menoleh dan kini Dema sudah duduk bersila di dekatnya. Mata Bu Sista menatap Dema dengan tak mengerti. Lagi-lagi dia bertemu dengan cowok itu. Kali ini di tempat yang benar-benar tak terduga.

Dema hanya tersenyum. Dia benar-benar tak bisa menyadari apa yang sedang dirasakan bu guru itu. Mata bulat Sista masih menatap mata Dema. Tapi cowok itu masih saja tersenyum nakal.

“Aduuh Papa. Mama kalo liat bu guru sama Dema jadi inget masa lalu kita ya, Pa?” Vian kembali memeluk lengan Radit. Radit benar-benar cuma diam dan melirik Vian dengan wajah datar yang nggak mau ambil pusing soal adegan nyeleneh itu. Karena Raditnya diam aja, Vian jadi semakin menjadi-jadi.

Dema membuka bungkusan ciki yang dibelinya.

“Mau?” dia menawarkan ciki itu pada Sista.

Guru itu terpaku tak menjawab.

“Mau dong, Dema.” Vian memajukan tubuhnya dan meraup isi ciki itu.

Dema kembali melihat Sista.

“Ibu guru suka makan ciki?” tanya Dema.

“Mm… lumayan.” Sista akhirnya menjawab ragu.

Dema memajukan ciki itu. Meski nggak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah yang ajaib itu, Bu guru Sista akhirnya ikut makan ciki bersama-sama dengan mereka semua.

Sedangkan Mia terdiam di belakang saat melihat Bu Sista melongo. Dia merasa sedih dan kecewa karena setelah hal ini, Bu Sista pasti akan berfikir kalau dia tinggal bersama dengan orang-orang gila yang tak punya otak.

 

♥♥♥

          Kini Dema sedang mengantarkan Sista pulang. Guru itu masih memutar otaknya tentang keluarga Mia yang aneh bukan main. Dema kelihatan tenang dan nggak banyak bicara saat itu.

Sista menoleh dan menatap Dema. Karena merasa diliatin, Dema pun ikut menoleh. Dia tahu kalau Sista ingin mengatakan sesuatu.

“Kamu… kamu bukan kakaknya Mia kan?” Sista menduga.

“Aku kakaknya.” Kata Dema.

Sista semakin bingung, “Kakak kandung?”

Dema menggeleng.

“Bukan. Tapi apa pengaruhnya? Kakaknya atau bukan, itu nggak masalah kan? Aku udah menganggapnya seperti adik sendiri.” Jelasnya.

“Tapi yang tadi itu bukan orang tuanya Mia kan?” Sista masih penasaran.

Dema menoleh.

“Mereka nggak mirip sama Mia. Kayaknya mereka menyamar. Betul kan?” terka Sista yakin.

“Mereka berdua Radit sama Vian. Kebetulan kedua orang tua Mia tinggal di kampung. Mereka jarang kesini. Jadi mereka berdua hanya berniat membantu Mia. Mereka berdua sepupuku.” Ujar Dema.

“Oo… begitu. Kalo begitu Mia beruntung punya kalian bertiga.” Sista tersenyum dan bernapas lega, “Meskipun aneh dan mencurigakan, aku tau kalian semua orang baik. Makanya aku diam aja meskipun aku tau kalau kalian berusaha menipu. Dan tiba-tiba aku jadi lega karena tau Mia tinggal dengan kalian bertiga meskipun kalian bertiga itu laki-laki dan Mia seorang perempuan. Itu artinya kalian harus menjaganya baik-baik.” Pesan Sista.

Dema tersenyum.

“Itu udah pasti. Trus, gimana soal sekolah Mia?” tanyanya perhatian.

“Aku cuma berharap kalian bisa memahami kalau dia masih sekolah. Mungkin kalian harus mengajarinya lebih baik tentang membagi waktu. Dia memang bekerja tapi nggak boleh melalaikan tanggung jawabnya.” Tegasnya.

“Hm.” Cowok itu mengangguk ngerti.

Akhirnya mereka berdua sampai di depan rumah Sista.

“Makasih udah dianterin.” Ucapnya ramah.

“Sama-sama.” Balas Dema.

Guru muda itu lalu berbalik badan. Baru berjalan beberapa langkah, Dema kembali memanggil.

“Sista.” Panggilnya. Guru itu menoleh.

“Lain kali boleh aku ngajak kamu keluar?” tanya Dema.

Sista tersipu malu, “Iya.”

Kemudian Dema berbalik badan, berjalan untuk pulang. Sista masih melihat ke belakang, melihat ke laki-laki itu.

“Dema.” Panggilnya. Dema berhenti berjalan dan menoleh. Dia melihat Sista yang tersenyum penuh makna.

“Gimana kalau aku yang ngajak kamu keluar duluan?” tanyanya.

Dema mengangguk, “Boleh.”

Lalu Sista pun berbalik badan, membuka pintu rumahnya dan menutupnya kembali.

♥♥♥

          “Dasar Dema! Dia beli banyak benda tapi lupa beli pesenan wajan. Udah tau wajan di rumah bolong. Apa-apaan dia?! Emangnya mau masak pake apa?” Mia mengomel sendirian di dalam dapur. Dia baru aja mau masak, eh… ternyata wajan satu-satunya di rumah itu bolong dan Dema lupa beli yang baru.

Saat itu Radit berjalan masuk ke dalam dapur dan mengambil sebotol minuman dingin. Mia memegangi wajan itu dan melihat Radit. Tiba-tiba dia punya ide untuk mencari jalan keluar.

“Dit.” Panggil Mia.

Radit sedang minum, “Mm?” gumamnya.

“Anterin gue ke toko di sono yuk?” ajaknya.

Radit melepas botol itu dari mulutnya, “Mau beli wajan?” tanyanya.

“He-eh.” Mia mengangguk dengan sok imut.

Radit terdiam, dia terlihat berfikir.

“Naik sepeda?” tanyanya lagi.

“Iya.” Jawab Mia.

Radit berdiri dan menatap Mia, “Ayo.”

Radit pun berjalan menuju ke luar. Mia senyam-senyum sendiri. Dia nggak nyangka kalau Radit mau mengantarkannya semudah itu. Tumben banget tuh cowok baek, biasanya harus pake perang dunia ketiga dulu.

 

♥♥♥

          Vian baru keluar dari kamar mandi. Dengan kaus barunya, dia sekarang sedang menyisir rambut di depan cermin sambil nyanyi-nyanyi nggak jelas.

Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu rumah. Vian yang kebetulan sendirian di rumah langsung menuju ke pintu dan membukanya.

Deg!

Tamu yang datang itu langsung membatu saat muka cute  Vian nongol di depan wajahnya secara mengejutkan.

“Elo kan…? cewek yang waktu itu kan?” tanya Vian.

Nata mencoba rileks.

“Mia mana?” tanyanya.

“Dia lagi pergi beli penggorengan. Ada apa emangnya?”  Vian bertanya polos.

“Gue butuh catetan Kimia yang dipinjem dia.” Jawab Nata.

“Sekarang?” Vian bertanya.

“Iya. Ulangannya kan besok.” Balas Nata.

Vian membukakan pintu lebih lebar lagi.

“Ayo masuk.” Dia memberi izin.

Nata melangkah pelan-pelan ke dalam rumah Mia. Dia cukup merasa aneh melihat keheningan dan kesunyian yang jarang terjadi di rumah itu.

“Pada kemana yang lain?” tanya Nata.

“Mereka semua lagi pergi.” Vian menjawab.

Vian membuka kamar Mia dan masuk ke dalamnya. Dia menyalakan lampu sementara Nata mengekor di belakangnya.

“Ini kamarnya Mia?” tanya Nata.

“Iya. Sini masuk, cari aja bukunya disitu.” Vian menunjuk meja belajar Mia.

Nata masuk ke dalam kamar yang lucu itu. Belakangan ini, karena lagi punya uang, Mia jadi suka beli benda-benda lucu yang ditaruh di dalam kamarnya sehingga membuat keadaan kamar itu jadi lebih baik.

“Kamarnya rapi. Aneh ya?”  Nata berkomentar.

“Kamarnya emang selalu rapi tiap hari rabu.” Sambung Vian cuek.

Nata mulai mencari-cari bukunya diantara buku yang berbaris rapi di atas meja belajar itu.

“Bukunya disini semua?” tanya Nata.

“Iya. Kemarin dia udah beresin dan semua buku ditaruh disitu.”

“Ini dia.” Nata memegang buku bersampul biru yang berlabelkan namanya.

“Udah ketemu?” Vian yang lagi berdiri di dekat pintu bertanya.

Nata tersenyum dan mengangguk.

“Lo laper nggak?” tanya Vian, “Kita makan diluar yuk?”

Nata terdiam. Dia mau banget makan diluar bareng cowok yang suka dateng ke mimpinya tiap malam itu. Tapi gimana caranya? Di luar sana pasti ada pengawal-pengawalnya yang sedang menunggu.

“Tapi…” Nata berbisik, “Lewat jendela aja.”

 

♥♥♥

          “Capek ya? Jalannya tanjakan nih, apa gue turun aja?”

“Nggak usah. Diem aja disitu.”

“Pegangan yang kuat, nanti kalo jatoh gimana?”

“Stop stop!”

“Itu tokonya. Tunggu disini dulu ya?”

“Ya.”

“Hai.”

“Sedang apa disini? Tumben naek sepeda.”

“Gue nggak niat berantem sekarang.”

“Kenapa? Sekarang lo tau kan kalo lo pecundang?”

“Mana cewek sialan itu?”

“Lo pikir gue bener-bener suka sama dia?”

BUGH!

“Radiit!!”

“Rafi?”

“Radit! Udah!”

“Rafi?”

“Pulang kamu! Bawa ini! Masak sendiri sana!”

♥♥♥

          “Aku minta maaf soal Radit.”

“Nggak apa-apa.”

“Sebenernya… Radit itu siapa?”

“Ya udah kalo nggak mau cerita. Nggak apa-apa.”

“Aku kompres muka kamu ya?”

“Iya.”

 

♥♥♥

          “Mau makan apa?”

“Bakso.”

“Bagus, gue juga mau makan itu.”

“Apa elo nggak takut ntar dicariin?”

“Nggak.”

“Apa lo nggak takut bawa gue kabur kayak gini?”

“Sama sekali nggak. Emangnya mereka pikir lo itu binatang yang mesti dikurung terus menerus?”

“Bukan begitu, mereka cuma berpikir aku ini perhiasan yang nggak boleh rusak.”

“Oooh, begitu ya?”

“Kalau begitu… abis ini kita pergi ya?”

“Kemana?”

“Itu rahasia.”

“Mau nggak?”

“Oke.”

 

♥♥♥

          “Sebenernya ini taman apa sih?”

“Ini taman bekas. Nggak ada yang kesini lagi karena nggak pernah dirawat.”

“Darimana lo tau ada taman ini?”

“Pas lagi jalan-jalan. Gue juga nggak sengaja menemukannya.”

“Gimana rasanya jadi perhiasan yang nggak pernah rusak.”

“Menyebalkan. Seperti perhiasan yang keliatan sempurna diluar tapi rusak dari dalam.”

“Ya. Aku mengerti.”

“Makasih udah bawa aku kesini. Kayaknya aku orang yang kamu pertama kali kamu bawa kesini. Iya kan?”

“Iya.”

 

♥♥♥

          “Sekali lagi aku minta maaf soal Radit. Mungkin dia lagi kesel. Tapi sebenernya dia orangnya nggak mudah marah dan nggak suka kekerasan.”

“Aku tau. Lukanya juga udah lebih baik berkat kamu.”

“Kamu mau diantar pulang sama supir?”

“Ah nggak usah repot-repot. Aku jalan kaki aja.”

“Radit?”

“Sejak kapan lo disini?”

“Kenapa susah banget untuk minta maaf? Emangnya kenapa sampai kalian berdua itu berantem?”

“Jangan dekati dia lagi. Dia cuma mau memanfaatkan elo.”

“Jangan suka berburuk sangka sama orang lain. Gue tau lo berdua emang nggak pernah akur. Tapi elo jangan seenaknya ngelukain orang.”

“Apa pernah gue ngelukain orang lain tanpa alasan?”

“Apa untungnya gue nyakitin dia? Apa seseorang bisa marah kalau nggak ada yang membuatnya marah? Apa yang lo lakuin kalau ada orang… yang menghina seseorang yang sangat penting buat lo?”

“Ayo pulang.”

“Aku minta maaf ya.”

“Nggak masalah.”

“Tapi kita beli makanan dulu ya buat di rumah? Trus nanti luka di wajah kamu biar aku yang ngobatin.”

“Oke.”

♥♥♥

          “Makasih udah ngajak jalan-jalan.”

“Sama-sama.”

“Lain kali kita bisa pergi lagi kan?”

“Kenapa enggak?”

“Dadah…”

“Dah.”

Cup

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

12

BAB

          “Mia.”

“Hai.”

“Apa ini?”

“Pesta dansa sekolah. Lo ikut kan?”

“Aah… kayaknya gue ngggak ikut deh.”

“Kenapa?”

“Kayaknya gue emang nggak bisa kesana.”

“Masalah gaun? Itu sih bisa diatur, gue bisa kasih pinjem.”

“Tanggal 24 ya? Malam minggu itu kebetulan gue udah ada jam lembur buat kerja. Jadi pastinya gue nggak bisa pergi.”

“Seandainya lo pergi… Apa lo bakal ngajak 3 kucing kampung itu?”

♥♥♥

          “Batalin aja niat lembur lo, Mia. Gue bisa ngasih dua kali lipat dari uang lembur lo itu. Gaunnya juga bisa gue kasih pinjem.”

“Sebenernya apa sih yang elo mau?”

“Ah?”

“Waah… mukanya Nata merah.”

“Apa lo suka salah satu dari 3 kucing kampung itu?”

“Tiba-tiba badanku lemas.”

“Nata? Nata?”

“Pak supir tolong jalankan mobilnya.”

“Jangan-jangan dia suka sama Kak Dema. Apa tipe cowoknya Nata itu om-om genit?”

“Siapa yang om-om genit?”

“WAAA!!”

“Diam-diam kamu tega mengatakan hal sekejam itu.”

“Ma-maaf.”

♥♥♥

          “Mia.”

“Hm?”

“Apa sih yang dimaksud pesta dansa sekolah itu? Sekolah lo mau ngadain pesta dansa?”

“Iya.”

“Kita dateng dong?”

“Enggak.”

“Lho kok?”

“Acaranya tanggal 24. Hari itu kita kan kebagian jam lembur sampai jam sepuluh malem. Itu artinya kita nggak mungkin bisa ikutan pesta itu.”

“Waah… sayang banget kalo gitu.”

“Sayang kenapa?”

“Gue selalu jadi pusat perhatian kalo ada pesta sekolah.”

“Oh ya?”

“Suer deh.”

“Darimana lo tau tentang pesta dansa itu?”

“Nih.”

“AH!”

“Temen-temen lo ngasih ini ke gue. Katanya mereka nyuruh gue ikut.”

“Ternyata lo laku juga.”

“Punya Radit jauh lebih banyak daripada punya gue.”

“Kak Dema juga dapet ya?”

“Cuma sedikit. Yang suka sama dia paling tante-tante.”

“Emangnya nggak ada cowok yang ngajak lo dateng juga? Seorang pangeran misalnya?”

“Nggak ada.”

“Hai.”

“Rafi?”

“Mau apa lagi lo kesini?”

“Radit, jangan begitu. Nanti dimarahin Ibu Yuri.”

“Ada apa?”

“Gue mau minta maaf. Soal yang kemarin itu.”

“Nggak perlu.”

“Apa ini?”

“Mia tuh nggak bisa disuap. Jangan rayu dia pake uang!”

“Sekali lagi gue minta maaf.”

“Dia ngasih lo gaun.”

“Trus? Emangnya kenapa?”

“Dasar bodoh. Itu tandanya dia ngajak lo datang ke pesta itu.”

 

♥♥♥

          “Lagi mikirin apa?”

“Ah?”

“Masalah pesta dansa ya?”

“Mm.”

“Ikut aja. Emangnya kenapa?”

“Aku takut aku nggak pantes ikut acara kayak gitu.”

“Hmm… kalo gitu kamu bener-bener harus ikut.”

“Oh ya?”

“Iya.”

“Trus kalian bertiga ikut?”

“Tepat sekali.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

13

BAB

          “Apa aku harus pakai gaun ini?”

“Ini. Pakai ini aja.”

“Itu Dema yang milihin.”

“Kalian emang banci pesta. Kayak udah punya pasangan aja.”

“Emang udah punya.”

“Ih, bohong.”

“Radit, lo belom siap-siap.”

“Nanti aja. Pestanya kan masih dua jam lagi.”

♥♥♥

          “Apa aku cocok begini?”

“Tuh kan, pantes.”

“Ini nggak terlalu seksi kan?”

“Ya enggaklah. Seksi apanya sih?”

“Bajunya pas ya?”

“I-iya.”

“Padahal tadinya gue pikir baju itu bakalan kekecilan.”

“Jadi lo pikir gue gendut?!”

“Ayo berangkat sekarang.”

“Tapi… emangnya kita semua bakalan jalan kaki? Kan sepedanya nggak muat.”

“Dia benar-benar bodoh.”

“Itu namanya polos.”

“Itu sama aja.”

 

♥♥♥

          “Jadi kalian bertiga ini sebenarnya siapa? Punya mobil sebagus ini. Tiba-tiba datang dengan uang banyak trus ngebayarin semua utang. Sebenarnya kalian ini siapa sih?”

“Kita bertiga ini orang asing yang…”

“Vian.”

“Hm?”

“Ceritakan yang sebenarnya.”

“Oke. Jadi gini ceritanya, pada suatu hari…”

 

♥♥♥

          “Kenapa?”

“Kalian sangat mencurigakan. Kemarin ngaku orang miskin sekarang kalian malah ngaku kalian model yang mau jadi artis. Gue jadi bingung mau percaya sama yang mana.”

“Kamu boleh percaya sama yang mana aja.”

“Karena pada dasarnya, kedua hal itu nggak jadi masalah diantara kita berempat. Betul kan?”

“Iya. Aku nggak peduli kalian bertiga itu orang miskin atau artis. Bagiku itu sama aja.”

♥♥♥

          “Pestanya nggak menarik. Nggak semeriah waktu di sekolah gue.”

“Gue ke dalem dulu ya? Mau liat acaranya.”

“Mia.”

“Ya?”

“Kakak pergi dulu ya? Mau cari seseorang.”

“Iya.”

“Radit, jaga Mia.”

“Kenapa nggak masuk ke dalem?”

“Aku takut. Mendingan disini aja.”

“Takut apa?”

“Aku merasa aneh disini. Kayaknya mendingan kerja lembur deh.”

 

♥♥♥

 

“Mia.”

“Rafi?”

“Kenapa nggak pake gaun yang waktu itu gue kasih?”

“Oh, yang itu. Kayaknya… yang itu terlalu bagus.”

“Jadi kamu udah punya pasangan?”

“Ya. Gue pasangannya.”

“Bagus.”

 

 

14

BAB

          “Halo?”

“Halo, Dema?”

“Kenapa, Paman?”

“Bilang kamu ada dimana sekarang!”

“Tunggu dulu, Paman. Ada apa?”

“Tiga hari dari sekarang kalian harus datang ke lokasi syuting! Produser dan sutradaranya memutuskan syuting dimulai 2 hari lagi, jadi pada hari Kamis kalian harus sudah ada di lokasi syuting!”

“APA?! Apa keputusannya udah final?”

“Iya! Kalian harus tanggung jawab! Kalian kan sudah tanda tangan kontrak! Kalian bertiga harus pulang! Kalian cuma punya waktu 2 hari untuk bersenang-senang!”

“Tapi, paman.”

“Kakek juga telah melaporkan kalian ke polisi.  Sekarang kalian masuk ke daftar pencarian orang hilang. Katanya kakek sangat mengkhawatirkan kalian dan akan memenjarakan siapa aja yang telah melibatkan kalian sampai kalian nggak mau pulang ke rumah!”

Tut tut tut…

♥♥♥

          “Sebenernya apa sih yang terjadi sama kita bertiga?”

“Tiba-tiba kita datang kesini dan sekarang kita jadi sangat sulit untuk meninggalkan tempat ini. Kenapa bisa begitu ya?”

“Harus gue akui… gue senang ada disini. Kejadian gempa itu dan pertemuan kita sama Mia adalah satu hal yang mengejutkan. Tapi anak itu telah menarik kita jauh lebih dalam. Apa… selama ini merasa sangat bahagia sampai kita nggak sadar kalau kita udah terlibat terlalu jauh?”

“Sebenernya apa yang Mia kasih ke kita sampai kita merasa kalau kita nggak bisa meninggalkannya?”

“Dia membutuhkan kita. Kita harus tetap disini.”

“Kakek membawa polisi dalam hal ini. Kalau kita ditemukan, Mia pasti akan mendapat masalah. Paman udah bicara tegas di telepon. Ini artinya… semua udah serius dan nggak bisa diremehkan.”

“Lo yang tertua disini. Jadi… gimana?”

“Tolong jangan bilang tentang ini sama Mia.”

“Hari kamis kita pulang.”

♥♥♥

          “Semuanyaa!! Aku datang!”

“Aku mau masak nih. Kalian tunggu sebentar ya?”

“Radit!”

“Nanti malem ajarin aku Fisika ya? Besok aku ada ulangan.”

“Iya.”

“Kalian kenapa sih? Kok lemes banget? Apa gara-gara belom makan?”

“Ah? I-iya.”

“Tuh kan, kalian laper ya?”

“Mia.”

“Mm?”

“Besok kita jalan-jalan yuk?”

“Jalan-jalan kemana? Jangan yang terlalu jauh dan terlalu mahal. Kita harus berhemat. Uang yang ditabung kemarin kan buat jatah kita berempat hidup setahun.”

“Gimana kalo kita jalan-jalan ke Ancol?”

“Aku nggak mau. Aku nggak suka tempat yang terlalu ramai.”

“Trus, maunya kemana?”

“Aku nggak mau kemana-mana. Lebih enak di rumah.”

“Kalian mau pake cabe berapa? Dipedesin nggak?”

“Terserah.”

“Ooh. Kalo gitu yang sedang aja ya?”

 

♥♥♥

          “Kenapa sih kalian semua diem? Kalian nggak sakit kan? Atau jangan-jangan makanannya nggak enak ya?”

“Mia.”

“Apa lo punya keinginan?”

“Keinginan?”

“Iya. Misalnya… mau beli sesuatu?”

“Enggak. Kayaknya belakangan ini aku lagi nggak pengen apa-apa.”

“AH! Aku tau!”

“Aku mau ngerayain ulang tahun aku. Ulang tahun aku kan dua bulan lagi lho. Tanggal 7, kalian nggak lupa kan?”

“Oh ya?”

“Iya. Aku mau ngerayainnya di rumah. Dengan kue coklat kecil sama kalian bertiga. Nanti kuenya aku yang bikin juga. Pokoknya kalian harus ngikutin apa permintaan aku. Waah… senangnya…”

“Gimana? Bagus kan?”

“Ya.”

 

♥♥♥

          “Gua jadi semakin nggak bisa ninggalin rumah ini!”

“Ayo kita telpon Paman lagi.”

“Mau berapa kali kita telpon?! Kita udah nelpon Paman 8 kali dalam tiga jam dan jawabannya sama aja!”

“Trus kita mesti gimana?”

“Kita nggak mungkin tinggal disini terus. Suatu saat kita pasti akan meninggalkan dia sendirian. Tadi Kiki telepon gue dan ngabarin tentang pencarian kita oleh polisi. Kakek benar-benar akan menyusahkan Mia kalau kita sampai ditemukan disini. Sebelum semakin sulit lagi… kita harus meninggalkan tempat ini secepatnya.”

 

♥♥♥

          “Kakak…”

“Tolong Mia, Kak…”

♥♥♥

          “Dema.”

“Ya?”

“Lo liat Mia?”

“Enggak. Dari tadi gue nggak liat dia.”

“Jam berapa sekarang?”

“Tujuh.”

“Kita tunggu sebentar lagi. Mungkin dia pergi ke sekitar sini.”

“Nggak, kak.”

“Apa mungkin dia ninggalin masakannya seperti itu?”

15

BAB

          “Gimana panasnya?”

“Masih. Panasnya masih belum turun.”

“Jaga dia disini sebentar, gue mau beli obat.”

 

♥♥♥

          “Duuh… pusiingg…”

“Mia. Lo nggak boleh bangun dulu. Ayo cepet sana tidur lagi.”

“Apa sih yang terjadi sama gue?”

“Semalem… Radit nemuin lo tidur di atas makam kakak lo.”

“Ini hari Minggu ya?”

“Hm.”

“Banyak kerjaan. Aku harus nyuci baju.”

“Nggak usah. Radit yang nyuci.”

“Kalo gitu aku mau nyuci piring.”

“Udah dicuci sama Dema.”

“Cepet tidur lagi. Badan lo masih panas.”

“Gue nggak mau!”

“Gue udah sembuh.”

“Tuh kan, cucian piringnya masih banyak! Pakaian kotornya kemana? Jangan kalian yang nyuci! Cucian kalian nggak bersih!”

“Vian! Kenapa lo biarin dia keluar?”

“Gue udah suruh dia istirahat tapi dia nggak mau.”

“Mia!”

“Apa? Jangan suruh aku istirahat! Aku bisa ngelakuin semua ini sendirian.”

“Kalian ini emang nggak berguna! Mendingan kalian nggak usah tinggal disini lagi. Liat kan, gara-gara aku sakit sehari aja seluruh isi rumah udah nggak beres! Sekarang kalian malah nyuruh aku tiduran?! Apa nggak salah?!”

“Mia?”

“Jangan dekat-dekat! Kalian liat kan aku nangis? Semua ini gara-gara kelakuan kalian. Mendingan sekarang kalian diem aja!”

 

♥♥♥

          “Mana meja nomor 5?”

“Disana.”

“Makasih.”

 

♥♥♥

          “Ada masalah apa?”

“Nggak ada.”

“Guru Mia itu ya?”

“Hm?”

“Kalau lo mencintai seseorang, jangan pernah takut untuk berkomitmen. Dan kalo lo takut nyakitin dia, lebih baik lo tinggalin dia.”

 

♥♥♥

          “Hai.”

“Jam tujuh. Bukannya itu yang kamu bilang?”

“Kamu pikir kali ini aku bisa memaafkan cuma karena bunga?”

“Nggak. Aku tau aku nggak akan pernah bisa dimaafkan.”

“Bagus. Sekarang pergi dari sini.”

“DEMA!”

“Aku… aku mencintaimu.”

“Aku minta maaf.”

“Selamat tinggal.”

“DEMA! DEMAA!!”

 

♥♥♥

          “Lagi ngapain disini?”

“Kabur.”

“Ooh…”

“Lagi ngapain kesini?”

“Gue juga lagi kabur.”

“Oh, jadi alasan kita sama.”

“Gue boleh minta tolong?”

“Apa?”

♥♥♥

          “Kenapa?”

“Mau makan apa malam ini?”

“Mana Dema sama Vian?”

“Mereka lagi…”

“Udah tiga tahun ini aku tinggal sendirian disini. Saat kalian bertiga datang, aku merasa senang soalnya aku jadi punya teman. Aku sadar suatu saat kalian harus kembali ke rumah kalian. Tapi aku sekarang sadar kalau aku udah terlanjur sayang sama kalian.”

“Aku mencintaimu…”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

16

BAB

 

“Mana koper gue?”

“Mau sampai kapan lo bertahan disini?”

“Kita harus pergi dari sini. Ini yang terbaik buat Mia.”

“Mana koper gue?!”

BUGH

“Ini bukan cuma berat buat lo, brengsek! Lo juga pikirin perasaan gue! Pikirin Mia! Jangan pikirin diri lo sendiri!”

Mia tergeletak di dalam kamarnya sendirian.

 

♥♥♥

          “Aku titip Mia ya?”

“Tunggu.”

“Apa kamu akan kembali lagi kesini?”

“Iya.”

“Taman itu. Nanti aku akan datang kesana.”

“Jan… Janji?”

“Janji.”

“Hati-hati ya.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

17

BAB

          “Syuting berakhir! Terima kasih atas kerjasama kalian selama satu bulan ini.”

“Radit!”

♥♥♥

          “Lima menit lagi.”

“Aku harus siap-siap niup lilin sama make a wish.”

 

♥♥♥

Nata duduk di ayunan tua itu seorang diri. Ayunannya bergerak pelan. Kaki Nata menapak di tanah. Dia memandangi sepatu putihnya dengan bosan. Kepalanya terkulai ke rantai ayunan.

Malam itu dia kabur dari rumah untuk yang kesekian kalinya.

“Nata?” panggil seseorang.

Dengan mata sayu, Nata menolehkan kepalanya ke belakang.

Matanya melebar dengan sinar-sinar kebahagiaan.

“Kamu?”

“Kenapa? Kamu kabur lagi ya?”

Nata menatap Vian dengan mata berkaca-kaca, “aku nungguin kamu.”

 

♥♥♥

          “Kamu…”

“Apa kabar Bu Guru?”

“Sedang apa kamu disini? Kenapa kembali lagi?”

“Apa Bu Guru tidak senang aku ada disini?”

“Tidak.”

“Bu guru kenapa?”

“Aku tidak kenapa-napa! Sana pergi!”

♥♥♥

          Mia melihat ke menit yang sebentar lagi akan menyentuh angka 12. Jika itu terjadi, artinya hari ulang tahunnya telah berakhir. Radit, Vian dan Dema tidak akan pernah datang.

Mia menatap kue di depannya dengan perasaan yang sangat sedih. Kemudian Mia memejamkan matanya dan menarik napas dalam. Dihembuskannya dan dibuka matanya. Kemudian dia bisa tersenyum kembali dan memancarkan cahaya penuh harap dari tatapannya.

Mia lalu mengambil korek api. Dia menyalakan lilin yang sejak pagi tertanam di atas kue itu. Dinyalakannya lilin itu dan ditatapnya penuh bahagia sekaligus kesepian. Dia berfikir, andai saja tiga orang itu dapat bersamanya saat ini.

Kemudian Mia memajukan tubuhnya, meniup satu persatu lilin-lilin itu hingga semuanya padam. Lalu Mia mengatupkan dua telapak tangannya dan mengucapkan permohonan dalam hati.

Mia mengucapkan permohonannya dengan tenang. Kemudian dia membuka matanya dengan senyuam manis yang diperlihatnya.

BRAKKK

Mia melonjak dengan kaget hingga tubuhnya mundur ke belakang. Mulutnya terbuka dan matanta melotot saat tahu siapa yang datang.

“Hosh… aku… hosh…”

Mia berbisik dengan penuh misteri, “ha-harapannya… terkabul…”

Radit berdiri di ambang pintu dengan wajah serius dipenuhi keringat. Bahunya naik turun dengan cepat karena dia berlari terburu-buru dan merasa sangat terpacu untuk segera sampai disana.

“Aku…” Radit berbisik dengan mata yang membuat jantung Mia berdegup kencang, “Aku….” Radit berbisik kembali.

Jantung Mia berdebar semakin cepat.

“Aku pulang.” Ucapnya.

Mia terpaku dengan mata kosong ke arah Radit.

Perlahan, dia mulai menunjukkan senyum manisnya.

Tiba-tiba Vian dan Dema datang sambil berlari. Mereka berdua terbungkuk-bungkuk di belakang Radit dengan napas memburu.

Dema mengangkat badannya, meski dia masih letih, dia tersenyum.

“Selamat ulang tahun.” Ucap Dema.

“Happy birthday, Mia!”

Vian berlari masuk ke dalam rumah dan duduk di depan Mia.

Mia masih terpaku dengan mulut sedikit terbuka dan mata kosong karena keterkejutannya.

Radit, Vian dan Dema duduk mengelilingi Mia.

“Yaah… acara tiup lilinnya udah selesai.” Keluh Vian.

“Tapi kita nggak terlambat dateng kan?” tanya Dema.

Mia menatap ketiga orang itu dengan senyum bahagia, “AAKKHH!!! Ini bukan mimpiiii!!!” Mia berteriak kegirangan.

“Kalian bikin ini jadi hari terindah buat aku.” Ucap Mia sambil mengatupkan dua telapak tangannya.

Ketiga cowok itu tersenyum kecil.

“Kita harus makan kuenya.” Kata Vian sambil mencolek kue itu.

“Iya. Trus abis makan kue…,”

Mia berdiri dan mengambil sebuah nampan besar dari dapur. Lalu dengan musik kematian, dia meletakkan nampan itu di atas meja hingga membuat mereka bertiga melotot ngeri.

“Kita makan makanan buatan aku kayak dulu lagi. Gimana?”

 

 

THE END

 

 

Bagian 1

“LINAA!! Mana kopi Ayah?!”
Lina semakin cepat mengaduk kopi yang dibuatnya. Meja berdentum keras saat tinju Ayahnya mendarat di atasnya. Lina harus buru-buru mengantarkan kopi itu sebelum Ayahnya ingin mengganti meja itu dengan mukanya.
Lina segera mengangkat cangkir itu dan membawanya pelan-pelan ke atas meja. Dia menaruhnya langsung di depan Ayahnya yang kelihatan masih sangat mengantuk.
Lina berputar dan duduk di kursi di seberang Ayahnya.
Ayah Lina meminum kopi panas itu pelan-pelan. Dia nampak sangat mengantuk dan lelah. Bibirnya mendecap-decap kesal. Matanya langsung terlihat merah dan marah saat melihat Lina.
“Pulang sekolah kamu harus langsung nyuci dan nyapu! Kamu ngerti nggak?!” bentaknya, “jangan ngerjain peer terus kerjanya! Kamu pikir peer itu bisa bikin kerjaan rumah beres?!”
Lina menunduk.
Kumis tebal Ayahnya bergerak-gerak.
“Kalau enggak, kamu bakalan Ayah hajar lagi!” Ayah Lina berkata dengan mata yang sangat mengancam.
Lina lagi-lagi hanya bisa tertunduk.
Lina menoleh pelan ke jam dindingnya. Sebenarnya dia harus segera berangkat. Lima belas menit lagi bis sekolah akan datang.
“Sekarang, kamu setrikain baju Ayah!” perintah Ayah Lina.
Lina diam dan dia ragu-ragu melakukannya. Tiba-tiba mata Ayahnya membesar melihat Lina masih duduk tertunduk di depannya.
“CEPET!” teriak Ayahnya.
Lina mengangguk pasrah, “Iya, Ayah.”

❋❋❋
Lina terus berlari.
Dia merasakan kakinya tidak menapak di tanah dan pikirannya selalu berkata kalau sedikit lagi dia akan jatuh tapi dia masih saja terus berlari.
Dia berlari di gang kecil yang kumuh tempatnya tinggal yang hanya bisa dilalui satu motor dari satu arah.
Lina mengambil belokan-belokan berbahaya beberapa kali hingga dia nyaris tertabrak motor yang berbelok.
Tapi Lina terus berlari dengan energinya yang hampir habis.
Lina berhenti tepat di samping sebuah tiang listrik. Disitulah biasanya bis sekolah datang untuk menjemputnya.
Napasnya serasa akan berhenti. Paru-parunya terasa dicengkram.
Tangan kanannya menyentuh tiang listrik. Lina membungkuk dan menaruh tangan kiri di atas lutut kirinya. Dia terus mengatur napasnya. Beberapa butir keringat muncul di wajahnya.
Kemudian, dia menunggu. Tapi dia masih belum tahu apakah bis sekolah itu belum datang atau sudah meninggalkannya.

❋❋❋

Kepala Lina tertunduk. Dia sedang mengamati ujung kaus kakinya yang dapat terlihat dari sepatu merahnya yang bolong. Dia menunggu bis sekolahnya sudah hampir lima menit.
Kemudian bis sekolahnya datang dan berhenti tepat di depannya.
Lina menunggu hingga pintu bis itu terbuka.
Saat pintu itu terbuka, dia melihat Pak Geri, si supir bis sedang menatap tajam dengan tatapan tidak bersahabat kepada Lina.
Dengan kaus putih ketat yang membuat perut buncitnya terlihat, dia menggerakkan tusuk gigi di mulutnya sebagai isyarat agar Lina segera masuk ke dalam bis sebelum dia kembali menginjak gas dan meninggalkannya.
Lina masuk ke dalam bis dengan kepala rendah.
Pak Geri langsung memencet tombol merah yang membuat pintu terbanting menutup dan mobil langsung melaju meskipun Lina belum menemukan kursi yang bersedia didudukinya.
Lina berpegangan pada tiang di depannya dan melihat ke dalam bis dimana sebelas teman sekelasnya sudah berkumpul.
Bis sekolah ini memang sengaja di sewa untuk menjemput sebelas anak dari satu kelas yang sama karena rumah mereka pun terdapat dalam kompleks elite The Royal Sweet Living. Mereka bersebelas tinggal di perumahan itu. Hanya Lina yang tidak.
Semua yang ada di dalam sana menatap Lina dengan tajam dan seolah berkata supaya Lina tidak duduk di dekat mereka.
Lina berjalan lurus.
Dia menatap Todo, temannya yang seorang keturunan Cina yang gendut dan bulat yang sedang duduk sendirian di bangku untuk dua orang.
Tiba-tiba Todo mengeluarkan sesuatu dari mulutnya. Dia menaruh permen karet penuh ludah itu di atas jok kursi di sampingnya. Lina harusnya tahu hal itu memang akan terjadi. Todo memang tidak ingin dia duduk disebelahnya.
Kemudian Lina berjalan lagi.
Bangku-bangku kosong yang ada di dalam bis itu diisi dengan tas, sepatu dan yang lainnya. Tidak ada seorang pun yang ingin duduk bersamanya.
Tiba-tiba Lina termangu saat melihat Josh. Josh adalah teman sekelasnya. Semua tahu kalau Josh adalah laki-laki yang paling ganteng di kelas. Dia juga orang yang paling baik pada Lina. Selama ini Lina menyukai Josh. Tapi sayang, Josh sudah berpacaran sama Vira yang jauh lebih memiliki segalanya dibandingkan Lina.
Lina memandang Josh dari jauh. Tiba-tiba dirinya merasa terbang dan damai. Josh terlihat duduk di dekat jendela dengan Vira disampingnya. Josh terlihat sedang membaca buku dengan headset di kedua lubang telinganya.
Tiba-tiba Josh mengangkat wajahnya dan melihat keluar jendela. Lina masih memandangi wajah pangerannya itu dari jauh. Tiba-tiba Josh melihat ke arahnya dan tersenyum singkat. Lina melebarkan senyum kecilnya. Tapi Josh segera menurunkan wajahnya kembali ke bukunya.
Duk!
Lina nyaris terjatuh saat Anggi menyengkel kakinya. Dia terlalu konsentrasi pada Josh hingga tidak sadar Anggi ingin mengerjainya.
Tiba-tiba semua yang ada disana tertawa saat melihatnya. Hanya Josh yang geleng-geleng kepala sambil membalik halaman bukunya dan menyadari kesalahan teman-temannya.
“Dasar cewek bego!” Ledek Anggi dengan senyum sinis di wajahnya.
Lina menunduk, menahan rasa marah dan malu dalam hatinya. Kemudian Lina melanjutkan lagi langkahnya menuju kursi di bagian paling belakang bis.
“Upps!” tiba-tiba Gladys melompat kaget.
Lina memandangi seragam putihnya dengan mulut terbuka. Jus jeruk dari botol minum Gladys membasahi seragam sekolah satu-satunya itu.
“Ya ampun, jelek. Maafin gue ya? Gue nggak sengaja.” ejek Gladys dengan senyumnya yang merendahkan.
Lina tidak menjawab apapun. Dia hanya mengelap pelan air di seragamnya. Lalu matanya menatap mata Gladys dengan sipit. Lina mengisyaratkan bahwa dia sangat marah.
Gladys menantangnya. Dia justru menaikkan satu alisnya dan menaruh tangan kanan di pinggangnya. Dia tahu kalau Lina tidak akan berani melawannya lebih jauh dari ini.
Gladys kembali duduk di kursinya. Tidak mempedulikan Lina yang berdiri di sisinya dengan wajah merah karena menahan kemarahan yang sangat besar.
Gladys melihat Lauren yang duduk di sampingnya dan berkata, “beruntung banget dia ketumpahan jus jeruk itu. Bokap gue ngebeliin itu waktu dia pergi ke Korea. Harganya jauh lebih mahal dari harga diri dia yang digabungin sama harga diri Bapaknya.”
Lauren tersenyum setelah mendengar hal itu. Dua setan betina itu kini bersatu untuk menginjak-injak harga diri Lina.
“Ya, betul banget.” Timpal Lauren.
Lina berusaha melupakan ejekan nggak berguna itu. Dia sudah bisa menguasai kemarahannya. Ditahannya rasa itu dalam-dalam. Dia tidak pernah punya hak di tempat itu. Termasuk hak untuk melawan.
“Lina,” panggil Josh.
Lina menoleh. Dia melihat Josh berdiri dengan tangan kanan masuk ke kantung celananya. Josh mengeluarkan sapu tangan putih dan mengulurkannya pada Lina.
“Nih, ambil.” Kata Josh.
Lina merasa hatinya berbunga-bunga. Tangannya terangkat, berniat mengambil sapu tangan itu.
“Sini, gue butuh buat ngelap keringet!”
Tiba-tiba Vira mengambil sapu tangan itu dari tangan Josh. Josh langsung melihat Vira yang duduk di sampingnya. Cewek cantik berambut ikal itu langsung menggunakan sapu tangan punya Josh itu untuk mengelap wajahnya dan lubang hidungnya.
Josh bertatapan dengan Lina, dia merasa tidak enak akan hal barusan. Lina masih bisa tersenyum seolah mengatakan pada Josh kalau dia baik-baik saja.
Josh  lalu duduk. Lina mengalihkan wajahnya.
Dia berjalan menuju ke belakang bis secepatnya. Tapi dia harus terus berpegangan kuat pada kursi atau tiang karena Pak Geri mengendarai bis itu dengan sangat kencang dan sangat buruk sehingga tubuh Lina terbanting-banting.
Lina akhirnya bisa duduk.
Dia duduk di bangku paling belakang di bis itu. Bangku yang disebut-sebut sebagai bangku neraka karena sebagian besar busa di jok itu hilang entah kemana dan pantat kita akan terasa sangat sakit setelah duduk di kursi itu.
Lina lah satu-satunya orang yang pantas mendudukinya.

❋❋❋

Lina dan rombongan bis itu tiba di sekolah. Satu persatu dari mereka langsung berdiri dan berbaris untuk turun dari bis saat tiba di sekolah.
Lina berusaha untuk berdiri.
Pantatnya selalu terasa sakit setelah duduk di atas jok itu. Setelah berdiri, dia menunggu hingga semua teman-temannya turun. Dia akan merasa sangat nyeri dan perih. Terkadang sampai terasa ke kepala.
Lina harus selalu dijemput paling belakangan, duduk di paling belakang, naik paling belakangan, diantar paling belakangan dan juga turun paling belakangan. Kemudian dia turun setelah Anggi turun. Dan seperti biasa, dia jadi yang terakhir.
Setelah berdiri, dia berjalan pelan-pelan masuk ke pintu utama sekolahnya dan berjalan di sepanjang koridor untuk mencapai kelasnya.
Dia selalu berjalan tertunduk bila berada di sekolah. Karena dia selalu merasa terdampar di sekolah itu. Dia merasa ‘berbeda’ dan ‘dibedakan’.
Lina memakai seragam keramat.
Atasan seragam sekolahnya adalah kemeja lengan pendek warna putih sementara roknya bermotif kotak-kotak dengan warna biru muda dan putih. Warna yang sama dengan warna dasinya. Hanya orang-orang terpilihlah yang bisa memakai seragam seperti itu.
Lina bersekolah di SMA swasta bernama Pelita Nusantara dan dia duduk di kelas satu. Umurnya sekarang lima belas tahun.
Sekolahnya adalah sekolah mahal yang sangat bagus. Hanya orang-orang terpilih yang bisa memasukinya. Dalam program sekolah, diadakan beasiswa bagi anak-anak miskin. Ayah Lina dulunya adalah pengurus sampah di sekolah itu dan Lina dijadikan sebagai salah satu wujud dari program beasiswa itu dengan bersekolah gratis hingga tamat SMA.
Dan hal itu benar-benar mimpi buruk baginya.

❋❋❋

Lina adalah murid pertama dan satu-satunya yang mendapatkan beasiswa secara penuh tahun ini. Itu artinya, dia satu-satunya orang yang paling merasakan betapa ‘bedanya’ dia dari yang lainnya.
Dia sangat tidak beruntung harus sekelas dengan orang-orang seperti Gladys yang begitu jujur mengutarakan pendapat pribadinya tentang kaum rendah seperti Lina.
Lina berumur 15 tahun. Masuk ke kelas X-1 di SMA unggulan itu. Dia mendapatkan beasiswa karena dua tahun yang lalu Ayahnya bekerja sebagai tukang sampah di sekolah itu. Tapi, sekarang Ayahnya sudah bekerja sebagai supir angkot. Dan itu tidak membuat apapun di dalam hidupnya membaik.
Lina sudah bersekolah disana hampir lima bulan. Dan selama ini pula dia tidak punya teman yang benar-benar ‘teman’ di kelas. Apalagi, murid kelas X-1 ini benar-benar murid pilihan karena orang tua mereka termasuk pendonor dana bantuan terbesar yang ada di sekolah itu. Kelas lain muridnya mencapai 20 orang sementara kelas istimewa itu paling banyak hanya akan menampung 15 orang.
Lina termasuk anak cerdas. Itu bisa dilihat dari tes IQ-nya yang menyebutkan angka 140. Itu alasan mengapa dia masuk ke kelas istimewa tadi. Tapi peraturan yang ditetapkan oleh Desi menetapkan bahwa Lina tidak boleh mendapat nilai diatas 8 dalam ulangan apapun. Lina pun memenuhi peraturan itu.
Semua kemarahan, kesedihan dan kesepian itu ditahannya dalam hati seorang diri meskipun dia sangat ingin segalanya berubah.
Segalanya…

❋❋❋

Lina sedang duduk di bangkunya, di paling ujung. Setiap murid di kelas Lina duduk sendiri. Jumlah teman sekelasnya hanya ada sebelas orang, ditambah dirinya jadi dua belas orang.
Dia sedang membaca buku kimianya sebelum pelajaran dimulai. Tadi malam dia tidak bisa belajar dengan baik karena Ayahnya mengajak empat orang temannya untuk berjudi hingga larut malam. Lina tidak bisa konsentrasi belajar jika teman-teman Ayahnya itu terus saja tertawa dan berteriak-teriak tepat di depan pintu kamarnya.
“Lina.” Panggil seseorang.
Lina mengangkat wajahnya dan melihat Steve berdiri di depannya dengan tangan terbuka.
“Nyontek peer kimia dong.” Ucapnya.
Lina membuka tasnya dan mengeluarkan buku tulis kimianya. Steve langsung menyambarnya dan berlalu pergi sambil membuka-buka halamannya. Kemudian, dia duduk di bangkunya dan menyalin jawaban dari buku tulis Lina.
Lina kembali membaca bukunya dan tidak mempedulikan lagi semua jawaban atas pekerjaannya yang dicontek oleh Steve. Baginya, itu sudah biasa.

❋❋❋

Anak-anak sekelas Lina sudah duduk dengan manis di bangku mereka masing-masing. Mereka menunggu Pak Rahmat, guru kimia mereka yang sedang dalam perjalanan menuju ke kelas.
Pintu terbuka.
Pak Rahmat yang hari itu memakai dasi merah masuk sambil tersenyum ke murid-muridnya.
“Selamat pagi.” Ucapnya.
“Selamat pagiii.” Sahut anak-anak serempak.
Pak Rahmat menaruh tumpukan buku yang dibawanya ke atas meja guru.
“Kumpulkan peer kimia kalian sekarang!” Pak Rahmat mengetuk penghapus papan tulis ke mejanya.
Anak-anak segera mengambil buku dari tas mereka dan membawanya menuju pak Rahmat. Lina melihat Steve yang memegang bukunya.
Steve berbalik, melihat Lina dan tangannya melayangkan buku Lina sambil berkata, “gue kumpulin ya?”
Lina mengangguk.
Steve mengantarkan bukunya dan juga buku Lina ke meja guru.
Pelajaran pun dimulai.

❋❋❋

Pak Rahmat meminta anak-anak untuk mengerjakan tugas dari buku paket sementara dia akan mengoreksi hasil pekerjaan rumah dari murid-muridnya itu.
“Desi.” Pak Rahmat mulai memanggil satu persatu nama muridnya untuk membagikan kembali buku peer mereka.
Beberapa kali nama disebut, tapi itu bukan nama Lina.
“Steve.” Panggil Pak Rahmat. Lina ikut melihat Pak Rahmat. Karena bukunya dikumpulkan bersamaan dengan buku Steve, dia merasa namanya akan dipanggil setelah ini.
Steve maju ke meja guru.
“Steve, nilaimu bagus.” Kata Pak Rahmat sambil tersenyum bangga. Steve bertingkah seolah dia memang berhak mendapatkan pujian itu.
Lina menyatukan kedua alisnya karena dia tahu jawaban Steve itu sebenarnya adalah hasil kerja kerasnya.
“Lina.” Panggil Pak Rahmat.
Tiba-tiba semua kepala teman-temannya menoleh ke arah Lina.
Lina yang terlihat kikuk segera berdiri dan berjalan menuju ke meja pak Rahmat. Pak Rahmat memberikan buku itu kepada Lina dengan wajah masam, “belajar lagi ya?” bisiknya singkat.
Lina menurunkan kepalanya.
Dia berjalan dan duduk kembali ke bangkunya. Kemudian dia membuka buku peernya pelan-pelan dengan seluruh mata teman-temannya yang melihat ke arahnya dengan mata penasaran yang mengancam.
Lina mendapatkan nilai 2.
Lina melihat Steve. Steve tersenyum dan mendirikan jempolnya lalu berbalik badan lagi. Dia tahu kalau Steve-lah yang melakukan semua ini. Mengganti jawabannya dengan jawaban yang salah.
Kemudian, ada suara tawa licik dari sebelah kiri Lina.
Lina menoleh ke Todo, teman cowoknya yang berbadan gendut. Todo selalu mengunyah permen karet di mulutnya. Dan kali ini, Todo terlihat telah melakukan sesuatu untuk Lina.
Lina mengangkat pantatnya.
Dia melihat permen karet pink telah menempel di rok birunya. Lina duduk kembali dengan pasrah.
Dia tidak sanggup melihat Todo yang menertawakan ketololan dirinya itu.

❋❋❋

Lina memiliki sebelas teman di dalam kelasnya.
Yang paling membekas di hatinya tentu saja Gladys. Dia adalah anak dari seorang milyuner. Papanya seorang pebisnis di dunia otomotif dan mereka sekeluarga sangat sering berkeliling dunia. Gladys adalah orang yang paling berkesan bagi Lina karena Gladys adalah orang yang paling ia benci.
Sekutunya Gladys yang paling dekat adalah Vira. Dia murid paling cantik di kelas. Neneknya adalah orang Kroasia, dari situlah wajah bulenya berasal. Dia adalah pacarnya Josh. Vira itu terlihat seperti model. Dia tinggi, cantik, putih dan berambut ikal. Dia orang yang sangat jutek. Kalau Gladys lebih terkesan genit, Vira justru lebih garang terhadap cowok. Kecuali Josh.
Ada juga yang namanya Todo. Dia bocah laki-laki keturunan Cina yang bertubuh gemuk. Dia orang kaya, tentu saja. Dia sangat suka mengerjai Lina dengan permen karet. Itu terdengar kecil tapi Lina sangat kesulitan untuk menghilangkan noda itu. Terlebih dia hanya punya satu rok sekolah. Dia menganggap kebiasaan Todo itu teramat sangat menganggunya.
Temannya yang lain bernama Steve. Steve anak yang cukup adil karena dia tidak hanya suka berlaku usil terhadap Lina tapi hampir semua anak perempuan di kelas itu. Sebenarnya Lina cukup menyukai Steve karena dia sering mengerjai Gladys hingga cewek itu menjadi sangat marah. Tapi, tetap aja Lina juga sangat membenci Steve karena Steve sering mencuranginya, seperti yang dilakukannya hari ini.
Desi juga termasuk di dalamnya. Dia punya mata besar yang tajam. Poninya tebal dan rambutnya kayak helm. Dia anak yang paling dijauhi karena dia mudah tersinggung dan sering marah. Biarpun lagi nggak marah, mukanya selalu kayak orang marah.
Vino. Dialah si ketua kelas. Dia anak yang asyik, cuek dan keren. Tapi dia sama sekali nggak suka sama Lina. Dia sama menyebalkannya sama Gladys, hanya bedanya dia nggak pernah main kata-kata kayak Gladys. Semua hanya terpancar dari wajahnya yang selalu galak. Dibalik semua itu, dia ketua kelas yang sangat tegas dan bertanggung jawab.
Ada juga Lauren. Dia pintar, berkacamata dan tubuhnya sedikit gemuk. Sebenarnya dia cuek aja sama Lina selama nilai-nilainya masih lebih bagus dibanding Lina. Tapi kalau Lina sudah mendapatkan nilai—nilai bagus dibanding dirinya, dia nggak akan segan-segan untuk memaki-maki Lina.
Ada juga yang namanya Obi. Anaknya iseng, dia sejenis sama Steve, makanya mereka dekat. Dia paling malas sama yang namanya belajar. Dia doyan banget tidur kalau di kelas dan dia paling suka menjahili Lina kalau lagi bosan. Menimpuk kepala Lina pakai kertas, menarik rambut Lina tiba-tiba atau menjepret Lina dengan karet. Dia nggak pernah menghina pakai mulut. Tapi semua kelakuannya sudah menggambarkan apa yang dipikirkannya tentang Lina.
Ada juga Anggi dan Nita.
Meskipun Anggi dan Nita adalah sahabat, mereka punya perbedaan karakter. Anggi tomboy dan sangat maskulin sementara Nita anak cantik yang berkelakukan manis. Tapi mereka sama-sama membenci Lina.
Yang terakhir adalah Josh. Murid paling ganteng di kelas itu. Dia punya semua hal yang diidam-idamkan seluruh cowok di dunia. Dia cukup pendiam. Dia cukup jarang tersenyum tapi aslinya dia adalah cowok yang sangat lembut. Itu yang membuatnya terlihat seperti hewan peliharaan Vira.
Mereka semua sama jahatnya. Mungkin hanya Josh satu-satunya teman yang paling baik. Tapi Josh sendiri pun kadang nggak bisa berbuat apa-apa kecuali menonton Lina disakiti.

❋❋❋

Jam pelajaran kimia usai.
Pak Rahmat berjalan keluar dari kelas. Tiba-tiba muncul Fahri, ketua kelas X-5 yang datang membawakan kertas ulangan Fisika.
Vino yang menerimanya.
Anak-anak yang lain segera mendatangi Vino untuk melihat nilai mereka. Kemudian, Vira berjalan mendekat dan langsung menggebrak meja Lina dengan kencang sampai Lina nyaris terjungkal dari kursinya. Di bawah telapak tangan Vira, ada kertas ulangan Lina bersama nilai berspidol biru dengan angka 8,2.
“Lu tuh curang ya? Pinter tapi nggak bagi-bagi! Kita yang lain dapet nilai jelek-jelek tahu nggak?!” bentaknya.
Vira meremas kertas ulangan itu dan melemparnya hingga menimpuk wajah Lina. Dia lalu berbalik dan mengibarkan rambut panjangnya ke wajah Lina. Lina melihat gumpalan kertas ulangannya di bawah sepatunya.
Meski begitu, diam-diam dia tersenyum puas.

❋❋❋

Jam istirahat datang.
Lina berjalan seorang diri menuju ke kantin.
Untuk Lina yang menerima beasiswa, dia akan diberikan makan siang gratis oleh sekolah.
Bu Konco, si pengurus kantin yang gemuk, sangat sibuk pada jam istirahat seperti sekarang ini.
“Bu, papan ini dibuang aja ya? Udah jelek begini.” Kata Bunga, murid yang bertugas menjadi pendamping kantin hari itu pada Bu Konco. Dia mempermasalahkan papan makan siang yang sudah sangat rusak pada Bu Konco.
“Jangan. Masih bisa dipakai.” Bu Konco mengambil papan itu dari tangan Bunga dan menaruhnya di dekatnya.
“Masih ada orang yang pantas menerimanya.” Kata Bu Konco pada Bunga. Bunga berjalan pergi. Dia tahu kalau orang yang akan mendapatkan papan itu adalah orang yang paling sial di dunia.
Lina datang ke depan Bu Konco. Saat melihat Lina datang, tiba-tiba Bu Konco tersenyum senang.
“Makan apa?” tanya Bu Konco.
“Soto ayam.” Kata Lina.
Bu Konco tersenyum, “minumnya apa?”
“Es teh.” Jawab Lina tersenyum.
Bu Konco tersenyum. Dia berbalik ke belakang dan mengambil pesanan Lina.
Kemudian Bo Konco memberikan semangkuk soto ayam dan segelas es teh manis yang ditaruhnya di atas sebuah papan yang ujung-ujungnya sudah patah. Ditambah papan kayu itu sudah dipenuhi oleh coretan tipe-x dan noda hitam bekas permen karet yang tidak bisa hilang.
Lina memandanginya sebentar lalu melihat kembali ke Bu Konco.
“Silahkan diambil. Gratis kok.” Bu Konco mendorong papan itu dan tersenyum. Lina memegangnya dan membawanya. Dia tahu Bu Konco hanya memberikan papan sejelek itu hanya pada dirinya.
Dia lalu berjalan menuju meja neraka.
Meja di pojok ruangan kantin yang sudah sangat jelek. Mejanya miring karena satu kakinya nyaris patah. Bangku yang ada disana dipenuhi coretan dan selalu bergoyang-goyang jika diduduki.
Lina tidak pernah merasakan makan di meja lain kecuali di meja neraka itu. Dan dia sudah bisa menerima kekurangan tersebut.

❋❋❋

Selesai istirahat, Lina berjalan pelan menuju ke kelasnya di antara barisan banyak orang. Tiba-tiba Desi muncul sambil berlari dan bertabrakan dengannya.
BRUK.
Lina melihat Desi terjatuh dan duduk di lantai. Desi yang matanya besar itu langsung menunjukkan wajah murkanya pada Lina.
“Maaf.” Lina menyesal. Ditatapnya mata Desi dengan tubuh gemetar karena takut.
Desi berdiri. Matanya tidak melepaskan mata Lina.
“Kurang ajar!”
Plak!
Desi menampar Lina hingga kepala Lina terkulai ke kiri. Rambutnya yang panjang sebahu berhamburan menutupi wajahnya.
“Elo nggak akan sekolah disini kalau bukan dari uang gue!” teriak Desi di telinga Lina.
Kepala Lina tidak bergerak. Pipinya terasa panas. Tamparan Desi itu sangat menyakitinya.
Desi berjalan menjauh setelah tahu itu cukup buat Lina.
Lina masih terdiam disitu dengan kepala terkulai dan rambut menutupi wajahnya.
Banyak murid-murid yang lain yang terdiam di sana untuk melihat Lina tanpa membelanya. Mereka tidak menolongnya tapi justru tersenyum melihat perlakuan yang diterima Lina dari Desi tadi.
Diam-diam, Lina tersenyum perih. Tangannya mengepal perlahan dengan dendam yang membayangi bola matanya.

❋❋❋

Jam olahraga tiba. Ini pelajaran terakhir pada hari Selasa ini.
Lina sedang berada di kamar mandi cewek. Dia baru saja selesai mengganti baju seragamnya dengan kaus olahraga.
Lina membuka pintu.
Deg!
Mata Lina terbuka lebar saat melihat Gladys dan Lauren berdiri di depannya dengan tampang mereka yang seram.
Karena mereka diam disitu, Lina terpaksa mundur satu langkah.
“Lupa sama perjanjian kita ya?” tanya Gladys.
Lina diam. Dia mengerti mengapa ini bisa terjadi.
“Kan udah gue bilang, elo nggak berhak begitu! Seengaknya kalo elo emang bisa, elo ngasih tahu kita juga dong! Kita dan yang lain kan jadi dapat nilai jelek!” teriak Lauren. Gladys tersenyum saat melihat raut ketakutan di wajah Lina.
Lina menunduk.
Gladys masuk dan langsung mendorong Lina. Pantat Lina terbanting ke kloset duduk yang terbuka.
“Lain kali nggak boleh begitu! Awas!” ancam Gladys.
Lauren dan Gladys keluar dari kamar mandi. Lina terdiam di atas kloset yang menelan pantatnya itu. Terdengar bunyi tangisan yang kian menyayat dari Lina. Tanpa ada seorang pun yang peduli…

❋❋❋

Lina tidak mengikuti pelajaran olahraga. Dia hanya menangis tanpa suara di kamar mandi selama itu. Setelah didengarnya bel pulang berbunyi, dia segera menghapus airmatanya. Dia berdiri dan memakai lagi baju seragamnya.
Dia harus kembali ke kelas dan mengambil tasnya kemudian pulang sebelum tertinggal bis.

❋❋❋

“Ngaku aja deh! Siapa yang ngelakuin ini semua?” teriak Vino.
Semua yang ada di ruangan itu langsung terdiam. Mereka bersebelas baru saja selesai berganti baju setelah pelajaran olahraga. Setibanya mereka di kelas, mereka melihat piala kaca dari lomba kebersihan kelas milik kelas mereka pecah berantakan di lantai.
Sekarang, mereka sedang berdebat. Mencari tahu siapa pelaku sebenarnya. Mereka semua terlihat antusias sementara Josh hanya duduk di kursinya sambil membaca majalah.
“Itu pemberian dari sekolah. Piala itu kita udah raih dengan susah payah! Sekarang gue minta, orang yang udah mecahin piala ini supaya ngaku! Cepet!” bentaknya.
Nita terlihat sangat pucat. Dia tidak sengaja memecahkan piala itu. Dia hanya ingin mengangkatnya dan menaruhnya lagi di dalam lemari. Tapi… piala besar itu memang sangat berat dan dia tidak sanggup untuk menahan beban berat itu sendirian.
“SIAPA?!” teriak Vino lagi.
Nita mengangkat wajahnya. Keringat menuruni pipi kirinya.
“Apa, Nit? Siapa pelakunya?” tanya Vino.
Nita memandangi teman-temannya, “Lina. Dia… dia yang mecahin piala itu. Tadi gue ngeliat dia lagi megang-megang piala itu dan dia nggak sengaja menjatuhkannya!”
“Jangan nuduh orang sembarangan.” Sahut Josh tanpa memindahkan matanya dari majalah itu.
Gladys mengeritingkan alis, “jadi dia udah kabur dari kamar mandi?”
Nita mengangguk, “gue yang ngeliat dia mecahin piala itu! Gue liat dia!”
Sreet
Pintu kelas bergeser dan terbuka.
Lina berdiri dengan wajah letihnya dan matanya yang merah.
Semua teman-teman sekelasnya menatap dirinya dengan tatapan marah. Lina melihat piala kaca milik kelas mereka pecah berantakan di atas lantai.
“Liat kan hasil perbuatan elo?” tanya Vino pada Lina. Lina sendiri hanya melongo dengan wajah lugu.
Steve melompat dari meja yang didudukinya, “kenapa elo pecahin piala itu?” tanyanya pada Lina.
Lina semakin tidak mengerti.
Anggi maju ke depan, menarik kerah baju Lina dengan kuat dan menariknya ke barisan belakang kelas. Lina terseret. Tenggorokannya tercekik begitu kuat. Anggi menyeretnya keras untuk menuju ke barisan belakang kelas.
Anggi membanting punggung Lina ke tembok yang keras hingga berdebam. Mata Anggi melebar di depan mata Lina.
“Mau lo apa sih, hah?! Hari ini lo bikin banyak banget ulah tahu nggak?!” Mata melotot Anggi menusuk ke bola mata Lina yang bergerak kacau karena ketakutan.
Lina menggeleng. Berjuta kalimat pembelaan muncul di hatinya tapi tidak pernah bisa ia ucapkan.
“Harusnya elo tuh nyadar kalo elo bisa sekolah disini karena kita-kita! Elo tuh harusnya berterima kasih dan bukan kayak gini caranya!” tiba-tiba Vira muncul dan langsung memegang wajah Lina dengan tangannya.
Todo memegang tangan Vira yang memegangi kerah baju Lina kemudian menurunkan tangan Vira itu.
Todo dan Lina bertatapan.
Bibir Todo yang mengunyah permen karet nampak berputar.
Cuih!
Todo melemparkan permen karet dari mulutnya ke wajah Lina.
Lina menutup matanya. Dia bisa merasakan ludah Todo membasahi kulit wajahnya.
“Piala itu hasil kerja keras kita! Seenaknya aja elo pecahin!” bentak Todo sambil berjalan meninggalkan Lina.
Steve mengangkat tas Lina dan membaliknya. Semua buku Lina berjatuhan ke lantai dan Steve langsung menginjaknya. Obi tiba-tiba mendekati Steve dan merobek lembar demi lembar buku tulis kimia milik Lina. Mereka melakukan semua itu sambil tertawa.
Lina menggeleng dengan memelas, tapi dia tidak bisa berkata apa-apa. Perasaannya hancur.
Semuanya serempak menatap Lina dengan marah.
Lina mulai terisak.
Matanya mulai basah. Lina menutup matanya.
“Buka mata lo! Buka!” teriak Anggi sambil membanting-banting tubuh Lina ke tembok.
“ANGGI!” Josh berteriak tegas kepada Anggi. Anggi dan yang lain melihat Josh yang berdiri membela Lina.
“Josh.” Panggil Vino.
Josh melihat ke Vino. Vino mendirikan telunjuknya ke depan mulut dengan urat di matanya yang menonjol.
“Shut… UP!” Kata Vino.
Josh dan Vino beradu tatapan.
Semua tahu kalau Josh ingin menghentikan semua ini dan mereka semua tidak akan mengizinkannya.
Akhirnya Josh yang terlihat kesal lalu dia mengambil tas dan berjalan keluar kelas dengan langkah marah. Vira yang melihat itu panik dan langsung meninggalkan Lina. Dia segera menyambar tas dan berlari menyusul Josh.
“Kita semua, bersebelas yang ada di kelas ini, semuanya nggak ada yang suka sama lo! Dengerin itu!” teriak Desi yang berdiri dekat jendela dengan tangannya yang terlipat.
Lina menangis semakin kuat. Airmatanya keluar dari kelopak matanya yang terpejam.
“Hari ini, lo akan pulang jalan kaki! Tanpa bis!” teriak Anggi.
Anggi melepas tarikannya dan berjalan keluar dengan tasnya.
Lina akhirnya bisa kembali bernapas.
Yang lainnya terlihat ingin melakukan sesuatu terlebih dahulu.
“Puas lo?” tatap Desi dengan mata besarnya sebelum keluar dari kelas. Lina hanya memegangi lehernya yang sakit.
Mereka semua mulai pergi. Meninggalkan Lina.
Kini tinggal Vino yang ada di kelas itu. Dia menatap tajam ke arah Lina.
Lina hanya bisa terdiam disana dengan airmata yang terus turun.
“Elo tahu betapa sulitnya dapat piala itu?! ELO TAHU NGGAK?” bentaknya.
Lina gemetar. Dia menangis semakin kencang.
“Beresin pecahan itu sampai bersih!” katanya sambil berjalan mundur menuju ke pintu kelas.
Lina sekarang sendirian.
Sambil merintih tanpa suara, Lina bersender di tembok. Beberapa kali dia batuk dengan cukup kencang.
Tiba-tiba pintu kelas yang sudah tertutup itu terbuka lagi saat Nita tiba-tiba berlari masuk ke dalam kelas. Lina bertatapan dengan Nita.
“Sori, buku gue ketinggalan.” Katanya sambil tersenyum.
Lina menatap Nita dengan penuh kebencian.
Setelah mengambil buku dari kolong mejanya, Nita melihat Lina dengan mata bahagia dan senyuman licik. Lina tersentak. Jangan-jangan…
“Lo mau tahu siapa yang sebenarnya mecahin piala itu?” tanya Nita. Mata merah Lina membesar.
“GUE!”
Nita lalu tersenyum pada Lina. Lina yang menangis itu menatap mata Nita dengan matanya yang sangat merah dan tak menyangka hal itu.
Nita berbalik badan dan berjalan menuju keluar kelas. Dia keluar kelas lalu menggeser pintu hingga menutup dan kembali memenjarakan Lina sendirian di dalam sana.
Lina menangis semakin kencang.
Dia menurunkan tubuhnya dan berjongkok. Membenamkan mukanya diatas dua lipatan lututnya.
“Kenapa begini… kenapa…,” bisiknya lirih.

❋❋❋

Jalanan nampak sepi.
Langit terlihat agak mendung.
Lina berjalan sendirian ke dalam perkampungan rumahnya. Melewati kontrakan-kontrakan berjejer dan gang-gang kecil yang kotor, becek dan bau.
Tubuhnya sangat letih, terutama batinnya.
Badannya yang kurus itu terasa semakin menjadi. Perutnya kosong dan matanya sangat sembab setelah menangis.
Dia berjalan lamban menuju ke rumahnya dengan menundukkan kepala. Dia sudah berjalan hampir dua jam. Jarak dari rumahnya dan sekolah terbilang cukup jauh. Semua menambah beban deritanya hari itu.
Akhirnya, Lina berdiri di depan rumah kecilnya.
Kepalanya terangkat saat melihat sepasang kaki berdiri di depan pintu rumahnya.
“Darimana aja kamu?” tanya Ayah Lina dengan mata membesar yang dingin dan sangat menakutkan.
Lina tahu Ayahnya pasti sedang mabuk. Mulutnya sangat bau dan tampangnya seperti orang sinting.
Lina tertunduk. Tiba-tiba jantungnya berdetak sangat cepat.
“Gara-gara kamu, Ayah jadi kalah judi! Gara-gara kamu!”
Tiba-tiba Ayah Lina menarik rambut Lina. Dia melakukan itu di depan banyak tetangga mereka yang menyaksikan. Lina meringis kesakitan saat rambut panjangnya ditarik begitu kasar.
“Masuk!” teriak Ayahnya.
Lina sempat terjatuh sebelum akhirnya diseret paksa masuk oleh Ayahnya.
Dan penderitaan hari itu pun masih berlanjut…

❋❋❋

Lina duduk di atas kasurnya dengan warna biru pda lengan kirinya. Dia baru saja mengalami penyiksaan fisik yang seringkali dilakukan oleh Ayahnya.
Rasanya airmatanya tidak cukup untuk menggambarkan apa yang dirasakannya saat ini. Dia merasakan sakit di fisik dan di jiwanya. Dia merasa ingin mati. Dia merasa semuanya harus mati. Dia merasa Tuhan tidak pernah adil. Dia merasa semuanya tidak adil buatnya.
Lina maju ke pinggir kasur.
Tangannya menarik laci dari meja belajarnya. Lina kemudian mengeluarkan secarik kertas yang ditemukannya. Itu adalah kertas ulangan matematikanya yang satu halamannya masih kosong. Lina membaca nama, kelas dan nama sekolahnya yang tertera di halaman pertama kertas itu beserta soal matematika yang dikerjakannya dan mendapatkan nilai 6,2.
Kemudian Lina mengambil pulpennya. Memegangnya dengan dendam dan kebencian yang terpancar dari matanya.
Dia menuliskan segalanya tentang hidupnya dan harapannya…

Aku ngerasa semuanya yang ada di dunia ini nggak adil! Aku ngerasa Tuhan nggak adil sama aku. Dia memberikan aku kehidupan yang begitu ringkih dan kejam sementara banyak orang lain memiliki kehidupan yang sempurna.
Aku sering disakiti dan aku udah nggak kuat lagi. Ayah, teman sekelasku, Pak Geri. Mereka semua sering menyakitiku. Mereka tidak berperasaan! Mereka bukan manusia! Aku ingin mereka semuanya merasakan apa yang aku rasakan! Aku ingin mereka mati!
Aku ingin mengganti hidupku. Aku ingin hidup bahagia. Aku ingin kehidupan yang lebih baik! Aku ingin disukai, aku ingin diriku dihargai! Aku ingin aku dianggap cantik dan aku ingin punya banyak uang! Aku ingin semuanya bisa aku dapatkan! Semuanya…

Semua kata-kata itu terangkai begitu saja. Lina benar-benar menuliskan semua dari dalam hatinya. Dia memang menginginkan semua itu terjadi pada orang-orang yang telah melukainya.
Lina mengeluarkan lipatan amplop lusuh yang sudah berwarna kuning kemudian melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam amplop kemudian menutupnya dan menyimpannya ke dalam tas sekolahnya.

Bagian 2

Lina berjalan menuju ke sekolahnya.
Sama sekali tidak ada semangat hidup yang terpancar dari matanya. Dia benar-benar menganggap hidup ini sudah berakhir untuk dirinya.
Kemudian Lina membuka tas selempangannya dan mengambil surat yang ditulisnya semalam. Lina terdiam sambil mengamati amplop yang sudah mulai menguning itu di tangannya.
Dia merasa tidak perlu lagi menyimpannya lebih lama.
Kemudian dia membuangnya dan menjatuhkannya di dekat sebuah selokan besar di dekat situ.
Lina mencoba melupakan semuanya yang ditulisnya dalam surat itu yang sepertinya tidak akan pernah terwujud.

❋❋❋

Akhirnya Lina naik bis sekolahnya.
Semua teman-temannya semakin bersikap dingin terhadap dirinya. Tatapan mereka semakin dingin dan mengancam. Lina tahu mengapa mereka semua melakukan itu.
Di dalam bis, tidak ada satu pun dari mereka semua yang berbicara. Mereka hanya menatap Lina dengan dingin lalu mengalihkan mata mereka ke titik lain.
Lina merasa aneh.
Tidak ada satu pun dari mereka yang menjahilinya hari itu. Mereka membiarkan Lina duduk di kursi neraka dengan tenang.
Lina duduk menghadap ke jendela dengan senyuman tiada henti. Efek dari surat semalam sangat mempengaruhinya. Dan dia mulai merasa bahwa ada awal baru yang lebih baik dari semua ini.

❋❋❋

Bis tiba-tiba saja berhenti.
Bis berhenti bukan di depan sekolah tapi di dekat sebuah toko besi yang jaraknya sekitar 15 meter dari sekolah. Semuanya turun satu persatu. Lina masih duduk dan menunggu di belakang. Dia menunggu sampai semua murid yang lain turun terlebih dahulu dan dia menjadi yang terakhir.
Akhirnya, Lina berjalan menuju ke pintu bis. Dengan langkah yang lebih bersemangat dibanding tadi, dia berjalan dan berdiri di depan pintu, tapi…
Buk.
Pintu bis tertutup.
Lina melihat ke Pak Geri di belakangnya. Pak Geri hanya tersenyum dengan tusuk gigi diantara gigi-giginya. Dia menatap Lina dengan licik.
Lina yang tidak mengerti hanya melongo.
“Mereka yang membayar gue untuk ini.” Kata Pak Geri sambil menggeser tongkat persneling dan menginjak pedal gas.
Bis berjalan kembali.
Lina menoleh ke belakang dan melihat semua teman-temannya yang lain saling bersorak merayakan kesuksesan mereka semua dalam menjebak Lina. Mereka bahkan melambai-lambai dari jauh, mengejek Lina atas kemenangan mereka.
Lina melihat Pak Geri dengan mata berkaca-kaca.
“Tolong, Pak. Hentiin bisnya.” Pintanya dengan bibirnya yang bergetar karena menahan tangis. Pak Geri menatap Lina. Bekas jahitan di dekat matanya terlihat sangat mengerikan sekaligus menjijikan.
“Mereka ngasih gue 300 ribu cuma untuk bawa elo jalan-jalan dan nggak bisa ke sekolah.” Jawabnya, “kalau mau, gue bisa nraktir elo makan. Kita jalan-jalan aja.Gimana?”
Lina menahan suara tangisannya. Tapi airmatanya sudah terlanjur turun.
Lina memegang tiang di dalam bis dengan sedih sambil terus menghapus airmatanya.
Pak Geri terus memegang setir dengan tenang. Lina melihat ke depan.
Sebuah mobil sedan hijau yang terparkir tiba-tiba mundur dan menghalangi jalanan yang akan dilalui bis.
“AWAAAS!” Lina menjerit.
Pek Geri memutar keras setir hingga bis miring. Lina berpegangan erat-erat pada tiang yang dipegangnya dengan mata terpejam karena ketakutan.
Beberapa pejalan kaki yang berada di trotoar langsung merapat ke sisi tembok toko di dekat mereka. Mereka ikut menjerit ketakutan.
Tapi bis terlalu dekat dengan mobil yang mundur itu. Kemudian…
BRAKK
Bis sekolah menabrak pinggiran mobil itu hingga mobil yang tiba-tiba mundur itu berputar tidak terkendali dan terdorong hingga menabrak tempat sampah di depannya hingga jatuh berantakan.
Bis berhenti dengan keras hingga ban berdecit.
Lina bisa merasakan tubuhnya nyaris terlempar saking kuatnya bis itu mengerem. Lina merasakan keringat dinginnya keluar. Dia membuka matanya dan melihat Pak Geri dengan kepanikan yang luar biasa. Pak Geri memegangi setir dengan mata yang membesar saat melihat dirinya sudah mencelakai mobil dan orang di dalamnya.
“Bangsat! Brengsek!” teriak Pak Geri sambil memukul setir.
Orang-orang yang tadi menyaksikan kejadian itu segera mengerumuni mobil yang terseret jauh itu. Mereka ingin melihat keadaan orang di dalamnya.
Lina menatap Pak Geri dengan dalam.
Pak Geri menoleh ke Lina dengan wajah paniknya.
“Pak Geri, kita membunuh seseorang.” Kata Lina.
Pak Geri mengalihkan lagi mukanya ke arah mobil yang penyok itu. Orang-orang yang berkumpul di sana heboh dan saling berbicara satu sama lainnya.
Pak Geri semakin panik. Begitu pun Lina.
Seorang laki-laki berlari menuju ke bis. Pak Geri mengamati orang itu dengan keringat bercucuran. Laki-laki itu berdiri di samping pintu pak Geri. Dia terlihat lelah setelah berlari.
Pak Geri terlihat tidak siap mendengar kabar buruk.
“Orangnya pingsan!” Teriak orang itu dari luar.
Pak Geri segera menurunkan kaca jendela di sampingnya. Wajah bulat dan besarnya langsung dikeluarkan dari jendela dengan tatapan terkejut.
“APA?” tanyanya.
Laki-laki itu berjinjit dan memajukan mulutnya ke dekat telinga Pak Geri, “Orang di dalamnya pingsan!” teriaknya.
Pak Geri semakin melotot.
Kemudian dia menekan tombol merah di dekatnya. Pintu bis segera terbuka dan dia segera turun untuk melihat pengendara mobil yang telah diterjangnya itu.
Lina menyadari ini adalah kesempatannya untuk kabur. Kemudian dia ikut turun dari dalam bis dan segera berlari ke arah belakang, kembali ke arah sekolahnya.

❋❋❋

Lina terus berlari.
Berulang kali dia terus menengok ke belakang untuk melihat apakah pak Geri mengejarnya di belakang.
Alhasil, setelah dia berlari agak jauh, dia menengok kembali ke belakang. Dia tertawa begitu lebar saat melihat Pak Geri yang kegendutan itu berlari seperti badut dan mencoba mengejarnya.
Lina semakin mempercepat langkahnya. Dia tahu kalau dia masih bisa sampai di sekolah jika saja dia terus berlari. Lina pun segera menghilang di belokan dan pak Geri menyerah untuk mengejarnya.
Lina merasa kuat. Entah mengapa dia berlari begitu cepat seperti pelari profesional. Semua orang yang melihatnya berlari langsung menyingkir ke pinggir dan menatap Lina dengan aneh. Seketika Lina langsung menjadi pusat perhatian mereka.
Sambil terus berlari, Lina terus tersenyum.
Dan kakinya tidak bisa lagi ditahan untuk terus berlari menuju ke sekolah dan mengejutkan semua teman-temannya bahwa dia telah kembali.

❋❋❋

Gladys, Vira dan Lauren berjalan dari arah kantin dengan memegang sebungkus roti di tangan mereka masing-masing.
“Gue yakin dia dibawa muter-muter sama Pak Geri.” Kata Gladys, “biar mampus tuh anak!” tambahnya.
Lauren menggigit rotinya dan mengangguk.
“Kalo gitu, kita nggak punya korban dong hari ini.” Sahut Vira.
“Iya sih, tapi seenggaknya kita nggak usah ngeliat sampah itu lagi di kelas kita hari ini. Bener kan?” tanya Gladys.
Vira tersenyum licik.
Sementara itu Lauren menarik sedikit jaket cardigannya dan membaca jam tangannya, “Kita harus buru-buru ke kelas, lima menit lagi bel.” Katanya.

❋❋❋

Lina sampai di bawah pohon mangga yang berdiri tepat di belakang tembok gedung sekolahnya. Dia menatap pohon itu dengan wajah bersinar. Dia benar-benar ingin menunjukkan pada teman-temannya yang lain kalau dia bisa kembali. Dia sudah tidak sabar melihat reaksi teman-temannya saat melihatnya kembali.
Lina melempar tasnya ke atas pohon hingga tersangkut pada salah satu ranting besarnya. Kemudian Lina memanjat pohon itu dengan cepat. Dia memang ahli dalam urusan memanjat pohon sehingga dia bisa sampai di ranting yang tinggi dengan mudah.
Begitu sampai di atas, Lina bisa melihat ke dalam sekolahnya. Lina mengambil tasnya dan melemparnya ke halaman belakang sekolahnya. Kemudian perlahan dia berdiri di atas ranting.
Matanya melihat ke bawah dengan gugup. Kakinya berdiri dengan cukup gemetaran di atas ranting itu dan dia terus menapak ke arah kirinya. Terus berjalan dengan kedua tangan berpegangan pada ranting-ranting disekitarnya.
Lina akhirnya bisa menyentuh tembok pembatas sekolahnya. Dia melompat dan berdiri di atas tembok kemudian duduk di atas tembok itu dan loncat ke bawah. Dia tersenyum penuh bahagia saat lututnya menyentuh rumput hijau di halaman belakang sekolahnya. Kemudian dia berdiri dan menepuki lututnya lalu menggendong tasnya.
Lina kembali berlari.

❋❋❋

Triiiiiiinggggg…. Triiiiiiiinggggg….
Lina berlari di koridor. Senyumnya terkembang pasti saat didengarnya bel sekolah berbunyi.
Banyak murid-murid lain yang menatap aneh pada Lina. Tapi Lina tetap tidak peduli. Yang dipedulikannya hanyalah tentang hari ini. Tentang suksesnya meloloskan diri dari Pak Geri dan dia bisa sampai di sekolah tanpa terlambat.
Anggi dan Nita berada di lorong loker. Mereka sedang membuka loker mereka yang letaknya berdampingan. Nita mengambil tiga buku tulisnya lalu menutup loker dan berbalik badan.
Tap    tap    tap
Lina berlari dan melintas di depan mata Nita.
Tiba-tiba Nita membuka mulutnya. Dengan mata membesar karena tidak percaya, dia mendirikan telunjuknya ke arah Lina yang sudah berbelok.
“Itu kan…?” Nita bergumam.
Anggi juga mengambil tiga buku tulisnya. Kemudian dia menutup lokernya dan berbalik. Alisnya keriting saat melihat apa yang sedang dilakukan Nita.
“Lo kenapa?” tanya Anggi.
“Lina.” Jawab Nita, “gue liat Lina.”
Anggi segera melihat ke arah yang ditunjuk Nita dan dia nggak melihat Lina disana. Anggi menyentuh kepala Nita. Dia menurunkan tangannya kembali saat tahu Nita nggak demam.
“Lo ngigo ya? Nggak mungkin Lina masuk sekolah hari ini. Yuk ah, kita ke kelas. Nanti Bu Guru keburu masuk.”
Anggi lalu menarik tangan Nita dan mengajaknya berjalan menuju ke kelas.

❋❋❋

BRAAKK
Sesaat setelah pintu dibuka keras, semuanya menatap ke Lina yang berdiri di depan pintu dengan bahu yang naik turun.
Semuanya langsung terdiam saat melihat Lina. Beberapa diantaranya hanya tercengang sementara yang lainnya langsung melotot dengan mulut terbuka.
Lina tersenyum.
Dia benar-benar berhasil mengejutkan teman-temannya.
Kemudian Lina berjalan menuju ke mejanya. Semua yang di dalam kelas hanya membiarkan semua itu terjadi. Tanpa ada yang berani untuk berkata ataupun melakukan sesuatu.
Lina duduk dibangkunya dengan senyuman yang tiada henti. Bagaimanapun, setidaknya hari ini dia bisa membalas semua perlakuan teman-temannya. Meskipun hanya sekali seumur hidupnya.

❋❋❋

“Kenapa dia bisa balik lagi kesini?” bisik Vira pada Gladys.
“Gue nggak tahu. Sialan banget tuh pak Geri. Kita udah bayar dia mahal-mahal, eh… nggak bisa dipercaya.” Jawab Gladys.
Akhirnya Vira dan Gladys menoleh ke belakang dan melihat Lina yang sedang meraut pensilnya.
“Hari ini dia beruntung.” Kata Gladys.
Vira tersenyum licik dan menggeleng, “nggak bisa begitu dong. Pulang sekolah nanti, kita kasih dia hadiah.”
Lina hanya bisa tertunduk dengan cemas saat dua iblis itu menatapnya dengan sebuah rencana jahat yang bisa dia rasakan.

❋❋❋

Pulang sekolah, di kamar mandi.
Lina diseret masuk oleh Vira. Gladys segera menutup pintu dan Vira langsung mendorong Lina ke tembok dan bersiap menyiksanya.
“Tadi elo puas bisa lolos ya?” Gladys menjambak rambut Lina ke belakang. Lina merintih kesakitan.
“Tapi sekarang enggak kan?” tantang Vira.
Gladys mengambil gayung dan menciduk air. Dia menuangkan air dingin dari ember di dalam kamar mandi ke kepala Lina.
Lina gemetaran. Dia merasakan setiap jengkal tubuhnya di aliri air. Dia berdiri dengan seluruh ketakutan sekaligus kebencian yang mendalam di hatinya.
Setelah melakukan itu, Gladys dan Vira meninggalkan Lina sendirian di dalam kamar mandi.
Lina harusnya tahu kalau dia tidak akan menang. Selamanya hanya akan jadi pecundang di tempat itu. Selamanya…

Bagian 3

Keesokan harinya…
Hari ini Lina memutuskan untuk tidak naik bis ke sekolah. Dia memutuskan untuk berjalan kaki dan itu menyelamatkannya dari teman-temannya yang selalu ingin menyakitinya.
Lina sampai di sekolah tepat waktu.
Dia lalu duduk di bangkunya dengan tenang.
Hari itu dia belum mendapatkan perlakuan yang menyakitkan dari teman-temannya. Tapi mungkin itu tidak akan bertahan lama.
Bu Merry menuliskan contoh paragraf naratif di papan tulis. Bu Merry adalah guru Bahasa Indonesia mereka yang sudah tua namun selalu berpenampilan modis seperti kaum muda.
Tok tok tok
Pintu kelas diketuk.
Bu Merry yang mengajar di depan harus menutup dulu spidolnya dan membuka pintu. Terlihat Bu Yesi di luar sana. Bu Merry dan Bu Yesi bicara sebentar kemudian Bu Merry berdiri di depan kelas.
“Tolong perhatiannya.” Ucap Bu Merry sampil menepuk tangannya. Dia meminta perhatian murid-muridnya.
Steve dan Obi yang sedang bercanda langsung membenarkan posisi mereka dan memperhatikan Bu Merry.
“Hari ini kalian akan kedatangan teman baru. Tolong bersikap baik di depannya dan beri dia kesan yang baik tentang kita, oke?”
Anak-anak lain jadi diam. Mereka tidak tahu kalau mereka akan memiliki teman baru hari ini. Dan hal itu sangat membuat mereka penasaran. Siapapun orang yang menjadi murid baru di kelas itu, pasti dia bukan orang sembarangan.
Bu Merry kembali berjalan menuju pintu.
Tangannya menarik tangan lain untuk masuk ke dalam kelas. Semuanya sangat tertarik dengan teman baru mereka. Mereka langsung saling lirik seakan bertanya seperti apakah teman baru mereka itu.
Lina melihat ke depan.
Siswi baru itu terlihat baik.
Wajahnya cantik, matanya coklat dan kulitnya putih. Tapi ada kapas dan plester yang menutupi keningnya sebelah kiri dan siku kanannya. Dia juga memakai band di pergelangan tangan kanannya. Rambutnya panjang dan lurus. Poninya terlihat penuh menyentuh alis. Dia memakai sepatu pantopel dan kaus kakinya setinggi lutut. Dia mirip seperti boneka barbie.
“Tolong perkenalkan diri kamu.” Kata Bu Merry.
Dengan tersenyum hingga menunjukkan gigi-gigi putihnya, murid baru itu mengangguk. Dia menatap bergantian teman-teman sekelasnya yang duduk melihat kearahnya. Kemudian, murid baru itu melihat Lina. Lina terpaku dan siswi itu tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.
“Namaku Clara.” Katanya.
Setelah itu, dia tidak berkata apapun. Dia hanya terdiam dan menatap teman-temannya bergantian dengan senyum lebar yang terlihat aneh.
Hening… murid-murid menunggu kalimat lain dari siswi baru itu.
Bu Merry merasa perlu mengubah keheningan ini, “ayo anak-anak, siapa yang mau nanya?” tanyanya.
Steve mengacungkan jarinya. Bu Merry mengangguk.
“Asal sekolah?” tanya Steve.
“Aku home schooling.” Jawab Clara, “ini pertama kalinya aku masuk sekolah formal.” Sambungnya.
“Alamat rumah?” tanya Steve lagi.
“Jalan Batu Besar nomor 15.” Jawab Clara.
Tiba-tiba Vira dan Gladys bertatapan. Mulut mereka ternganga lebar saat mendengar jawaban Clara.
“Istana itu?” tanya Gladys pada Vira.
“Kalo gitu dia anak paling kaya di kelas kita dong.” Gumam Vira pada Gladys. Gladys melirik dan mengangguk.
Kemudian, murid baru itu melihat Bu Merry, “Bu, boleh aku langsung duduk?” tanya Clara.
Bu Merry melihat lagi ke murid-muridnya. Memastikan apa mereka semua memang benar-benar tidak ingin bertanya lebih jauh pada Clara.
Bu Merry menarik dalam napasnya, “Oke, bangkumu di belakang sana.” Bu Merry menunjuk bangku di belakang.
Clara tersenyum.
Kemudian dia berjalan menuju ke bangku di belakang, persisnya di belakang Nita. Mata teman-temannya yang lain mengikutinya sampai ke belakang kelas. Dari mata mereka semua kelihatan kalau mereka sangat terkagum dengan Clara.
Clara memang menaruh tasnya di atas bangku itu tapi dia tidak duduk di atasnya. Dia justru menarik mejanya dan juga bangkunya dan menempatkannya sangat dekat di samping meja Lina.
“Kenapa sih dia mau sebelahan sama cewek bau itu?” tanya Anggi. Nita hanya bisa mengangkat bahunya.
Semua yang lain hanya menggelengkan kepala dan kembali melihat ke papan tulis. Mereka nggak nyangka Clara tertarik dengan anak seperti Lina.
“Biar dia sekaya apapun, kalau dia mau jadi temennya Lina, dia jadi musuh kita.” Bisik Gladys pada Vira. Vira mengangguk.
Desi masih menoleh ke belakang dan melihat dengan sinis dua anak yang duduk berdua di baris paling belakang kelas.
“Finally, the poor got a friend.” Katanya sambil berpaling.
Lina tertunduk. Dia tahu kalau dia memang tidak pantas berteman dengan Clara. Mereka memiliki perbedaan yang sangat membentang luas.
“Hai.” Sapa Clara.
Lina masih agak ragu menoleh. Tapi melihat senyum tulus dari Clara, akhirnya Lina memberanikan diri untuk menoleh.
“Hai.” Jawab Lina dengan tersenyum takut.
“Apa kabar, Lina?” tanya Clara.
Lina mengeritingkan alis. Dia mulai bertanya-tanya.
“Darimana kamu tahu nama aku?” Lina bertanya dengan dalam.
Clara tersenyum, “Dari tulisan di sampul buku kamu.”
Lina kaget dengan jawaban itu. Dia langsung melongo dan melihat buku tulis bernamakan dirinya yang berada di atas mejanya.
Clara mengulurkan tangannya pada Lina.
“Mulai sekarang, kita teman. Setuju?”
Lina termangu saat melihat uluran tangan Clara. Dia menatap Clara bingung. Dia meragukan kalimat gadis itu. Mungkinkah mereka berdua bisa benar-benar berteman? Teman dalam arti yang sebenarnya.
Clara terus tersenyum. Lina melihat uluran tangan Clara dan menarik napas dalam. Dia lalu menyambut baik tawaran itu. Mereka berjabat tangan dengan senyum yang terkembang dengan tulus.
“Setuju.”

❋❋❋

Triiiiiiiingggg….    Triiiiiiiingggg….
Bel istirahat berbunyi.
Lina dan murid yang lain membereskan meja mereka dari alat-alat tulis. Murid laki-laki bahkan langsung berdiri dan berlari keluar kelas dan meninggalkan meja mereka yang masih dipenuhi buku.
“Istirahat ya?” tanya Clara.
Lina yang sedang memasukkan buku ke dalam tasnya lalu mengangguk, “Iya. Istirahat di sini jam sepuluh.”
“Mau makan?” tanya Clara lagi.
“Iya.” Jawab Lina tersenyum.
“Dimana kantinnya?” tanya Clara.
Lina berdiri, lalu memegang tangan Clara. Clara ikut berdiri dan melihat Lina tersenyum ke arahnya.
“Ayo, ikut aku aja.”

❋❋❋

Mereka akhirnya sampai di kantin dan saat ini mereka berdua sedang berdiri di depan Bu Konco. Bu Konco yang sedang mengelap tangannya itu sedikit bingung melihat Lina yang datang bersama Clara. Dia mengamati Clara dengan seksama dan tajam hingga Clara jadi salah tingkah.
“Dia Clara. Anak baru.” Kata Lina.
Mulut Bu Konco membulat dan dia mengangguk.
“Karena beasiswa?” tanya bu Konco.
Lina menggeleng, “Bukan. Clara anak konglomerat.” Jawabnya.
Bu Konco kembali bergumam dan mengangguk pelan.
“Mau makan apa?” tanya Bu Konco.
“Kita berdua pesen nasi sama sop ayam. Minumnya es jeruk.” Sahut Clara dengan suaranya yang ceria.
Lina yang nggak tahu ada perjanjian kayak gitu langsung menoleh ke Clara dengan wajah heran.
“Kamu makannya sama kayak aku aja ya?” tanya Clara. Seperti biasa, dia tersenyum manis saat mengatakannya.
Lina mengangguk.
Kemudian Bu Konco yang tubuhnya gemuk itu datang dengan dua papan berisi pesanan. Seperti kemarin, dia memberikan papan paling jelek buat Lina.
Lina mengambil papan itu tapi Clara tidak.
Meskipun Clara diberikan papan yang bagus, dia menatap Bu Konco dengan wajah marah. Lina terpaku. Dia baru pertama kali ini melihat Clara semarah itu. Gadis itu terdiam dengan mata sangat marah melihat Bu Konco.
Bu Konco mengeritingkan alisnya saat melihat Clara diam saja di depannya dengan mata menajam.
“Ada apa?” tanya Bu Konco dengan suaranya yang mirip suara lelaki.
“Kenapa Ibu kasih papan sejelek itu sama Lina?” tanya Clara.
Lina melihat mata Bu Konco yang marah, “Clara, udah…” Lina mencoba membujuk Clara. Tapi Clara tidak menghiraukan Lina.
“Saya mau itu diganti.” Kata Clara.
Bu Konco menatap Lina. Lina menelan ludahnya. Bu Konco lalu mengambil lagi papan yang telah diberikannya pada Lina dan membawanya kembali ke dapur. Tidak lama kemudian Bu Konco kembali dengan papan yang bagus dan langsung menyodorkannya pada Lina.
Setelah Lina mendapatkan papan yang bagus, Clara mengambil papan makan siangnya dan langsung tersenyum ceria pada Bu Konco seolah tidak ada apapun yang baru saja terjadi.
“Makasih, ibu.” Ucap Clara riang.
Mereka berdua lalu berjalan meninggalkan Bu Konco. Sampai mereka menjauh pun, Bu Konco masih mengeritingkan alisnya kepada mereka berdua. Dia merasa aneh, terutama pada Clara.
Lina dan Clara berjalan mencari meja kantin yang kosong. Clara berjalan memimpin Lina menuju meja di samping pintu keluar yang masih kosong.
“Ayo duduk.” Ajak Clara sambil menarik kursi di dekatnya untuk Lina. Lina yang melihat meja itu langsung berjalan cepat dengan semangat karena hari itu dia tidak lagi duduk di meja neraka.
Lina dan Clara duduk bersama. Mereka lalu membuka tutup plastik yang menutupi mangkuk sup mereka yang hangat.
Tiba-tiba Lina melihat ke depannya.
Dia melihat Josh berjalan menuju ke satu meja bersama Vino, Obi, Steve dan Todo. Josh terlihat tertawa besar hingga garis-garis di sudut matanya muncul dan membuatnya nampak sangat manis.
Diam-diam Clara memperhatikan Lina yang tiba-tiba berhenti bergerak saat melihat Josh.
“Udaah… jangan diliatin terus.” Kata Clara.
Lina tersentak kaget dan langsung melongo ke arah Clara. Clara terlihat meminum es jeruknya dan pura-pura cuek.
“Hah? Siapa?” tanya Lina.
Clara menatap Lina dengan senyum aneh.
“Josh.” Jawab Clara.
“Josh?” Lina balik nanya.
“Kamu suka dia kan?” tebak Clara sambil tersenyum menyindir.
Lina menggeleng buru-buru, “Enggak.”
“Nge-fans?” tanya Clara lagi.
Bibir Lina menguncup, “Hmm… mungkin iya.”
Clara masih tersenyum kepada Lina seolah minta keterangan lebih lanjut tentang semuanya. Lina mengalihkan mukanya yang mulai merah dan menyenggol siku Clara.
“Udah ah jangan godain aku terus, ayo makan.”

❋❋❋

Triiiiingg… Triiiinggg…
Bel tanda pelajaran berakhir sudah berbunyi tepat pukul tiga sore. Pak guru berjalan keluar meninggalkan kelas dan murid-murid langsung membereskan barang-barang mereka.
Mereka semua nampak bersemangat untuk pulang. Hanya tinggal Gladys dan Vira yang sengaja menunggu di kelas dengan tangan terlipat dan alis mata naik ke arah Lina.
Ternyata tepat, di saat kelas udah sepi, mereka berdua berjalan mendekat ke Lina dan Clara. Lina bisa merasakan adanya masalah yang mengincarnya.
Vira menarik tangan Lina tiba-tiba.
“Lina, ikut gue. Gue mau bicara.” Kata Vira.
“Nggak!” teriak Clara.
Kemudian Clara menepuk keras-keras tangan Vira hingga terlepas keras dari tangan Lina. Vira dan Gladys terkejut dengan reaksi Clara.
“Eh, gue nggak ada urusan sama lo ya?” ucap Gladys sambil menunjuk ke muka Clara.
Clara berdiri di depan Lina untuk melindungi Lina. Clara berkacak pinggang dan mengangkat dagunya untuk menantang Gladys dan Vira.
“Aku nggak akan takut ngelaporin semua tingkah laku kamu sama guru seandainya kamu ganggu Lina! Bahkan aku bisa ngelaporin kalian ke polisi atas dasar penyiksaan! Ngerti nggak?” teriaknya dengan mata melotot yang membuat nyali dua penjahat itu ciut.
Setelah bertatapan beberapa kali, akhirnya Vira dan Gladys langsung berbalik badan dan membanting pintu lalu keluar dengan langkah marah.
Clara berbalik, melihat Lina di belakangnya.
“Clara, makasih ya?” ucap Lina lemas.
Clara mengangguk dan tersenyum. Clara lalu menyilangkan tas selempangan di depan dada dan memegang tangan Lina lalu menuntunnya keluar.

❋❋❋

Sesampainya mereka di halaman depan sekolah…
“Kamu pulang naik apa?” tanya Clara.
“Bis sekolah nomor 7.” Jawab Lina.
Clara berjinjit dan matanya menebar pandangan ke seluruh titik.
“Yang mana?” tanya Clara bingung.
Lina mengeritingkan alisnya, “Mana ya? Mungkin belom dateng. Hari Kamis begini pak Geri sering telat.” Jawab Lina.
Clara terlihat bahagia dan langsung memegang erat tangan Lina.
“Main kerumahku dulu, yuk?” ajak Clara.
Lina terdiam bimbang.
“Main yuk? Cuma sebentar kok. Please…” Clara memohon-mohon.
Lina mengangguk, “Oke deh.”
Tiba-tiba terlihat sebuah mobil mercedes hitam mewah masuk ke halaman sekolah diiringi bunyi klakson. Kemudian turun seorang laki-laki tua, memakai topi dan berseragam hitam yang melirik sana-sini.
“Yuk cepet, Pak Ipat udah dateng tuh.”
Clara berlari bersama Lina menuju mobil mewah itu. Pak Ipat, supir keluarga Clara segera membukakan pintu dan mengantarkan mereka.

❋❋❋

Lina duduk melihat keluar jendela dari dalam mobil Clara. Dia sangat antusias melihat jalanan dari dalam sebuah mobil mahal seperti ini. Wajahnya menunjukkan kebahagiaan yang besar saat orang melihat ke arahnya.
Tapi kemudian Lina melihat sesuatu yang mengejutkan.
“Lho, itu kan bis yang biasa jemput aku.” Ucap Lina saat mereka melintas di sebuah jalanan macet. Mereka melihat sebuah bis sekolah yang terlihat berhenti di pinggir jalan dan dikerubungi banyak orang. Di sekitar sana terdapat mobil-mobil polisi yang bersirene. Bis itu juga terlihat penyok di bagian depannya.
“Kenapa ada disitu?” tanya Clara, “kenapa ada polisi?”
Lina jadi panik, “aku nggak tahu. Jangan-jangan…”
“Bis itu kecelakaan. Remnya blong dan nabrak pohon. Supirnya tewas. Tadi saat saya mau menjemput ke sekolahan, hal itu terjadi. Untungnya kejadian itu terjadi sebelum dia mengangkut murid-murid sekolahan.” Jelas Pak Ipat.
Tangan Lina menutupi mulutnya yang menganga. Matanya melayu saat melihat bis sekolah itu menjadi rongsokan di pinggir jalan, “Ya ampun, Pak Geri…”

❋❋❋

Lina menatap kagum tidak percaya saat mobil Clara masuk ke pintu gerbang besar dimana sebuah istana berdiri di depannya. Jalan Batu Besar no.15 itu ternyata sebuah istana.
Saat mobil sudah berhenti pun, Lina masih menunjukkan muka polosnya yang sangat takjub. Lalu dia menggerakkan kepalanya yang terasa berat untuk menoleh ke Clara yang duduk di kanannya.
“Ini rumah kamu?” tanya Lina.
Clara mengangguk.
Lina kembali melihat ke luar jendela. Rasanya seperti mimpi.
Clara membuka pintu di sampingnya dan turun. Tapi dia lalu membungkuk dan alisnya keriting melihat Lina yang masih duduk terbengong di dalam mobilnya.
“Lina, ayo turun. Sampai kapan kamu mau terus disitu? Aku udah nggak sabar mau ngenalin kamu sama Mama.” Kata Clara.
Lina segera menghapus lamunannya dan langsung membuka pintu lalu turun. Dia semakin tercengang saat melihat rumah itu jadi seperti raksasa di depan matanya. Rumah itu benar-benar megah.
Clara memegang tangan Lina, “yuk, masuk.”
Mereka berdua masuk ke dalam rumah Clara.
Begitu mereka membuka pintu, Lina langsung melihat ke tangga besar yang terbagi menjadi dua cabang di depan matanya. Lima orang pelayan berseragam sama terlihat mondar-mandir di lantai atas dan lantai bawah.
“Sore, Nona Clara.” Sapa satu pelayan.
“Selamat datang, Nona.” Ucap pelayan lain yang berada di lantai atas.
Lina benar-benar takjub.
Mulutnya terbuka dan matanya melirik ke semua benda di dalam rumah itu dengan muka lugunya. Beberapa pelayan yang sedang memegang kemoceng dan berlalu lalang memperhatikan Lina dengan seksama. Lina tidak menyadari tatapan itu. Dia terlalu terpukau dan terbius terhadap rumah itu.
“Ayo kita ketemu Mama.” Ajak Clara seraya menyambar tangan Lina dan mengajaknya berlari.
Mereka berdua berlari cepat ke atas tangga. Hampir menabrak seorang pelayan yang membawa nampan berisi makanan. Mereka berlari seperti anak kecil dan terus berlari hingga mengagetkan para pelayan yang lewat. Mereka terus berlari di atas karpet merah yang membentang sepanjang koridor.
Clara kemudian mendorong sebuah pintu yang cukup besar. Ketika pintu besar itu terbuka, ada seorang wanita anggun bergaun merah yang sedang bercermin di dalam ruangan yang sangat luas itu.
“MAMAA!!!” teriak Clara sambil berlari.
Wanita itu berdiri dan merentangkan tangannya.
Clara masuk ke pelukan wanita itu dan mereka lalu berpelukan erat. Sangat erat dan dipenuhi cinta.
“Udah pulang? Gimana sekolah barunya?” tanya Mama Clara sambil membelai kepala Clara lembut.
“Enak, Ma. Aku suka sekolah disitu.” Jawab Clara.
Mama Clara melihat Lina yang berdiri di belakang Clara dengan wajah lugu. Dia cukup iri melihat kebahagiaan Clara yang memiliki ibu yang baik dan cantik, dia ingat dengan ibunya yang meninggal 5 tahun yang lalu. Lina terdiam dengan ketidakberdayaan yang ia miliki. Dia melihat wajah Mama Clara yang begitu cantik dibalut gaun merah yang licin, seperti pemain film.
Sementara itu, tatapan Mama Clara saat melihat Lina langsung berubah aneh. Mama Clara terlihat gugup dan menjadi sedih. Dia tidak menatap Lina terlalu lama. Lina jadi merasa aneh. Seperti ada sesuatu yang dirahasiakannya.
“Ma, dia sahabatku. Namanya Lina.” Clara memperkenalkan.
Mama Clara dan Lina saling berbalas senyum dari jauh.
“Lina. Sini dong.” Panggil Clara.
Lina berjalan pelan dan tertunduk untuk menghampiri.
Mama Clara berlutut saat Lina berdiri takut disamping Clara. Dia mengibas rambut Lina ke belakang dengan sangat lembut.
“Kamu Lina ya?”
“Iya, tante.” Jawab Lina malu.
“Kalian harus bersahabat ya? Jangan saling menyakiti satu sama lain. Oke?”
Lina dan Clara mengangguk bersamaan.
“Ma, aku mau ngajak Lina jalan-jalan dulu ya?”
Mama Clara tersenyum, “Iya.”
Clara kembali memegang tangan Lina dan mengajaknya berlari keluar kamar untuk berpetualang menjelajahi istana itu.
Sementara itu Mama Clara berdiri dan melihat kedua gadis itu berlari keluar dari kamarnya. Wajahnya yang cantik terlihat sangat mencemaskan sesuatu.
Sesuatu yang penting…

❋❋❋

Clara mengajak Lina berlarian di koridor yang panjang.
“Kita mau kemana?” tanya Lina.
“Aku mau main.” Jawab Clara.
Kemudian Clara berhenti di depan sebuah pintu lalu membukanya dan masuk. Lina melihat banyak sekali boneka dan mainan di dalam sana. Rasanya seperti di toko mainan.
“Mainan kamu banyak banget.” Lina terlihat nggak percaya.
“Iya, Papaku yang beliin.” Jawab Clara.
Clara dan Lina mulai memainkan semua mainan itu. Mereka mulai bermain mendribel basket dan saling merebutnya.
“Abis ini kita makan, ke kolam renang, galeri lukisan, home theatre trus ke perpustakaan keren punya Papaku. Kita juga bisa ngeliat ikan koleksi Mama.” Clara menyebutkan semuanya dan Lina berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring.
“Semua itu ada di sini?” tanya Lina kagum.
Clara tersenyum, “Iya.”

❋❋❋

Lina akhirnya pamit pulang. Dia merasa sudah keenakan di rumah Clara hingga tidak sadar sudah jam delapan malam.
“Makasih buat semuanya ya?” ucap Lina.
Clara tersenyum dan mengangguk, “hari ini aku seneng banget.” Katanya.    Pak Ipat datang mendekat ke arah mereka dengan tergesa-gesa.
“Pak, tolong anter temen saya pulang.” Suruh Clara.
Lina nampak kaget. Dia nggak tahu kalau dia juga akan diantar pulang. Clara yang mengetahui ekspresi terkejut Lina langsung menepuk pundak sahabatnya itu.
“Inget lho, besok kamu aku jemput.” ucap Clara, “kayaknya kamu udah nggak bisa naik bis lagi. Kalo jalan kan capek. Iya kan?” tanyanya.
“Iya, aku tahu. Makasih atas semuanya ya, Ra. Dadah…” Lina melambaikan tangannya ke arah Clara sambil berjalan mendekat ke pintu mobil yang telah dibukakan Pak Ipat.
“Dadaah…” balas Clara.

Bagian 4

Pagi yang cerah telah datang.
Hari ini Lina tidak akan berangkat ke sekolah dengan menggunakan bis sekolah. Lina langsung tersenyum penuh sukacita saat melihat mobil BMW Clara melaju ke arahnya. Jendela belakang mobil terbuka dan kepala Clara terlihat keluar dengan tangannya yang melambai.
“Linaaa!!!” teriaknya.
Lina tersenyum dan berjalan mendekat.
Kemudian mobil berhenti lalu Clara membukakan pintu dan menyuruh Lina duduk disampingnya. Mobil kembali bergerak.
“Aku nggak telat kan?” tanya Clara.
Lina menggeleng, “nggak kok. Tepat waktu.”
“Fiuuh… ini semua berkat Mama. Aku nggak biasa bangun pagi untuk ke sekolah. Untungnya Mama bangunin aku dan bikinin aku air panas buat mandi. Jadinya aku nggak telat jemput kamu kan?” Cerita Clara bersemangat.
“Kehidupan kamu sempurna banget ya?” bisik Lina sendu. Mata Clara melebar dengan penuh tanda tanya. Lina langsung menoleh dan menatap Clara dengan senyum.
“Kamu punya segalanya. Kamu cantik, baik dan punya segalanya. Aku pengen banget jadi kayak kamu, Ra.” Bisik Lina tertunduk.
“Kamu bisa kok.” Jawab Clara.
“Bohong.” Ledek Lina.
Lina dan Clara bertatapan serius kemudian tertawa bersama-sama karena melihat muka satu sama lain yang sangat lucu.
“Bagaimana Mama dan Papa kamu itu? Apa mereka orang yang baik?” tanya Clara penasaran.
Lina terdiam karena bingung harus menjawab apa. Kepalanya tertunduk dan dia memainkan jemarinya.
“Ibuku udah meninggal. Sementara Ayahku… dia nggak pernah peduli sama aku. Dia cuma penjudi dan pemabuk profesional.”
Clara terdiam saat melihat kesedihan Lina yang begitu dalam.
“Kadang kamu merasa lebih baik sendiri ya? Tanpa Ayah kamu yang cuma bisa menyiksa kamu aja?” tanya Clara.
Lina menarik napas dalam.
“Ya, kira-kira begitu. Kadang-kadang aku merasa kalau aku lebih baik sendirian dibanding harus hidup bersama Ayah yang nggak pernah bisa diandalkan.”

❋❋❋

Di kelas hari itu, pelajaran Matematika membuat anak-anak terdiam. Mereka semua diam bukan karena mereka ingin begitu atau mereka sudah memahami tapi karena mereka tidak mengerti dengan apa yang sedang dijelaskan Pak Imam di depan kelas.
Tiba-tiba saja pak Imam menuliskan soal di papan tulis.
“Siapa yang bisa?” tanya pak Imam.
Kelas jadi semakin hening. Beberapa diantara mereka hanya pura-pura berfikir. Hanya Lauren dan Desi yang terlihat paling serius menuliskan hitung-hitungan pada bukunya.
“Ayo, siapa yang tahu jawabannya?” tanya pak Imam lagi.
Clara menyenggol siku Lina.
“Kamu tahu jawabannya ya?” tanya Clara.
“120. Tapi aku nggak tahu itu betul atau salah.” Bisik Lina.
Tiba-tiba Clara mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Pak Imam cukup kaget melihat reaksi Clara yang muncul mendadak. Otomatis, seluruh mata langsung melihat ke Clara.
“Pak, Lina bisa.” Katanya semangat sambil menunjuk Lina.
Lina langsung menoleh dengan muka melongo ke arah Clara. Clara justru tersenyum lebar sementara teman-temannya yang lain menatap Lina dengan mata yang sangat mengancam.
“Lina, berapa jawabannya?” pak Imam bertanya.
Lina tertunduk dan menjawab pelan, “Saya nggak tahu apa ini bener, Pak.” Jawabnya pelan.
“Nggak apa-apa, dicoba aja.” sahut pak Imam.
Lina semakin merendahkan kepalanya, “Hmm.. 120.”
Pak Imam bertepuk tangan dengan bangga, “Bagus, jawabannya betul. Sekarang tuliskan caranya di depan kelas.” Suruhnya.
Lina menatap Clara dengan tatapan tidak percaya. Tapi Clara justru merasa sangat senang karena Lina akhirnya bisa menunjukkan kemampuannya pada guru.
Dengan sangat terpaksa, Lina maju ke depan kelas. Pak Imam pun memujinya dan memberikannya nilai tambahan.
Dan sikap Clara itu nggak berhenti hanya pada pelajaran Matematika. Setiap ada pelajaran, jika guru memberi soal dan wajah Lina kelihatan tenang, Clara langsung berkata kalau Lina pasti bisa menjawab pertanyaan itu.
Awalnya Lina risih. Tapi lama kelamaan dia merasa ketagihan dengan segala pujian yang diberikan guru padanya. Dia merasa menjadi lebih kuat dan percaya diri. Dia dan Clara merasa tidak peduli dengan tatapan sinis dari yang lainnya.
Lina merasa terlindungi setelah bersahabat dengan Clara. Clara berani membela dirinya jika Gladys dan Vira ingin mengerjainya dan kemenangan itu membuat Lina jadi gadis yang lebih bisa menikmati hidupnya.
Hari itu dia begitu sering tertawa. Berteman dengan gadis secantik Clara membuatnya menjadi populer. Berteman dengan gadis sekaya Clara membuat segalanya bisa ia dapatkan. Berteman dengan gadis sebaik Clara membuat dirinya merasa nyaman.
Dan hari itu pun menjadi salah satu hari bahagia dari sedikit hari bahagia yang Lina pernah miliki.
Setidaknya untuk saat ini…

❋❋❋

Bel pulang sudah berbunyi.
Pak Ipat datang sesuai jadwal. Lina dan Clara masuk ke dalam mobil dan bersiap untuk pulang.
“Hari ini menyenangkan ya?” tanya Clara.
Lina mengangguk, “di sekolah emang menyenangkan. Tapi di rumah mungkin enggak.” Jawab Lina.
Clara bisa memahami kalimat Lina tadi. Dia langsung menggigit bibirnya dan tatapannya jadi sedih.
“Kamu nggak mau pulang untuk ketemu Papa kamu?” tanya Clara sendu.
“Maunya sih begitu. Tapi kalo aku nggak pulang, segalanya bisa jadi lebih buruk. Kamu tahu nggak, gara-gara kemarin aku pulang malam, aku kena hukuman dan nggak dikasih makan. Untungnya aku udah makan banyak di rumah kamu. Jadi nggak terlalu laper deh.”

❋❋❋

Lina turun di tempatnya biasa menunggu bis. Mobil Clara hanya bisa mengantar sampai situ karena gang kecil untuk sampai ke rumah Lina tidak bisa dilalui mobil.
Clara membuka jendela mobilnya dan melihat Lina.
“Makasih ya, Ra. Makasih Pak Ipat. Dadaahh…” Lina melambaikan tangan.
Clara juga melambaikan tangannya, “Dadaahh…”
Mobil berputar dan melaju semakin menjauh.
Lina berjalan menuju ke rumahnya. Dia melihat satu bendera kuning dipasang di tiang listrik di sampingnya. Lina menatap seram dan bertanya-tanya dalam hati siapa yang meninggal hari itu.
Hingga akhirnya…
“Lina.” Panggil Bu Aan.
Lina yang sedang berjalan itu lalu berhenti.
“Ada apa, Bu?” tanyanya.
Bu Aan yang sedang menggendong anaknya itu lalu menatap Lina dengan iba. Lina berusaha memahami arti tatapan yang menakutkan itu, “Bapak kamu, Lina. Bapak kamu meninggal.” Katanya.
“Ayah?” Lina bertanya tidak percaya.
Lina mematung sesaat. Kemudian dia berlari secepat mungkin. Dia berlari dengan jantung yang terus terpompa. Berulang kali kakinya basah karena menginjak genangan air di jalan yang rusak.
Tapi dia tidak peduli dan dia ingin sampai di rumah secepat-cepatnya. Dia terus berlari hingga terjatuh tapi dia segera berdiri lagi dan berlari.
Kakinya berhenti agak jauh dari pintu rumahnya. Dia melihat banyak orang berpakaian hitam berkumpul di dalam kontrakan rumahnya yang kecil itu. Tiba-tiba dia histeris. Terdiam disana dengan tubuh lemas dan tangisan yang dalam.
Bu Ijul, salah seorang tetangga dekatnya yang sedang membaca Yasin mendengar tangisan Lina dan langsung menoleh. Dia langsung berdiri menghampiri dan memeluk Lina.
Lina terkulai. Saat dipeluk, tubuhnya mengayun turun dan dia terus menangis. Bu Ijul semakin erat memeluk Lina.
“Lina, bapak kamu ditembak seseorang waktu lagi jalan di depan warung Pak Markum. Bapak kamu ditembak orang nggak dikenal.” Kata Bu Ijul sambil ikut menangis.
Lina masih berada dalam pelukan. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan terus menangis. Kemudian dia membuka wajahnya, melihat jasad Ayahnya terbaring di tengah rumah berselimutkan kain batik.
Lina tidak menduga Ayahnya pergi secepat itu…
“AYAAH!!” jerit Lina.

Bagian 5

Keesokan harinya di rumah Clara.
“Yang sabar ya, Lin.” Clara mengelus pelan rambut Lina yang duduk di depannya dengan tubuh lemas.
Lina mengangguk meski tanpa senyum di bibirnya.
Lina sekarang berada di kamar Clara. Tadi pagi Lina datang ke rumah Clara dalam keadaan terpuruk. Kemarin dia baru saja mengalami kejadian yang sangat tidak diinginkannya.
Lina ingin menceritakan semuanya pada Clara, makanya dia datang. Setidaknya Lina bisa berbagi perasaan dengan seseorang tentang apa yang dirasakannya saat ini.
Dan di sinilah mereka sekarang, duduk berdua di atas kasur besar milik Clara dan Clara sendiri sedang berjuang untuk menghibur sahabatnya itu.
“Lina, kamu nggak boleh sedih. Kamu inget kan? Kamu nggak boleh sedih. Aku nggak bisa ngeliat kamu sedih, Lina. Kamu jangan sedih dong.” Kata Clara dengan cemas.
Lina menatap lantai dengan pandangan kosong, “Aku nggak tahu gimana hidup aku abis ini, Ra. Aku bingung. Meskipun selama ini Ayahku sering jahat, tapi aku bisa hidup karena dia. Sekarang gimana? Aku harus kerja dan nyari uang untuk bisa hidup.” Desah Lina.
Clara merangkak di atas kasurnya kemudian duduk di depan Lina. Clara lalu memegang tangan Lina dan menatap Lina dalam. Lina akhirnya mengangkat wajahnya dan mereka berdua lalu bertatapan.
“Kamu nggak perlu begitu, Lina. Kamu nggak perlu kerja. Kamu boleh tinggal di rumahku. Gimana? Kita bisa terus bareng kan? Kita bisa terus bersama. Gimana?” tawar Clara dengan mata berbinar.
Dilihat dari matanya, Clara sangat menginginkan hal itu terjadi. Lina pun tersenyum, “Kamu nggak keberatan?” tanyanya.
Clara menggeleng, “Enggak. Aku sama sekali enggak keberatan. Justru aku senang kita bisa bersama terus. Gimana?” tanyanya.
Lina menarik ingusnya, “Mama kamu nggak keberatan?”
“Ya ampuun… Mama itu kan selalu menuruti apapun keinginan aku supaya aku bahagia, Lina. Kamu mau kan tinggal disini?” tanya Clara dengan tersenyum dan menunjukkan gigi kelincinya.
Lina mengangguk.
Clara langsung memeluk Lina. Lina juga ikut menaruh tangannya di punggung Clara dan tersenyum senang. Mereka berpelukan seperti dua orang yang sudah lama bersahabat.
Clara melepaskan pelukannya, “kalau gitu, kamu jangan sedih lagi ya? Kamu akan tinggal disini sama aku. Oke?”
Lina tersenyum lalu dia mengangguk.

❋❋❋

Clara menarik tangan Lina dan mengajak Lina keluar dari kamarnya. Kemudian mereka berjalan sebentar dan Clara membuka pintu kamar yang terletak di samping kamarnya.
Lina melihat ruangan yang megah itu dengan mata berbinar. Ruangan itu luas, kasurnya besar dan semua yang ada di dalamnya itu benar-benar indah. Begitu mahal dan tak terbayangkan.
“Wow.” Lina kagum.
“Mulai sekarang, ini kamar kamu.” Kata Clara.
Senyuman di bibir Lina mendadak hilang dalam sekejap. Dia melihat Clara dengan mata kebingungan dan dua alis yang menyatu.
“Ini?” tanya Lina.
“Iya. Jadinya, kamar kita sebelahan kan?” tanya Clara.
Lina nggak menjawab. Dia hanya memperhatikan satu persatu ruangan itu dengan ketakjuban yang terpancar dari matanya.
“Kita jadi kayak kakak dan adik ya?” tanya Clara lagi.
Lina mengangguk dan kehabisan kata-kata, “Iya.”
Clara melihat Lina, “Kamu jangan sedih lagi ya?” dia bertanya dengan senyuman yang manis. Lina tersenyum mengiyakan.
“Lina, sini ikut aku.”
Clara berjalan kembali ke belakang dan langsung menarik tangan Lina dan membawanya berlari.
Lina hanya berlari di belakang Clara dengan wajah tidak mengerti.
Kemudian Clara berhenti di tengah-tengah tangga.
Beberapa pelayan di lantai bawah dan lantai atas langsung melihat majikan mereka dengan wajah tak mengerti.
“Perhatian buat semua pelayan yang ada di rumah ini.” Ucap Clara dengan suaranya yang dibesarkan.
Clara melirik Lina yang berdiri di balik punggungnya dengan wajah memerah. Semua pelayan yang tersebar dan sedang bekerja yang kebetulan mendengar teriakan Clara langsung mendekat dan memperhatikan dengan cukup serius.
“Mulai sekarang, Lina akan tinggal disini. Dia akan jadi keluarga disini dan dia adalah teman terbaikku. Kalian harus menghormati dan melayaninya seperti melayani aku. Mengerti kan?” tanyanya.
Semua pelayan itu tersenyum.
“Mengerti, Nona.” Jawab mereka serempak.
Lina kini berani untuk maju selangkah ke depan dan berdiri bersebelahan dengan Clara. Dia tersenyum kepada belasan pelayan yang menatapnya dari ujung tangga maupun lantai atas.
Seluruh hidupnya mungkin akan berubah sejak saat ini…

❋❋❋

“Sekarang kamu mau apa? Kamu mau sesuatu yang bisa bikin kamu merasa baikan?” tanya Clara, “kamu mau apa?”
Lina berfikir, “Hm… aku mau…,”
“Apa? Makan? Jalan-jalan? Shopping?” tebak Clara.
“Aku mau berenang.” Jawab Lina tiba-tiba.
“Berenang? Ide bagus tuh. Yuk?”

❋❋❋

Kini mereka berdua sedang berenang di dalam kolam berenang yang terletak di halaman belakang rumah Clara. Lina sedang bersandar di pinggir kolam dan tertawa menanti kedatangan Clara yang sedang berenang gaya punggung ke arahnya.
Akhirnya Clara sampai juga dan tiba-tiba dia muncul ke atas permukaan air untuk mengagetkan Lina. Lina langsung tertawa saat terkejut dengan hal itu. Clara ikut tertawa kemudian ikut bersandar di samping Lina.
“Gimana? Ngerasa lebih baik?” tanya Clara.
Lina menghembuskan napas lega, “Jauh lebih baik.” Jawabnya.
“Aku sering menghadapi masalah, Lin. Tapi yang paling penting adalah bagaimana menjadikan masalah itu sesuatu yang mendewasakan kita dan bukan menjadikan masalah itu jadi suatu alasan untuk menyakiti diri kamu sendiri.” Katanya bijak.
Lina menoleh dengan senyum penuh ketulusan, “Iya, makasih.”
Tiba-tiba dua orang pelayan datang dengan membawa nampan berisi makanan. Pelayan itu menaruhnya di meja pinggir kolam.
“Kita makan yuk?” ajak Clara.
“Ayo.”
Maka mereka berdua langsung naik ke atas. Berjalan ke bangku panjang di sana dan langsung menyelimuti tubuh basah mereka dengan menggunakan handuk.
Makanan yang ada disana terlihat menggiurkan.
Tiba-tiba Lina melihat Clara sedang membuka tabung kecil berisi kapsul-kapsul obat. Lina melihat Clara mengambil satu kapsul dan menutup tabungnya kembali. Tabung itu tidak hanya satu. Ada empat tabung disana. Semuanya Clara buka dan dia ambil satu butir tiap tabung.
“Itu obat? Kamu sakit ya?” tanya Lina cemas.
“Nggak kok. Ini semacam suplemen doang. Kata Mama ini dari dokter dan aku harus teratur minumnya.” Jawab Clara.
Dia lalu memasukkan satu persatu kapsul itu ke mulutnya dan mendorongnya turun dengan segelas air putih. Lina terdiam dan menatap Clara dengan serius sampai tidak berkedip. Clara terlihat tenang meski Lina mengkhawatirkannya. Clara yang menyadarinya langsung cemberut.
“Lho kok malah bengong sih?” tanyanya.
Lina terlonjak dan langsung linglung.
Clara segera memegang sendoknya, “Ayo Lina, kita makan.”

❋❋❋

Malam tiba. Sekarang sudah pukul sebelas malam.
Kedua gadis itu sudah terlelap di kamar mereka masing-masing. Tiba-tiba saja ada seseorang yang masuk ke kamar Clara yang gelap. Mama Clara yang baru pulang kerja berjalan dengan suara hak tinggi sepatunya yang pelan dan langsung menyalakan lampu meja di samping kasur Clara.
Mama Clara duduk di samping Clara. Kemudian dia membelai pelan rambut putrinya itu dan mengecup kening Clara dengan rasa sayang yang begitu dalam.
Sepertinya Clara akan terbangun. Clara terlihat menggerakkan kepalanya lalu matanya perlahan berkedip dan terbuka. Dia langsung menoleh dan melihat Mamanya yang tersenyum.
“Mama?”
Clara duduk dan memeluk Mamanya dengan erat. Mama Clara tersenyum terharu dan mengelus-elus punggung anaknya itu.
“Apa kabar, sayang?”
Clara tersenyum, “Baik, Ma.”
“Kamu nggak lupa minum obat kan?” tanya Mama Clara.
“Nggak dong, Ma.”
Mama Clara terdiam sebentar. Dia mengamati putrinya yang cantik dan menyentuh poni Clara pelan. Wajah Mama Clara yang begitu lembut dan teduh itu terlihat sedih, entah kenapa.
“Mama, makasih atas semuanya ya?” tanya Clara.
Mama Clara terdiam dan terlihat ragu untuk menjawab, “Iya, sayang.”
Clara menatap mata Mamanya dengan serius. Pandangan matanya berubah jadi tajam dan melotot.
“Mama akan lakukan apapun supaya aku sembuh kan, Ma?” tanyanya. Mata Clara berubah mengancam. Seolah Mamanya itu harus benar-benar melakukan semua yang diinginkannya. Mama Clara terlihat mengulum bibirnya dan mengangguk.
“Iya, sayang. Pasti.” Jawabnya berat.
Tatapan Clara menjadi ceria lagi. Semangat membara dan rasa bahagianya terlihat dari matanya yang berwarna coklat.
“Papa tahu tentang semua ini nggak, Ma?” tanya Clara bersemangat.
Mama Clara membelai lagi rambut Clara, “Nggak sayang, papa nggak tahu. Yang papa tahu hanya kamu sudah sembuh. Cuma itu.”
“Kapan Papa pulang?”
“Minggu depan, katanya dia lagi di Amsterdam tadi pagi.”
“Dia pasti kaget ngeliat aku kan, Ma?” tanya Clara.
“Iya. Katanya dia udah nggak sabar mau ketemu kamu.” Mama Clara menjawabnya sambil tersenyum.
Mereka berdua tersenyum.
Mama Clara mencium lagi poni anaknya itu. Membuktikan betapa besar cintanya pada Clara. Clara tersenyum dengan wajahnya yang cantik itu.
Clara mengangkat wajahnya lalu diam dan menatap mata Mamanya selama beberapa saat.
“Lina segalanya buatku, Ma. Dia kayak Tira kan?” tanya Clara.
Ada perubahan emosi di wajah Mama Clara saat mendengar pertanyaan itu.
“Iya, dia mirip sama Tira.”
Kemudian Mama Clara melihat jam kecil berbentuk babi yang bertengger manis di atas meja lampu. Sekarang hampir tengah malam. Dia menatap lagi gadis kecilnya yang menguap karena ngantuk.
“Sekarang udah malam, kamu harus tidur lagi.” Kata Mama.
Mama Clara membenarkan bantal dan melihat Clara kembali berbaring di atas ranjangnya. Mama Clara menaikkan selimut hingga sedada Clara kemudian membungkuk. Ia memberikan kecupan selamat tidur di kening Clara.
“Selamat tidur, sayang.”
“Selamat tidur juga, Ma.”
Dan lampu kembali dimatikan.

Bagian 6

Lina mulai bergerak-gerak di bawah selimutnya yang tebal. Dia tidak merasakan cahaya matahari menyengatnya. Yang dia rasakan adalah sesuatu yang berat menibani tubuhnya hingga dia merasa mimpi indahnya selesai secara sepihak.
Lina membuka matanya.
Matanya langsung melotot saat melihat muka yang sangat besar berada lima senti di depan hidungnya.
“Selamat pagiii.” Clara tersenyum dengan wajah aneh.
Lina tercengang hingga matanya berkedip tiga kali dengan mulutnya yang menganga.
Clara duduk tepat di atas perutnya. Dia telah memakai seragam sekolah, lengkap dengan kaus kaki dan sepatunya. Rambutnya yang panjang juga telah diikat dan dipita.
Lina merasa kalau matahari belum ada. Kenapa Clara udah serapi itu ya?
Clara mendekatkan lagi mukanya ke Lina. Lina yang masih tiduran itu melihat muka Clara semakin membesar sehingga terlihat seperti raksasa. Lina menekan kepalanya ke bantal supaya menjauh dari muka Clara. Clara terlihat mengeritingkan alisnya.
“Lina sayang… apa kamu mau tidur terus? Ayo bangun. Kita harus ke sekolah!” Suruhnya sambil terus memajukan mukanya.
“Aku nggak mungkin bangun kalo kamu duduk disitu.” Kata Lina sambil meringis kesakitan.
Clara menggaruk kepalanya, “Hehehe… lupa, maaf ya.”
Clara pindah dan duduk di samping Lina.
Lina ikut duduk dan mengamati Clara dengan aneh. Lina melihat ke jam.
“Pagi-pagi gini kok udah rapi? Sekarang kan baru jam enam kurang.”
Clara mendecak dan geleng-geleng kepala, “kamu gimana sih? Hari ini kan aku mau bikin kejutan buat kamu.”
“Kejutan? Kejutan apa?” tanya Lina bingung.
“Kalo dikasih tahu bukan kejutan namanya.” Clara turun dari kasur dan menarik tangan Lina, “ayo, ikut aku.”

❋❋❋

“Gimana pendapat kamu?” tanya Clara.
Lina berpikir sebentar dan melihat dirinya di cermin dengan aneh. Dia terlihat berbeda.
Seragamnya baru dan terlihat cukup ketat di tubuhnya. Model roknya beda dikit dari yang ada di sekolah. Lipatan roknya terlihat lebih banyak karena itu buatan penjahit.
Lina melihat dirinya di depan cermin lalu melihat Clara, setelah itu dilihatnya lagi dirinya di cermin. Entah kenapa dia merasa penampilannya sangat mirip dengan Clara.
Selain pakaian mereka memang sama, tinggi dan besar badan mereka juga hampir sama. Rambut Lina yang lurus sebahu juga diikat seperti rambut Clara yang panjang. Kaus kakinya sama tinggi dan sepatu yang mereka gunakan juga sama.
“Kita kayak anak kembar.” Gumam Lina sambil melihat dirinya di cermin.
Clara justru sumringah, “Kita emang anak kembar kan?” dia bertanya dengan ekspresi mukanya yang lucu.
Lina tertawa pelan.
Tiba-tiba suara klakson Pak Ipat terdengar dua kali dari bawah. Clara berlari ke dekat jendela dan melihat Pak Ipat berdiri di halaman bawah. Pak Ipat berdiri di samping mobilnya sambil tersenyum dan mengangkat sedikit topinya ke arah Clara.
“Ayo Lina, kita berangkat. Pak Ipat udah siap.”
Clara mengambil tasnya dan menarik tangan Lina. Lina sempat mengambil tasnya yang juga sama seperti tas Clara sebelum dia berlari turun ke bawah dan masuk ke dalam mobil.

❋❋❋

Lina dan Clara berjalan di koridor kelas. Banyak murid lain yang terlihat mengamati keganjilan yang ada di diri Lina dan Clara. Lina nampak canggung dan malu tapi Clara justru terlihat bersemangat hari itu. Dia terus berjalan di depan sambil memegang tangan Lina.
Lina mengangkat wajahnya dan melihat Steve. Steve nampak sedang mencari-cari buku di dalam lokernya. Setelah buku paket bahasa Jerman ditemukannya, dia langsung menutup loker.
Lina yang akan melintas di dekat Steve segera menundukkan wajah karena malu. Dia berharap Steve tidak melihat dia dan Clara dan tidak akan mengejek mereka berdua.
Tapi…
“Hai, Steve.” Sapa Clara sambil menghentikan langkahnya di dekat Steve.
Lina menghela napas panjang. Dasar Clara…
“Hai.” Steve menoleh.
Aktivitas Steve terhenti tiba-tiba. Kemudian dia mengamati Lina dan Clara dengan tatapan bloon. Dia melihat kedua cewek itu seperti sepasang alien.
“Ada angin apa nih?” tanyanya, “Elo berdua… kayak anak kembar.” Katanya sambil tertawa menghina.
“Emang kita anak kembar.” Balas Clara dengan bangganya. Sementara Lina hanya menunduk dan bersembunyi di balik punggung Clara.
Steve mengangguk. Dia lalu berbalik sambil geleng-geleng kepala.
“Dasar aneh.” Ucap Steve pelan sesaat sebelum dia melangkahkan kakinya.
Clara yang nggak mendengar hal itu nampak menikmati hari barunya sementara Lina justru sebaliknya.

❋❋❋

Di kelas pun begitu, semua teman mereka bahkan guru-guru menjadikan penampilan Lina dan Clara sebagai bahan pembicaraan  mereka hari itu. Sebagian memang memuji tapi ada nada penyindiran dibalik semua kalimat pujian itu.
Semua orang benar-benar menganggap mereka berdua aneh. Tapi Lina berusaha untuk bisa menerimanya. Melihat rasa bangga Clara yang entah kenapa itu, Lina jadi ikut bangga dan cuek meskipun orang lain menatapnya dan mencibirnya.
Dia dan Clara jadi lebih kuat dan tidak peduli apa kata orang. Hari itu pun mereka nikmati dengan lancar seperti biasanya. Mereka menikmati keadaan mereka yang aneh itu.
Dan secara mendadak, Lina dan Clara jadi selebriti. Penampilan Lina yang berubah nggak cuma melahirkan cibiran tapi menumbuhkan kepercayaan dirinya yang baru.
Dia merasa cantik dan itu yang disikapinya. Dia tidak lagi menunduk kalau berjalan. Dia tidak takut melihat wajahnya di cermin. Dia bisa tertawa sepuas-puasnya bersama Clara. Bahkan kadang, dia berani membalas lirikan murid laki-laki yang menggodanya.
Dia menjadi sesuatu yang baru.
Sesuatu yang jauh lebih baik.

❋❋❋

Pulang sekolah, Lina dan Clara masih menunggu di pintu depan. Sekolah sudah sangat sepi tapi Pak Ipat belum juga datang. Mereka sudah menunggu hampir satu jam dan dua jam lagi sekolah akan ditutup.
“Apa Pak Ipat masih lama?” tanya Lina.
Clara yang sedang membaca majalah mengangguk, “Mungkin lima belas menit lagi. Mungkin sekarang dia lagi dalam perjalanan. Aku bener-bener lupa kalau hari ini Pak Ipat harus nganterin Mama ke Bandung. Soalnya pak Ucup, supir Mama itu lagi sakit. Kita nggak mungkin naik taksi karena Mama udah ngelarang kita. Katanya naik taksi nggak aman.” Clara menjawab terlalu detil.
“Ra, aku pipis dulu ya?” tanya Lina.
Clara mengangguk, “aku tunggu disini aja ya?”
“Iya.”

❋❋❋

Lina masuk ke dalam koridor sekolah yang sudah kosong seorang diri. Suara ketukan sepatunya terdengar berkuasa di tengah-tengah koridor.
Beberapa saat dia merasa tidak sendirian. Masih ada anak eskul drum band yang sedang latihan di ruang eskul mereka. Saat Lina melintas di depan ruangan itu, cukup ribut keadaannya.
Akhirnya Lina pun sampai di kamar mandi.
Kemudian Lina mencari salah satu dari bilik di dalamnya yang kosong. Ketika dia membuka bilik pertama, dia…
Deg!
Dia melihat Gladys duduk di atas kloset. Dia sedang memegang suntikan dan hendak menusukkannya ke tangannya.
Lina mundur dengan mata terbuka lebar saat menyadari apa yang sedang dilakukan Gladys. Gladys… dia seorang pemakai.
Gladys nampak sangat terpukul dengan kedatangan Lina. Dia langsung menjatuhkan suntikan itu dan berdiri, mendatangi Lina yang terpaku di depan pintu dengan wajah memucat.
Gladys sendiri terlihat menyeramkan. Bibirnya memutih. Ada bayangan hitam dibawah kulit matanya. Dia terlihat sangat pucat seperti sedang sakau. Dia terlihat lebih kurus dan gontai.
“Ngapain lo masih disini?!” tanya Gladys.
Lina hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Abis ini lo mau ngadu ya?” tanya Gladys dengan tatapannya yang mengancam.
Sekarang Lina tersudut. Punggungnya menempel ke tembok dengan Gladys yang melotot di depan mukanya.
“Abis ini lo mau ngadu?!” Gladys bertanya lagi, “JAWAB!”
Lina menelan ludahnya, keringatnya muncul, “enggak.”
Gladys mencengkram wajah Lina dengan kuat. Lina bisa merasakan kedua belah pipinya ditekan hingga terasa sakit. Kepala Lina didorong menghantam tembok dengan keras. Dan dia bisa merasakan bau busuk dari mulut Gladys.
“Gue ingetin sama lo! Jangan pernah cerita tentang semua ini ke siapapun, termasuk Clara!” teriaknya sambil menabrakkan kepala Lina ke tembok.
Lina pusing. Dia lalu mengangguk pelan.
“Bagus.” Gladys melepaskan tangannya sambil tersenyum sinis, “kalo lo berani ngomong yang macem-macem, gue akan…”
Dia mengeluarkan pisau lipat dari kantung seragamnya dan menunjukkan ujung pisau itu sangat dekat ke depan bola mata Lina. Lina membuka lebar kelopak matanya. Lina tak berani berkedip, ujung pisau itu bisa menusuknya.
“Gue akan bunuh elo.” bisiknya dalam.

❋❋❋

Lina keluar dari kamar mandi dan dia langsung jatuh duduk di luar pintu karena lututnya terlalu lemas akibat ketakutan. Dia kemudian berusaha berdiri sekuat tenaga dan berjalan menjauh dari kamar mandi. Dia berusaha melupakan apa yang baru dialaminya seperti tidak pernah terjadi apapun.
Kemudian Lina berjalan menuju ke pintu depan, tempat dimana Clara menunggunya. Lina berhenti di depan pintu dengan tangan di depan dada dan napas tersenggal-senggal.
Clara yang berdiri di samping pintu mobilnya segera berlari ke arah Lina dengan wajah khawatir.
“Lina, kamu kenapa?” tanyanya.
Lina menggeleng, “aku nggak apa-apa.”
Clara menuntun Lina, “Pak Ipat udah dateng Lin, ayo pulang. Udah sore.”

❋❋❋

Malam ini, Lina dan Clara duduk berdua di sofa merah yang berada di ruang tengah. Mereka terlihat seperti hantu. Lina dan Clara memang sedang memakai masker putih. Mereka memakai piyama mereka dan sendal bulu warna kuning yang berbentuk tikus. Rambut mereka ditutupi handuk dan mereka sedang menonton VCD sambil memangku satu mangkuk besar berisi popcorn.
Mereka lagi menonton VCD Titanic pada Home Theatre.
Lina terlihat bosan dan mengantuk sementara Clara terus saja menempelkan tisu di bawah matanya hingga sebagian masker di dekat matanya sudah luntur. Dia terlihat sangat tersentuh dengan drama di film itu.
“Leonardo Dicaprio emang paling ganteng ya? Seandainya aku bisa jadi istrinya…, “harap Clara, “Tau nggak Lin, ini ke tiga puluh tiga kalinya aku nonton film ini dan nggak pernah bosen sama sekali.” Kata Clara.
Lina tampak tidak tertarik. Dia hanya memakan popcornnya dengan mata layu. Clara pun menyadari hal itu.
“Kamu nggak punya idola, Lin?” tanya Clara.
Lina menggeleng, “Nggak punya.”
“Josh?” tebak Clara.
Tiba-tiba punggung Lina menegak, matanya menegang dan dia menoleh dengan mulutnya yang menganga.
“Josh?”  Lina balik nanya.
“Kamu suka dia kan?” tanya Clara dengan tatapan nakal.
Lina menghempaskan kembali punggungnya ke sofa. Dia nggak tahu harus menjawab apa soal itu.
“Sedikit.” Lina menjawab singkat.
“Yakin cuma sedikit?” goda Clara lagi.
Lina menghembuskan napas pasrah, “Iya. Kayaknya dia nggak mungkin suka sama aku. Jadi mendingan aku nggak usah terlalu banyak berharap.”
“Kayaknya nggak gitu juga deh.” Ucap Clara.
Lina mengeritingkan alisnya, “Maksudnya?”
“Pasti ada caranya kan?” tanya Clara.
Lina hanya menatap mata Clara. Dia masih belum mengerti arti dari ucapan Clara barusan. Clara menekan remote dan mematikan tivi.
“Udah malem. Kita harus bobo sebelum dimarahin Mama.”

Bagian 7

Keesokan harinya, Lina dan Clara sampai di sekolah. Mereka berdua merasa terkejut saat melihat kekacauan di sekolah. Beberapa guru terlihat bolak-balik tidak menentu sementara beberapa yang lain berlarian panik. Pak Imam sendiri terlihat berteriak dan berkata ‘panggil polisi! Panggil polisi!’.
Itu semua membuat alis Lina dan Clara mengerut. Mereka merasakan ketegangan terutama saat gerombolan anak-anak dari belakang mereka langsung berlarian menuju ke kamar mandi.
Lina dan Clara ikut berlari di tengah-tengah gerombolan itu meski tidak tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian mereka terhenti di barisan belakang lautan manusia yang menyesakki pintu depan kamar mandi.
Steve yang baru datang langsung mendapatkan ide.
Dia berlari ke tembok belakang kamar mandi. Lina dan Clara mengikuti Steve. Kemudian Steve terlihat mengambil bangku kayu di sekitar sana dan memanjat naik dan mengintip lewat kaca di atas kamar mandi.
Lina dan Clara ikut memanjat di samping Steve.
Mereka langsung bisa melihat ke kamar mandi bilik pertama. Mereka melihat pak kepala sekolah dan pak Hanung berdiri di dalamnya sambil geleng-geleng kepala. Ada juga beberapa polisi yang saling berbicara dan mencatat.
Pak kepala sekolah sedang memandangi mayat Gladys yang berada di dalam kamar mandi itu. Gladys meninggal dalam keadaan mengenaskan.
Dia tergeletak di lantai kamar mandi dengan mulut berbusa. Ada sungai darah yang membanjir yang keluar dari bekalang kepalanya. Juga terdapat bercak darah di atas kloset.
Matanya terbuka dan terlihat marah. Terlihat satu suntikan kosong di samping jasadnya.
Clara, Steve dan Lina langsung berpandangan.
Sesuatu yang sangat buruk telah terjadi.
Triiiing…. Triiing…
Tiba-tiba bel sekolah berbunyi nyaring hingga mengagetkan Steve, Lina dan Clara. Pak kepala sekolah langsung keluar dari dalam kamar mandi hingga murid-murid yang bergerombol di luar kamar mandi langsung menyebar dan menjauh.
Pak kepala sekolah menatap tegas murid-murid yang berdiri di sekitarnya.
“Kembali ke kelas kalian masing-masing! Kegiatan belajar akan tetap dilakukan seperti biasanya!”

❋❋❋

Kegiatan belajar benar-benar dilakukan seperti biasanya. Hanya saja para guru terlihat agak kacau dan mereka lebih sering membicarakan kematian Gladys dibanding membahas materi pelajaran mereka.
Para murid sendiri tidak begitu merasakan teror itu. Tidak terlihat muka ketegangan atau kehilangan yang terlalu berlebihan. Kecuali satu orang, Vira.
Vira terlihat terus terisak jika ada yang menyinggung soal Gladys. Dia mengaku bahwa dia sebenarnya mengetahui Gladys adalah seorang pemakai narkoba sejak lama. Tapi dia tidak pernah menyangka Gladys akan meninggal karena itu semua.
Triiing… triiing…
Bel istirahat akhirnya berbunyi.
Murid-murid langsung berhamburan keluar kelas untuk makan siang. Mereka terlihat sangat bersemangat. Seperti jam-jam istirahat biasanya yang selalu mereka tunggu. Yang tersisa di kelas saat ini hanya Lina dan Clara.
Lina nampak pendiam hari itu karena dia terpukul dengan kematian Gladys. Kalau perasaannya benar… itu artinya, dialah orang yang terakhir kali bertemu dengan Gladys saat dia masih hidup.
“Pagi yang buruk.” Ucap Lina pelan.
Clara mengangguk setuju.
“Kamu tahu nggak apa kata polisi?” tanya Clara tiba-tiba.
Lina menoleh dengan wajah penasaran.
“Apa?”
“Katanya Gladys menyuntikkan narkoba berulang kali ke tangannya sampai tewas. Tapi ada juga yang bilang dia dibunuh. Katanya dia disekap, trus disuntikkan narkoba ke tubuhnya berulang kali secara paksa sampai overdosis. Trus, saat dia meronta, dia kepeleset dan kepalanya membentur kloset sampai pecah dan berdarah banyak.” Cerita Clara.
Lina kelihatan semakin bingung sekarang.
“Kamu tahu darimana?” tanyanya.
“Todo. Paman dia polisi yang menangani kasus ini.” Jawab Clara.
Lina terdiam. Berpura-pura menerima hal itu.
Tapi… sebenarnya Lina merasa sangat aneh. Selama tadi datang ke sekolah dan hingga sekarang ini, dia dan Clara selalu bersama-sama dan selama itu pula, mereka tidak berbicara sepatah kata pun dengan Todo atau seorang polisi.
BRAAKK
Tiba-tiba pintu dibanting dengan kencang.
Vira masuk ke dalam kelas dengan wajahnya yang geram. Matanya terlihat bengkak dan hidungnya merah. Dia terlihat sangat kehilangan Gladys.
“Heh!” dia memukul meja Lina dan matanya yang melotot itu menangkap mata Lina yang begitu ketakutan, “Sekarang lo pasti seneng! Iya kan?!” teriaknya.
Clara marah. Dia langsung berdiri.
“Apaan sih maksud kamu?” tanyanya.
Mata Vira kini menatap Clara.
“Gladys mati!”
“Tapi itu kan bukan salah Lina!” balas Clara.
Secepat kilat, Vira menjambak Lina. Vira terlihat sangat kencang menarik rambut Lina hingga kepala Lina tertarik ke depan dan dia tidak bisa melakukan apapun kecuali meringis kesakitan.
“LEPAS!!!” Clara berteriak.
Clara berusaha menolong Lina dan menarik rambut Vira dengan kencang. Vira pun merasa amat kesakitan dan melepaskan tangannya di rambut Lina.
Saat Vira melepaskan rambut Lina, Clara juga melepaskan jambakannya di rambut Vira.
Vira mundur dengan bahunya yang naik turun. Sebelah tangannya nampak memegangi kepalanya yang sakit. Rambut ikal panjangnya jadi kelihatan sangat berantakan. Tapi kemarahan di matanya masih sama besarnya.
“Gila!” teriak Vira.
“Kamu yang gila!” balas Clara.
“Gila!” teriak Vira lagi.
“Kamu yang gila!” balas Clara dengan suara lebih tinggi.
Vira lalu keluar dari kelas dengan sejuta perasaan benci dalam hatinya.
Lina yang masih duduk di bangkunya memegang tangan Clara dan memintanya duduk, “Udah, Ra. Biarin aja. Aku nggak pa-pa kok.”

❋❋❋

Lina dan Clara pergi ke kantin. Mereka berdua tidak makan siang. Lina hanya mengantar Clara untuk membeli jajanan.
Clara masuk ke dalam kantin sementara Lina menunggu diluar. Tiba-tiba, Todo keluar dari kantin dengan membawa tiga bungkusan ciki dalam pelukannya.
“Todo.” panggil Lina.
Todo menoleh, “apa?” tanyanya ketus.
Lina berjalan mendekat, “Paman kamu polisi yang ngurusin kematian Gladys ya?” tanya Lina penasaran.
Todo mengerutkan alisnya sambil terus memasukkan selembar keripik kentang ke mulutnya. Dia menatap Lina dalam tanpa berkata. Hanya suara renyah keripik yang terdengar dari mulutnya. Hal itu membuat Lina jadi bingung.
“Keluarga gue nggak ada yang jadi polisi.” Jawab Todo sambil berbalik dan berjalan meninggalkan Lina.
Lina masih terdiam dengan sejuta pertanyaan dalam kepalanya. Semua yang diceritakan Clara tadi itu. Apa itu semua cuma gurauan?
Lina tersenyum dan menggelengkan kepalanya saat berjuta prasangka buruk tentang Clara masuk ke dalam kepalanya. Bagaimanapun, Clara itu temannya. Clara orang yang baik dan telah menolongnya. Clara telah mengubah hidupnya. Dia dan Clara selalu bersama dan Clara tidak mungkin terlibat dalam hal itu.
Tidak mungkin…

❋❋❋

Dua jam terakhir dalam sekolah hari itu, semua murid SMA Pelita Nusantara sangat bebas merdeka. Seluruh pelajaran kosong dan keadaan menjadi seperti keadaan pada jam istirahat. Ucapan pak kepala sekolah yang mengatakan kegiatan akan berjalan seperti biasanya terbukti tidak terjadi.
Murid-murid berlarian di koridor dan mereka semua membuat keributan di berbagai sudut. Kecuali satu tempat, ruang rapat. Murid-murid tidak ada yang berani melangkah di sekitar tempat itu. Semua guru dan karyawan sekolah sedang mengadakan rapat mendadak hari itu. Mengenai kematian Gladys dan narkoba.
Lina dan Clara ikut menikmati pelajaran kosong hari itu. Mereka berdua menonton pertandingan basket antara kelas mereka dengan kelas X-6. Pertandingan ini merupakan perintah pak guru olahraga secara langsung agar mereka mengisi waktu kosong itu.
Lina sangat senang dengan pertandingan itu. Terutama karena Josh ikut bermain di lapangan dan Josh terlihat sangat keren saat itu. Dia memasukkan bola 2 kali ke ring lawan. Lina dan seluruh mata yang menonton bertepuk tangan dengan riuh. Josh tersenyum saat dia berhasil memasukkan bola dan itu semakin membuat senyum Lina terkembang begitu indah. Clara menyadari hal itu dan dia ikut senang karenanya.

❋❋❋

Akhirnya, bel pulang berbunyi.
Lina dan Clara kembali ke kelas untuk mengambil tas mereka. Mereka terlihat kaget saat melihat kelas mereka sangat berantakan. Meja-meja nampak tidak beraturan, ubin nampak sangat kotor dan kertas bertebaran dimana-mana.
Mereka juga melihat satu tas lain yang ada di kelas selain tas mereka berdua. Itu adalah tas Desi. Tapi mereka berdua kelihatan tidak peduli. Pak Ipat sudah menunggu di luar dan mereka harus segera mengambil ransel mereka untuk pulang.
Lina dan Clara sudah berjalan berdua di koridor, meninggalkan kelas mereka.
Sementara itu, Desi berjalan menuju kelas. Begitu dia masuk ke dalam, dia melihat tas miliknya adalah satu-satunya tas yang ada di kelas itu. Dan tepat pada saat itu, dia melihat Lina dan Clara berjalan agak jauh darinya.
“Eh, tunggu!” panggil Desi.
Lina dan Clara berhenti berjalan lalu menoleh. Mereka melihat Desi sedang melihat sinis ke arah mereka.
“Mau kemana?” tanyanya jutek.
“Kita berdua mau pulang.” Jawab Lina lembut.
Desi melipat tangannya, “Mana Todo dan Steve?” tanya Desi lagi.
Lina menggeleng, “Kita nggak tahu tuh.”
Desi terlihat kesal dengan jawaban itu. Lina dan Clara terdiam tak mengerti.
“Kalo gitu, elo berdua harus bantuin gue piket.” suruh Desi.
Clara kesal, “Kita nggak piket hari ini kok!”
“Trus, lo mau gue piket sendirian, gitu?!” tanya Desi. Matanya yang besar mengancam Lina dan Clara. Dia bertolak pinggang dengan sangat sangar.
“Yee, emang kita pikirin!” Clara menjulurkan lidahnya dan langsung menarik tangan Lina untuk segera pergi dari situ.
Desi geram, “Heh, mau kemana lo?!”

Bagian 8

Keesokan harinya, di sekolah.
Tiba-tiba saja Pak Imam masuk ke dalam kelas dengan wajah serius. Dia memegang selembar kertas di tangannya. Dia menatap bergantian seluruh murid dengan wajah duka. Sepertinya akan ada berita buruk hari ini.
“Apa kalian ada yang melihat Desi?” tanyanya.
Seluruh murid berpandangan dengan bingung.
Lina dan Clara juga bertatapan.
“Desi belum pulang sejak kemarin. Orang tuanya telah melaporkan masalah ini kepada polisi. Apa kalian melihat Desi? Atau kapan terakhir kali kalian melihat Desi?” tanya pak Imam.
Lina mengangkat pelan tangan kanannya.
“Ya, Lina.”
Lina menunduk. Semua murid di dalam kelas itu melihatnya dengan sangat curiga, “Kemarin, saat saya dan Clara mau pulang, kita melihat Desi dan dia bilang dia mau piket dulu.”
Clara ikut bicara, “Iya, pak. Dia piket sendirian karena Todo dan steve kabur dan pulang duluan.” Sambungnya.
Todo dan Steve merasa marah dengan penjelasan itu tapi mereka segera menyadari kesalahan mereka.
Pak Imam mengangguk, “Todo, Steve.” Panggilnya.
Todo dan Steve memberanikan diri menatap pak Imam.
“Kalian tahu kan hukumannya kalau kalian melalaikan piket?”
Mereka berdua mengangguk lemas, “Ya, pak.” Jawab mereka.
“Silahkan kalian berdua keluar.” Kata pak Imam.
Todo dan Steve berdiri dari bangku mereka dan berjalan dengan kepala tertunduk keluar kelas untuk segera membersihkan 5 bagian toilet pria yang tersebar di sekolah itu.
“Apa ada informasi lainnya?” tanya pak Imam.
Semuanya menggeleng pelan.
“Oke. Selamat belajar.”
Pak Imam berjalan tegap menuju pintu. Begitu pak Imam keluar, murid yang lain langsung melihat Lina dan menatapnya dengan sinis. Lina tertunduk sementara Clara lebih berani untuk membalas tatapan dari yang lain.

❋❋❋

Istirahat datang.
Vino yang sedang membuka lokernya merasa mencium bau busuk. Vino langsung mengendus badannya, mengendus keteknya. Tapi bau itu bukan berasal dari sana. Bau bangkai itu berasal dari…
Loker yang berada di sebelah lokernya.
Loker Desi.

❋❋❋

Pak Darsono mencoba membuka paksa loker Desi menggunakan linggis.
Murid-murid yang lain, termasuk Lina dan Clara ikut menyaksikan hal itu dari dekat. Vino yang melaporkan hal itu pada pak Darsono setelah meyakini bahwa ada bau bangkai yang tercium dari dalam loker Desi dan itu membuatnya curiga.
Pak Darsono terlihat berjuang sekuat tenaga untuk membuka loker itu. Dia mengerahkan segenap kekuatannya untuk membuka loker.
BRRAAKK
Pintu loker yang terbuat dari besi itu jatuh.
“Aaaaarrrrgggghhh!!!” Lauren menjerit histeris hingga pingsan. Vino yang berdiri di dekat sana langsung memegangi tubuh Lauren yang jatuh ke badannya.
Pak Darsono terlihat sangat terpukul.
Lina dan Clara merasakan jantung mereka terasa sakit.
Di dalam loker itu… ada mayat Desi.
Tubuhnya yang cukup pendek itu berdiri dan terjepit di dalam loker yang sempit. Seragam putihnya penuh dengan darah. Betul-betul lepek dan basah karena darah hingga tak lagi ada warna putihnya. Terlihat juga sebuah luka besar di perutnya. Seperti luka robekan oleh pisau.
Pak Darsono melihat ke semua murid yang mengitarinya dengan tatapan kalap. Semua juga tahu kalau pak Darsono sendiri sangat terpukul dengan kejadian ini. Dia berdiri terpaku dengan kemeja putihnya yang ikut ternoda oleh darah.
“Kembali ke kelas kalian masing-masing. Sekarang!” bentak Pak Darsono.
Kerumunan anak-anak langsung bubar dan kembali memasuki kelas mereka masing-masing.
Pak Darsono sampai berpeluh saat harus mengamati mayat Desi yang mengerikan itu. Dia merasa bernapas begitu cepat saat harus mengamati mayat mengerikan itu.

❋❋❋

“Aku nggak nyangka ini terjadi, Lin.” Kata Clara.
“Aku juga, Ra.” Sahut Lina.
Mereka kini sedang mengikuti pelajaran Bahasa Inggris. Bu Verisa duduk sambil mengoreksi kertas ulangan sementara murid yang lain mengerjakan latihan dari buku paket.
“Ini menakutkan.” Kata Lina.
“Jangan terlalu dipikirin, Lin.” Sahut Clara, “nggak ada gunanya. Biarin aja polisi yang nyelidikin.”
Lina menarik napas dalam dan mengangguk. Clara ada benarnya juga. Ini diluar kemampuannya. Serahkan saja masalah ini ke polisi dan kita harus berdoa agar semua misteri ini bisa terungkap.

Bagian 9

Malam harinya, di rumah Clara.
Lina sekarang berada di kamar Clara. Mereka berdua sedang mengerjakan peer Fisika di meja belajar Clara yang sangat besar. Suasana sangat hening saat itu karena mereka berdua bersungguh-sungguh untuk mengerjakannya dan mereka berdua memiliki kemampuan berpikir yang sama hebatnya.
Tiba-tiba saja seorang pelayan masuk ke dalam kamar Clara. Dia mengantarkan dua lembar amplop pink berpita ke atas meja belajar Clara.
Surat itu menyita perhatian mereka berdua. Clara langsung meletakkan pulpen yang dipegangnya dan mengambil dua lembar surat itu. Ada tulisan di depannya. Dua surat itu ditujukan untuk dua orang;
Dearest     : Clara Jelita Sastraguntawa
Dan yang satu lagi,
Dearest    : Merlina Wardani

Clara tersenyum kepada Lina. Lina yang tidak mengerti hanya bisa melongo. Kemudian dengan sangat bersemangat, Clara menyodorkan satu amplop kepada Lina. Dia hanya bisa menatap bingung surat pink berpita merah dengan harum strawberry itu. Sementara Clara langsung membukanya dan membaca isinya.
“Apa isinya?” tanya Lina.
Clara tidak menjawab. Dia terlalu serius dan bersemangat untuk membaca isi surat itu. Lina menunggu dan memperhatikan Clara.
“Ini undangan pesta sekolah! Dan pesta itu besok!” teriak Clara bahagia sambil mendekap erat surat itu.
Lina memperhatikan surat yang dipegangnya.
“Pesta sekolah?” Lina mengerutkan jidatnya.
Clara tidak pernah berhenti sumringah dan mengangguk. Lina mengamati surat itu dengan tidak mengerti.
“Aneh, disaat teror begini kok bikin pesta?” gumamnya.
Clara berdecak heran dan menggelengkan kepalanya.
“Lina sayang… pesta ini udah direncanain sejak tiga bulan yang lalu. Uang yang ada udah habis dibelanjain untuk acara ini dan sponsor-sponsor juga udah banyak. Hal ini justru dibuat untuk menghilangkan rasa takut dan membuktikan kalau sekolah kita ini aman.” Ucap Clara.
Lina yang juga sudah membuka dan membaca suratnya lalu mengeritingkan alis, “Ini pesta kostum ya?” tanyanya pelan.
Clara mengangguk, “Iya.”
“Pasangan nggak?” tanya Lina lagi.
Clara bergumam untuk berfikir sejenak. Dia membuka dan membaca lagi surat itu dengan seksama.
“Nggak deh kayaknya. Gak ada tulisannya tuh.” Jawabnya.
Lina menghembuskan napas lega. Tiba-tiba Clara melirik penuh makna tersembunyi pada Lina sambil senyum-senyum sendiri.
“Kamu berharap bisa pergi sama Josh ya?” godanya.
Lina tertawa, “Ya, sedikit.”
“Kenapa nggak kita ajak aja dia?” tanya Clara dengan sangat bersemangat.
Lina tertunduk dan menggeleng pada Clara.
“Enggak mungkin. Dia pasti sama Vira.” Bisik Lina, “Yang pasti… dia nggak mungkin sama aku.”

❋❋❋

Keesokan malamnya, pada malam pesta sekolah…
Lina dan Clara sudah mempersiapkan semua yang akan mereka butuhkan untuk menjadi pusat perhatian pada pesta ulang tahun sekolah malam ini.
Mereka berdua sekarang ada di kamar Clara.
Lina sudah rapi sedangkan Clara masih hanya memakai pakaian dalam. Clara berdiri membelakangi Lina. Saat Clara ingin memakai gaunnya, Lina melihat punggung Clara. Kulit Clara aslinya putih. Tapi ada banyak noda hitam seperti bekas jatuh atau bonyok di punggungnya. Dan bercak hitam itu bukan hanya satu, tapi banyak dan menyebar. Itu terlihat mengerikan.
Darimana dia mendapatkan semua luka itu? Apa itu pantas bagi seorang gadis seperti Clara? Itu sangat aneh, mengerikan dan membingungkan.
Lina juga melihat paha Clara dan melihat banyak bekas luka dan jahitan. Luka itu aneh. Hanya berupa garis-garis tapi begitu banyak dan berbaris, seperti luka yang dibuat sendiri. Luka gores oleh benda tajam semisal silet.
Lina terpaku untuk memperhatikan tubuh Clara.
Tiba-tiba sebuah gaun merah sudah menutupi tubuh Clara. Clara pun menoleh dan melihat Lina yang bengong.
“Lina, jangan bengong.” Tegur Clara.
Lina tersentak dan tersenyum salah tingkah.
Clara berjalan mendekat ke depan Lina dan menunjukkan punggungnya.
“Lin, tolong seletingin dong.” Pintanya.
Lina melihat dari dekat luka yang berada di punggung Clara itu. Tapi dengan sangat penuh kelembutan, Lina menarik retsleting di gaun Clara itu. Dia tidak peduli darimana asal luka itu. Yang penting bisa segera sembuh.
“Lin, sisirin rambut aku dong.” Pinta Clara sambil menyodorkan sebuah sisir ke depan Lina.
Lina menerimanya. Clara duduk di atas bangku yang menghadap ke cermin meja rias dan Lina berdiri di belakangnya. Kemudian Lina mulai menyisiri pelan rambut Clara yang lurus dan tebal itu.
Tiba-tiba Lina melihat sesuatu yang mengerikan di kulit kepala Clara. Dia melihat ada penyokan kecil di kepala Clara dan juga beberapa bagian kepala yang botak. Lebih mengerikan dari itu, dia juga melihat tiga jahitan panjang yang masih ada benangnya dan bau amis darahnya yang mengering di kulit kepala Clara, tersembunyi diantara tebalnya rambut. Aroma amis darah itu sangat menusuk-nusuk hidung. Pemandangan jahitan di kepala itu benar-benar mengerikan.
Lina terpaku menatap kepala Clara. Jantungnya berdegup kencang.
Clara yang melihat Lina diam saja langsung cemberut.
“Lina, yang bener dong nyisirnya!”
Lina kaget, “Ma-maaf…”
Lina mulai menyisir pelan-pelan agar tidak menyakiti Clara. Meski masih merasa penasaran dan merasa ngeri dengan luka itu, Lina memilih diam dan melupakannya.
Baginya itu tidak penting.
Yang penting adalah Clara sahabat baiknya.

❋❋❋

Mereka berdua kini berada di dalam kamar Clara. Berdiri di depan cermin untuk melihat betapa cantiknya gaun itu di tubuh mereka. Lina memakai gaun warna putih sedangkan Clara warna merah. Mereka nampak cantik dengan gaun malam yang mahal itu.
Lina jadi merasa dirinya berbeda. Gaun itu begitu membentuk lekuk tubuhnya. Dia merasa terlalu seksi memakai gaun itu sementara Clara memakai gaun merah yang membuatnya seperti anak kecil yang ingin merayakan ulang tahun kelimanya.
“Kita kayak putri-putri di cerita dongeng ya?” tanya Clara.
“Bukan, tapi kayak bawang merah dan bawang putih.” Balas Lina.
Clara tertawa, “Iya juga ya?”
Tiba-tiba suara klakson Pak Ipat terdengar nyaring. Lina dan Clara segera mengambil high heels dan topeng mereka yang berada di atas kasur dan segera berlari keluar kamar.
Dengan bertelanjang kaki, mereka berlari cepat menuruni tangga. Seorang pelayan segera membukakan pintu untuk Lina dan Clara.
Mereka berdua masuk dengan bersemangat ke dalam mobil untuk segera meluncur ke acara pesta.

❋❋❋

Lina dan Clara datang tepat waktu. Sekarang baru jam delapan lewat sepuluh menit tapi halaman sekolah sudah penuh dengan mobil.
Akhirnya, Pak Ipat pun turun dari depan dan membuka pintu. Beberapa orang yang ada disekitar sana menunggu dengan tidak sabar. Mereka mau tahu siapa orang yang ada di dalam mobil.
Kemudian Pak Ipat mengangkat tangannya. Sebuah tangan tertutupi sarung tangan sepanjang siku bertengger di atas telapak tangan Pak Ipat. Clara turun duluan disusul Lina. Mereka berdua turun dengan memakai topeng di wajah mereka.
Dengan senyum penuh rasa percaya diri yang begitu membara, Clara dan Lina berjalan ke aula sekolah.

❋❋❋

Mereka masuk ke dalam aula sekolah yang gelap. Cahaya lampu yang berkerlap-kerlip berwarna merah dan hijau. Terdengar suara menghentak musik disko dari DJ yang berkostum teletubbies.
Aula penuh sesak saat itu. Ratusan orang yang datang dengan beraneka kostum sedang menari di depan DJ. Melihat kreatifitas teman-teman mereka yang lain, Clara dan Lina merasa tema pakaian mereka jadi kurang ‘wah’.
Di dalam sana, jauh lebih banyak orang yang berpakaian aneh. Beberapa dari mereka ada yang berkostum kuntilanak, suster ngesot bahkan pocong. Ada juga yang mengimitasi artis beken seperti Roma Irama, Jaja Miharja atau Inul. Ada juga yang mengimitasi artis impor kayak Marilyn Monroe, Michael Jackson atau Charlie Chaplin. Beberapa memakai kostum badut seperti teletubies, sailormoon dan sumo.
Clara dan Lina jadi nggak tahu dengan apa yang harus mereka lakukan. Mereka berjalan menembus kerumunan orang untuk menuju ke bagian makanan.
“Eh, kalian berdua! Stop!” teriak seseorang.
Lina dan Clara yang baru saja keluar dari kerumunan langsung melihat Vira mendatangi mereka dengan wajahnya yang marah. Hari itu Vira memakai gaun warna hitam yang megah dan membawa kipas. Dia memakai topeng yang hampir sama dengan Lina dan Clara. Dia melepas topeng itu saat berjalan menghampiri. Lina dan Clara menganga tak percaya, mereka sadar kalau penampilan mereka bertiga sangatlah mirip malam itu.
“Emangnya kalian diundang?” tanya Vira sambil berkacak pinggang.
“Oh yeah. Jangan pikir ini sekolah nenek kamu!” balas Clara dengan nggak kalah sewotnya.
Vira marah, “Apa lo bilang?” bentaknya.
Clara dan Vira beradu mata.
“Udah-udah. Ini bukan tempat untuk ribut.” Lina berdiri di tengah-tengah mereka dan mengajak Clara untuk mundur dan menyudahi perdebatan itu.
“Lagi ngapain?” tanya seseorang.
Lina dan Clara melihat seseorang yang sudah berdiri di dekat mereka.
Itu Josh!
Dia terlihat sangat tampan malam itu. Dia memakai jas hitam yang sangat rapi. Lina bisa merasakan darahnya mengalir deras di pembuluh darahnya.
“Josh?” Vira terkejut.
Dia lalu tersenyum dan memeluk Josh begitu saja.
“Aku udah nungguin lama lho.” Katanya sambil tersenyum.
Lina yang berdiri di dekat mereka tanpa sadar mengeluarkan wajah sedihnya saat melihat hal itu terjadi. Tatapannya menjadi sendu.
Josh melihat Lina yang ada di dekatnya dengan senyuman yang tiba-tiba muncul. Di matanya, muncul tatapan kagumnya saat melihat penampilan Lina malam itu.
“Hai.” Sapa Josh dengan senyum kekagumannya pada Lina.
“Hai.” Lina ikut tersenyum pada Josh dengan wajahnya yang sangat cantik.
Melihat tatapan antara Lina dan Josh, Clara tersenyum. Bukan hanya Clara yang menyadari, Vira pun merasakan adanya keganjilan detik itu.
“Josh, ayo kita ke tempat laen aja.” Vira segera merangkul lengah Josh dan menariknya paksa melewati kerumunan.
Meskipun begitu, Josh tetap saja menoleh ke belakang untuk tersenyum pada Lina sampai akhirnya dia menghilang diantara para penggila pesta yang menari di tengah lantai dansa.
“Hayo.. udah mulai berani maen mata ya?” goda Clara sambil menyenggol bahu Lina.
Lina tersenyum kecut.
“Dia sama Vira.” gumamnya.
“Kamu mau dansa sama dia ya?” tanya Clara.
Belum sempat menjawab, tiba-tiba…
“Do you want to dance with me, beauty princess?” Steve membungkuk dengan telapak tangan terbuka di depan Clara. Malam itu pun dia nampak dua kali lipat lebih ganteng. Memakai setelan jas dan gel rambut yang menawan, dia terlalu sayang untuk ditolak.
Lina tersenyum lebar saat itu. Clara pun tidak mau melewatkan kesempatan ini. Dia menaruh tangannya di atas telapak tangan Steve dan mengedipkan mata pada Lina sambil berbisik, “Tunggu aja. Nanti kamu pasti bisa sama dia.” Katanya.
Kemudian, Steve mengajak Clara ke tengah lantai dansa.
Clara dan Steve pun berdansa dengan suara musik salsa yang temponya jauh lebih cepat dibanding yang tadi.
Meski tidak bisa ikut berdansa seperti Clara, dia merasa terhibur dengan menonton Clara dari jauh sambil meminum satu kaleng minuman soda yang dibagikan secara gratis dari sponsor.

❋❋❋

Vira membawa Josh ke depan bar yang masih terdapat di dalam aula. Sesampainya mereka disana, Josh masih mencari-cari Lina. Matanya mencari-cari dan menjauhi Vira yang berdiri di depannya. Vira yang menyadarinya langsung marah besar.
“Apa-apaan sih kamu?” tanya Vira sambil memukul lengan Josh keras.
Josh langsung melihat Vira dengan matanya yang marah dan alisnya yang mengerut, “Apaan sih?!” balasnya galak.
“Josh?” Vira jadi semakin marah. Matanya menatap dalam mata Josh tapi Josh malah mengalihkan tatapannya.
BRUK.
Tiba-tiba seorang cowok berkostum retro datang menubruk Vira hingga segelas minuman yang dipegangnya tumpah ke gaun Vira.
Vira terperanjat saat melihat bajunya. Sementara Josh tersenyum kecil. Dia sedang berusaha menahan tawanya yang akan meledak-ledak.
“Ma-maaf.” Ucap cowok itu sambil berlalu dan kabur.
“Gila lo! Brengsek!” teriak Vira sambil terus memandangi gaun mahalnya yang basah.
Kemudian Vira mengangkat wajahnya dan melihat Josh. Matanya semakin melotot saat melihat Josh tertawa kecil karena melihat penderitaannya. Vira pun jadi semakin dongkol.
“Tunggu disini, aku mau ke toilet dulu!”
Vira berjalan cepat sementara Josh…
“HAHAHA!!”
Dia terkekeh sampai terbungkuk-bungkuk.

❋❋❋

Lina masih berdiri di tempatnya tadi. Dia melempar kaleng soda yang sudah kosong ke dalam tempat sampah. Dia melihat dengan bosan Clara dan Steve yang sedang berdansa. Lalu matanya kembali mengitari ruangan, mencari-cari Josh. Dia sampai berjinjit dan kepalanya terus celingukan ke semua sudut.
Tapi apa yang ia lihat? Dia melihat seseorang yang sangat tinggi berjalan memakai baju panjang hitam dan topeng menyeramkan. Orang itu membawa sebuah tongkat dengan clurit di atasnya. Orang itu berjalan lurus di tengah kerumunan orang-orang yang menari berlompatan di lantai dansa. Lina terpaku dan matanya mengikuti orang dengan kostum menakutkan itu.
“Nyari siapa?” bisik seseorang.
Lina menoleh cepat dan melihat orang yang dicarinya berdiri di belakangnya.
“Josh?” Lina bertanya, “Vira mana?”
“Kenapa nanyain dia? Emangnya nggak ada hal lain?” tanya Josh.
Lina terdiam. Sebenernya dia juga enggan menyebut nama itu.
Josh tersenyum pada Lina. Apalagi setelah dirinya menyadari kalau Lina sebenarnya wanita yang sangat cantik. Lina merasa sangat bahagia saat itu dan dia hanya bisa tersenyum memandangi wajah Josh tanpa tahu apa yang akan dilakukannya.
Deg!
Tiba-tiba Lina langsung tertunduk saat tahu kalau dia sudah melakukan hal yang berlebihan. Kemudian dia melihat lagi ke tengah lantai dansa. Clara dan Steve sudah nggak kelihatan. Lina jadi panik dan mencari-cari.
“Kenapa?” tanya Josh.
Lina menatap Josh dengan wajah cemas, “Clara. Tadi Clara dan Steve lagi dansa disitu. Tapi sekarang nggak ada.”
Josh melihat ke titik yang ditunjuk Lina.
“Tenang aja, dia nggak mungkin ninggalin kamu sendirian disini. Kalaupun begitu, aku yang akan antar kamu pulang.” Kata Josh.
Lina menatap mata Josh dalam. Dia ragu dengan kalimat itu.
Tiba-tiba Josh mundur dua langkah, langsung membungkuk dan membuka telapak tangannya di depan Lina.
“Ayo kita dansa, tuan putri.” Ajaknya.
Lina tertawa pelan dan dengan rasa bahagia, dia menaruh tangannya di atas telapak tangan Josh.
Josh berdiri dan memimpinnya ke tengah-tengah lantai dansa. Mereka berdiri tepat di tengan ruangan dan tepat saat itu, suara musik jadi sangat lembut. Cocok untuk dansa romantis.
Josh dan Lina bertatapan. Semua tahu kalau Josh dan Lina pasti merasa sangat gugup dan malu.
Mata Lina menatap mata Josh dengan cemas.
“Josh, aku nggak bisa dansa.” Bisiknya.
Josh tertawa, “Kalo gitu sama dong, aku juga nggak bisa.” Jawabnya.
Mereka berdua akhirnya sama-sama tertawa.
“Oke, kita pelan-pelan dulu ya?” tanya Josh.
Lina mengangguk.
Mereka mulai melangkah pelan-pelan dan berdansa di tengah-tengah musik yang romantis. Terlihat sepatu hak tinggi Lina yang mulai melangkah teratur di atas lantai. Tiba-tiba high heels Lina menginjak pelan kaki Josh. Lina menatap mata Josh dan tertawa saat itu. Tubuh Josh ikut bergetar saat dia juga ikut tertawa.

❋❋❋

“Sialan! Dia pikir ini baju murah apa?! Siapa tuh orang? Gak kenal gue ini Vira apa?!” gerutu Vira. Dia berada di salah satu bilik di dalam kamar mandi. Dia sedang duduk di atas kloset dan mengeringkan gaunnya dengan tisu.
Tok tok tok.
Seseorang mengetuk pintu bilik tempat Vira berada.
“Shut up!” teriak Vira.
Tok tok tok.
Orang itu mengetuk pintu lagi.
“Helloooww!! Kamar mandi nggak cuma satu kan?!”teriak Vira lagi, lalu dia kembali mengeringkan gaunnya.
Tok tok tok.
“Shit!”
Vira yang kesal langsung berdiri dan membuka pintu. Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka saat terkejut dengan apa yang ia lihat.
SRAAKK…

❋❋❋

Saat adegan dansa tengah berlangsung sangat hangatnya, tiba-tiba Lina melepaskan tubuhnya dari pelukan Josh.
“Josh, udah cukup.” Kata Lina.
Josh melihat Lina dengan aneh, “Kenapa?”
“Ini terlalu lama. Kalau sampai Vira datang gimana?” tanya Lina khawatir.
“Aku nggak peduli.” Jawab Josh ketus.
“Haaii!!” Tiba-tiba Clara datang mengagetkan.
“Ya ampun Claraaa…? Kamu darimana?” tanya Lina.
“Aku dari halaman belakang. Disana ada pertunjukkan street magician seru.” Jawabnya sambil terus bergerak lincah.
“AAAAARRRGGGHHH!!!” teriak seseorang dari arah kamar mandi.
“Suara apaan tuh?” tanya Clara.
Josh menoleh ke arah suara dengan cemas, “VIRA!” teriak Josh.
Josh berlari dengan cepat menuju ke kamar mandi. Mendorong tubuh siapa saja yang menghalangi jalannya. Lina dan Clara berlari mengikuti dari belakang.
Kemudian, Josh masuk ke dalam kamar mandi. Nita terlihat gemetaran dan shock sambil berdiri menatap ke dalam bilik pertama di dalam kamar mandi itu. Apalagi, ada darah yang mengalir di lantai yang berasal dari bilik itu.
Josh melihat ke dalam bilik, “VIRA?!”
Josh masuk ke dalam dan langsung membuka jasnya untuk menyelimuti tubuh Vira. Kemudian dia berlutut dan memegangi tubuh Vira yang penuh darah. Vira meninggal dengan tusukan pisau di perutnya. Ada juga garis merah bekas cekikan yang membekas di kulit lehernya.
Josh terlihat sangat kehilangan. Dia memeluk mayat Vira yang berlumuran darah dan menangisinya.
Lina bisa mengerti perasaan Josh. Dia pun ikut menangis dan tenggelam dalam pelukan Clara.
Josh terlihat geram, matanya merah dibayangi dendam.
“VIRAAA!!!” Jerit Josh menyayat.

❋❋❋

Sekarang sudah jam sebelas malam. Pesta jadi kacau dan dibubarkan terlalu cepat satu jam dari yang semestinya. Kini hanya tinggal beberapa puluh orang yang masih ada di aula. Kebanyakan dari mereka adalah teman sekelas Vira dan yang termasuk panitia acara ini.
Termasuk juga Lina dan Clara. Mereka tidak pergi dari sana karena Lina masih ingin bicara dengan Josh. Lina dan Clara melihat Josh dari jauh. Josh sedang bicara dengan seorang polisi yang terus menginterogasinya. Josh sendiri nampak kalem saat berdebat dengan polisi itu. Josh terlihat letih dan berantakan. Itu yang membuat Lina sangat sedih.
Kemudian, setelah polisi itu selesai bicara dengan Josh dan pergi, Lina berjalan sendirian mendekati Josh sementara Clara menuju ke luar. Clara ingin bertemu dengan Pak Ipat.
“Josh.” Panggil Lina.
Josh yang kemeja putihnya penuh dengan darah menoleh dan masih berusaha tersenyum untuk Lina.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Lina.
Josh menundukkan wajahnya. Tiba-tiba Lina jadi merasa bersalah atas semua ini, “Josh, maaf…” dia berbisik dengan suaranya yang lirih.
“Ini bukan salah kamu. Aku cuma berfikir… siapa yang tega melakukan semua ini dan kenapa dia melakukannya.” Kata Josh.
Josh menatap Lina dengan tegar. Lina menatap Josh dan airmatanya tiba-tiba turun begitu saja. Josh langsung menatap dalam kedua mata Lina.
“Lina, ini bukan salah kamu.” Katanya lembut.
Lina menggeleng dan airmatanya terus turun, “Aku salah, Josh. Aku…”
Tiba-tiba saja Josh menarik Obi yang lewat di belakangnya. Obi yang kaget itu menatap Josh dengan bingung.
“Buka jas lo.” Suruh Josh.
Obi yang masih kebingungan itu akhirnya membuka jas hitamnya dan memberikannya pada Josh. Josh langsung melebarkan jas itu dan menyelimuti tubuh Lina. Lina menatap Josh dengan bahagia. Josh begitu perhatian terhadapnya.
Kemudian Josh memegang dua tangan Lina dan sedikit membungkuk agar wajahnya sejajar dengan wajah Lina. Lina yang masih menyalahkan dirinya itu menatap Josh dengan sendu.
“Sekarang udah malem. Pulang, tidur dan lupain semuanya. Kamu nggak ada hubungannya sama kejadian ini.” Ucap Josh dengan matanya yang letih itu pada Lina. Lina terdiam. Matanya masih berusaha menyelami mata Josh.
Tiba-tiba Clara datang dengan langkah cepat dan langsung memegang tangan Lina. Lina menoleh ke Clara yang kelihatan panik.
“Lina, ayo kita pulang. Mama udah nungguin aku di rumah. Dia khawatir sama kita.” Ucap Clara sambil berjalan dan menarik tangan Lina untuk berjalan keluar aula.
Lina masih memberatkan kakinya saat itu. Sebenarnya dia tidak mau meninggalkan Josh dalam keadaan seperti itu. Lina menoleh lagi ke belakang dan melihat Josh yang sedang memasukkan tangannya ke saku celana.
Josh tersenyum getir pada Lina dan langsung tertunduk. Lina begitu tersiksa melihat Josh terpuruk dalam keadaan seperti itu.
Sebelum Lina akhirnya keluar dari pintu, dia melihat Josh didatangi dua polisi. Lalu dia berjalan di belakang dua polisi yang ingin meminta keterangan darinya.

❋❋❋

Sekarang Lina dan Clara duduk dalam mobil dalam perjalanan pulang.
“Ada apa?” Clara cemas saat melihat Lina yang begitu pucat.
“Aku kasian sama Josh.” Jawab Lina.
Clara mengusap pelan rambut Lina dan ikut merasa sedih.
“Siapa yang tega melakukan itu ya?” bisik Lina pelan.
“Semuanya punya alasan tersendiri untuk membunuh Vira. Kamu tahu kan banyak orang yang benci sama dia?” tanya Clara.
Lina tertunduk. Dia menyadari bahwa sebenarnya dia pun tidak menyukai Vira. Tapi bukan begini caranya membalas segala kejahatan yang telah dia lakukan.
“Pasti sulit mencari tersangka di pesta kostum. Kejadian itu terjadi di dalam toilet cewek. Polisi udah berprasangka kalau pembunuhnya adalah murid cewek yang masuk ke toilet. Siapa tahu pembunuhnya laki-laki yang memakai topeng jadi nggak ketahuan? Semua orang bisa jadi pembunuhnya. Termasuk orang luar yang bukan murid sekolah kita. Bisa aja dia pakai topeng dan ngaku murid sekolah kita padahal bukan. Ini kan pesta umum. Bener kan?” tanya Clara.
Lina menoleh dengan matanya yang terkejut bukan main. Dia nggak menyangka sama sekali Clara bisa mengeluarkan argumen seperti itu. Clara tidak membalas tatapan Lina. Dia begitu asyik memandangi jalanan malam yang ramai melalui jendela mobil.
Dalam lubuk hatinya, Lina membenarkan pernyataan Clara tadi.
Siapapun bisa jadi pelakunya…
Siapapun…

Bagian 10

Lina dan Clara duduk di dalam kelas mereka pagi ini. Mereka mendengarkan penjelasan pelajaran Sejarah dari Bu Endang. Meskipun begitu, dari wajah mereka semua yang ada di kelas itu, Lina yakin bahwa mereka masih dibayangi kematian Vira tiga hari yang lalu hingga tidak memasukkan satu kalimat pun yang diucapkan Bu Endang ke dalam otak mereka.
Hanya Clara yang terlihat tanpa beban. Dia terus aktif mencatat ucapan Bu Endang hingga halaman di bukunya nyaris penuh. Lain dengan Lina yang belum menuliskan apapun di buku catatannya kecuali tanggal.
Aula sekolah masih disegel dan diperiksa oleh polisi, begitu juga toilet wanita. Untungnya sekolah ini punya lima bagian toilet wanita yang tersebar di berbagai sudut dan lantai. Dua diantaranya menjadi tempat kematian Gladys dan Vira. Jadi sekarang, hanya ada tiga toilet yang sering digunakan oleh tiga ratus murid di sekolah itu.
Lina melihat ke semua teman-temannya pagi ini. Terutama Josh. Sejak tadi Lina seringkali melamun ke arah Josh. Josh terlihat sangat lusuh dan suntuk pagi itu. Semua karena tragedi tiga hari yang lalu yang telah mengambil nyawa Vira.
“Kelas kita semakin sepi. Berkurang tiga orang.” Ucap Lina pelan.
Clara yang sedang fokus mendengarkan langsung menoleh ke Lina, “Iya. Emangnya kenapa?” tanya Clara.
Lina menoleh dan mengamati mata Clara dengan aneh. Harusnya Clara bisa merasakan atmosfer teror yang menyelubungi kelas hari itu. Tapi ternyata, dia tidak merasakannya.
“Kamu nggak merasa takut?” tanya Lina.
“Untuk apa?” tanyanya balik.
“Pembunuh itu. Dia belum ditangkap.” Kata Lina.
Clara masih nampak biasa saja.
“Tapi dia kan membunuh anak yang jahat.” Ucap Clara.
“Gimana kalo kita juga menjadi target berikutnya?” gumam Lina.
“Enggak akan. Percaya deh sama aku.” Clara tersenyum pada Lina. Dia berhasil menunjukkan pada Lina kalau dirinya sama sekali tidak terpengaruh dengan banyak kejadian berujung kematian belakangan ini.
Lina mengamati sekeliling. Dia melihat Todo yang duduk di depannya. Todo terlihat memasukkan tangannya ke dalam kolong meja. Todo mengeluarkan sebungkus roti dari dalam kolongnya. Todo membuka bungkusnya pelan-pelan dan memakannya sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan Ibu Guru.

❋❋❋

Jam pelajaran tiba.
Murid-murid berhamburan untuk pergi ke toilet dan mengganti seragam mereka dengan kaos olahraga. Murid laki-laki selesai berganti baju lebih dulu dan kembali ke kelas mereka. Vino, ketua kelas yang paling terakhir selesai ganti baju merasa heran saat melihat Todo sedang duduk di bangkunya sambil merintih dan masih memakai seragam.
“Todo?” Vino memanggil dan mendekati Todo. Todo mengangkat kepalanya dan dia kelihatan tidak sehat. Terlihat juga sebelah tangannya yang sedang meremasi perutnya.
“Nggak olahraga?” tanya Vino.
“Perut gue sakit.” Jawab Todo sambil kembali meremas perutnya.
Dengan jidatnya yang berlipat, Vino mengamati Todo.
“Elo salah makan atau mau boker?”
“Dua-duanya. Gue sering kayak gini kalo mau boker. Tapi ini bener-bener melilit. Gue nggak bisa bergerak.” Kata Todo sambil  merintih,  “Bos, izinin gue ke Pak Ahmad ya?”
Vino tersenyum, “Beres. Tapi gue titip kelas ya? Hati-hati di kelas. Kalo mau dikunci, kunci kelas ada di tas gue. Atau kalo udah parah, ke UKS aja ya?”
Todo hanya bisa mengangguk.
Vino pun akhirnya keluar dari pintu kelas.
Todo kembali menaruh kepalanya di atas meja dan tangannya kembali lagi meremas-remas perutnya. Dia merasakan perutnya sangat sakit.
Entah gara-gara apa…

❋❋❋

Seluruh murid kelas X-1 berkumpul di lapangan sekolah. Mereka berbaris dengan berantakan di depan pak Ahmad, guru olahraga mereka.
“Hari ini kita akan lari jarak 500 meter. Rutenya sama seperti yang biasanya. Ini adalah pengambilan nilai. Mengerti?” tanya pak Ahmad sambil menatap muridnya satu persatu.
“Ya, pak.” Jawab anak-anak serempak.
Pak Ahmad menghitung jumlah murid dalam hati dan dia merasa kehilangan seorang muridnya.
“Vino.” Panggilnya.
Vino yang sedang ngobrol dengan Steve langsung menoleh ke pak Ahmad.
“Mana Todo?” tanyanya.
“Katanya dia sakit perut, Pak. Sekarang dia masih ada di kelas dan katanya dia izin untuk nggak ikut pelajaran olahraga.” Jawab Vino.
Pak Ahmad hanya mengangguk mengerti. Kemudian dia memegang peluit yang tergantung di lehernya.
“Tolong kalian siap-siap di garis start.” Ucapnya.
Murid-murid berdiri berjejeran di garis start.
“Bersedia… siap…”
Priiitt….
Mereka berlari ketika peluit berbunyi.
❋❋❋
Karena merasa cukup khawatir terhadap Todo, pak Ahmad memutuskan untuk kembali ke kelas. Dia berjalan menuju ke kelas X-1. Sesampainya dia disana, dia tidak melihat seorang pun di dalam kelas. Kelas dalam keadaan kosong.
“Todo?” panggil pak guru.
Tapi setelah pak Ahmad benar-benar memeriksa ke dalam kelas, Todo masih belum ditemukan. Akhirnya dia menutup pintu dengan cemas dan kembali ke lapangan.

❋❋❋

Pak Ahmad berdiri menunggu murid-murid sambil menatap stopwatch di lehernya. Satu persatu murid mulai berdatangan kembali ke lapangan sekolah.
Pak Ahmad menyebutkan waktu mereka kemudian mencatatnya ke buku nilai. Akhirnya, beberapa menit setelah murid laki-laki datang, terlihat Lina dan Clara yang masuk ke lapangan. Mereka adalah dua murid perempuan tercepat dengan catatan waktu yang sama karena mereka berdua berlari berbarengan.
“Vino.” Panggil pak Ahmad.
Vino yang sedang duduk di atas lapangan dengan napas ngos-ngosan langsung menatap pak Ahmad.
“Kenapa,Pak?” tanyanya sambil mengelap peluh di keningnya menggunakan kaos olahraganya.
“Todo kok nggak ada di kelas?” tanya pak Ahmad.
“Masa sih, Pak? Tadi saya liat dia emang kelihatan nggak enak badan gitu. Kayaknya dia sakit perut. Mungkin dia ke toilet.” Kata Vino.
“Cari dia ya? Kalo dia emang bener-bener sakit, antar dia ke UKS atau minta izin pulang ke guru piket.” Suruh pak Ahmad.
Vino mengangguk, “Baik, Pak.”

❋❋❋

Pelajaran olahraga usai, bel pulang berbunyi nyaring…
Anak kelas X-1 baru saja berkumpul seusai pencarian.
“Todo masih belum ketemu?” tanya Vino.
Semua yang ada di kelas itu tertunduk. Mereka udah berusaha mencari di sekitar sekolah mereka tapi Todo masih belum ketemu.
“Kita berpencar. Cari Todo sampai dapet, sekarang!” perintah Vino dengan tatapan serius.
Semuanya langsung berhamburan keluar kelas untuk mencari Todo. Lina dan Clara langsung bertatapan dan berlari untuk bersama-sama mencari Todo.

❋❋❋

Koridor sekolah nampak lenggang. Pelajaran Olahraga adalah pelajaran penutup pada hari itu. Kebanyakan dari murid di sekolah itu sudah pulang karena saat ini sudah jam setengah empat sore, hampir satu jam setelah bel pulang berbunyi.
Yang kelihatan mendominasi koridor dan sudut sekolah adalah muka-muka panik murid kelas X-1 dan anggota eskul lukis dan eskul futsal yang memang latihan eskul sepulang sekolah hari ini.
Vino yang sedang berlari bertemu dengan Steve, Obi, Josh dan Lauren yang datang dari koridor kanan.
“Udah ketemu blom?” tanya Vino dengan napasnya yang memburu.
“Dia nggak ada di kantin, di laboratorium fisika, kimia, bahasa Inggris, multimedia juga nggak ada.” Lapor Obi.
“Di seluruh kamar mandi juga nggak ada.” Lapor Lauren.
“UKS juga nggak. Perpus dan warnet juga nggak.” Lapor Steve.
“Seluruh lantai dua udah gue periksa. Semua kelasnya udah kosong dan dikunci.” Lapor Josh.
Hentakan kaki berlari datang juga dari koridor kiri. Terlihat Nita, Anggi, Clara dan Lina yang datang.
“Halaman belakang dan samping nggak ada.” Kata Nita dengan suara napasnya yang dapat terdengar.
“Seluruh ruang eskul udah gue periksa. Nggak ada Todo.” Kata Anggi.
“Aku sama Lina nyari ke lantai tiga. Semua kelasnya udah kosong dan dikunci.” Kata Clara panik. Lina mengangguk.
Vino meremas rambutnya dengan emosi yang meledak-ledak. Dia merasa sangat frustasi tidak bisa menemukan Todo.
“Kemana sih dia?” jerit Vino sambil meninju tembok, “gue telpon ke rumahnya, katanya dia belum pulang. Hapenya juga mati.”
Tiba-tiba semuanya terdiam dan tertunduk. Mereka semua juga merasa sangat ketakutan dengan hilangnya Todo. Mereka keletihan dan capek. Tapi mereka semua sangat ingin menemukan Todo.
Lina pun merasakan teror itu. Dia hanya memandang lurus ke depan dengan lutut yang gemetaran.
“Clara.” Bisik Lina.
“Apa?” tanya Clara sambil menoleh ke Lina yang berdiri di sampingnya.
Clara tambah merasa ngeri saat melihat Lina yang nampak membatu.
“Pembunuh itu… mungkin dia mau membunuh Todo.” Bisik Lina.
“Atau mungkin… dia emang sudah membunuhnya.” Timpal Clara dengan suaranya yang berbisik.
Lina menoleh.
Dengan keringat yang sama-sama membanjiri seragam mereka, Lina dan Clara bertatapan dengan teror yang sangat melingkupi mereka semuanya.

❋❋❋

Malam harinya, di kamar Clara.
Lina dan Clara duduk dengan lemas di atas sofa di dalam kamar Clara. Di tangan Clara, terdapat remote yang menghubungkannya dengan TV flat 29 inch di depan mereka.
Clara dan Lina melihat berita di tivi yang menginformasikan hilangnya Todo dan dugaan penculikan. Di beberapa channel TV yang menyiarkan berita, terlihat juga gambar orang tua Todo yang menangis terisak-isak. Bahkan Mama Todo terlihat pingsan saat berjalan di depan kantor polisi. Mereka bahkan mengadakan sayembara dan akan menukarkan informasi sekecil apapun mengenai Todo dengan uang imbalan.
“Todo belum ketemu juga. Ini pasti ada suatu rencana. Pembunuh itu ingin membunuh semua murid di kelas kita. Pertama, dia membunuh Gladys, kemudian dia membunuh Desi. Trus Vira dan sekarang, dia ingin membunuh Todo. Siapa selanjutnya?” tanya Lina panik pada Clara yang ada di sampingnya.
Tapi, Clara hanya geleng-geleng kepala dan terlihat meremehkan ketakutan Lina itu, “Lina, kita nggak mungkin dibunuh.” Ucapnya santai. Seolah mereka berdua memang tidak akan dibunuh.
Lina hanya melongo menatap Clara yang terlihat sibuk membuka-buka halaman majalah gosip di tangannya. Dia merasa sangat bingung dengan kelakuan sahabatnya itu.
“Aneh. Kamu aneh, Ra.” Bisik Lina pelan dengan nada curiga.
Clara yang mendengarnya langsung menatap Lina dengan dalam.
“Aneh?” tanyanya.
“Kamu nggak peduli sama semua ini ya? Kenapa kamu nggak peduli sama diri kamu sendiri? Sama keselamatan teman-teman kamu?” tanya Lina dengan nada suaranya yang terdengar marah.
Clara nampak terpukul dengan ucapan Lina. Matanya mulai berkaca-kaca dengan bibir yang bergetar. Lina jadi merasa bersalah. Dia telah membuat Clara sakit hati.
“Apa kamu pikir aku nggak takut? Apa kamu pikir aku suka kalau teman-teman kita dibunuh satu persatu? Apa kamu jadi benci aku gara-gara ini? Iya? Kamu benci aku?” bentak Clara keras dengan air dimatanya yang semakin banyak.
Kemudian Clara menutup wajahnya menggunakan telapak tangannya.
“Clara. Dengerin aku.” Lina maju ke depan dan memegangi tangan Clara. Dia merasa sangat bersalah atas kejadian ini. Lina menurunkan dua telapak tangan Clara dan meminta Clara untuk menatap matanya.
“Aku minta maaf ya? Aku nggak bermaksud begitu. Aku cuma, aku… aku emang salah. Kamu bener kok, kita nggak perlu khawatir. Kamu bener. Maafin aku ya?” Ucap Lina.
Kemudian, Lina memeluk Clara. Clara mulai meredakan isakannya dan ikut memeluk Lina sambil tersenyum.
“Kamu jangan marah sama aku lagi, Tira.” Bisik Clara. Bola mata Lina menegang karena bingung, “Aku nggak akan memaafkan diri aku kalau kamu sampai marah sama aku.” Lanjut Clara.
“Aku nggak marah.” Sahut Lina.
“Aku juga enggak. Kita sahabat dan sahabat nggak boleh berantem. Iya kan, Lina?” tanya Clara sambil melepaskan pelukannya dan tersenyum pada Lina.
Lina tersenyum kecil untuk menyenangkan Clara. Tapi… nama ‘Tira’ yang sempat diucapkan Clara itu menyisakan satu tanda tanya besar dalam benak Lina.
“Hm… Ra.” Panggil Lina.
Clara menoleh, “apa?”
“Siapa Tira?” tanya Lina.
Clara membuka lagi halaman majalahnya dan dia terdiam cukup lama seolah nggak mendengar pertanyaan itu.
“Dia sahabat lamaku.” Jawab Clara.
“Kamu dan Tira bersahabat udah lama ya?”
Clara mengangguk, “Iya.”
“Berapa lama?” tanya Lina lagi.
“Lama banget. Delapan tahun.” Jawabnya.
Saat itu, Clara nampak tidak peduli dengan pertanyaan yang diajukan Lina. Meski ini membicarakan masa lalunya bersama sahabatnya, Clara menanggapi pertanyaan itu dengan sangat biasa. Dia menjawab sambil terus membuka halaman majalahnya hingga Lina merasa sedikit aneh.
“Tira orangnya gimana? Dia baik nggak?”
“Hmm… dia sama baiknya kayak kamu. Dia itu selalu ngelindungin aku. Dia itu selalu bikin aku sembuh. Aku nggak pernah sakit kalo bersahabat sama dia. Kata Mama, dia malaikat yang dikirim buat aku. Hebat kan, aku punya dua malaikat, Tira dan kamu.” Kata Clara sambil tersenyum lebar kepada Lina.
“Trus sekarang, Tira-nya kemana?” tanya Lina.
Clara menoleh dengan jidat berlipat, “Apa?”
“Iya, sekarang dia tinggal dimana? Sekolahnya dimana?” Lina mengulangi pertanyaannya.
Kemudian Clara mendadak jadi sedih. Dia menatap Lina dengan kesenduan dan kesedihan dari matanya, “Tira… dia pergi sama sahabat barunya dan ninggalin aku sendirian disini.”

❋❋❋

Lina berada di dalam kamarnya. Sekarang sudah jam sebelas malam dan Lina terus terbayang-bayang dengan sosok bernama Tira itu. Selama ini Clara tidak pernah membicarakan Tira. Dia tidak punya foto Tira padahal mereka bersahabat sudah delapan tahun. Tapi tiba-tiba saja, dia memanggil Lina dengan nama Tira.
Semuanya jadi terasa aneh…
Kemudian Lina duduk dan melihat buku catatan Fisika Clara yang ketinggalan di atas meja belajarnya. Maka, setelah memakai sendal bulu bentuk kucingnya, dia keluar kamar untuk mengembalikan buku itu.
Langkahnya berhenti sedetik saat melihat seorang pelayan wanita berdiri serius di depan kamar Clara. Itu adalah kejadian langka dan mencurigakan.
“Mana Clara? Apa dia ada di kamar?” tanya Lina.
“Nona Lina, Nona Clara sedang diperiksa dokter sebentar.” Jawab si pelayan dengan penuh kesopanan dan rasa hormat.
“Apa? Clara kenapa?” tanya Lina panik.
“Ini hanya check up rutin aja, Nona. Nona Clara nggak sakit apa-apa.” Jawab pelayan itu lagi.
Tiba-tiba seorang dokter terlihat keluar dari kamar Clara.
“Dokter, Clara kenapa?” tanya Lina.
Dokter itu langsung melihat Lina dengan sangat serius. Tiba-tiba seperti ada reaksi terkejut luar biasa saat melihat Lina. Lina ikut-ikutan menatap dokter itu dengan bingung. Dokter itu langsung tersenyum panik begitu menyadari tatapan Lina yang melihatnya dengan aneh.
“Kamu ini… Lina ya?”    tanya dokter laki-laki berkacamata itu.
Lina mengangguk. Matanya masih tajam dan waspada pada dokter yang tadi menunjukkan ekspresi aneh itu.
“Clara baik-baik aja. Ini hanya check up rutin yang diminta Mamanya. Tapi karena ini juga udah malam, dia sekarang tidur. Sebaiknya kamu juga tidur karena sekarang udah jam sebelas malam. Oke?” dokter itu tersenyum sambil mengacak-acak rambut Lina.
Lina masih saja waspada dan tidak tersenyum sedikit pun.
Melihat mata Lina, dokter itu jadi sedikit takut dan langsung berjalan meninggalkan Lina yang masih berdiri di depan kamar Clara.
Lina menunduk dan melihat buku yang dipegangnya lalu kembali masuk ke kamarnya dan berniat mengembalikan buku itu esok pagi.
Tapi…
Check up rutin? Apa itu? Kenapa Clara nggak pernah bilang sebelumnya?

Bagian 11

Keesokan harinya, di sekolah.
Lina kembali duduk di bangku kelasnya dan melihat ke sekelilingnya. Rasa takut yang menyelubungi kelas itu makin terasa dan Lina mulai merasakan kelas itu jadi semakin sepi. Semuanya terbebani oleh banyaknya kasus pembunuhan belakangan ini.
Gara-gara kasus itu, mereka semua jadi jarang bicara. Lina pun tidak lagi merasakan diskriminasi yang didapatkannya seperti dulu. Tidak ada lagi teman sekelasnya yang mengejeknya. Kini, ada semacam ikatan yang menyatukan mereka bersembilan yang tersisa. Seperti ikatan untuk saling melindungi satu sama lain agar tidak terbunuh.
“Semakin mengerikan.” Bisik Clara.
“Sangat. Sangat mengerikan.” Sahut Lina.
Tiba-tiba saja Bu Siska, guru Biologi masuk ke dalam kelas. Murid mulai merasa bingung karena hari ini tidak ada pelajaran Biologi. Bu Siska berdiri di depan kelas. Dia nampak sangat tegang dan gugup.
“Dengar anak-anak.” Ucapnya.
Dia menatap murid-murid yang ada di kelas itu yang sekarang jumlahnya tinggal sembilan orang. Bu Siska nampak sangat gugup dan menelan ludahnya beberapa kali.
“Begini, sehubungan dengan maraknya kejadian yang sangat menganggu belakangan ini, ibu harap kalian tidak terlalu… tidak terlalu mempedulikannya.” Ucap Bu Siska.
Tatapan anak kelas itu mulai menajam dan marah. Bagaimana mungkin mereka semua tidak mempedulikan kejadian ini? Bu Siska langsung menunduk saat tahu pemilihan katanya kurang tepat.
“Bu-bukan begitu, maksud ibu… ibu tahu kalau kalian semua merasa terancam setelah rentetan semua kejadian itu. Tapi pembunuhnya telah ditangkap. Orang yang membunuh Vira dan Desi adalah Pak Cipto.” Ucapnya.
Semuanya langsung tercengang dengan mulut menganga. Lina nampak sangat terpukul karena tidak bisa menerima kalau orang sebaik pak Cipto adalah pembunuh.
“Dia mengaku membunuh Vira dan Desi. Sementara kasus menghilangnya Todo masih belum terungkap karena Pak Cipto mengaku bukan dia penculik Todo. Kalau Gladys, telah ditetapkan dia meninggal karena overdosis, bukan dibunuh.”
Vino mendirikan tangannya. Dia lalu berdiri dengan tatapan marahnya.
“Kenapa dia membunuh Vira dan Desi?” tanya Vino.
“Karena keduanya pernah membuatnya marah. Ada juga unsur dendam. Katanya Bapaknya Pak Cipto dulu dipecat secara tidak hormat oleh Papanya Desi yang seorang direktur perusahaan.” jawab Bu Siska.
“Hanya itu?” tanya Vino marah.
“Iya, mungkin begitu. Itu yang ibu dengar dari kepala sekolah. Dan Pak Cipto mungkin akan dipenjara 15 tahun karena perbuatan itu. Sidangnya akan dilakukan Senin depan.” Kata Bu Siska lagi.
Semuanya terdiam.
“Hanya itu yang bisa Ibu katakan untuk saat ini. Ibu masih berharap adanya keajaiban hingga kita bisa menemukan Todo dalam keadaan selamat. Permisi.”
Bu Siska berjalan keluar kelas.
“Aku nggak nyangka pak Cipto bisa berbuat sekejam itu.” ucap Lina.
Selama ini, Guru Bahasa Jerman itu selalu murah senyum dan penyabar. Dia orang yang sangat sederhana dan baik. Dia terlihat sangat mustahil berlaku jahat.
“Jangan terpengaruh dari tampangnya. Kemasan bisa menipu.” Ujar Clara.

❋❋❋

Sekarang waktunya istirahat.
Terlihat Nita dan Anggi yang berjalan bersama di koridor sekolah. Mereka berdua sahabat yang unik. Nita orangnya sangat manis dan feminim sementara Anggi berambut cepak dengan gaya anak band yang kasar dan urakan.
“Kita ke perpus ya?” ajak Nita pada Anggi.
“Mau ngapain sih?” Anggi bertanya dengan sinis seolah sudah menolak ajakan itu.
“Gue harus nyari buku astronomi buat tugas kliping.” Jawab Nita yang hari itu dikuncir kuda dengan pita merah.
“Gue ke kantin aja ya? Laper nih. Kalo udah makan, gue nyusul ke perpus.” Kata Anggi.
Mereka berhenti berjalan di dekat tangga.
“Ya udah. Bye.” Kata Nita.
Kemudian, Nita naik ke atas tangga sedangkan Anggi meneruskan jalannya untuk lurus ke depan dan menuju ke kantin.
Mereka berpisah.

❋❋❋

Seperti keadaan di banyak sekolah, perpustakaan memang selalu sepi pengunjung. Di perpustakaan hari itu hanya ada beberapa orang yang dapat dihitung dengan jari yang sedang duduk di meja tengah ruangan sambil serius membaca. Duduk pula seorang pengawas wanita yang sudah sangat tua dan galak di sana. Maka jadilah perpustakaan menjadi tempat paling sepi peminat di sekolah.
Perpustakaan sekolah ini sangat lengkap dan luas.
Kalau mau mengambil buku yang letaknya paling di atas rak, harus menggunakan tangga panjang. Rak bukunya besar-besar dan buku-buku yang ada di dalamnya sangat komplit dan mewakili buku-buku dari lima benua di dunia.
Nita berjalan sedikit ke ujung ruangan yang memuat buku-buku astronomi. Rak-rak buku bagian J adalah rak buku paling ujung dan paling jarang di dekati orang. Dan disanalah Nita berada.
Matanya mencari-cari buku astronomi yang membahas tentang sifat bulan terhadap bumi yang ditulis dalam bahasa Inggris. Dia harus mengerjakan tugas kliping 50 halaman disertai wacana 500 kata dalam bahasa Inggris yang diambil minimal dari 3 buku berbeda.
Kemudian, Nita mendongak. Sesekali dia berjinjit untuk bisa membaca judul buku yang tersusun agak tinggi. Akhirnya, dia melihat sebuah buku tebal bercover putih yang sudah kotor berjudul Mysterious Relation Between Moon and Earth yang letaknya agak tinggi.
Nita pun celingukan ke arah kanan, melihat apa ada tangga nganggur di sekitar sana. Tapi kosong, tidak ada tangga maupun orang di sekitar sana.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Nita dari belakang hingga dia melompat kaget.
Orang itu langsung menyekik Nita dan mendorong tubuh Nita menempel ke rak buku. Tangannya yang lain menutup keras mulut Nita agak tak bersuara.
Mata Nita terbelalak besar saat orang itu mulai melayangkan pisau runcing berkilat-kilat ke arahnya.

❋❋❋

Anggi mendaki pelan ke atas tangga sambil menghabiskan burgernya. Dia lalu membuka pintu perpustakaan dengan cepat dan mengagetkan hingga Bu Melda, pengawas perpustakaan yang sudah tua melotot ke arahnya.
Anggi tersenyum seolah minta maaf dan langsung menggaruk kepalanya saat bingung harus mencari Nita darimana.
“Nita!” panggil Anggi dengan keras.
Delapan anak yang duduk membaca dan mengitari meja di tengah perpustakaan menoleh dan menaruh telunjuk di depan mulut mereka kepada Anggi, “Sssstt…” ucap mereka serempak dengan tatapan marah.
Anggi membungkuk beberapa kali untuk minta maaf.
Akhirnya Anggi masuk ke bagian J karena membaca papan bertuliskan ‘Astronomy’ di atasnya. Kemudian, langkahnya terhenti melihat ada bekas seretan darah di lantai.
Anggi panik. Dia berjalan mengikuti arah darah itu.
Kemudian…
“Aaaarrrgggghhh!!!”, Anggi berteriak keras saat melihat tubuh Nita yang terbaring di pojok ruangan dengan pisau di tengah perutnya dan darah yang mengalir ke sekujur tubuhnya.

❋❋❋

“Ini keterlaluan!” ucap Lina geram.
Clara mengangguk, “Pembunuh itu benar-benar mengincar murid kelas kita.” Lanjutnya.
Lina dan Clara terpaku di koridor saat beberapa orang dari rumah sakit membawa keluar mayat Nita yang tertutupi kain putih yang dipenuhi bercak merah darah.
Melintas pula Anggi yang meraung-raung dan meronta. Dua orang polisi harus sekuat tenaga menyeretnya karena Anggi terus saja mencoba bunuh diri dan memberatkan kakinya ke lantai. Dia sangat kehilangan sahabat baiknya itu. Dia terus berteriak dan menangis seperti kesurupan. Dia juga terus berteriak sambil mengutuk-ngutuk orang yang telah membunuh Nita. Kedua tangannya terus ditarik dan diseret oleh dua orang polisi berbadan besar.
“Aku… aku kasian sama Anggi.” Bisik Clara dengan suaranya yang sangat lembut, “dia harus kehilangan sahabat baiknya. Aku… aku nggak mau kehilangan kamu, Lin. Aku lebih baik mati kalau kamu mati.” Ucapnya sambil menatap Lina.
Lina tersenyum kecil lalu menggengam tangan Clara. Dia pun merasakan hal yang sama. Dia tidak mau kehilangan Clara.
“Aku juga. Kita akan terus bersama-sama. Iya kan?” tanya Lina.
Clara tersenyum, “Iya.”
Kemudian, Pak kepala sekolah datang diiringi banyak guru di sekitarnya. Ia lalu berdiri dan menatap wajah semua murid yang berkumpul dengan wajah ketakutan.
“Bapak mohon agar kalian tidak panik. Silahkan masuk ke kelas kalian dan tunggu di dalam kelas sampai bel pulang berbunyi!” titahnya dengan suara yang lantang. Kemudian pak kepala sekolah berjalan pergi menuju ke perpustakaan.
Semua yang berdiri disana langsung menyebar dan kembali ke dalam kelas masing-masing, kecuali Steve. Dia masih berdiri di tempatnya dengan tangan terkepal dengan tatapan ke lantai yang penuh dendam dan kemarahan.

❋❋❋

Bel pulang berbunyi.
Para orang tua telah berkumpul dan menyesakki halaman depan sekolah dengan membawa mobil mewah masing-masing. Mendengar berita mengenai kematian Nita, para orang tua langsung datang sendiri ke sekolah untuk menjemput anak mereka. Beberapa bahkan ikut serta membawa bodyguard untuk mengamankan keadaan, seperti yang dilakukan Papa Lauren. Papa Lauren datang dengan dua orang bertubuh besar yang langsung mengawal Lauren masuk ke dalam mobil begitu Lauren keluar dari kelasnya.
Lina mengamati hal itu dari dekat.
Beberapa orang tua nampak berdiskusi dan menyatakan keinginan mereka untuk memindahkan anak mereka ke sekolah lain.
Lina dan Clara sedang menunggu Pak Ipat yang belum juga datang. Mereka duduk tepat di bangku di depan pintu masuk yang menghadap ke halaman depan sekolah yang penuh mobil.
“Kalian lagi ngapain?” tiba-tiba seseorang berdiri di depan Lina dan Clara. Vino berdiri dan terlihat gagah dengan jaket coklat yang dipakainya sore itu.
“Oh, kita lagi nunggu jemputan.” Jawab Lina gagap karena terkejut dengan kedatangan Vino yang mendadak.
“Bareng gue aja yuk? Gue bawa mobil.” Tawar Vino sambil melirik mobil kerennya yang terparkir di dekat mereka.
“Jangan!” teriak Clara tiba-tiba.
Lina mengeritingkan alis dengan reaksi Clara yang berlebihan itu. Vino pun ikut aneh dengan reaksi Clara. Clara langsung salah tingkah dan merasa malu.
“Hmm…. nggak perlu repot-repot kok. Pak Ipat bakalan dateng sebentar lagi.” Kata Clara.
Vino mengangguk mengerti.
“Oke. Gue nggak ada maksud apa-apa kok. Cuma takut kalian berdua kenapa-napa kalo nunggu terlalu lama. Pokoknya kalian harus hati-hati. Sekolah ini udah nggak aman.” Ucapnya.
Lina tersenyum pada Vino. Lina tahu, dari cara Vino mengatakan itu, Vino sebenarnya sangat perhatian dengan keselamatan teman-temannya.
Lina hanya bisa memandang penuh kagum pada Vino yang sedang membuka pintu mobil kerennya.
“Mundur, Lina.” Bisik Clara dalam.
“Ah?” Lina tidak mendengarnya.
Clara berdiri kemudian memegang tangan Lina dan menatap Lina dengan tatapan amat serius, “Lari!” teriaknya.
Clara berlari dan menarik tangan Lina untuk kembali masuk ke gedung sekolah. Sesampainya mereka beberapa meter ke dalam koridor, tiba-tiba…
Dhuuuaaar!!!
Lina dan Clara jatuh tengkurap di lantai dan tubuh mereka tersirami kepingan kaca dari benda di sekitar mereka yang pecah berserakan. Suara ledakan dan pecahnya kaca terdengar sangat hebat hingga membuat kuping berdengung.
Lina menoleh ke belakang dan melihat mobil Vino terbakar dengan api merah besar yang melahapnya. Bumbungan asap hitam yang pekat langsung menguasai gedung itu. Reruntuhan benda pecah yang terbang ke atas perlahan jatuh seperti hujan.
“VINOOO!!!” jerit Lina parau.
Tapi sudah terlambat. Kulit luar mobil itu terlihat sudah gosong. Bom yang ditaruh di mobil itu meledak saat Vino menginjak gas mobilnya.
Lina berlutut dan menangis hebat. Clara yang jatuh agak di depan langsung mendekati dan merentangkan tangannya, berniat untuk memeluk Lina.
Secepat kilat, Lina menepis tangan Clara yang hendak memeluknya itu. Dia memegangi kedua lengan Clara. Matanya yang membesar dan basah itu lalu menatap dalam mata Clara yang nampak tidak berdaya.
“Clara, kamu tahu di dalam mobil itu ada bomnya kan? Kenapa kamu ngebiarin Vino nyalain mobil itu? KENAPA??!!” teriak Lina dengan suara parau.
Mata Clara mendadak menjadi kosong.
“Aku nggak tahu. Aku nggak tahu, Lina. Aku bener-bener nggak tahu.” katanya lemas dengan suara pelan.
“Tapi kamu seolah udah tahu semuanya! Kenapa kamu ngajak aku lari?! Kamu tahu ada bom disitu kan?!” teriak Lina lagi.
Clara terdiam. Lina bisa merasakan tubuh Clara itu menjadi ringan. Mata Clara yang ketakutan dan tidak berdaya membuat Lina jadi menyesali tindakannya.
“Aku nyelamatin nyawa kamu, Tira. Kenapa kamu kayak gitu?” bisiknya sedih dengan suara lembut.
Lina panik saat mata Clara mulai tertutup. Kepala Clara pun mulai terkulai dan dia pingsan.
“Clara? Clara?” panggil Lina.
Lina menaruh kepala Clara di atas pahanya. Dengan keadaan sedarurat itu, Lina semakin tersedu. Dia menggoyang terus badan Clara.
Tiba-tiba banyak orang yang lalu lalang di dekatnya sambil berlari tapi tidak ada satu pun yang peduli dengan Clara yang terbaring di lantai.
“Tolong, Pak.” Clara memelas pada pak Tarki yang berlari di dekatnya. Tapi pak Tarki hanya mengeritingkan alis dan terpaku menatap Lina dan Clara. Dia lalu geleng-geleng kepala dan kembali berlari ke luar gedung. Disusul beberapa guru laki-laki yang membawa tabung pemadam api.
Lina menatap Clara yang pingsan di pangkuannya dengan berlinang airmata. Dia tidak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi sedangkan keadaan di sekitarnya mulai menggila.
Banyak orang dengan panik dan menjerit berlarian menuju ke luar halaman yang nampak terselimuti asap. Mereka semua tidak mempedulikan Lina dan Clara. Padahal Lina dan Clara berada persis di tengah koridor.
Lina lalu melihat ke luar, ada asap abu-abu yang terus menghalangi pandangan. Tiba-tiba Lina mendengar suara klakson tiga kali yang terdengar sangat khas. Dia merasa Pak Ipat telah datang.
Kemudian, nampak Pak Ipat datang sambil berlari menembus asap abu-abu itu. Pak Ipat yang usianya nyaris lima puluh tahun langsung berlari dengan gagah menuju Lina.
Dia segera berlutut di samping tubuh Clara.
“Kenapa Non Clara?” tanya Pak Ipat panik.
Bibir Lina bergetar dan dia terdiam untuk menarik ingusnya, “Clara pingsan…” desahnya.
Pak Ipat segera menggendong Clara di atas kedua tangannya. Dia langsung berlari kembali ke luar dan menembus asap abu-abu. Lina berlari mengikuti dari belakang.
Sesampainya Lina di halaman depan, dia melihat banyak kekacauan di luar sana. Beberapa orang dibopong dengan keadaan separuh tubuhnya hancur terkena ledakan bom. Beberapa yang lain kehilangan kaki dan tangannya. Beberapa yang lain berlumuran darah.
Lina terpaku di tengah neraka itu sementara Pak Ipat membaringkan Clara ke dalam mobil. Lalu ia segera masuk ke dalam mobil dan menutup pintu.
Dari jauh, dia melihat beberapa guru yang membawa tabung pemadam api langsung menyemprotkan gas ke arah mobil Vino agar api yang melalapnya itu padam.
Mobil yang ditumpangi Lina pun bergerak dan pergi…
Lina memandangi sekolahnya yang nampak terselimuti kabut dari jauh sambil terus memegangi tubuh Clara dengan kecemasan yang luar biasa.

❋❋❋

Lina duduk melamun di depan kamar Clara. Seorang dokter dan Mama Clara berada di dalam kamar Clara untuk memeriksa keadaan Clara.
Lina duduk dengan tatapan kosong. Wajahnya pucat dan bibirnya putih kering. Matanya sangat sayu dan dia terlihat letih. Rambutnya nampak berantakan dan keluar dari kuncirannya. Penampilannya kucel karena belum mandi sejak tiba di rumah. Sebenarnya, dia merasa sangat trauma dengan kejadian yang terjadi di sekolah tadi sore.
Semua itu terlintas di ingatannya seperti hari kiamat. Orang-orang berteriak dan berlarian. Orang-orang kesakitan dan berdarah-darah. Rasanya Lina ingin sekali melupakan kejadian itu. Tapi otaknya selalu saja memutar lagi ingatan itu hingga membuatnya nyaris gila.
Sreett…
Seseorang membuka pintu kamar Clara.
Lina langsung berdiri cepat dan melihat Mama Clara yang sedang tersenyum pada seorang dokter. Dokter yang sama dengan yang waktu itu pernah bertemu dengan Lina.
Kemudian, setelah dokter itu berjalan pergi, Mama Clara yang melihat Lina menunggu dengan wajah cemas langsung tersenyum dan berjalan menghampiri.
“Gimana Clara?” tanya Lina cemas.
Mama Clara tersenyum, “dia baik-baik aja. Dia cuma pingsan. Mungkin dia sedikit kecapekan. Sekarang dia udah bangun dan mau ketemu kamu.” Ucap Mama Clara dengan sangat lembut.
Muka Lina langsung cerah berseri.
“Yang bener, tante?” tanya Lina dengan senyum lebarnya.
Mama Clara mengangguk dan mengusap pelan rambut Lina.
Kemudian Lina berlari dan masuk ke dalam kamar Clara. Lina tersenyum melihat Clara sedang duduk di atas kasurnya dan ikut tersenyum ke arahnya.
“CLARAA!!!” Lina berteriak dan melebarkan tangan.
Clara menangkap tubuh Lina dan mereka saling berpelukan sangat erat. Lina lalu naik ke atas kasur Clara dan duduk di sampingnya. Dia mengamati Clara yang nampak agak lemas dan penampilannya agak lusuh. Mereka berdua nampak kusam karena sama-sama belum mandi.
“Ra, maafin aku ya?” pinta Lina dengan lembut.
Clara tersenyum, “Aku nggak marah kok sama kamu.” Jawabnya.
Lina tertunduk. Dia merasa sangat nggak enak hati tentang kejadian tadi.
“Aku juga nggak tahu Lin, kenapa aku bisa ngajak kamu lari dari situ. Tapi seandainya aku memilih mencegah Vino pun, itu akan terlambat dan kita berdua akan ikut mati.” Ujar Clara dengan suaranya yang terdengar sedih.
Lina menatap Clara lirih dan tersenyum kecil, lalu mengangguk.
Lina menawarkan jari kelingkingnya.
“Sekali lagi, aku minta maaf ya?” tanya Lina.
Clara mengaitkan kelingkingnya ke kelingking Lina.
Clara pun tersenyum, “Iya.”

Bagian 12

Keesokan harinya, di kelas…
Tujuh murid kelas X-1 datang ke sekolah hari ini. Lengkap. Semuanya datang untuk saling mengucapkan selamat tinggal. Ini adalah hari terakhir mereka bersekolah di SMA Pelita Nusantara.
Semua wali murid mengadakan rapat tertutup dan menyepakati mereka akan memindahkan murid mereka ke sekolah swasta yang lebih aman dan lebih mahal dengan harapan semua itu dapat menjauhkan anak-anak mereka dari pembunuhan berantai yang terjadi belakangan ini.
Dimulai dari kematian Gladys, Desi, Vira, Nita lalu Vino. Ditambah dengan hilangnya Todo yang sampai saat ini belum ditemukan. Ditambah bayangan kaburnya pembunuh mereka semua. Pembunuh itu jumlahnya sangat banyak dan mengacaukan polisi. Terutama saat pak Cipto hanya dijatuhi hukuman 2 tahun penjara. Itu pun setelah dia terbukti tidak bersalah dalam semua tudingan kasus yang menyangkut namanya.
Murid kelas X-1 tidak akan belajar hari itu. Sebaliknya, mereka baru saja keluar dari rapat yang diadakan oleh sekolah. Mereka ditanya tentang keinginan mereka untuk keluar dari sekolah dan seratus persen dari mereka menginginkan pindah sekolah. Hanya Steve yang terdiam cukup lama sebelum mengatakan ‘Ya, saya juga mau pindah’ dengan suara pelan.

❋❋❋

Setelah selesai dari rapat, tujuh orang siswa kelas X-1 yang masih tersisa berkumpul di kelas mereka. Mereka nampak dingin dan pendiam hari itu. Mereka duduk berjauhan di dalam kelas dan saling melirik tanpa ada yang bicara.
Begitu pun Lina dan Clara. Mereka duduk di bangku mereka yang biasanya dengan keadaan canggung. Seperti orang yang belum kenal satu sama lain.
“Mm, abis ini pada mau kemana?” tanya Lauren memecahkan keheningan.
Obi menoleh, “lo sendiri?” tanyanya.
“Gue mau sekolah di Aussie.” Jawab Lauren, “Lo sendiri?”
Obi menatap Lauren datar, “Gue nggak tahu yang mana. Yang jelas internasional school. Bokap gue sih maunya begitu.” Jawabnya.
“Anggi.” Panggil Lauren.
Anggi mengangkat wajahnya. Dia terlihat sangat kurus, lemas dan layu. Dia memang selalu begitu semenjak kematian Nita.
“Lo kemana?” tanya Lauren.
“Nggak tahu. Gue nggak peduli mau kemana.” Jawabnya pelan.
Tiba-tiba suasana hening lagi. Nyaris tidak ada suara yang terdengar di ruangan itu.
Terlihat Steve yang nampak paling gelisah. Dia menunduk dan terlihat marah oleh sesuatu. Sejak pagi dan di ruang rapat, alisnya terus mengerut dan wajahnya selalu tegang.
“Banyak banget kenangan di kelas ini. Yang pasti, walaupun gue pindah sekolah ke kutub utara sana, gue nggak akan ngelupain semua temen-temen yang udah pergi. Gue juga nggak akan maafin si pembunuh itu! Nggak akan!” teriak Steve bersungguh-sungguh.
Kemudian Steve mengangkat wajahnya, memandang bergantian semuanya yang ada di kelas itu. Lalu dia berdiri dengan keseriusan tiada tara, “Tapi kita semua harus meninggalkan kelas ini. Kita semuanya!”

❋❋❋

Lina terlihat sibuk memasukkan buku dari dalam lokernya ke dalam tasnya hingga tasnya menjadi sangat penuh dan berat. Dia ingin membawa semua buku miliknya sebelum pindah dari sekolah itu.
Saat itu sekolah sepi. Lina terlihat sendirian di koridor karena Clara sudah menunggu di mobil. Koridor saat itu sangat lenggang karena sekarang memang sudah jam empat dan murid-murid sudah pulang. Lagipula Clara sudah bilang kalau semua buku itu ditinggalkan saja karena nanti Mamanya akan membelikan mereka berdua buku baru. Tapi Lina merasa keberatan kalau harus membuang buku-buku itu begitu saja.
Setelah semua bukunya masuk tas, Lina menutup lokernya. Meski begitu, Lina masih harus memeluk beberapa buku yang tidak muat masuk ke dalam tasnya.
Lina merasa sangat terkejut saat melihat Steve berjalan masuk dengan kostum basket dan topi biru bertuliskan NBA.
“Hai, Steve.” Sapa Lina sambil berhenti berjalan.
Steve juga nampak bingung saat melihat Lina. Dia menghentikan langkahnya dan menatap sangat dalam.
“Kenapa belum pulang?” tanyanya datar.
“Oh, aku baru aja ngambil buku-buku yang ada di loker.” Jawab Lina sambil tersenyum, “sekarang aku mau pulang.”
Kemudian Steve diam. Tatapan mata Steve terlihat berbeda dari tatapan matanya yang biasa. Dia begitu serius.
“Kamu sendiri mau ngapain?” tanya Lina.
Steve tidak menjawabnya. Dia menjadi datar dan justru berjalan melintas di samping Lina, “Cepet pulang, sekarang udah sore. Jangan sampai elo jadi korban berikutnya.” Ucap Steve.
Lina terpaku. Tiba-tiba dia merinding.
“Iya.” Jawabnya pelan.

❋❋❋

Pukul tujuh malam,
Lina berdiri di depan jendela kamarnya yang besar itu. Sesekali dia teringat Steve. Ekspresi Steve dan firasat aneh yang muncul saat mereka berdua bertemu, membuatnya khawatir.
“Lina, kamu kenapa?” tanya Clara sambil berjalan mendekat.
Lina membuyarkan lamunannya. Dia lalu tersenyum dan menggeleng cepat.
“Ah, aku… hm… aku baik-baik aja.” ucap Lina gagap.
Kemudian, Lina kembali menatap ke luar. Ke arah langit yang hitam tanpa bintang. Dengan Steve yang tetap kukuh bertengger di sela-sela pikirannya.
Clara hanya diam menatap Lina tak ngerti. Sahabat baiknya itu terlihat memendam sesuatu.
“Sekarang sekolah udah kosong ya?” tanya Lina pelan.
“Ya iyalah. Sekarang kan udah jam tujuh. Dari jam enam tadi harusnya pak Karman udah ngunci sekolah karena udah nggak ada lagi orang disana. Eskul paling lama sampe jam setengah enam kan?” Clara balik bertanya.
Tok tok tok.
Terdengar suara ketukan pintu.
“Masuk.” Suruh Clara.
Terlihat seorang pelayan wanita membungkuk di depan pintu.
“Permisi Nona, ada tamu di luar.” Lapor si pelayan.
Lina dan Clara bertatapan dengan jidat berkerut.
Tamu? Siapa ya?

❋❋❋

Lina dan Clara berjalan menuruni tangga bersamaan. Seorang laki-laki berjaket putih terlihat duduk manis di sofa ruang tamu. Clara tersenyum jahil pada Lina saat tahu itu adalah Josh. Hal itu membuat muka Lina jadi bersemu.
“Hai, Josh.” Sapa Clara.
Josh melihat ke arah suara. Begitu melihat Clara dan Lina berjalan di tangga, dia lalu berdiri, “Eh, hai.” Sapanya.
Clara dan Lina duduk di sofa seberang Josh.
“Tumben kesini, ada apa?” tanya Clara.
“Gue… gue cuma mau main.” Jawab Josh sambil tersenyum.
Lina nampak kikuk dan malu-malu saat Josh melihat ke arahnya.
“Main? Yakin nih?” goda Clara.
Josh tertawa kecil, “Hm… sebenernya gue juga mau tahu kabar kalian berdua. Besok kita kan udah nggak satu kelas lagi.” Balasnya.
“Kabar kita berdua atau kabarnya Lina?” goda Clara lagi.
Lina sebal dan langsung menginjak kaki Clara. Clara langsung mengedip nakal ke  arah Lina sementara Josh nampak menikmati pemandangan saat melihat muka Lina memerah.
Tiba-tiba terdengar suara telpon berdering.
Tanpa bicara apapun, Clara berdiri dan menghampiri meja telepon. Dia meninggalkan Lina dan Josh berduaan.
Lina nampak canggung dan salah tingkah saat melihat Josh. Tapi tiba-tiba dia teringat pada Steve.
“Josh, hari ini nggak ada eskul?” tanya Lina.
Josh mengeritingkan alis, “eskul?” dia balik nanya.
“Iya. Sekitar jam empat aku ngeliat Steve masuk ke sekolah pakai kostum basket. Aku pikir dia mau eskul.” Kata Lina.
Tiba-tiba Josh membesarkan matanya. Dia menatap Lina dengan penuh ketegangan yang tersirat jelas. Lina ikut terdiam, tiba-tiba napasnya jadi cepat ketika memikirkan hal yang menakutkan tentang Steve. Merinding dan firasat aneh itu datang lagi.
“Tadi pagi… dia minta kunci ruang basket indoor.” ucap Josh, “dia bilang mau dikasih ke pak pelatih karena gue dan dia sama-sama akan pindah sekolah. Dia nggak mungkin eskul, karena dia bukan murid sekolah itu lagi.”
Lina jadi semakin gemetaran. Mungkinkah Steve…?
Tiba-tiba Clara berdiri di dekat mereka.
Lina dan Josh yang melihat ekspresi Clara nampak tegang. Clara memegang telpon di tangannya dan melihat penuh ketakutan pada Lina dan Josh.
Clara menelan ludahnya, “Telpon dari pak Imam. Steve belum pulang ke rumahnya sejak rapat di sekolah.”

❋❋❋

Dugaan Josh dan Lina tepat.
Steve kini ada di sekolah. Dia berada di lapangan basket indoor di dalam gedung sekolah yang terang. Dia duduk di salah satu bangku penonton. Beberapa tiang lampu dinyalakan untuk menemani dirinya yang menjadi satu-satunya orang di tempat itu.
Dia telah bersembunyi di tempat itu sejak sore tadi jam empat. Dia selalu mengumpat bila Pak Karman, satpam sekolah itu memeriksa ruangan. Akhirnya, sekolah dikunci dengan Steve yang masih ada di dalamnya.
Steve ingin sekali membalas kematian teman-teman sekelasnya. Dia berharap malam itu bisa menjadi malam pertemuannya dengan sang pembunuh. Dia ingin bisa membunuh pembunuh itu.
Saat itu, Steve memang memakai kostum basket. Tubuhnya dipenuhi keringat setelah satu jam bermain basket sendirian di ruangan besar itu.
Kini, waktunya bermain-main sudah selesai. Waktunya pembalasan telah tiba. Steve membuka tas yang dibawanya. Kemudian mengeluarkan sebuah pistol yang terisi penuh oleh peluru.
Kemudian Steve berjalan ke tengah lapangan dengan pistol ditangannya. Matanya menunjukkan keberanian yang tidak dapat terkalahkan. Meski dengan kematian sekalipun…
“Eh, PEMBUNUH! Tunjukin diri lo ke sini! Gue tahu elo bersembunyi di sini kan? Elo bunuh temen-temen gue! Sekarang, gue yang akan bunuh elo! Ayo sini!” teriaknya dengan urat yang menonjol di kulit lehernya.
Suaranya menggema di ruangan yang kosong itu. Dia sedang berteriak memanggil si pembunuh. Dia akan menghabiskan pembunuh itu tanpa ampun.
Tiba-tiba Steve mengacungkan pistolnya. Bersiap menembak apabila seseorang tiba-tiba saja muncul di depannya.
“Kalo elo pikir elo bisa bunuh temen-temen gue, jangan harap elo bisa bunuh gue! Temen-temen gue boleh aja pergi dari sekolah ini, tapi gue akan tetap disini sampe elo mati!”
Matanya mengitari ruangan dengan waspada. Telinganya tidak melewatkan satu bunyi pun yang terdengar.
Dreeett…
Pintu ruang olahraga dibuka. Seseorang yang membukanya berdiri tegak di depan pintu.
Pembunuh itu datang…
Steve membalikkan badannya. Tersenyum sinis melihat wajah orang yang telah membunuh teman-temannya kemudian bersiap menekan pistolnya.
“MATI LO!”
Dor!

❋❋❋

Mobil hitam berhenti di dekat tembok samping sekolah. Josh mematikan mobilnya dan segera turun. Begitu pun Clara dan Lina yang ikut bersamanya.
“Kita masuk lewat mana?” tanya Josh.
Lina melihat pohon mangga yang dulu pernah dipanjatnya.
“Lewat sini.” Kata Lina.
Lina segera berlari menuju ke pohon mangga itu dan mulai memanjatnya pelan-pelan. Kemudian Clara menyusul. Meskipun ini pertama kalinya dia memanjat, dia nampak menguasainya. Begitu pula Josh yang naik terakhir.
Lina melompat dari atas tembok. Clara nampak takut saat harus melompat. Tapi Lina berdiri di bawahnya dan berjanji akan menangkapnya. Maka, dengan lututnya yang gemetaran, Clara ikut melompat dan turun ke bawah.
Setelah turun ke halaman samping, Josh langsung berlari ke arah kiri, menuju ke bagian pintu masuk sekolah.
“Josh!” teriak Lina memanggil.
Josh berhenti berlari dan menoleh dengan napas cepat, “apa?”
“Kita nggak mungkin lewat pintu masuk kan? Pintu pasti digembok.” Ujar Lina. Josh menggigit bibirnya dan menekan kepalanya. Dia nggak tahu kenapa bisa melupakan hal sepenting itu.
“Jadi kita masuk lewat mana?” tanya Clara bingung.
Lina melihat tembok ruang laboratorium kimia yang ada di dekat situ. Kemudian kakinya berjinjit dan membuka salah satu jendela di sisi tembok ruangan itu, “Lewat jendela ini.” Ucap Lina.
Josh langsung menghampiri dan berjongkok di bawah Lina.
“Naik ke pundak gue.” Ucapnya.
Lina menatap Clara sebentar. Meski dengan ragu, akhirnya dia menginjak bahu Josh dan mendorong tubuhnya naik untuk melewati jendela dan masuk ke laboratorium kimia.
Setelah Lina masuk, gantian Clara yang berdiri di atas bahu Josh dan menjulurkan tangannya. Lina yang berdiri di atas salah satu meja di dalam laboratorium kimia itu ikut membantu menarik Clara naik ke atas.
Yang terakhir, pastinya Josh. Karena nggak ada bahu lain yang bisa menolongnya untuk memanjat, Josh harus berusaha memanjat sendiri. Di dukung postur tubuhnya yang tinggi, dia bisa masuk lewat jendela dengan sangat mudah.
Setelah mereka bertiga berhasil masuk ke dalam laboratorium kimia, mereka segera melompat dari atas satu meja ke meja yang lain dan pindah ke jendela disisi satunya kemudian keluar melalui jendela lagi. Mereka tidak mungkin bisa membuka pintu laboratorium kimia karena  semua pintu pasti dikunci.
Akhirnya, mereka bisa tiba di koridor sekolah.
Sampai disana, mereka langsung berlari menuju ruang basket indoor tanpa bicara apapun. Derap langkah kaki mereka menjadi penguasa di keheningan malam itu. Napas mereka kian memburu ketika pintu ruang basket semakin jelas terlihat.
Mereka membuka pintu ruang basket indoor.
Kemudian…
“AAARRRGGGHHH!!!” teriak Clara.
“STEVEEE!!!” teriak Josh.
Lina masih terpaku dengan bibirnya yang bergetar karena menahan tangis. Sambil mundur beberapa langkah, dia memandangi mayat Steve yang tergantung di atas ring basket dengan darah yang tumpah ke lantai dari belasan lubang tembakan di perut, tangan, kaki bahkan wajahnya.

❋❋❋

Lina, Clara dan Josh berdiri di dekat mobil polisi. Mereka bertiga nampak sangat terpukul atas kematian Steve. Terutama Lina. Dia merasa bersalah tidak bisa mencegah Steve waktu itu.
“Harusnya gue nggak ngasih kunci itu ke Steve.” Bisik Josh sedih.
Lina menggeleng dan tersenyum pahit, “Bukan. Harusnya gue yang mencegah dia ke sekolah. Gue adalah orang terakhir yang ketemu sama dia!” Lina histeris. Dia langsung terisak dan menutupi wajahnya dengan telapak tangan.
Clara mengusap punggung Lina.
“Sabar, Lin.” Ucapnya.
Beberapa polisi berkeliaran di dekat mereka sambil mengumpulkan bukti-bukti yang ada. Tapi dari tadi, mereka hanya menggeleng sambil berkata bahwa bukti yang ada tidak cukup untuk bisa dianalisis. Masih ada barang bukti atau keterangan lain yang diperlukan dalam kasus ini.
Josh terlihat serius. Dia lalu menatap Lina dan Clara sambil berujar, “Kita harus meninggalkan sekolah ini. Pembunuh itu hanya mengincar murid kelas kita. Kita benar-benar terancam.”

Bagian 13

Clara dan Lina memakai seragam sekolah baru mereka.
Mereka kini akan bersekolah di SMA Kesatuan Pertama. Sekolah yang sederajat dengan SMA mereka sebelumnya. Baju seragam mereka pun berganti warna. Meskipun modelnya hampir sama bagusnya, warna seragam mereka yang sekarang adalah merah hitam.
Mama Clara mengamati dua gadis cantik yang berdiri di hadapannya sambil tersenyum.
“Kalian harus berusaha tampil baik di sekolah baru kalian ya?” ujarnya.
“Iya, ma.” Jawab Clara. Lina tersenyum.
“Lupakan semua mimpi buruk di sekolah itu. Sekarang kalian harus bisa hidup bahagia seperti biasanya.” Ujar Mama Clara dengan sangat lembut dan berwibawa.
Clara dan Lina mengangguk bersamaan.
“Ma, kapan Papa pulang?” tanya Clara.
“Malam ini dia akan sampai ke Jakarta.” Jawab Mamanya.
Clara tersenyum kaget, “Oh ya?”
Mamanya mengangguk.
Clara menatap Lina dengan tatapan bahagia. Akhirnya, setelah berpisah dua bulan, dia bisa bertemu lagi dengan Papa tercintanya.
Mama Clara mengusap pipi Clara lembut, “Udah sana ke mobil, Pak Ipat udah nungguin tuh.”

❋❋❋

SMA Kesatuan Pertama.
Situasinya hampir sama dengan SMA Pelita Nusantara. Murid-muridnya kalangan atas. Kesannya pun hampir sama membosankannya dengan SMA Lina yang dulu.
Lina dan Clara masuk kelas X-3. Sekolah ini tidak membeda-bedakan kasta seperti Pelita Nusantara. Semua anak bisa masuk kelas manapun.
Lina dan Clara menjadi new coming yang cukup bersinar. Di hari pertama mereka bersekolah, mereka kelihatan mendominasi pelajaran di kelas. Mereka juga menjadi bahan perhatian akibat kecantikan dan sejarah petualangan di sekolah lama mereka. Mereka juga menjadi bahan pembicaraan dalam tiap obrolan. Beberapa bahkan menjauhi mereka karena takut mati.
Lina dan Clara nggak ambil pusing.
Kalau mereka udah bersama, kayaknya mereka nggak perlu peduli pada apapun di sekitar mereka. Mereka berdua bahagia.
Setidaknya untuk sementara…

❋❋❋

Malam tiba.
Lina, Clara dan Mamanya Clara baru saja selesai makan malam. Beberapa pelayan nampak mengambil piring kotor dari atas meja. Lina dan Clara sama-sama sedang menghabiskan minum mereka sementara Mama Clara nampak teliti membersihkan mulutnya dengan serbet.
Tiba-tiba pintu terbuka dan terlihat seseorang berdiri dengan wajah dipenuhi senyum. Orang tinggi bertubuh cukup tambun itu terlihat bersemangat.
“SURPRISEE!!!” teriak orang itu sambil melebarkan tangannya.
Clara tersenyum lebar.
“Papa!” pekiknya girang.
Clara langsung berlari ke arah Papanya. Papa Clara memeluk Clara dengan erat. Mama Clara ikut berdiri dan menghampiri sedangkan Lina hanya tersenyum pahit melihat pemandangan itu.
Matanya pun terlihat sedih. Lina teringat pada kedua orang tuanya yang sudah meninggal. Melihat Clara sangat berbahagia memiliki keluarga yang sangat menyayanginya, membuat Lina iri.
Papa Clara melepaskan pelukannya dan menatap Clara dengan mata yang berkaca-kaca, “Clara? Kamu ingat Papa?” tanya Papa Clara.
Clara tersenyum dan mengangguk.
Papa Clara kembali merengkuh Clara dalam dekapannya.
“Papa nggak nyangka kamu bisa seperti ini. Papa cinta kamu, sayang. Papa kangen.” Bisik papanya. Mama Clara nampak terharu. Dia mengusapkan tisu ke bawah matanya dan nyaris menangis.
Saat itu, Papa Clara melihat Lina yang berdiri mematung di dekat meja makan. Tiba-tiba dia berhenti bergerak dan tatapannya menajam saat melihat Lina. Begitu tajam hingga Lina jadi tertunduk dan sesak.
Kemudian Papa Clara melepaskan pelukannya. Dia menatap istrinya yang berdiri di dekatnya.
“Ma, kita harus bicara.” Kata Papa Clara.
Mama Clara mengangguk lalu melihat Clara.
“Kamu belajar sama Lina ya? Papa dan Mama mau bicara dulu.”
Clara tersenyum.
Lagi-lagi, sebelum akhirnya keluar dari ruang makan, Papa Clara menatap Lina dengan aneh. Lina jadi merasa takut. Sepertinya Papa Clara tidak menyukai dirinya.
Clara mendatangi Lina. Dia merasa bingung saat melihat wajah Lina yang pucat.
“Kamu kenapa, Lin?” tanya Clara.
“Papa kamu nggak suka sama aku ya?” tanya Lina.
Clara tertawa kecil, “Ya nggak mungkinlah. Tampangnya emang suka sangar. Tapi aslinya, dia orang yang baik.”

❋❋❋

Papa dan Mama Clara masuk ke dalam kamar mereka. Papa Clara nampak gusar akan sesuatu. Sementara Mama Clara menunggu pembicaraan suaminya dengan sabar.
“Kenapa kamu mengulang lagi masa lalu itu?” tanya papa Clara tegas dengan matanya yang menyala.
Tiba-tiba Mama Clara ikut marah. Dia menatap galak suaminya. Wajah lembut dan keibuannya berubah menyeramkan.
“Hanya itu yang bisa kita lakukan, Papa. Cuma itu!” katanya tegas dengan setengah berteriak.
“Kamu hanya akan melukai gadis itu. Sampai kapan Clara bisa menahan dirinya yang sebenarnya?” tanya Papa Clara.
Mama Clara tidak bisa membendung emosinya. Tiba-tiba dia menangis meraung.
“Hanya ini yang bisa kita lakukan! Apa Papa mau ngeliat anak semata wayang kita dipenjara lagi?! Papa mau dia melupakan kita lagi?! Papa mau melihat dia menyakiti dirinya sendiri lagi?! Itu yang papa mau? Iya?!” bentak Mamanya sambil menangis.
Hening sesaat…
Papa Clara menjadi luluh. Dia memeluk tubuh istrinya. Dia sepertinya menyesal telah melakukan hal ini. Dia lalu mengusap pelan rambut istri yang dicintainya itu.
“Anak itu hanya akan menjadi Tira kedua.” Bisik Papa Clara.
Mama Clara terus menangis dalam pelukan, “Mama nggak peduli! Yang mama mau hanya Clara! Hanya Clara! Hanya anak kita!”

❋❋❋

Lina dan Clara terlihat menuruni tangga bersama. Papa Clara terlihat dikelilingi ratusan mainan dan boneka di dekat ruang tamu. Clara yang melihatnya tentu saja segera berlari cepat sementara Lina justru memperlambat langkahnya. Dia takut berhadapan dengan Papanya Clara.
“Papaa!!!” teriak Clara senang.
Papa Clara mendongak dan tersenyum lebar.
“Liat, papa bawa banyak oleh-oleh nih.” Kata papa Clara sambil menunjukkan semua oleh-oleh yang dibawanya dari empat negara sekaligus.
Clara terpukau oleh semua hadiah itu. Dia langsung melihat-lihat hadiah berkilau itu dengan mata berbinar. Lina sendiri berhenti dan melihat dari atas tangga. Dia merasa nggak perlu kesana karena hadiah itu bukan buatnya.
Papa Clara yang tadinya memperhatikan putrinya melihat ke arah Lina yang berdiri di tangga dengan wajah pucat. Tiba-tiba saja papa Clara tersenyum pada Lina. Senyuman yang benar-benar tulus.
“Lina, sini turun.” Ajak papa Clara.
Clara yang sedang asyik juga ikut menoleh dan kaget melihat Lina masih diam disitu.
“Lina, sini dong!” panggil Clara.
Dengan senyuman tiada tara, Lina turun secepat mungkin dan berdiri di depan papa Clara.
“Ini oleh-oleh buat kalian berdua.” Ucap papa Clara.
Lina tersenyum dan ikut melihat benda-benda bagus lainnya bersama Clara. Mereka bertiga lalu bercanda dan tertawa bersama. Rasanya, Lina mulai percaya kata-kata Clara tadi. Papanya Clara memang orang yang baik.

❋❋❋

Sekarang Lina dan Clara berada di dalam kamar Clara. Mereka menumpuk semua oleh-oleh tadi di dekat lemari Clara. Mereka sangat berbahagia dengan semua benda bagus yang mereka dapatkan.
Sekarang mereka sedang bermain dengan baju-baju unik yang dibelikan Papanya Clara. Mereka menabrakkan semua aksesoris yang ada hingga membuat mereka terlihat seperti badut. Mereka tertawa saat saling melihat satu sama lainnya. Mereka sama-sama kacau dan berantakan.
Di saat seperti itu, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu.
“Masuk.” Ucap Clara.
Seorang pelayan terlihat masuk ke dalam sambil membawa dua lembar surat merah yang digulung indah dengan pita putih.
“Ada surat untuk Nona Clara dan Nona Lina.” Ucap si pelayan.
Lina dan Clara bertatapan.
Mereka lalu menerima surat itu dan membaca amplopnya. Itu dari Lauren.
“Makasih, ya.” Ucap Clara.
Pelayan wanita itu membungkuk lalu berbalik dan segera keluar dari kamar.
Dengan sangat penasaran, Lina dan Clara membuka surat itu dan membacanya bersama.
“Lauren ulang tahun. Dia ngadain pesta!” pekik Clara senang.
“Acaranya besok malem ya?” tanya Lina.
Clara nggak mendengarkan, dia malah menarik tangan Lina.
“Kita datang ya?” tanya Clara bersemangat.
Lina nampak berfikir.
“Datang ya. Pliiisss…” Clara memohon.
Lina tersenyum dan mengangguk.

Bagian 14

Akhirnya malam yang ditunggu pun tiba. Lina dan Clara datang membawa hadiah dan bergaun indah malam itu. Mereka berdua datang agak terlambat karena pesta sudah dimulai sejak jam delapan malam.
Pesta ini dilakukan di pinggir kolam renang rumah Lauren yang terletak di kebun belakang rumahnya yang megah. Ratusan lampu yang dibentuk menjadi beragam hiasan terlihat berkelap-kelip ke segala penjuru sehingga pesta ini menjadi terang benderang.
Lauren terlihat berdiri di dekat kolam sambil menerima banyak hadiah dan ciuman pipi dari tamu yang datang.
Malam itu Lauren terlihat sangat cantik. Dia lebih kurus. Katanya, sebulan sebelum pesta itu, dia udah menjalani diet kalori yang ketat ala artis Hollywood hingga mengurangi berat badannya sebanyak 6 kg. Malam itu dia pakai gaun putih yang sangat menonjolkan lekuk tubuhnya. Rambutnya juga dicat pirang. Seorang cowok bule berdiri tepat di sampingnya, itu adalah pacarnya.
“Laureeeen!!!” Clara datang dan langsung heboh sendiri saat bertemu Lauren. Dia berlarian kayak bebek karena memakai high heelsnya yang kesempitan.
“Haii!!!” Lauren melambai sambil tersenyum.
Clara dan Lina bersalaman dan cium pipi sama Lauren. Setelah itu mereka berdua menyerahkan hadiah mereka kepada yang berulang tahun.
“Selamat ulang tahun, ya?” ucap Lina.
“Aduh, makasih banget ya? Gue nggak nyangka kalian bakalan dateng. Semoga kalian enjoy sama pesta ini. Have a nice party.” Ucap Lauren terharu.

❋❋❋

Lina dan Clara sedikit memojok di pesta itu. Sambil berdiri, mereka berdua mencicipi kue coklat di bawah pohon palem di sekitar situ. Halaman belakang rumah Lauren luas banget. Sampai ke ujung-ujungnya, masih ada tempat-tempat lain yang seru.
Clara nampak menikmati kue coklat yang katanya 100 % coklat asli buatan Australia itu. Lain lagi dengan Lina. Dia begitu serius saat melihat Anggi ikut datang dan sedang bercengkrama dengan Lauren. Di dekat meja koktail, dia melihat Obi sedang mengobrol dengan Josh. Beberapa tamu tidak dikenalnya nampak bertingkah mencurigakan dan dirasakannya terlalu tua sebagai undangan di pesta murid SMU.
Lina sempat memperhatikan seorang tamu yang menurutnya mencurigakan. Laki-laki itu tinggi dan berkacamata hitam. Dia memakai jas rapi dan sedang meminum segelas sirup. Orang itu terlihat aneh karena dia selalu memperhatikan Lauren dari jarak jauh sekali pun.
Tiba-tiba dia keringatan. Dia takut kalau orang itu adalah…
“Kamu kenapa, Lin?” tanya Clara.
Lina menoleh kepada Clara dengan serius.
“Teman sekelas kita berkumpul.” Bisiknya, “Pembunuh itu… apa dia akan datang untuk membunuh lagi?”
Clara menggeleng, “Jangan parno gitu ah. Khayalan kamu terlalu tinggi. Disini aman-aman aja kok. Liat tuh, di luar aja polisinya ada selusin. Mana mungkin penjahat itu bisa masuk?”
Lina ikut setuju dengan kalimat Clara. Tapi saat dia mengembalikan perhatiannya, laki-laki mencurigakan itu sudah menghilang.

❋❋❋

“Aduuh…”
Lina menoleh dan melihat Clara yang meliuk-liukkan tubuhnya. Dia lalu menatap Clara dengan aneh tapi dia juga tertawa kecil saat melihat tingkah Clara yang lucu itu.
“Kamu lagi ngapain?” tanya Lina.
“Aku kebelet pipis. Aku ke toilet dulu ya?”
Dengan buru-buru, Clara segera berbalik dan berjalan ke sudut belakang, tempat toilet berada.
“Clara, aku anterin nggak?” teriak Lina.
Clara terus menjauh, “Nggak usah, tunggu disitu! Jangan kemana-mana!”
Lina pun menurut. Meski dengan sedikit kekhawatiran tentang Clara, dia tetap berada di tempatnya. Dia menatap Lauren yang ada di depan sana. Seorang wanita yang memegang mikropon nampaknya akan mengumumkan sesuatu.
“Ayo semuanya, kita rayakan ulang tahun Lauren yang ke enam belas. Sekarang kita tunggu kedatangan kuenya.” Ujar si pembawa acara yang suaranya terdengar keras melalui speaker.
Para tamu merapat ke depan Lauren untuk menyaksikan acara tiup lilin. Sudut-sudut jadi sepi karena semuanya bergerak ke depan. Anggi yang datang malam itu pun berdiri di dekat Lauren.
Lina mendengar suara pertengkaran.
Pandangannya tertuju ke arah pintu belakang yang letaknya tersudut. Di dekat sana, dua meter ke arah barat, dia melihat cekcok seorang security dengan seseorang yang berpakaian koki. Di dekat mereka juga terdapat sebuah mobil boks besar bergambar kue ulang tahun bertuliskan ‘Happy Cake & Bread’.
Lina tertarik untuk menyaksikan hal itu. Alisnya mengerut karena bingung.
“Ini pesanannya, Pak! Ini kuenya!” teriak si koki.
Security itu menggeleng dengan matanya yang melotot.
“Nggak mungkin! Kuenya udah di dalam dari tadi! Kamu jangan macam-macam! Pergi sana!” teriaknya dengan tegas.
Si koki bertubuh bulat itu marah, dia langsung masuk dan membanting pintu mobilnya. Lalu segera menyalakan mesin dan membawa mobilnya pergi dari tempat itu.
Lina memalingkan wajahnya dari pertikaian itu. Dia kembali memandang ke kerumunan di depan. Dia melihat kue putih besar di dorong ke depan Lauren. Enam belas lilin warna-warni ditaruh beraturan di atas kue itu.
“Make a wish dulu ya?”  Ucap Lauren pada semua undangannya.
Semua undangan tersenyum. Lauren pun memejamkan matanya dan mengucapkan permohonannya.
Lina gemetaran. Dia takut yang dipikirkannya menjadi kenyataan. Tiba-tiba tubuhnya membatu dan tidak bisa digerakkan. Semua yang dilihatnya jadi slow motion yang mengerikan. Dia melihat Lauren akan meniup lilin di kue itu.
Lina ingin mencegahnya, tapi tubuhnya…
Lauren membungkuk, memajukan wajahnya dan menguncupkan bibirnya untuk meniup lilin di atas kue itu.
Tubuh Lina dibanjiri keringat dingin. Matanya membesar dan napasnya terpacu saat membayangkan hal setelah ini. Dia hanya memelototi kejadian itu.
Semua tamu berdiri melingkari Lauren dari jarak dekat. Mereka semua bertepuk tangan dan menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun. Anggi yang berdiri di sebelah Lauren bertepuk tangan.
Jangan dekati kue itu!
Fiuuh…
Lauren meniupnya…
DHUUAAARR!!!
Sebuah bom di dalam kue meledak.
“AAAARRRGGGGHHH!!!” teriakan histeris terdengar dari segala penjuru.
Potongan tubuh manusia terlempar ke segala arah.
Lina tetap sadar. Dia tahu apa yang harus dia lakukan. Dia harus mencari Obi dan Josh. Mereka harus diselamatkan.
Dia tidak menemukan Josh, tapi dia melihat Obi sedang berdiri di bawah pohon palem di dekat meja koktail. Obi terlihat ketakutan saat melihat pemandangan mengerikan di depan sana.
Lina melihat ke arah lain. Jauh di seberang sana, dia melihat bayangan seseorang yang mengarahkan pistol ke arah Obi yang sedang berdiri.
Lina panik. Matanya membesar. Dia segera berlari menuju ke Obi. Sekuat tenaga dia mencoba berlari dan menyelamatkan Obi.
“OBIII!!!” Teriaknya keras.
Obi menoleh ke arah Lina dengan mata penuh ketakutan. Lina berlari sekencang-kencangnya. Tapi…
Dor!
Orang itu menembak Obi.
Dor!
Sekali lagi.
Ada darah yang mengucur dari dada kirinya. Obi seperti terlempar. Tubuhnya berguncang saat ditembak. Kemudian dia meremas dadanya dan merintih sejadi-jadinya. Darah keluar dan membasahi kemeja serta jas yang dipakainya.
Obi jatuh berlutut dengan tangan di atas dadanya.
Lina datang dan memegangi Obi. Dia bisa melihat betapa banyaknya darah yang keluar dari dada kiri Obi yang tertembak dua kali. Lina terus memeluk Obi. Obi jatuh dalam pelukannya. Dia terus saja merintih.
Lina panik. Kulit tubuhnya ditumpahi darah merah segar. Obi terbaring di lantai sementara Lina duduk di sampingnya. Kemudian Lina berusaha mendekapkan Obi dan menaruh kepala Obi di atas lengannya.
“Tolooongg!!” jerit Lina. Airmatanya mulai menetes saat melihat kondisi Obi.
Dia tidak tahu harus minta tolong kepada siapa. Orang-orang berlarian keluar. Di tempat itu hanya ada mayat-mayat berserakan dan potongan daging manusia yang berhamburan. Dan diantara semua daging itu, pasti ada daging Lauren dan Anggi yang meledak akibat bom.
Sementara itu, Obi mulai berhenti merintih. Kepalanya jatuh ke atas lengan Lina. Tangannya mulai berhenti meremas dan matanya mulai terpejam.
“Obii… banguuun…” desah Lina sambil menggoyang pelan tubuh Obi. Lina menangis hebat. Dia menjadi satu-satunya yang hidup di sana. Semua yang selamat berlarian keluar meninggalkan tempat itu.
Keajaiban muncul.
Tiba-tiba Josh datang dari pintu belakang. Saat dia melihat Lina, dia segera berlari menghampiri dengan wajah sangat cemas.
Lina semakin kencang menangis. Dia menepuki wajah Obi. Tapi Obi tidak bergerak sedikitpun.
Josh datang dan berlutut. Dia lalu menekan urat nadi Obi. Kemudian dia melihat Lina dengan kepanikan dan kesedihan yang begitu dalam di matanya.
Lina semakin menangis. Dia tahu arti tatapan Josh.
Kemudian Josh menekan dada Obi berulang kali dengan tangannya, berharap dia bisa kembali bernapas dengan itu. Tapi tidak bisa, berulang kali Josh menekan, Obi tetap terpejam.
Josh menunduk. Bahunya bergetar hebat.
Melihat itu, Lina semakin menangis. Dia tahu apa yang kini terjadi.
Obi… dia pergi…

❋❋❋

Lina duduk di tengah-tengah Clara dan Josh. Sebuah selimut tebal menutupi tubuh Lina yang berlumuran darah. Mereka duduk di taman depan rumah Lauren. Di sekitar mereka banyak mobil polisi, mobil ambulans dan wartawan yang datang.
Angin di luar bertiup kencang saat itu. Menerpa rambut sebahu Lina dan membuatnya terbang menghalangi wajahnya. Lina menatap lurus ke tanah di depannya. Tatapan matanya kosong dan dia tidak berkedip sama sekali.
Seorang wartawan datang dan berjongkok di depan Lina yang sedang tertunduk dalam traumanya. Sebuah mikrofon disodorkan ke depan mukanya. Kameramen ikut menyorot dari depan.
Lina diam. Pikirannya tidak sedang disana.
“Bisa tolong ceritakan apa yang terjadi?” tanya wartawan itu.
Josh dan Clara melihat Lina. Lina nampak tidak terpengaruh dengan pertanyaan itu. Dia hanya diam dan tatapannya penuh dengan kesedihan.
“Cukup.” Kata Clara sambil mendorong mikropon itu agar menjauh dari depan Lina. Wartawan itu hanya melongo melihat wajah marah Clara.
Josh ikut bertindak. Dia menempelkan tangannya ke lensa kamera. Kameramen itu menatap Josh dengan bingung.
“Mas, tolong matiin kameranya.” Suruh Josh dengan tatapan serius hingga kameramen itu tidak berani melawan.
Akhirnya, setelah diberikan peringatan seperti itu, wartawan dan kameramen tadi pergi meninggalkan mereka bertiga.
Lina terlihat menarik napasnya. Clara dan Josh memandangi Lina. Lina mengangkat wajahnya. Tatapannya lurus ke depan.
“Pembunuh itu pasti lebih dari satu orang.” Ucap Lina pelan, “dan dia telah berhasil membunuh sepuluh orang. Yang tersisa sekarang cuma kita bertiga. Kita bertiga.”

Bagian 15

Dua hari setelah malam naas itu…
Saat ini pukul empat sore.
Josh sedang berjalan di depan rumahnya. Dia baru kembali dari swalayan untuk membeli beberapa kaleng soft drink. Kemudian dia membuka salah satu kalengnya yang kemudian ia minum.
Josh melihat ada satu amplop surat yang berada di dalam kotak pos rumahnya. Josh melepaskan kaleng itu dari mulutnya. Dia lalu membuka kotak pos itu dan mengambil suratnya.
Tidak ada tulisan pada bagian depan amplop itu.
Josh melihat ke kanan dan kiri jalanan rumahnya. Mencari tahu apakah si pengirim masih ada di dekat sana.
Sore itu keadaan di dekat rumah Josh sangat sepi. Tidak ada satu orang pun berada di luar. Josh membalik surat itu dan membuka ujungnya.
Dia melihat  sebuah denah yang digambarkan di atasnya.

“Ini…?” Josh bergumam.
Mengetahui ini adalah hal penting dan darurat, Josh langsung berlari masuk ke dalam rumahnya dan menelpon Lina.
Sementara itu, Lina sedang berada sendirian di dalam kamarnya. Tiba-tiba telpon di atas meja belajarnya berdering.
“Halo?”
“Lina, ini Josh.” ucap Josh di seberang sana. Napasnya yang cepat bisa terdengar oleh Lina.
“Ya, Josh. Kenapa?” tanya Lina cemas.
“Gue dapat surat.” Ucap Josh panik. Jidatnya basah oleh keringat.
“Surat? Surat apa?” tanya Lina.
“Gak tahu. Hanya ada denah ruangan disini.” Ujar Josh, “Elo tau apa yang gue pikirin kan?” tanya Josh.
Lina terdiam sesaat untuk berfikir, “Mungkin itu menunjukkan lokasi benda penting atau peta harta karun.” Jawab Lina dengan suara pelan.
Josh tersenyum, “Tepat. Dan harta karun itu adalah…” Josh menggantung kalimatnya, “Todo.”

❋❋❋

Lina dan Clara menunggu berdua di kamar Lina. Clara sudah tahu tentang surat  yang ditemukan Josh itu dari Lina. Sekarang hampir jam setengah enam sore. Lina berjalan bolak balik di dalam kamarnya sementara Clara duduk bersila di atas kasur sambil bengong menatapi kelakuan Lina.
Tok tok tok
Pintu diketuk. Lina langsung membuka pintu. Dia melihat Josh berdiri dengan wajah pucat di depan kamarnya.
“Masuk.” Lina memberikan jalan pada Josh.
Josh berjalan menuju meja belajar Lina. Kemudian dia duduk di atas bangku dan menyalakan lampu belajar di atas meja yang tepat menyinari kertas berisi denah yang ditemukannya.
“Gue nemuin ini tadi sore di dalam kotak pos.” Ucap Josh.
Lina dan Clara berdiri mengapit Josh sambil melihat ke kertas yang dipaparkan di atas meja dengan serius.
“Ini denah.” Ujar Clara.
“Ya.” Jawab Josh, “Dan setelah tadi gue pikir-pikir, gue rasa ini denah dari sekolah kita.” Ucap Josh.
“Lingkaran itu adalah lokasinya?” tanya Lina.
“Ya. Kemungkinan lingkaran itu adalah kolam air mancur di samping sekolah. Kotak A itu adalah ruang musik. B adalah warnet sekolah sementara C dan D itu adalah markas eskul koran sekolah dan laboratorium bahasa inggris. E adalah adalah ruang multimedia, F adalah ruang eskul karate. Dan ini udah pasti kolam air mancur di samping sekolah.” Jelas Josh sambil menunjuk lingkaran yang digambarkan di atas kertas itu.
“Kolam besar yang nggak keurus itu kan? Yang airnya berlumut itu? Disitu Todo disembunyiin?” tanya Clara.
Josh bergumam sebentar.
“Kayaknya begitu. Kita masih belum tahu apa Todo benar-benar udah mati.” Ucap Josh.
“Kalo semua ini bener, waktu kita hanya malam ini.” Kata Lina.
Josh dan Clara menatap Lina dengan bingung.
“Kenapa?” tanya Josh.
“Sepertinya dia yang menyuruh kita untuk menemukan sendiri Todo dan membawanya dengan menunjukkan lokasi yang sangat jelas. Setahu gue, kolam itu udah pernah diperiksa polisi dan nggak ada mayat Todo disana. Kalau kita nggak datang ke sekolah malam ini, dia akan memindahkan Todo lagi dan kita tidak akan mendapatkan kesempatan untuk yang kedua kalinya. Kita harus pergi jam tujuh, sesuai gambar disini.” Papar Lina lengkap.
“Dia sengaja meminta kita datang.” Ujar Josh.
“Itu artinya…” Clara menggantung kalimatnya dan menatap Lina takut.
“Ya, dia mau kita menemukannya.” Jawab Lina.
“Dan dia pasti ingin bermain-main dengan kita.” Tambah Josh.
Lina tersenyum pahit kepada dua temannya, “Ya, karena hanya kita yang tersisa. Kita bertiga.”

❋❋❋

Josh melihat jam tangannya. Dua puluh menit sebelum jam yang ditetapkan, “Dua puluh menit lagi jam tujuh. Sekarang sekolah pasti udah kosong.” Ucapnya.
Lina dan Clara sedang bersiap-siap. Mereka memakai jaket dan memakai jeans panjang. Mereka berdua juga memakai topi untuk menutupi kepala mereka sekaligus untuk menyamar. Nggak lupa juga memakai sepatu sport mereka yang nyaman dibawa berlari.
“Kita harus manjat lewat tembok samping kemudian masuk lewat jendela dan masuk ke multimedia, lalu keluar lewat jendela lagi dan langsung ke kolam. Membawa Todo pergi lalu melakukan hal yang sama lagi dan langsung pulang.” Terang Lina.
“Gimana kalo kita berangkat sekarang? Kita harus jalan kesana kan? Dan itu butuh dua puluh menit. Kalo nggak mau terlambat, kita harus buru-buru.” jelas Clara sambil mengikat tali sepatunya.
Lina dan Josh mengangguk.

Bagian 16

Mereka bertiga berlari di sepanjang trotoar jalan. Mereka harus berlari jika tidak ingin terlambat sampai di sekolah.
Lima belas menit kemudian, mereka bertiga sampai di sekolah. Bagian ini berbeda dengan sisi sekolah waktu memanjat pohon mangga dulu. Ini adalah tembok sekolah bagian kiri. Mereka harus masuk lewat tembok samping sekolah, lalu masuk ke ruang multimedia melalui jendela dan akhirnya sampai ke air mancur.
Tepat seperti apa yang mereka rencanakan dalam denah itu.

Pertama, memanjat tembok sekolah.
Kedua, masuk ke multimedia melalui jendela dan keluar dari jendela lainnya.
Ketiga, langsung menuju kolam yang terletak tepat di depan ruang multimedia tersebut.
Itu rencananya.
❋❋❋

Josh berjongkok di depan tembok. Lina dan Clara menaiki bahunya bergantian kemudian naik ke atas tembok dan melompat ke dalam halaman sekolah. Sedangkan Josh harus memanjat tiang listrik di dekat sana terlebih dahulu. Setelah itu dia bisa naik ke atas tembok dan menyusul Lina dan Clara.
Mereka pun lancar-lancar saja ketika melewati ruang multimedia. Hingga mereka pun sampai ke kolam itu. Hanya dua menit sebelum jam tujuh.
Mereka saling berpandangan ketika melihat kolam yang airnya hijau dan keruh itu. Kolam itu cukup besar dan dalam. Mungkin air di dalamnya setinggi lutut mereka. Di tengahnya, terdapat patung anak kecil yang sudah hancur. Melihat air itu di tengah malam dengan dugaan buruk masing-masing, membuat mereka bertiga ketakutan.
“Apa Todo ada di dalam sini?” tanya Clara.
Lina menatap Clara dengan sama takutnya, “Kalo emang bener yang dimaksud adalah kolam ini, berarti…”
Blup!
Sebelum Lina menyelesaikan kalimatnya, Josh sudah masuk ke dalam kolam. Dia telah melepaskan sepatunya dan melipat celana panjangnya agar tidak basah.
“Kalian tunggu aja disitu.” Josh menyuruh serius.
Lina dan Clara menurut. Mereka menunggu dengan resah.
Josh melangkah di dalam kolam itu pelan-pelan. Dia ingin menemukan Todo. Hidup atau mati.
Josh pun mulai memutar. Melangkahkan kakinya yang mulai gatal dengan perlahan-lahan di dalam air itu. Akhirnya, dia pun melihat sesuatu.
Tapi bukan Todo.
Ia menemukan botol air mineral yang sudah kosong mengambang di sana. Terdapat sebuah kertas di dalamnya. Josh yang curiga lalu mengambilnya dan membaca tulisan pada kertas yang ada di dalamnya.

Bukan disini. Aku sudah tahu kalian pasti mengira tempat yang aku maksud adalah tempat ini. Tapi bukan! Lingkaran tempat aku meninggalkan Todo ada di dalam gedung sekolah.

Lina dan Clara yang melihat Josh berdiri serius mengamati botol itu berpegangan tangan dengan gemetar.
Setelah selesai membacanya, Josh pun menoleh pada mereka berdua. Lina dan Clara bersiap mendengar kalimat Josh sambil menelan ludah mereka.
“Dugaan kita salah. Todo nggak disini.” Ucap Josh, “dia ada di sebuah tempat di dalam sekolah.”

❋❋❋

Begitu mereka tahu Todo ada di dalam sekolah, mereka segera masuk ke koridor. Mereka segera berlarian tanpa tujuan. Josh paling semangat berlari. Bahkan dia melupakan Lina dan Clara yang terengah-engah di belakang.
Josh hanya selalu menoleh ke tiap sudut kelas yang terkunci rapat. Menyorotkan senter yang dibawanya ke banyak arah. Berusaha menemukan Todo yang mungkin ada di sana.
Tiba-tiba saja Clara lemas.
Clara berhenti berlari dan jatuh duduk. Lina yang sudah di depan segera kembali ke belakang.
“Clara!” teriaknya.
Josh yang sudah lebih di depan berhenti saat mendengar teriakan Lina. Begitu dia menoleh ke belakang, Clara sudah tergeletak di lantai dengan Lina yang merengkuhnya.
Josh berlari kembali ke belakang.
“Kenapa dia?” tanya Josh.
Lina yang sedang memeluk Clara hanya bisa menggeleng panik, “nggak tahu. Mungkin dia terlalu capek.” Jawab Lina.
Tiba-tiba saja Lina membelalakkan matanya. Josh yang melihat itu jadi semakin kebingungan.
“Clara lupa minum obatnya.” Jawab Lina.
“Trus gimana?” tanya Josh.
Lina menatap Clara yang pingsan dalam dekapannya.
“Aku pulang sebentar. Aku bisa ambil jalan pintas. Aku akan kembali secepatnya. Clara butuh obatnya. Aku harus pulang.” Kata Lina panik.
“Oke, tenang.” Josh mencoba menenangkan Lina.
Kemudian Josh mengambil alih Clara dari Lina.
“Pergi sekarang.” Ucap Josh.
Lina sedikit ragu meninggalkan Josh berdua saja bersama Clara dalam sekolah yang gelap itu. Josh duduk bersandar di tembok sambil memeluk Clara yang pingsan. Lina terpaku mengamati mereka. Dia tidak bisa meninggalkan Josh dan Clara. Itu sangat berbahaya.
“Pergi.” Ucap Josh pelan.
Lina menunduk kemudian berbalik. Dia berlari menuju ke ruang multimedia dan keluar lagi dari sekolah melalui tembok. Dia tidak menemui kesulitan saat memanjat tembok. Dia lalu berlari menyusuri jalan kecil, jalan pintas menuju rumah Clara. Jantungnya terasa sakit saat berusaha berlari.
Tapi demi Clara dan juga Josh, dia bisa melakukan apapun.
Apapun…

Bagian 17

Lina sampai di rumah Clara dan langsung berlari masuk ke dalam. Kemudian ia masuk ke dalam kamar Clara. Dia menuju ke meja belajar Clara. Lina mengira Clara pasti menyimpan obatnya di dalam laci. Tapi tidak ada. Sampai keadaan jadi berantakan pun, dia belum menemukannya.
Kemudian Lina membuka lemari baju Clara. Dan untungnya, disana dia menemukan sebuah tabung kecil berisi kapsul-kapsul obat. Lina memasukkannya ke dalam kantung jaketnya dan keluar untuk berlari lagi. Ia pun berlarian di koridor.
Tiba-tiba…
“Lina.” Seseorang memanggilnya dari belakang.
Lina mematung. Bahunya naik turun dengan cepat. Dia harus segera kembali ke sekolah. Tapi Lina tidak punya pilihan, dia segera berbalik dan dia sangat terkejut saat melihat Papanya Clara sedang berdiri di depannya.
“Om?” Lina mematung penuh keterkejutan.
“Ikut Om sebentar. Om mau bicara.” Ucap Papa Clara.
Papa Clara langsung berbalik badan dan berjalan memimpin. Lina meremas tabung obat Clara yang mengisi kantung jaketnya. Dia tahu Clara butuh benda itu. Tapi akhirnya Lina berjalan mengikuti Papa Clara dengan kepala tertunduk.
Clara, bertahanlah…

❋❋❋

Papa Clara mengajak Lina menuju ke ruang makan. Lina dan Papanya Clara duduk berhadapan. Wajah Lina sudah memucat karena memikirkan Josh dan Clara. Sementara Papa Clara terlihat sangat gugup dan risau.
“Ada apa?” tanya Lina.
Papa Clara kelihatan semakin gusar. Dia begitu gugup. Berulang kali bergerak dan mengubah posisi duduknya. Dia begitu membingungkan dan membuat Lina penasaran tentang hal yang akan dibicarakannya.
“Ini tentang… Clara.” Ucapnya.
Papa Clara melihat Lina dengan sendu, pikirannya kembali memutar memori masa lalu yang begitu tergambar jelas dalam ingatannya. Ingatan yang terlalu menyakitkan untuk diingat kembali.
“Clara lahir dengan kelainan di dalam dirinya. Dia seperti memiliki dua kepribadian. Hingga umurnya lima tahun, dia belum bisa bicara dan sering mengamuk. Dia melukai semua orang yang mau mendekatinya. Dia begitu aneh, seperti setan. Dia sering baik-baik saja. Dia tertawa dan bermain seperti layaknya anak-anak dan tiba-tiba dia marah pada apa saja dan ingin melukai semua orang. Karena dia sering begitu, kami sering mengurungnya di bawah tanah. Kami, kedua orang tuanya merasa sangat sedih melihat Clara yang selalu menangis dan menjerit di dalam penjara itu. Hingga suatu hari Tira datang. Dia adalah anak kecil yang waktu itu datang mengemis ke rumah kami. Kemudian, Clara yang saat itu sedang bermain di taman melihatnya dan langsung menghampiri Tira yang berdiri di luar pagar rumah. Saat itu Clara bicara, dia bicara! Dia bicara untuk yang pertama kalinya. Waktu itu, dia mengajak Tira untuk ikut bermain bersamanya.” Cerita Papa Clara.
Lina semakin tegang. Tapi inti dari cerita itu belum bisa dirasakan olehnya. Dia menunggu Papa Clara melanjutkan ceritanya sambil menggengam erat kapsul obat milik Clara.
“Kemudian dia sembuh, karena Tira. Tira akhirnya tinggal disini bersama kami. Mereka bersahabat sangat lama dan keadaan Clara jadi semakin membaik. Dia menjadi jarang agresif dan tiba-tiba dia menjadi normal seperti tidak pernah berbeda. Sepuluh tahun kemudian, tiba-tiba Tira meninggal akibat tertabrak mobil. Clara merasa kehilangan segalanya, termasuk kehilangan dirinya sendiri. Dia kembali menjadi Clara yang selalu menyerang, melukai dirinya sendiri. Dia melupakan segalanya saat penyakit gilanya kambuh. Dia melupakan orang tuanya, melupakan dirinya sendiri tapi dia tidak pernah melupakan Tira. Dia menganggap kematian Tira adalah kesalahannya. Dia merasa tidak bisa melindungi Tira. Dia merasa membunuh Tira.”
Lina terpaku disana. Matanya kosong saat menatap Papa Clara yang duduk di hadapannya. Papa Clara terlihat sangat emosional saat menceritakan itu. Berulang kali dia nyaris menangis. Tapi dia berhasil untuk menahan semua itu.
“Dan memang dia yang membunuh Tira.”
Deg!
Lina membatu. Clara seorang pembunuh?
“Tira menyakiti perasaan Clara waktu itu. Clara begitu ingin mengabulkan semua permintaan Tira. Dia selalu ingin Tira bahagia. Dia membunuh semua orang yang menyakiti Tira dan Tira mengetahui hal itu. Mereka berdua bertengkar dan Clara merasa sangat sakit hati dan gagal sebagai sahabat. Tiba-tiba dia menjadi sangat membenci Tira dan menabrak Tira. Tapi dia merasa sangat menyesal setelah melakukannya. Setelah Tira mati, Clara menghabiskan satu tahun hidupnya dalam penjara bawah tanah. Dia hanya diam dan selalu berbisik sendiri. Tiap siang dia tidur dan tiap malam dia selalu menjerit-jerit dan memukulkan kepalanya ke terali besi. Dia lalu pingsan dengan berlumuran darah dari kepalanya. Berulang-ulang kali dia berteriak kalau dia ingin Tira hidup lagi. Dia ingin Tira hidup.”
Papa Clara berhenti bercerita.
Lina masih termangu. Luka di tubuh dan kepala Clara itu…
Akhirnya dia tahu darimana luka itu berasal…
“Kemudian dia menemukan surat. Surat dari kamu, Lina. Dia merasa itu surat dari Tira. Tiba-tiba dia berteriak bahwa dia sudah sembuh. Dia menyebutkan nama-nama orang dan dia ingat dirinya sendiri. Tiba-tiba dia ingat kami berdua, Mama dan Papanya. Dia bilang dia sembuh. Dia menceritakan masa lalunya. Tapi dia tidak pernah bercerita bahwa Tira sudah mati. Dia menganggap Tira itu kamu. Dia ingin bisa mengulangi masa lalunya. Dia berfikir kamu adalah Tira dan Tira masih hidup. Dia ingin bertemu, ingin menolongmu. Dan tiba-tiba dia sembuh dan dia ingin membunuh orang-orang yang telah membuatmu sedih seperti yang kau tulis di dalam suratmu. Dia gila! Dia yang telah menyuruh ibunya untuk membayar beberapa pembunuh dan membunuh teman-temanmu! Selamatkan diri kamu sebelum terlambat! PERGI DARI SINI!” teriaknya sambil berdiri dan menggebrak meja hingga berdegum.
Tiba-tiba muncul Mama Clara yang masuk dari pintu. Dia terlihat sangat marah. Dia berjalan cepat dengan menggertakkan giginya. Dia langsung mendorong tubuh suaminya itu ke belakang.
“Biadab! Kamu tega mengatai anak kamu sendiri gila? Hah?” bentaknya dengan mata melotot.
“Kamu dan dia gila! Kalian berdua gila! Kalian membunuh orang-orang dan kalian gila!” teriak si suami dengan suara serak dan matanya yang merah menyala.
“Kurang ajar!”
PLAK
Mama Clara menampar pipi suaminya. Kemudian mereka berdua bergelut. Mama Clara ingin sekali menjambak rambut suaminya tapi Papa Clara memegang kencang kedua tangannya.
Lina mematung dan menonton kejadian itu.
Papa Clara menoleh melihat Lina dengan serius, “CEPAT PERGI!” teriaknya.
Lina tersadar.
Dia segera berlari keluar dari rumah Clara. Dia harus segera kembali ke sekolah sebelum terlambat.
Masih ada Josh! Josh terancam!

❋❋❋

Lina berlari kembali menuju ke sekolah. Yang ada dipikirannya sekarang adalah Josh. Dia masuk ke dalam koridor sekolah, menuju ke tempat terakhir kalinya Josh dan Clara berada.
Tapi mereka berdua tidak ada disana. Lina panik.
“JOSH!” teriaknya sambil terus mencari.
“JOSH!” teriaknya lagi.
Tidak ada jawaban yang terdengar. Lina berlari dalam kegelapan. Hanya ada cahaya bulan yang masuk melewati jendela. Lina terus berlari dan mencari ke segala sudut yang ada.
“Linaaa!!!”
Tiba-tiba terdengar suara Clara yang memanggilnya. Lina berbalik badan, melihat Clara berlari ke arahnya dengan wajah ketakutan. Ekspresi Lina berubah, kali ini dia tidak akan tertipu.
“Berhenti.” Ucap Lina.
Clara menghentikan langkahnya. Dia berdiri dengan jarak dua meter dari Lina. Dia menatap mata Lina dengan tidak mengerti. Lina berdiri tegak dan matanya menatap Clara dengan sangat dalam.
Clara terlihat kecapekan. Dia berantakan dan sangat ketakutan.
“Mana Josh?” tanya Lina.
“Josh? Aku nggak tahu dia kemana. Aku dari tadi sendirian. Aku tadi pingsan ya, Lin? Kamu darimana?” tanyanya polos.
Lina menyeringai sinis, “Berhenti berpura-pura, Clara.”
“Lina, kamu kenapa sih?” tanya Clara.
“Mana Josh? Kenapa kamu bunuh Ayahku? Kenapa kamu bunuh Gladys dan yang lainnya? Kenapa kamu nyuruh ibu kamu untuk membayar pembunuh dan membunuh yang lain? Kenapa kamu menciptakan permainan malam ini. KENAPA?!” bentak Lina dengan kemarahan yang meluap.
Clara menjadi sendu. Dia terlihat sedih.
“Tira…” panggilnya pelan.
“Aku bukan Tira!” teriak Lina keras.
“Kamu emang bukan Tira! Kamu Lina kan? Kamu bukan Tira. Kenapa kamu tega begitu? Kita kan sahabat.” Ujar Clara lemas, “Aku cuma mau kamu bahagia, Lina. Seperti yang kamu tulis waktu itu. Aku cuma mau itu. Cuma itu…”
Lina masih tidak terpengaruh.
“Dimana kamu temuin surat itu?” tanya Lina.
Clara terdiam sejenak, mengulang kembali kejadian waktu itu. Waktu dimana dia menemukan surat itu.
“Waktu itu aku dipenjara. Aku kesakitan. Aku menggigil dan aku takut. Pagi itu Mama datang membawa piring dan memaksaku makan. Aku lihat mama menangis saat aku melempar piring makan ke mukanya. Mama membiarkan pintu penjara itu terbuka lalu aku berlari dan kabur. Aku masuk bersembunyi ke dalam got di jalanan. Aku masuk dan aku diam disana. Kemudian ada surat jatuh dari langit. Tira mengirimkan surat buat aku dari surga. Aku memegangnya dan memasukkannya ke dalam bajuku. Tiba-tiba ada orang menemukan aku dan menarik aku keluar dari got dengan keras sampai aku menangis dan mencakari mukanya hingga matanya berdarah. Aku ingat semuanya dan laki-laki itu membawaku kembali ke penjara. Saat aku sendirian, aku baca surat itu. Tira butuh aku. Dia sedih dengan kehidupannya. Dia sengaja menulis surat itu supaya aku bisa menolongnya. Tira menuliskan nama sekolah dan kelasnya. Kemudian aku ingat semuanya. Aku sembuh dan aku minta pada mama untuk bisa sekolah di sekolah dan kelas yang sama dengan Tira. Musuh Tira berarti musuh aku juga. Aku meminta mama untuk membayar pembunuh yang bisa membunuh orang-orang yang menyakiti Tira. Pembunuh bayaran itu telah membunuh teman-teman dan Ayahnya Tira yang sangat jahat.” Cerita Clara.
Dia mulai memperlihatkan kegilaannya. Dia berbicara seperti orang gila. Dia selalu bergerak. Matanya mengerikan. Dia mulai kumat. Dia seperti menggigil dan dia berkeringat banyak.
“Jadi ini bukan salah aku. Ini kesalahan Tira.” Ucapnya lagi.
Lina menelan ludahnya. Dia mulai mengingat semua kejadian waktu itu.
Jadi…. saat dia membuang surat ke selokan waktu itu. Clara yang menemukannya?
“Apa kamu juga udah membunuh Josh?” tanya Lina.
“Bukannya kamu yang mau, Tira? Kamu bilang kamu benci Josh kan? Kayak di surat kamu waktu itu. Kamu ingin semua teman sekelasmu mati.” Ujar Clara.
“Aku bukan Tira! Tira udah mati!” teriak Lina.
“Kamu Tira!” teriak Clara.
Lina terdiam dengan napas tersenggal.
“Kamu jahat! Kamu tega! Kamu sama kayak yang lain!” teriak Clara dengan suaranya yang parau.
Clara mulai bergerak maju ke depan dengan wajah marah. Lina mundur perlahan-lahan.
“Mana Josh? MANA??!!” teriak Lina.
“Aku udah membunuhnya.” Gumam Clara.
Mata Lina membesar.
“Kamu?” tanyanya tidak percaya.
“Untuk Josh, aku sendiri yang melakukannya. Tapi yang membunuh semua murid kelas kita dan yang lainnya adalah pembunuh bayaran. Mereka dibayar Mama untuk membunuh orang-orang jahat itu.” Ujar Clara sambil terus berjalan ke depan, mendekati Lina. Lina terus mundur.
“Mereka?” tanya Lina dengan alis mengerut.
“Pembunuh itu lebih dari satu orang. Mereka banyak.” Jawab Clara.
“Termasuk pak Cipto?”
Clara menggeleng, “Nggak. Dia hanya orang bayaran yang dijadikan kambing hitam. Hanya itu. Dia dibayar Mama. Dia ingin menjual satu ginjalnya karena butuh uang untuk pengobatan kanker adiknya. Tapi Mamaku hanya minta dia menjadi guru kita dan merelakan dia dipenjara beberapa tahun sementara pengobatan adiknya itu ditanggung Mama. Pokoknya semua rencana itu sudah tersusun. Meski mereka tertangkap, aku dan keluargaku akan selalu bertangan bersih.” Ucap Clara.
Lina semakin tersudut. Clara masih saja maju.
“Kenapa Mama kamu mau melakukan itu?” tanya Lina.
“Karena kalau enggak, aku akan jadi gila!” balasnya dengan mata membelalak, “GILA!”
“Bukannya kamu emang gila?” tanya Lina marah.
“Aku nggak gila, Tira! Kamu yang gila karena kamu nggak nyadar kalau kamu yang menyebabkan semua ini terjadi! Kamu yang bikin aku jadi GILAAA!!!” teriaknya menyayat.
Tiba-tiba Clara berlari menuju Lina. Lina yang ketakutan segera berlari menjauh sementara Clara mengejarnya dari belakang. Lina berlari dengan sangat cepat sementara Clara nampak begitu lamban di belakang sana.
Lina berlari naik ke atas tangga. Sekarang dia berada di lantai dua dan terus berlari. Lalu tiba-tiba dia melihat Todo. Ya, mayat Todo tergantung di tengah koridor. Dia digantung dengan tubuhnya yang sudah membiru, busuk dan kaku.
“Todo…” Lina menaruh telapak tangan di atas mulutnya. Dia tak menyangka kalau denah yang dimaksudkan itu adalah koridor di depan kelas XI IPS ini. Lingkaran yang dimaksud itu bukan kolam seperti yang dipikirkan mereka tapi garis lingkaran yang ada dilangit-langit tempat Todo digantung itu.
A,B,C,D dan E adalah ruang kelas di sekitar tangga itu.
Lina terpaku disana saat melihat Todo. Tapi dia harus segera berlari kembali saat mendengar suara orang menaiki tangga di belakangnya. Clara akan menangkapnya.
Setelah berlari lebih jauh lagi, Lina akhirnya menemukan Josh. Dia melihat Josh terkapar di lantai dengan berlumuran darah. Dia terlihat tergeletak dengan tangan di atas perutnya.
“Josh!” teriak Lina.
Lina buru-buru berlari menuju ke Josh. Dia langsung memegangi tubuh Josh dan meletakkan kepala Josh di atas tangannya. Lina sangat panik melihat banyak darah yang keluar dari dalam perut Josh itu sudah mengalir jauh.
“Josh, bangun.” Ucap Lina sambil menggoyang kepala Josh.
Josh masih tersadar. Dia sudah tidak bisa bergerak lagi. Pisau yang ditusukkan ke perutnya itu sudah membuatnya sekarat. Matanya terbuka sedikit. Napasnya tersenggal-senggal. Waktunya tinggal sedikit.
“Clara.” Ucap Josh dengan napas tersenggal, berusaha memberi tahu Lina siapa yang melakukan hal sekeji itu padanya.
“Aku tahu, Josh. Maaf aku ninggalin kamu disini.” Lina berkata sambil menitikkan airmata. Dia semakin sedih saat Josh mulai terpejam dan napasnya mulai berhenti.
“Josh…” gumam Lina sedih.
Tiba-tiba Clara datang dengan membawa pisau di tangannya.
“Kamu harus mati Lina! Kamu harus mati kayak Tira!” Clara menjerit.
Lina meninggalkan Josh dan berdiri.
Kemudian dia mencoba untuk berlari. Tapi…
“Akkh…”
Clara berhasil menusukkan pisau yang dipegangnya ke punggung Lina. Lina bisa merasakan pisau itu membolongi kulitnya. Tapi dia masih bertahan.
Clara yang telah melakukan hal itu ikut terpana. Dia menatap Lina yang berdarah-darah dengan mata basah. Sepertinya dia merasa sangat bersalah.
“Maafin aku Tira… aku nggak bermaksud bunuh kamu.” Bisiknya sedih sambil menangis.
Lina berbalik dan melihat Clara. Lina maju mendekati Clara dengan setengah nyawanya. Clara tak menghindar, “Ra, dulu kamu pernah bilang kan, kalau aku mati, kamu lebih baik mati?” tanya Lina dengan suaranya yang terputus-putus.
Clara mengangguk gemetaran, “Iya.”
Lalu Lina berusaha menarik pisau itu keluar dari lubang di punggungnya. Dia memejamkan mata dan merintih menahan sakit dengan menggigit bibirnya. Akhirnya dia berhasil mengeluarkan dan memegang pisau berlumur darahnya itu.
Clara terdiam dengan tubuh gemetaran dan airmata yang berlinang saat melihat Lina mendatanginya sambil membawa pisau itu.
Lina menusukkan pisau itu ke perut Clara.
Clara terperanjat melihat darah dari luka di perutnya. Tapi dia tidak menjerit sama sekali.
Lina memeluk Clara dan memejamkan matanya.
“Maafin aku…” bisik Lina dengan napasnya yang mulai pendek.
Clara ikut memeluk tubuh Lina dan menangis, “Tira…” bisiknya.
Mata Lina terpejam dan tubuhnya jatuh menibani tubuh Clara.
Tubuh mereka jatuh berdua di lantai.
Tak bergerak…

Bagian 18

Terlihat sepasang kaki yang memakai kaus kaki berbeda warna berlari tergesa-gesa di koridor kampus. Gadis itu membuka pintu kelasnya dan langsung berjalan tertunduk menuju ke bangkunya.
“Eh liat, manusia mars datang!” teriak Dave ke arah gadis itu.
Gelegar tawa lalu muncul di kelas itu. Gadis berkacamata itu mencoba untuk tidak peduli meski semua teman sekelasnya sedang menatapnya rendah.
“Anjing berkawat gigi! Jangan duduk di depan gue!” Mark menendang kursi di depannya. Gadis berkepang itu langsung menggeser kursinya ke pinggir. Dia lalu menghirup napas dalam-dalam untuk mencoba bersabar sementara suara orang yang menertawakan di sekitarnya belum juga hilang.
Kemudian sang dosen, Bu Mala masuk mengagetkan ke dalam kelas dan membuat suasana menjadi hening.
“Selamat pagi.” Sapanya.
“Selamat pagiii.” Jawab murid serempak.
Bu Mala melihat ke luar pintu kelas, “Ayo masuk.” Ucapnya.
Kemudian masuklah seorang gadis ke dalam kelas. Gadis cantik itu berdiri dengan sangat percaya diri sambil memeluk beberapa buku di lengannya.
“Cantik juga.” Bisik Dave pada Mark sambil memandangi si mahasiswi baru.
Mark mengangguk, “Not bad.”
Si gadis mars berkepang sedang menulis sesuatu di bukunya. Saat tahu ada seseorang berdiri di depan kelas selain Bu Mala, dia mengangkat wajahnya dan melihat mahasiswi baru itu tersenyum sangat manis ke arahnya.
Saat menyadari mahasiswi baru yang penampilannya sangat elegan itu tersenyum manis ke arah si gadis cupu berkepang, seluruh murid di kelas menoleh ke belakang untuk menatap tajam kepada sang gadis mars.
Mahasiswi baru itu tersenyum lagi, “Namaku… Clara.”

Tamat

1 st Chapter

Ninda, Novi dan Resdy bersama-sama turun dari dalam mobil. Malam itu hujan turun sangat deras. Mereka bertiga berlari menuju ke rumah penginapan itu dengan cepat, sambil terus menunduk.

Mereka bertiga berdiri di depan pintu besar yang terbentang di depan mereka. Perlahan, kepala mereka mulai memutar, mengamati bangunan penginapan tua di hadapan mereka.

Bangunan penginapan itu terletak sendirian di tengah hutan cemara yang lebat ini. Ukurannya sangat besar. Bercat putih dan sebagian besarnya sudah mengelupas karena usianya yang sudah tua. Retak yang ada memanjang seperti akar pohon di dindingnya, beberapa sudut temboknya bahkan hancur. Jendela-jendela di rumah itu besar. Mungkin tingginya hampir sama dengan tinggi tembok itu sendiri. Penginapan itu memang bekas rumah Inggris.

Sementara di belakang mereka, di langit yang hitam itu, berulang kali petir hebat bergemuruh. Membuat kilapan seperti blitz kamera yang sekejap menyinari wajah mereka.

Ninda mengusapkan telapak tangan di lengannya dan memeluk dirinya sendiri yang kedinginan. Mereka bertiga basah dan menggigil.

Resdy memutuskan untuk mengetuk pintu penginapan itu.

Tiga kali ketukan pertama, tidak ada tanda-tanda.

Selanjutnya, masih tidak ada.

Menyadari keadaan yang cukup menakutkan itu, Resdy memandang Ninda dan Novi yang berdiri di sampingnya.

Dua wanita yang bersamanya itu terlihat kelelahan. Wajah mereka berdua menunjukkan kepasrahan, kebingungan dan sikap yang tidak tahu harus bagaimana.

Resdy menarik napas dalam.

Dia mengangkat tangannya kembali. Tiba-tiba…

Srreett…

Suara pintu dibuka terdengar. Terdengar bunyi berat saat pintu besar itu dibuka dan orang yang membuka pintu itu tidak lebih dari seorang Nenek kurus tua berkacamata yang membawa lentera.

Wajah Ninda, Novi dan Resdy menyiratkan keterkejutan selama beberapa detik atas kedatangan Nenek itu.

Nenek itu tersenyum ramah.

“Selamat datang di penginapan ini. Silahkan masuk.” Maka Nenek itu mulai menjauh sedikit dari pintu, memberikan celah yang cukup besar bagi mereka bertiga untuk masuk ke dalam.

Di dalamnya terdapat beberapa sumber cahaya.

Sekitar lima lentera usang yang cukup besar tertempel pada dinding di sekeliling mereka.

Saat masuk ke dalam, mungkin kita tidak akan menemukan meja resepsionis seperti halnya rumah penginapan. Gantinya, kita akan melihat perpustakaan di sana. Langsung, begitu memasuki gedung itu, kita akan disuguhkan sebuah ruang perpustakaan.

Sekitar dua meja kayu panjang terletak di dekat rak-rak besar berisi ratusan buku-buku kuno. Ada juga dua sofa coklat di sana. Beberapa meja kecil dengan lampu-lampu antik di atasnya.

Di dindingnya, selain menempel lentera, banyak juga lukisan-lukisan abstrak dan beberapa lukisan manusia. Yang ada di lukisan itu berwajah Inggris semuanya.

Semua di dalamnya tertata dengan rapi. Perabotannya masih seperti benda-benda di masa kolonial. Dan lagi-lagi, disusun sedemikian menarik hingga rasanya sayang untuk berkedip dan melewati kesempatan melihat benda-benda yang rasanya nyaris punah itu.

Meski tidak dapat dipungkiri kalau rumah ini pasti belum pernah direnovasi, tapi mereka bertiga salut dengan sepasang kakek-Nenek pemilik rumah itu. Mereka berhasil mengurus tempat sebesar dan sebersejarah itu dengan baik.

Terlihat juntaian sarang laba-laba pada beberapa sudut langit-langitnya. Langit-langit rumah itu begitu tinggi. Sangat manusiawi jika mereka tidak cukup muda untuk membersihkan bagian yang satu itu. Dindingnya pun kusam dan keropos di beberapa bagian. Itu wajar.

Di dekat perpustakaan itu ada tangga yang menuju ke atas.

Mereka bertiga melangkah pelan-pelan, berjalan di belakang Nenek itu dengan mata mengitari ruangan.

Ninda cukup mengerutkan kening saat melihat bayangan manusia di sudut kanan, di celah antara dua rak buku. Sepertinya anak-anak, jika dilihat dari lekuk badannya. Tapi… samar-samar, cahaya lentera itu kadang tidak menyentuh beberapa bagian ruangan. Termasuk bagian yang dilihat Ninda barusan. Wajah orang itu tidak terlihat, tapi… Ninda yakin dia melihat sesuatu. Manusia? Entahlah…  Baginya terlalu aneh bagi seorang anak-anak berdiri di celah sempit tengah malam begini.

Ninda melirik kembali ke tempat itu dan melihat sudah tidak ada apa-apa lagi disana. Akhirnya, dalam satu tarikan napas dalam, Ninda memutuskan untuk melupakan masalah itu.

Langkah Nenek itu berhenti.

Mereka semua hampir bertubrukan saking mendadaknya.

Nenek itu berbalik badan, menatap ketiga tamunya yang nampak basah dan kedinginan itu.

Mereka berhenti di tengah koridor. Beberapa pintu kamar penginapan berderet-deret sepanjang lorong itu.

“Nama saya Karsumiyati. Panggil saya Ibu Karsum saja.” Dia mengenalkan dirinya.

Dia ramah, semuanya pasti berfikir begitu sejak awal. Senyumannya begitu terasa tulus. Begitu ia tersenyum, semua berkata dalam hati bahwa Nenek itu pasti orang yang baik. Wajahnya penuh dengan kelembutan.

“Saya Resdy, ini Ninda dan yang ini Novi.” Kata Resdy.

Ninda dan Novi tersenyum saat bu Karsum membenarkan letak kacamatanya untuk memandang mereka bertiga bergantian. Hening menyergap sesaat, saat Nenek itu cukup serius menatap mereka.

Tapi, senyuman segera mengulas di bibir Nenek itu.

“Orang Jakarta ya?” tanyanya.

Ninda tersenyum, “iya.”

Bu Karsum kemudian menatap Novi dengan kedua alisnya yang menyatu dan mata yang menyipit. Wajahnya mendekat ke wajah Novi.

Novi memundurkan wajahnya sedikit karena takut.

“Kamu… pernah datang kesini sebelumnya ya?” tanya Ibu Karsum.

Novi mengangguk dengan senyum takut, “I-iya, Bu.”

Bu Karsum tersenyum dan memundurkan tubuhnya kembali. Novi akhirnya bisa bernapas normal.

“Maaf ya, keadaan memang sering seperti ini. Listrik sering mati kalau hujan hebat turun. Tapi nanti listrik pasti hidup lagi. Ditunggu saja ya?” tanyanya.

Mereka bertiga menjawab dengan tersenyum.

Tiba-tiba saja, ada suara pintu dibuka.

Mereka berempat menoleh ke belakang, kembali melihat ke pintu masuk itu yang terbuka sangat lebar.

Hentakan petir tampak menguasai langit hitam. Seseorang berdiri di luar sana, dengan dua koper besar ditenteng pada dua tangannya.

Dia lalu masuk ke dalam, meletakkan dua koper yang dibawanya dan menyalakan rokok dengan arogan. Dengan menghidupkan pemantik api di tangannya, ia berhasil membuat Ninda, Novi dan Resdy melihat wajahnya.

Seorang bapak-bapak yang sedikit kelebihan lemak. Umurnya mungkin diatas lima puluh tahun. Berkumis cukup tebal dan menyeramkan. Rambutnya putih dan mulai tampak gejala kebotakan. Tampangnya sangat tidak bersahabat. Dia merokok dengan gagah disana sementara yang lainnya terpaku menatapnya dengan wajah bingung. Dia seperti orang kaya yang terbiasa foya-foya yang tiba-tiba jatuh dari pesawat pribadinya dan tersasar di tempat ini.

Sangat aneh.

“Ini penginapan kan?” akhirnya dia bersuara.

Dia berjalan menghampiri dengan wajah mengamati bangunan itu. Berulang kali dia menghisap rokoknya dan berkacak pinggang.

“Berikan aku kunci kamarnya. Aku ingin kamar yang paling bagus.” Pintanya dengan menatap bu Karsum.

“Kamar nomor dua. Apa anda mau?” tanya bu Karsum.

Laki-laki itu terlihat kesal. Dia mengepulkan asap rokoknya ke udara. Kini dia telah merapat ke dekat Ninda, Novi dan Resdy. Mereka bertiga hanya mampu terpaku melihat kedatangan sang ‘Tuan Besar’.

“Aku ingin kamar nomor satu. Kamar kelas satu.” Ucapnya dengan mata menajam.

Bu Karsum mengangguk. Dia merogoh pada kantung di bajunya dan mengeluarkan kunci kamar nomor satu.

Laki-laki itu maju dengan langkah angkuh dan langsung merampas kunci itu dari telapak tangan bu Karsum. Dia mengamati kunci itu sebentar. Kunci yang terbuat dari kuningan yang terdapat cetakan angka satu pada permukaannya.

“Aku suka angka satu.” Dia tersenyum sinis pada mereka berempat dan memajukan mukanya sedikit. Cahaya lentera yang dipegang bu Karsum menyinari wajahnya hingga membuatnya terlihat menakutkan seperti hantu, “dan aku, selalu ingin jadi nomor satu.” Bisiknya dalam.

Sebelum melepaskan matanya dari mereka bertiga, dia memainkan kunci itu di tangannya. Entah mengapa, orang ini sengaja membuat kesan buruk tentang dirinya. Atau mungkin… memang sudah begitu keadaannya.

“Dimana kamarnya?” tanyanya.

“Di lantai atas, kamar paling ujung.” Jawab bu Karsum.

“Oke, selamat malam kalau begitu.”

Maka laki-laki itu kemudian berbalik badan, sedikit berjalan menuju ke dekat perpustakaan dan berdiri di depan tangga. Tapi sebelum itu, dia menoleh kembali ke arah mereka berempat. Dia sedang memikirkan sesuatu.

“Tulis saja Freddy di buku tamunya. Namaku Freddy, ingat itu. Dan jangan lupa antarkan koper-koperku ke atas. Bawanya harus hati-hati karena ada botol anggur yang mahal di dalamnya. Kalian tidak bisa menggantinya dengan nyawa kalian sekalipun.” Tegasnya. Kemudian, dengan lamban ia menaiki tangga tua itu dan naik ke lantai atas.

Ninda, Novi dan Resdy tidak sadar kalau waktu mereka telah tersita dengan kedatangan tamu aneh tadi. Mereka membiarkan diri mereka terdiam dalam basah sementara bapak-bapak tadi terus mengoceh.

Ninda membalikkan badannya.

“Aaarrrgghhh!!!” dia berteriak dengan kencang saat melihat makhluk mengerikan yang berdiri di depannya.

Novi memeluknya. Ninda terus meraung ketakutan dan memeluk Novi sekuat-kuatnya.

“Aaaargggghhhhh!! Setaaaannn!!!” dia ketakutan dan melompat-lompat kecil sambil mendekap Novi. Tubuh Novi terguncang cukup kuat. Ninda terus bergeliat.

“Nin, Ninda! Dia bukan setan, dia pak Karsum, Nin. Ninda?”

Ninda mulai terengah-engah dan Novi mulai menenangkannya dan melepaskan lingkaran lengan Ninda di lehernya. Ninda masih belum mau berbalik badan. Dia masih shock.

Ninda melihat melalui ekor matanya. Dia memang manusia, seorang kakek yang memang… menakutkan. Ninda mulai tenang meski napasnya masih belum teratur.

Pak Karsum, berbanding terbalik dengan istrinya.

Wajahnya menakutkan. Rambut putihnya tumbuh panjang di kepalanya yang nyaris gundul itu. Kerutan wajahnya dimana-mana. Matanya terbuka lebar, seperti orang yang sedang marah. Bibir bagian bawah dan dagunya sedikit terangkat hingga seperti tidak memiliki bibir bagian atas. Dia tinggi, namun bungkuk. Dia kurus dan dia terlihat tidak pernah tertawa atau mungkin, malah tidak pernah tersenyum.

Bahu Bu Karsum bergetar naik turun karena tertawa kecil, “dia ini suami saya, namanya Pak Karsum. Dia dan saya yang selama ini mengurus tempat ini.” Ucapnya, “Pak, tolong antar koper-koper itu ke kamar nomor satu.” Bu Karsum mengelus pelan punggung suaminya yang berdiri di sebelahnya.

Ninda menundukkan wajahnya. Dia merasa malu telah melakukan tindakan seperti tadi. Biasanya dia tidak se-refleks itu, tidak sehisteris itu dan tidak penakut seperti tadi.

Pak Karsum tetap dengan tatapan mengerikannya. Ia berjalan sangat lambat melewati Ninda dan Novi dan menuju ke tengah perpustakaan. Dimana tergeletak dua koper putih besar milik bapak yang mengaku bernama Freddy tadi.

Mereka bertiga mulai mengumpulkan konsentrasi dan kembali bertatapan dengan bu Karsum.

“Saya masih punya sembilan kamar yang lainnya. Yang mana yang kalian mau? Tinggal pilih saja.” Ucapnya.

Mereka bertiga bertatapan bergantian, lalu tersenyum.

“Saya mau kamar nomor sembilan ini, bu.” Sahut Ninda.

“Kamar ini?” Bu Karsum menunjuk ke kamar di kanannya.

“Iya, saya suka baca buku. Kamar ini letaknya paling dekat dengan perpustakaan. Nggak perlu jauh-jauh jalan.” Sambungnya lagi.

Novi dan Resdy yang mendengarnya tersenyum.

“Kamar nomor dua deh, bu.” Kata Novi, “soalnya, dua angka keberuntungan saya.”

“Kalau saya kamar nomor lima aja.” Ucap Resdy.

“Ada apa dengan angka itu?” tanya bu Karsum.

Resdy mengangkat bahunya, “nggak tahu, hanya asal-asalan.”

Ninda mengeritingkan alisnya, “nggak apa-apa nih kita tidurnya mencar-mencar begitu?”

Novi tertawa, “nggak apa-apa deh, abisnya bosen kan kalo kamar kita harus berjejer dan sebelahan melulu?”

Ninda dan Resdy tersenyum.

“Iya, betul juga.” Sahut Resdy.

Bu Karsum membagi-bagikan kunci.

“Kamar nomor dua dan lima ada di atas.” Ucap ibu Karsum.

Mereka bertiga mengamati kunci masing-masing.

“Ayo, cepat ganti baju dulu. Saya mau ke belakang. Kamar saya yang itu.” Bu Karsum menunjuk ke ruangan di ujung, dekat ruang makan. Ada dua buah pintu di belakang sana.

“Yang merah itu pintu kamar saya sedangkan yang hitam itu pintu menuju dapur. Kalau ada apa-apa cari saya ya? Saya permisi.”

Bu Karsum mulai berjalan meninggalkan mereka bertiga. Cahaya lentera yang dibawa menjauh oleh Bu Karsum membuat keadaan jadi agak temaram. Lumayan menakutkan.

“Gue masuk duluan ya?” kata Ninda sambil berdiri di depan pintu kamarnya.

Novi dan Resdy berbalik badan dan melambai, “dadaaah… kita naik ke atas ya?”

Mereka mulai berpencar.

Novi dan Resdy naik ke atas tangga sementara Ninda langsung masuk ke dalam kamarnya.

Ninda memutar kunci pintu kamarnya. Saat pertama kali dibuka, keadaannya sangat gelap karena tidak ada lentera di dalamnya. Tapi, begitu pintu dibuka lebih lebar, keadaan kamar itu cukup terlihat. Ditambah lagi ada sedikit cahaya bulan yang masuk lewat jendela.

Ukuran kamarnya mungkin 3 X 3 meter, cukup luas. Tapi di dalam kamar seluas itu, hanya ada sedikit barang.

Ada sebuah kasur gaya Victoria yang begitu indah. Kasur itu cukup besar buat Ninda. Juga terdapat sebuah lemari kayu yang pintunya sudah tidak bisa lagi ditutup rapat karena rusak. Ada juga lampu listrik kecil yang tertempel di tembok dan tentunya sedang padam akibat listrik mati.

Ada jendela disana. Ukurannya tidak besar dan tinggi seperti yang terlihat di depan, mungkin hanya seukuran jendela biasa. Kaca-kaca itu terlihat kotor. Debu yang cukup lama bersarang berubah menjadi kerat dan sulit untuk dibersihkan. Di pinggirnya ada retakan-retakan. Tapi, jendela itu cukup memberikan cahaya, terutama jika petir datang, keadaan kamar seketika menjadi terang.

Ninda melempar tas ranselnya ke atas kasur. Membuka kemeja luarnya yang basah dan menggantungnya dibalik pintu. Dia hanya memakai tanktop putih di tubuhnya lalu merapat ke dekat jendela. Melihat ke malam yang hitam.

Saat petir turun, cahayanya yang sekejap itu menunjukkan sesuatu kepada Ninda. Di situ, di hadapannnya, terhampar sebuah danau. Airnya yang tampak hitam karena gelap itu dijatuhi titisan air hujan yang membuatnya berkerlip-kerlip seperti batu berlian.

Deg!

Tubuh Ninda bergerak kaget saat mendengar suara ketukan pintu.

“Nin! Ninda? Ayo makan, Nin!” terdengar suara Novi di luar.

“Sebentar, Nov! Gue pake baju dulu!” Teriak Ninda.

Ninda membuka tas ranselnya dan mengeluarkan sebuah kaus. Dia memakainya. Kemudian menenteng tasnya dan menuju ke lemari, membuka pintunya dan melemparkan tasnya ke dalam lemari.

Ada seseorang duduk di dalamnya.

Ninda berjalan menuju ke pintu.

Saat tangannya hampir menyentuh gagang, dia kembali menoleh ke lemari. Tadi dia melihat sesuatu… seseorang… sedang duduk di dalamnya, dengan darah.

Ninda ragu-ragu melihat kembali pintu lemari itu.

Pintu lemarinya terbuka sedikit, memberikan celah misterius yang mengerikan. Petir semakin liar diluar sana. Ninda masih berdiri disana, namun akhrinya dia memilih untuk kembali ke lemari, melihat ada apa disana.

Perlahan, dengan rasa takut yang terus memburunya, dia menyentuh pintu lemari. Memegangnya kuat-kuat. Menunggu waktu yang tepat untuk membantingnya terbuka.

BRAKK!!!

Ninda mundur. Degup jantungnya memacu.

Kosong…

Hanya ada ransel miliknya di dalam lemari itu.

Ada tangan pucat yang hendak menyentuh pundaknya.

“AAKKH!” Ninda melompat kaget.

“Ninda?” Novi menatap temannya dengan bingung, “elo kenapa sih?” tanyanya.

Ninda menggeleng, melirik ke lemari yang kosong itu, “nggak ada kok, nggak ada apa-apa.”

Novi mengulurkan tangannya ke depan Ninda, “Yuk Nin, kita makan.” Novi tersenyum.

Ninda meraih tangan Novi, Novi menarik tubuhnya lalu mereka berdua keluar dari kamar.

Saat itu, perhatian Ninda tidak langsung tertuju pada aroma harum makanan dari dapur. Justru Ninda berjalan menuju ke perpustakaan. Novi terpaksa mengikuti temannya itu.

Klik.

Tiba-tiba lampu menyala.

Terdapat jeda beberapa detik sebelum akhirnya Ninda dan Novi tersenyum dan menyadari hal itu.

“Listrik udah nyala.” Kata Novi senang.

Ninda mengangguk.

Ruangan itu kini terang benderang. Ninda mendongak, memperhatikan ruangan yang mengagumkan itu.

“Bagus banget kan, Nin?” tanya Novi.

Temannya itu terlalu kagum hingga tak mampu menjawab. Mata berbinarnya mengamati semua yang ada di depannya.

Terdapat sebuah cermin kecil di sana. Saat Novi menoleh, dia bisa melihat wajahnya. Dan dia seketika menolehkan kembali wajahnya, enggan untuk melihat kembali luka menjijikkan di wajahnya itu.

Luka itu… membuatnya membenci dirinya sendiri. Dia segera menarik rambut pendeknya ke depan, agar sanggup menutupi luka bakar di muka bagian kanannya.

Tiba-tiba, ada seseorang yang datang.

Dua orang laki-laki berjaket berdiri memasuki pintu dengan membawa dua ransel hitam di masing-masing punggung mereka.

Laki-laki yang memakai topi dan kemeja kebesaran terlihat bergaya rapper jalanan. Dia memakai topi dimiringkan, kemeja besar, kalung panjang menjuntai dan jeans kebesaran. Dia terlihat pecicilan saat masuk ke dalam.

Yang satunya, kebalikannya.

Laki-laki berjaket hitam itu terlihat keren. Wajah dan tatapan matanya sedingin es. Bentuk tulangnya tegas dan rambutnya berdiri ke atas. Dia masuk ke dalam penginapan dengan tangannya di dalam saku celana.

“Ternyata ada juga penginapan di tengah hutan begini.” Ucap cowok yang memakai topi.

“Cepat pesan kamar, gue capek.” Sahut cowok yang keren.

Dua laki-laki itu menatap Ninda dan Novi.

“Elo yang punya penginapan ini?” tanya si pria bertopi.

Ninda dan Novi bertatapan dengan bingung.

Mereka berdua menggeleng, “bukan.”

Kemudian, bu Karsum datang menghampiri.

“Ada apa?” tanyanya.

Ninda dan Novi menepi.

“Kita berdua mau pesen kamar. Dua kamar yang samping-sampingan.” Kata si pria yang memakai jaket hitam dengan wajah dingin.

“Kamar nomor enam dan tujuh?” tanya bu Karsum.

Si pria bertopi mendengus, “Apa aja kek! Yang penting kamar, man! Kamar, that’s it.” Dia mengatakan itu dengan tubuh yang terus bergerak gak jelas.

Mereka berdua lalu merampas kasar kunci yang ditawarkan bu Karsum.

“Nama gue Herman.” Kata si pria bertopi, lebih ditujukan buat Ninda dibanding bu Karsum. Dia mengedip sekilas ke arah Ninda. Membuat Ninda terpaksa memasang senyum meski dia merasa jijik.

“Gue Riko.” Ucap yang satunya lagi kepada bu Karsum.

Mereka membawa dua ransel hitam yang sama. Yang berjaket hitam, yang bernama Riko, terlihat jauh lebih ganteng dibandingkan temannya. Sementara Herman, meski tubuh kurusnya kalah macho dibanding Riko, setidaknya dia masih menganggap dirinya ganteng daripada tidak sama sekali.

“Kalian berdua datang pakai apa?” tanya bu Karsum, “kok tadi saya nggak dengar suara kendaraan?”

Mereka berdua terlihat cukup tersinggung dengan pertanyaan yang sebenarnya tidak bermaksud buruk itu. Sama seperti Ninda dan Novi, bu Karsum tidak mendengar suara mesin mobil ataupun motor.

“Jalan kaki. Emangnya kenapa?” tanya Riko.

Bu Karsum menggeleng pelan dan tersenyum sabar, “tidak apa-apa. Kamar kalian ada di dekat dapur. Yang disana itu. Cepat bersiap-siap untuk makan malam.”

Mereka sumringah.

“Makan? Bagus banget tuh!” sahut Herman sambil meninju bahu Riko dengan pelan.

Seperti anak-anak, mereka lalu berjalan ribut sambil bercanda dan dorong-dorongan badan. Biasanya, Herman yang iseng dan mulai duluan mendorong Riko. Si Herman yang cungkring itu sering terdorong sampai menghantam tembok gara-gara didorong Riko meskipun Riko mendorongnya dengan sangat pelan.

Mereka lalu masuk ke dalam kamar masing-masing.

Herman masuk ke kamar nomor enam dan Riko, tentu saja yang nomor tujuh.

***

            Tidak lama setelah kedatangan Herman dan Riko, tiba-tiba terdengar suara motor yang digeber habis-habisan. Suaranya memekakkan telinga. Cahaya lampunya menyoroti jendela penginapan dengan terang.

Ninda dan Novi yang berada di perpustakaan melihat siapa lagi tamu yang datang. Resdy yang turun dari kamarnya di lantai atas melipat jidatnya saat melihat seorang laki-laki yang menggendong seorang wanita di atas kedua tangannya masuk lewat pintu.

Si wanita turun dari gendongan.

“Hai.” Sapanya dengan manja.

Ninda, Novi dan Resdy hanya melihat, tetapi tidak menanggapi.

Cewek pendatang baru itu bertolak pinggang.

“Helllooww!!” sindir si cewek.

Gak tahu kenapa barbie kayak dia bisa tersasar ke hutan seperti itu. Wanita itu memakai baju pink ketat, rambut diikat dan sepatu tinggi. Bersama sang kekasih, si Romeo yang romantis dengan tampang cute.

“Helloo!!! Is anybody here?” tanyanya kemudian.

Masih belum ada yang menanggapi. Dan dia mulai kesal.

“Sabar, babe.” Bisik si pacar, mulai membesarkan hati wanita itu. si cewek terlihat menekuk mukanya.

“Honey, mereka punya kuping nggak sih?” dia merengek.

Resdy berdiri di dekat Ninda dan Novi.

“Mana yang punya penginapan ini?” tanya cowok itu pada Resdy.

“Orangnya mungkin lagi di dapur.” Jawab Resdy.

Resdy menghampiri pasangan itu.

“Gue Resdy.” Dia menawarkan tangannya.

“Gue Ricky.” Si cowok menjabat tangan Resdy, “dan ini Stevi, cewek gue.”

Si cewek bermuka jutek. Dia masih ngambek soal yang tadi. Resdy langsung menurunkan tangannya saat tahu Stevi masih ngambek. Stevi terus melipat tangan di atas perutnya.

“Kalian mau menginap juga?” Bu Karsum datang dengan muka sedikit aneh, “Ya ampuun, kenapa malam ini tamunya banyak sekali?” dia mengeluh.

“Tenang aja, bu. Kalau kamarnya kurang, kami bisa tidur satu kamar.” Kata Ricky sambil berkedip pada Stevi. Tiba-tiba saja wajah masam cewek itu berubah menjadi bersinar cerah.

Bu Karsum menggeleng, “tidak, tidak boleh. Ini kunci kamar buat kalian. Kalian bisa pakai kamar nomor empat dan tiga. Di lantai atas.”

Mereka mengambil kunci itu dengan senang.

“Yuk, say, kita liat kamar kita.” Stevi menarik tangan Ricky dan mereka berdua berlari menaiki tangga.

Yang lainnya hanya bisa menatap aneh pasangan itu.

ªªª

            Kamar mereka berdua bersebelahan.

Ricky nampak puas dengan kamar nomor tiga miliknya tapi Stevi tidak. Dia ingin punya cermin di kamarnya. Setelah dia melihat bahwa tidak ada cermin di kamarnya, dia masuk ke kamar Ricky dengan muka kesal.

“Ada apa, Hon?” tanya Ricky saat Stevi tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarnya dengan cemberut.

“Kamar kamu ada cerminnya. Kenapa kamar aku nggak ada?” tanya Stevi merenggut.

Lalu, dia membuka kamar nomor dua, kamar Novi. Novi tidak mengunci kamarnya sehingga Stevi bisa masuk dengan mudah.

Begitu Stevi melihat sebuah cermin di kamar itu, dia segera mengambil ransel Novi dan melempar ransel itu ke atas kasur di kamar nomor empat.

Saat Stevi membawa ransel dan melintas di depan kamar Ricky, sang pacar pun merasa aneh.

“Kamu mau ngapain, say?” tanya Ricky sambil keluar dari kamarnya.

“Kamar nomor dua ada cerminnya. Aku mau tukeran kamar.”

Stevi melempar tasnya ke atas kasur ke dalam kamar nomor dua. Dengan buru-buru, dia langsung keluar dari kamar nomor dua dan menuruni tangga. Ricky mengejarnya.

“Apa gue boleh nanya?” tanya Stevi saat dia telah turun dan berkumpul di ruang perpustakaan bersama Ninda, Novi dan Resdy.

Alis Ninda berkerut, “Apa?” tanyanya.

“Siapa yang tinggal di kamar nomor dua?”

Ninda dan Resdy melirik Novi yang sedang duduk membaca buku. Stevi langsung menatap Novi. Semua mata melihat Novi.

Novi yang merasa sedang diperhatikan segera mengalihkan perhatian dari buku yang dibacanya.

Stevi meringis dan tersenyum licik saat melihat wajah Novi.

“Oh, elo ya?” tanya Stevi. “Mulai sekarang gue mau tidur di kamar nomor dua. Soalnya disitu ada kacanya sih. Lagipula… mungkin elo gak suka ngaca. Jadi elo gak keberatan kan?”

Novi terdiam. Lalu ia menarik rambutnya untuk menutupi kulit wajahnya yang buruk rupa itu. Stevi benar, dia memang tidak suka berkaca untuk melihat wajahnya itu.

“Oke, makasih ya?” Stevi kembali berlari naik ke atas dengan ceria. Menganggap kamar itu udah jadi miliknya sementara Novi belum sempat menjawab apa-apa.

Ninda menghampiri Novi dan mengelus pelan bahu temannya itu. Novi masuk ke dalam pelukan Ninda.

Ninda berbisik, “Yang sabar ya Nov, maafin gue…”

ªªª

Pak Freddy sedang berendam di dalam bak mandi. Kamar mandi hanya ada dua. Mereka harus bergantian menggunakannya. Satu di lantai atas dan yang satu di lantai bawah sedangkan yang satu lagi ada di belakang, yang digunakan untuk pak Karsum dan Bu Karsum.

Keadaan kamar mandi itu tidak cukup bagus. Memang ada bak berendam tua yang cukup besar di dalamnya tapi seperti kebanyakan bangunan tua, cukup berantakan. Ada jendela kecil di atasnya. Keramik putih yang melapisi dinding mulai hancur, berlumut dan dipenuhi noda kerat yang tidak bisa dihilangkan. Terdapat plastik transparan untuk bershower di ujung satunya, juga terdapat cermin dan wastafel yang mulai tertutup debu.

Pak Freddy berendam dengan wajahnya yang memerah. Dengan satu botol anggur tergeletak di sisi bak mandi dan satu gelas di tangan, dia sedang mabuk. Matanya terpejam dan tubuhnya tenggelam dalam busa sabun.

Kemudian, dia mulai berbicara sendiri. Seperti sedang mengigau dalam mimpinya. Disertai suara tawa kelegaan.

“Sekarang aku sudah pergi jauh. Kalian nggak mungkin bisa menemukan aku. Jangan harap aku akan menyerahkan uangku pada kalian. Dasar lintah darat! Keparat!”

Masih dengan mata yang terpejam, dia meneguk habis anggur dalam gelas yang dipegangnya. “liat saja nanti, aku akan pergi ke luar negeri agar kalian tidak bisa menemukanku.” Gumamnya.

Kemudian, dengan keadaan setengah sadar, dia berdiri. Dengan busa sabun yang masih menempel di tubuhnya, dia mengambil pakaian afterbathnya. Memakainya lalu mengikat talinya dan berjalan terhuyung-huyung menuju ke luar.

Dia berjalan masuk menuju ke kamarnya. Setibanya dia di dalam kamaranya, Pak Freddy melihat seseorang.

Seorang wanita berdiri di dekat ranjangnya.

“Siapa kamu?” tanya pak Freddy, masih dengan keadaan mabuk.

Wanita itu tidak menjawab. Dia memakai kaus putih, mungkin usianya sekitar 17 tahun. Rambutnya pendek dan dia berdiri disana dengan tatapan datar.

“Apa ada jasa plus plus di penginapan sejelek ini?” Pak Freddy terkekeh sambil terhuyung-huyung menghampiri gadis itu.

Wanita itu diam.

“Berapa tarifnya semalam?”

Pak Freddy menuju ke tembok, berdiri berhadapan dengan gadis itu. Kemudian dia memejamkan matanya, menaruh tangannya pada lengan gadis itu. Memajukan tubuhnya ke tubuh gadis itu.

“Aku mau pulang.” Bisik gadis itu, “Tolong aku.”

Pak Freddy membuka matanya, melihat hantu gadis itu.

Langkahnya mundur, matanya terbelalak.

Tangannya yang memegang lengan gadis itu ia tarik, membuat lengan sang hantu ikut putus dan terbawa.

Pak Freddy segera melempar lengan yang putus itu ke lantai.

Bola mata sang gadis melebar… melebar… melebar…

Dan jatuh keluar dari rongganya.

Darah mulai mengalir turun…

“Ini adalah layanan plus-plusnya. Ayo kesini.” Hantu itu menawarkan tangan kanannya.  Pak Freddy terjatuh. Kemudian dia menyeret tubuhnya menuju pintu.

Pak Freddy tidak bisa berteriak. Dia merasa lidahnya tertelan saking ketakutannya.

Lama kelamaan hantu itu kepalanya mulai berbunyi. Seperti bunyi tulang bergesekan. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, seperti robot. Berputar nyaris seratus lima puluh derajat ke belakang.

“Sakiiitt…” desah hantu itu.

Dan lama kelamaan kulit lehernya mulai robek dan darahnya turun menuruni bajunya.

Pak Freddy memegangi jantungnya. Menarik napas sedalam-dalamnya, sekuat-kuatnya, seperti ikan yang terdampar di daratan.

Kepalanya mendongak ke atas, ke arah langit kamar dengan rongga terbuka lebar di lehernya. Seperti luka gorok.

Glep!

Dalam sedetik, kepalanya menunduk lagi. Rongga matanya yang menganga itu tertuju pada pak Freddy.

“APA ANDA MAU LAYANAN PLUS-PLUSNYA?” Teriak hantu itu dengan suara besar, dan lebih mirip suara laki-laki. “APA ANDA MAU?” teriaknya dengan lebih keras, lebih marah, lebih menakutkan.

Dengan kepala yang terasa berat pak Freddy menggeleng.

Glep!

Dia mendongak lagi. Irisan di lehernya kembali terbuka. Pipa tenggorokannya terlihat. Darahnya memancur terus menerus lalu kepala yang putus itu jatuh ke belakang.

Kepalanya yang putus terantuk keras membentur lantai hingga tengoraknya hancur dan otaknya bergelinding, lalu mulai melebur menjadi ular-ular kecil.

***

            Ricky dan Stevi turun dari tangga.

Mereka menuju ke dapur, dimana yang lainnya sudah menunggu.

“Hai.” Stevi menyapa semuanya dengan gaya yang genit.

Novi tersenyum pahit, “hai.”

“Udah waktunya makan ya?” tanya Ricky sambil berdiri agak jauh dari meja dan berkacak pinggang. Otot-otot lengan dan dadanya nampak menyembul dari kaus ketat yang ia pakai. Resdy sedikit mupeng melihat postur tubuh cowok itu.

“Mana Pak Freddy?” tanya bu Kasrum.

Ricky mengeritingkan alis, “siapa?”

“Bapak-bapak tua di kamar nomor satu.” Sahut Resdy.

Ricky mengangkat bahunya, “nggak tahu tuh. Gue dan Stevi nggak liat siapa-siapa.”

Stevi mengangguk setuju.

Yang lainnya bertatapan.

***

            Hantu itu tanpa kepala sekarang.

Lama kelamaan ujung pedang muncul dari perutnya.

Pak Freddy tersudut. Punggungnya merapat ke tembok, napasnya mulai pelan.

Hantu itu berjalan gontai menuju ke Pak Freddy, tetesan darah dari perutnya turun ke ubin kamarnya yang retak.

Tubuh Pak Freddy mulai kejang, napasnya memburu dan hampir berhenti di tengah tenggorokan.

“Apa itu sudah cukup?” bisik sebuah suara.

Pak Freddy melihat ke lantai di kirinya.

“Apa itu sudah cukup?” tanya kepala putus yang tergeletak di lantai. Pak Freddy merayap menjauh dari kepala putus itu.

Pak Freddy semakin mendorong tubuhnya untuk mundur, meninggalkan pintu menuju ke sudut kamarnya.

Kepala putus tanpa bola mata itu berteriak lagi dengan marah, menunjukkan kengerian yang dimilikinya, “APA INI YANG KAMU MAU?” teriaknya.

Pak Freddy tersudut dan mulai merasa ada sesuatu yang menyentuhnya. Ular-ular kecil tadi mulai menuruni wajahnya dan masuk ke lubang telinga kanannya.

Dia terkejut, “Aaaarrrgghh!!!” dan dia menepis jauh-jauh ular itu dari telinganya. Ular itu jatuh.

Pak Freddy menutup matanya, “AAAARRRGGHHH!!!”

Satu tepukan tangan turun di pipi pak Freddy.

“AAARRGGGHHHH!!!!”

“Pak Freddy? Pak?”

Pak Freddy mulai membuka matanya. Dia melihat Resdy berdiri di depannya.

Sementara itu Ricky mengamati botol anggur yang tergeletak dan meneguknya saat tahu itu anggur yang sangat mahal. Mengguncang botol itu langsung ke dalam mulutnya meski tak ada setetespun tersisa.

“Setan! Setaaaan!” Pak Freddy bergerak kalap dalam bak mandinya. Membuat buih dalam air di baknya itu bergoyang kencang.

Para wanita berdiri di luar kamar mandi.

Resdy melihat ke luar, para wanita nampak geli dengan pemandangan yang satu itu.

Resdy berdiri.

“Ayo turun, kita harus makan.” Ucapnya sambil melangkah keluar.

Pak Freddy menarik celana Resdy.

“Tolong aku, aku udah bilang aku nggak mau layanan plus plus.” Pintanya. Dan dia mulai terisak ketakutan, “Tolooong…”

Pak Freddy terpejam dan menangis. Kepalanya dibenamkan pada lengannya. Tubuhnya bergetar pelan.

“Apa anda mau layanan plus plus?” bisik Resdy.

Pak Freddy mengangkat kepalanya lalu membuka matanya, melihat Resdy. Resdy sedang memegang pisau di tangan kanannya dan kepala hantu tadi tangan kirinya.

“APA ANDA MAU LAYANAN PLUS PLUS?” teriaknya sambil mengacungkan pisau ke pak Freddy yang masih dalam keadaan tanpa sehelai pakaian di dalam bak mandi.

Kemudian kepala itu berayun, seperti gantungan pada kaca mobil yang selalu berputar.

“APA ANDA MAU LAYANAN PLUS PLUS?” teriak kepala itu.

“TIDAAAKKK!!! TIDAAAKKK!!!” Pak Freddy mulai mundur saat Resdy menempelkan pisau itu di tengah keningnya.

Dan saat pak Freddy berteriak, dia sadar kalau darah mulai menuruni wajahnya.

“TIDAAAAKKKK!!! AAARRRGGHHH!!!”

“Pak Fredy? Pak?”

Satu tepukan tangan turun di pipi pak Freddy.

Pak Freddy mulai membuka matanya. Dia melihat Resdy berdiri di depannya.

“Pak? Bapak kenapa?” tanya Resdy.

Nafas Pak Freddy memburu, dia mundur secara refleks dari Resdy.

Sementara itu Ricky mengamati botol anggur yang tergeletak di kamar mandi dan meneguknya saat tahu itu anggur yang sangat mahal. Mengguncang botol itu langsung secara paksa ke dalam mulutnya meski tak ada setetespun tersisa.

“Setan! Setan!” Pak Freddy bergerak kalap dalam bak mandinya. Membuat buih dalam air di baknya itu bergoyang kencang.

Para wanita berdiri di luar kamar mandi.

Resdy melihat ke luar, para wanita nampak geli dengan pemandangan yang satu itu.

Resdy berdiri.

“Ayo turun, kita harus makan.” Ucapnya.

“Aku nggak mau makan!” teriak pak Freddy.

Resdy yang sudah melangkah, harus berbalik dan mendekat kembali ke Pak Freddy, “Bapak tadi ketiduran disini, sebaiknya kita pergi turun untuk makan. Ini hampir jam delapan. Udah lewat dari waktu semestinya. Apa bapak nggak laper?” tanya Resdy.

Pak Freddy mengamati mata Resdy dengan waspada. Seolah nggak mau lagi tertipu dengan keadaan yang sama.

“Bapak tuh mabok. Lagian salah sendiri sih, punya anggur tapi nggak bagi-bagi.” Ketus Ricky.

Tiba-tiba, di luar muncul Riko dan Herman.

Hey, what’s up, bro? What’s happen here?” tanya Herman yang menempel di pintu.

Melihat Ricky memegang botol anggur, Herman tersenyum dan mengambilnya cepat.

“Anggur darimana nih?” tanya Herman sambil membaca label yang menempel di permukaannya. Ricky berpura-pura cuek.

Sama seperti yang dilakukan Ricky, Herman berusaha mengguncang botol itu hingga menggetok gigi depannya. Dan dia cukup mengaduh kesakitan saat itu terjadi. Ricky tersenyum senang saat melihatnya.

Pak Freddy melayangkan gelas yang dipegangnya.

“Pergi! Atau aku lemparkan gelas ini!” ancamnya dengan ketakutan yang tergambar jelas di matanya.

Pak Freddy nyaris berdiri di bak mandi.

Resdy dan yang lainnya nyaris bisa melihat ‘sesuatu yang pribadi’ milik pak Freddy. Untungnya pak Freddy berdiri rendah, hanya bulu dadanya yang berbusa yang terlihat.

Mereka cukup menunjukkan ekspresi ‘jijik’ saat melihatnya.

“Oke-oke. Terserah kalau bapak mau berendam disini sampai besok. Yang jelas, bu Karsum menyuruh bapak untuk ikut makan.” Kata Resdy.

Resdy berjalan keluar kamar mandi. Yang lainnya juga meninggalkan pak Freddy. Kecuali Herman yang masih menempel disana.

Herman tersenyum nakal ke arah pak Freddy dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “ternyata elo lebih buruk daripada yang gue bayangin.”

Pak Freddy masih diam, matanya waspada dan dia masih bersiap-siap untuk menyerang. Bahunya bergerak cepat karena rasa takutnya masih sama seperti tadi.

Tiba-tiba tangan Riko muncul di lantai dan menarik kaki Herman. Herman terbanting, terseret di lantai dan berteriak kegirangan. Sementara Riko yang kekar menarik kakinya yang ceking.

“Yihaaa!!!” pekik Herman kegirangan. Dia sedang merasakan sensasi menjadi papan skateboard.

Sementara Riko terus menyeret kakinya hingga menuruni tangga. Tubuh Herman terguncang-guncang di atas tangga. Berulang kali terdengar suara benturan dan keluhan dari Herman.

Herman melindungi kepalanya dari benturan anak-anak tangga, suara renyah tawanya berubah jadi rintih penderitaan, “Stop man!  Kayaknya tulang gue patah semua!”

ªªª

            Semuanya telah berkumpul di ruang makan. Mereka sedang duduk bersama mengelilingi sebuah meja panjang.

“Mana Pak Freddy?” bu Karsum bertanya sambil menaruh sendok dan garpu di meja.

“Gak tahu, dia lebih suka mandi dibanding makan. Mungkin begitu.” Kata Ricky.

Stevi, pacarnya, duduk sambil menopang dagu di atas meja. Dia mulai kesal karena makan malam ini sudah sangat terlambat. Dia hanya menekuk wajahnya dan memainkan sendok kuno di tangannya.

“Udah deh, mendingan kita langsung makan aja! Bapak-bapak itu nggak usah dipikirin. Salah dia sendiri kan? Udah diajak makan, tapi nggak mau.” Herman mulai duduk di kursi dan dia sibuk memukuli tulang punggungnya.

Riko duduk di dekat Ninda. Dia terlihat sangat pendiam, dan juga sangat cool. Saat dia tersenyum kecil melihat Herman, dia menoleh ke Ninda sesaat. Ninda dan Riko bertatapan cukup singkat, tapi menimbulkan makna yang dalam. Saat Riko mulai mengalihkan lagi pandangannya, Ninda masih tersenyum, bukan karena Herman, melainkan… Riko.

Yang lainnya sudah hampir lengkap di meja. Bu Karsum masih bolak-balik keluar masuk dapur. Dia bilang, ini adalah pertama kalinya penginapannya itu penuh seperti ini. Dia harus membuka lagi cadangan piring, sendok dan gelas yang masih tersimpan rapi di dalam peti dan yang lain diperintahkan untuk menunggu.

Akhrinya, bu Karsum keluar dengan membawa setumpuk piring yang ukurannya lumayan besar, dengan ukiran berwarna emas di pinggirannya yang pastinya sangat kuno.

Ninda berdiri dari kursinya, menghampiri bu Karsum dan membantu sebagian pekerjaan bu Karsum. Ninda membantu menata piring-piring dan sendok ke tiap orang.

Tiba-tiba, Pak Karsum yang sangat tinggi muncul dari pintu dapur. Dia terlihat sangat aneh malam itu. Seperti orang yang marah akan sesuatu.

Kehadirannya mengambil perhatian dari semuanya yang sedang duduk di meja. Pak Karsum, dengan mata bulatnya yang hampir jatuh, menebar pandangan yang sangat mengerikan kepada tujuh orang lainnya yang sedang duduk di meja. Dia tidak pernah suka dengan semua yang datang ke penginapan itu.

Yang lainnya terpaku, ngeri bercampur tidak mengerti mengapa pak Karsum menatap mereka semua dengan cara seperti itu. Monster itu membuat mereka sangat bingung.

Bu Karsum menyadari tatapan aneh dari para tamunya.

Ia mengalihkan matanya ke arah suaminya itu dan melihat suaminya berdiri di ambang pintu, dengan tatapan serius.

“Pak, apa sop ayamnya udah matang?” tanya bu Karsum, dengan senyum indahnya.

Pak Karsum menunduk, tidak menjawab.

Bu Karsum tersenyum, “tunggu disini ya, sop ayamnya sudah matang.” Ucapnya pada yang lain, yang duduk menunggu-nunggu di meja itu.

Ninda mengangguk dan kembali duduk di bangkunya.

Bu Karsum masuk ke dalam dapur sedangkan pak Karsum masih tertunduk di sana, tidak berpindah sedikitpun dari ubin yang ia pijak. Dia tertunduk, matanya mengatakan ada sesuatu yang sedang disembunyikannya. Dan jelas-jelas, itu sangat menganggunya.

Tiba-tiba, dia mengangkat wajahnya.

Stevi cukup terkejut karena hal itu terjadi dalam keadaan tegang dan terjadi cukup cepat. Stevi nyaris terlonjak, namun dia berusaha untuk tidak se-ekpresif itu.

Ninda merasakan darah ditubuhnya mulai mengalir cepat dan bulu di tubuhnya berdiri. Ninda menyadarinya tapi tetap tidak mengerti, apa alasan dia begitu gugup.

Laki-laki tua itu… monster…

“Maaf ya, nunggu lama.” Bu Karsum keluar dari dapur dengan membawa kuali besar yang cukup berasap.

Dia meletakkannya di tengah meja.

Aroma lezatnya kaldu tercium kemana-mana.

Herman meniru salah satu iklan di tivi dengan menghirup dalam-dalam asap yang keluar dari mangkuk lalu tersenyum nggak jelas dan berkata , “hmmm… masakan buatan Ibu emang paling enak.”

Bu Karsum tertawa. Diikuti yang lainnya.

Novi tertawa cukup kencang, Ninda ikut tertawa. Ninda merasa senang melihat Novi tertawa selepas itu. Rasanya, kesempatan untuk melihatnya semakin sulit ia rasakan. Terutama, sejak kejadian itu… kejadian mengerikan itu… ya, kejadian itu…

“Maafkan ibu, malam ini hanya ini yang ada.” Kata Bu Karsum.

Resdy tersenyum, “nggak apa-apa, Bu. Segini juga udah lumayan buat ganjel perut.” Sambungnya.

ªªª

            Maka, dimulai dari Herman, kuali besar itu mulai berpindah, memutar dari yang satu ke yang lain. Sepertinya isi kuali itu cukup banyak. Dan mereka memasang target untuk mengambil daging ayamnya sebanyak mungkin.

Herman menawarkan kuali itu kepada pak Karsum yang duduk di seberang mejanya terlebih dahulu. Dan pak Karsum mengeluarkan sebuah kantung plastik hitam dari celananya. Dia mengeluarkan mentimun dari dalamnya. Herman dan yang lain hanya tercengang.

“Dia seorang vegetarian. Penyuka sayur,” Kata bu Karsum sambil menyentuh pundak suaminya, “terutama mentimun.” Dia tersenyum, tapi tidak suaminya. Pak Karsum hanya membisu.

Pak Karsum mulai mencabik mentimum dan mengunyahnya seperti mengunyah daging. Dia masih sangat mengerikan, seperti tadi. Mencabik mentimun itu dengan mata besarnya menatap yang lain, dengan tangannya, dia memakan nasi putih di atas piring dengan cepat dan berantakan.

Bu Karsum mengambil secentong sayur yang dibuatnya itu dan mengopernya lagi.

Setelah dari Stevi, kuali itu berpindah ke Novi. Ninda melihat sahabatnya itu menelan ludah ketika kuali itu ada dihadapannya. Cara Novi mengambil centong di dalamnya juga aneh.

Novi berdiri, melihat ke dalam kuali dan hanya menyendok wortel serta beberapa potong buncis. Tentu saja hal itu sangat membuat yang lainnya bingung.

Dengan hanya beberapa iris wortel dan buncis, Novi menggeser kuali itu ke depan Ninda.

“Ada apa, Nov?” tanya Ninda.

Novi tersenyum, “mungkin aku masuk angin, Nin. Bukannya kenapa-napa, rasanya aku mual kalo makan banyak-banyak. Jadi mungkin segini juga udah cukup.”

Ninda tersenyum, percaya pada sahabatnya dan berharap semoga sahabatnya tidak sakit.

Untuk melihat isi kuali dan mencari daging ayamnya yang sudah dipotong kecil-kecil, Ninda berdiri sedikit, mengaduk sebentar kuah di dalamnya. Irisan sayur mengapung ke atas permukaan, tiba-tiba Ninda melihat sesuatu. Sesuatu berwarna merah.

Ninda mengaduknya lagi dan benda bulat itu terlihat sepintas. Kuali yang berwarna hitam itu membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas benda apa tadi. Dia memajukan wajahnya sedikit lebih dalam ke kuali itu, yang lainnya melipat jidat mereka dan bertatapan aneh.

Ninda melihat benda itu bergerak, dia menggerakkan centong di tangannya dengan cepat dan melihat apa yang didapatkannya, Ninda melihat jantung manusia yang masih berdetak cepat di atasnya.

“Aakkh!” Ninda melempar centong itu dan membanting dirinya ke kursi dengan keras.

Yang lainnya terkejut.

“Kenapa, Nin?” tanya Novi panik.

Ninda berdesah cepat, membuka lebar matanya dan butir-butir keringat mulai membasahi keningnya.

Novi berdiri, melihat ke dalam kuali.

Dia celingukan sesaat, lalu dia kembali duduk dan memeluk Ninda.

“Ninda, ada apa sih? Elo kenapa? Nggak ada apapun di dalam sana, Nin.” Kata Novi sambil mengguncang pelan tubuh Ninda.

Ninda menekankan kedua telapak tangan di wajahnya.

“Ada apa? Apa yang kamu liat?” tanya bu Karsum panik.

Ninda menunjukkan wajahnya dan menggeleng. Meski begitu, napasnya terus memburu. Pandangannya jatuh ke tanah, bajunya basah oleh keringat.

“Gue ambilin ya, Nin?” tanya Novi.

Ninda tidak menjawab. Masih shock soal yang tadi.

Novi mengambilkan sop itu untuk Ninda. Menaruhnya di atas setangkup nasi yang sudah mendingin di atas piring.

Kuali itu bergeser, Riko yang mengambilnya ikut memeriksa ke dalam kuali. Dia mengaduk dengan teliti dan mencium aromanya. Saat tahu keadaan aman-aman saja, Riko justru mengambil porsi yang paling banyak.

Ninda melirik bingung ke Riko saat melihat Riko mengambil porsi yang sangat banyak. Riko tidak membalas tatapan Ninda. Sebenarnya, dia melakukan itu hanya untuk membuktikan pada Ninda bahwa semuanya baik-baik saja.

ªªª

            Yang lainnya mulai memakan makanan mereka, kecuali Ninda.

Stevi cukup merasa takut saat melihat hal itu, makanya dia makan sambil terus berpegangan tangan dengan pacarnya, Ricky.

Ninda memegang sendok dan mulai mengaduk nasi pelan-pelan.

Setelah kejadian tadi, Bu Karsum terlihat sedikit tidak enak. Hal itu juga terjadi pada Ninda. Dia merasa terlalu berlebihan, mungkin yang tadi hanya halusinasinya. Halusinasi yang terlalu nyata! Karena Ninda belum pernah berhalusinasi separah ini. Meski begitu, setelah tahu bahwa semuanya baik-baik saja, dia mulai berfikir untuk memakan makanan itu. Perutnya sudah nggak mampu lagi untuk menahan.

Ninda mengambil nasi dan potongan daging ayam ke atas sendoknya dan memasukkannya cepat ke dalam mulutnya. Dia mengunyahnya dengan terburu-buru dan langsung menelannya. Yang lain menonton dengan serius.

Saat terlihat tenggorokan Ninda bergerak menelan, Herman heboh. Dia bertepuk tangan dan tertawa, “what happen to you, sister?” dia berkata dengan gaya rapper, “gue bilang apa, masakannya lezatos bangetos!” dan sekarang, seolah orang Mexico.

Ninda tersenyum. Menertawakan dirinya yang sedang kacau itu.

Dan Ninda mulai makan seperti biasanya. Meski masih takut, Ninda tersenyum pada Novi dan mencoba mengatakan pada yang lainnya bahwa dia baik-baik saja.

ªªª

            Tiba-tiba, ada suara orang turun dari tangga. Si Tuan Besar terlihat turun dengan wajah lemas ketika yang lainnya telah menghabiskan semua makanan mereka.

Mereka menatap ke pak Freddy dengan penasaran.

“Apa masih ada yang tersisa?” tanyanya.

Bu Karsum berdiri dan menarik kursi kosong di sampingnya, “Silahkan duduk disini, Pak.” Ujarnya mempersilahkan.

Pak Freddy terlihat lemah. Dia menyeret kakinya untuk terus berjalan. Suara perutnya terdengar ke semua telinga.

Dia menjatuhkan pantat besarnya ke kursi itu. Dan dia mulai menarik napas dalam.

“Maaf.” Katanya, “mabuk udah menjadi salah satu kebiasaan burukku. Aku cuma mimpi dan nggak bersungguh-sungguh untuk menjadi korban busung lapar. Semua yang aku alami tadi hanya mimpi buruk. Nggak lebih.”

Bu Karsum membalik piring di atas meja dan mengisinya dengan nasi. Sejak tadi, dia telah menyiapkan satu bangku kosong dan piring untuk pak Freddy karena tidak satupun orang diantara mereka yang tidak akan merasa lapar di tengah hutan dan dalam keadaan seperti ini.

Pak Freddy mulai memakan nasi dan sayur sopnya.

Suara ketukan antara piring dan sendoknya membuat Stevi menutup telinga. Dan tanpa menyia-nyiakan waktu, pak Freddy makan seperti binatang kelaparan.

 

 

 

 

2nd Chapter

            Ninda kembali masuk ke dalam kamarnya.

Jam di tangannya menunjukkan pukul 11 malam.

Dia segera membuka sepatunya dan duduk di atas kasur. Melirik ke belakang dengan ekor matanya dan melihat ke lemari kamarnya. Diantara celah kecil yang terbuka, dia tidak melihat apapun disana.

Awalnya, dia memang merasa cukup was-was dengan lemari itu setelah kejadian tadi. Dia merasa ada sesuatu disana. Tapi… apapun itu, Ninda memutuskan untuk tidur dan melupakannya.

 

***

            Ninda berbaring di atas ranjang putih di dalam kamarnya. Dia tertidur menghadap ke tembok. Dan dia merasakan ada sesuatu yang bergesekan di bawah tempat tidurnya. Sesuatu yang bergerak ke atas dan kini sedang berdiri di belakangnya.

Napas Ninda mulai bunyi dan dia mulai tidak bisa melakukan apapun kecuali bernapas. Dia merasakan ada seseorang yang berdiri di belakangnya.

Ninda menghitung mundur dalam kepalanya.

Dan dia menguatkan dirinya untuk menoleh ke belakang.

Tiga… dua…

Ninda menoleh, “AAARRRGGGHH!!!” Ninda menjerit, menarik seprai di ranjangnya dan mulai histeris. Jeritannya berulang-ulang kali dan sangat menyayat. Dia mulai lemas dan hampir pingsan saat melihat anak kecil yang berdiri di depannya itu.

“Danau.” Anak kecil itu bicara.

Ninda mendorong-dorong seprai dengan kakinya hingga seprai itu lepas dan dia mulai kehilangan tenaga. Ninda menyandarkan kepalanya ke tembok dan napasnya mulai pelan, tapi masih berbunyi.

Anak kecil itu terlihat menakutkan.

Dia mungkin berusia sepuluh tahun. Dia seperti boneka rusak. Dia memakai gaun biru muda penuh renda-renda putih dan sebuah pita di atas kunciran kudanya. Ada sebuah bola besi besar yang diikatkan ke rantai besar yang membebani kaki kiri kecilnya.

“Danau.” Bisiknya lagi.

Ninda menggeleng, terus menjejalkan kakinya ke seprai yang meluruh ke lantai.

“Apa kamu tahu apa yang dia lakukan padaku?” tanyanya pelan, suara anak kecil itu terdengar seperti bisikan angin.

Ninda terus mendesah dan dia mulai memejamkan matanya dengan ketakutan yang tiada ampun.

 

ªªª

            Malam yang gelap dan dingin.

Anak kecil itu berlari terus, dengan bola besar yang terikat pada rantai yang mengunci kakinya. Meski bola itu menyakiti kaki kirinya, dia terus mencoba untuk menjauh, berjuang menuju ke danau. Menyibak ratusan ilalang tinggi yang terhampar dan menyangkut di gaunnya yang penuh renda.

Anak kecil itu… adalah anak kecil yang ada di kamar tidurnya.

Anak kecil itu berlari ketakutan sambil menangis dan meraung kesakitan. Dia berteriak ‘mama’ dengan memohon-mohon tapi dia terus berlari.

Ninda berdiri disana. Dengan pandangan kosong…

Terpaku bergitu saja saat anak kecil itu berlari dan melintas tepat di depan tempatnya berdiri.

Dia berdiri di tengah taman ilalang itu, dan matanya menatap ke depan, pikirannya kosong… hal ini seperti mimpi…

“Balik kesiniii!” suara itu mengejarnya.

Ninda menoleh ke kanan, ke arah bayangan hitam yang membawa pisau dapur berlumuran darah di tangannya. Orang itu terlihat seperti arang manusia yang berjalan. Dia gelap, tapi matanya yang bulat besar itu terlihat dan menyorotkan hawa membunuh, membuat Ninda tidak bisa bernapas.

Bayangan hitam yang terus berteriak itu lewat di depan matanya, sangat dekat dari tempatnya berdiri. Dan bayangan orang itu terus mengejar anak kecil tadi.

Anak kecil itu berjuang terus dan dia menoleh ke belakang.

Dia berteriak dengan sangat kencang saat bayangan pembunuh itu hampir mengejarnya.

Ninda kini melihat sesuatu yang mengerikan.

Dia melihat bayangan manusia itu menarik tubuh anak kecil itu dan melayangkan pisau dapur dengan ujung sangat runcing yang berkilat-kilat di bawah cahaya bulan. Darah merah pada pisau menetes ke rambut anak kecil itu. Dan pada tetes-tetes berikutnya, mengenai wajah si anak kecil.

Ninda kini memikirkan sesuatu yang mengerikan.

Anak itu menggeleng, menunduk dan berteriak sekuat-kuatnya dengan tangan di atas tangan bayangan itu. Berusaha melepas tarikan si pembunuh dari bajunya.

Mata itu kini menampakkan maut yang akan datang.

Pisau itu bergerak.

Ninda panik, “JANGGAAANNN!!!” dia berteriak.

Terlambat…

Pembunuh itu telah berhasil membuat anak itu tidak berteriak lagi. Untuk selamanya…

Ujung pisau itu tertanam pada leher kanannya. Mata anak kecil itu terbuka sangat lebar saat debar jantungnya berhenti. Airmata dan ingusnya masih menuruni wajahnya.

Di detik-detik terakhir napasnya, bibir anak itu seperti mengucapkan kata ‘tolong’ meski tidak ada suara apapun yang terdengar.

Pembunuh itu membiarkan tubuh anak kecil itu terjatuh saat nyawanya pergi. Pembunuh itu mengangkat pisaunya. Matanya, satu-satunya yang bisa dilihat Ninda, menggambarkan kepuasan dan kesenangan tiada tara. Dan dia mulai menyentuh darah pada pisau itu dengan telunjuknya, mengambilnya seujung jari dan menjilatnya.

Ninda mundur, dengan keringat yang mengucur.

Pembunuh itu lalu menarik gaun anak kecil itu dan menyeretnya menuju ke tengah danau. Danau yang terletak di belakang penginapan itu. Danau yang dapat terlihat dari jendela kamar Ninda.

Kemudian dia kembali keluar dari danau dan melintas di depan Ninda, begitu dekat jaraknya tapi tidak pernah bisa terlihat jelas siapa pembunuh itu.

Ninda berlari menuju ke danau dan melihat anak itu sudah menghilang dari sana, tenggelam ke dasar danau yang gelap dan dingin.

Ninda masuk ke danau, berlari dengan cepat hingga dia hanya melayangkan kakinya pada pasir-pasir di dasar danau. Dan dia mulai kehilangan keseimbangan, tubuhnya mulai kehilangan kendali di dalam air. Dia juga tidak menyadari kalau semakin ke tengah, danau tersebut semakin dalam, sehingga kakinya terjerembab di kedalaman dan tubuhnya tenggelam masuk ke dalam danau.

Wajah Ninda masuk ke dalam air, seluruh tubuhnya nyaris tenggelam. Dan saat wajahnya masuk ke dalam air, dia melihat wajah anak kecil itu.

Matanya melotot dan dia muncul keluar dari dalam gelapnya dasar air, tangannya mengepak, dia berenang menuju ke Ninda.

Ninda menggeleng panik. Kemudian menendangkan kakinya ke dalam air dan mengangkat kepalanya menuju ke permukaan secepat mungkin. Tangannya terus ia kepakkan, untuk membantu tubuhnya naik ke atas.

Wajahnya terus naik dan sebagian rambut pendeknya melambai-lambai menutupi wajahnya saat dia kembali melihat ke bawah untuk melihat anak kecil tadi.

Tapi… anak kecil itu hilang…

ªªª

            “Aakkh!”

Ninda terbangun dari tidurnya dengan kacau.

Dia membuka mata dengan napas memburu dan tatapan waspada.

Ninda menoleh ke pinggir ranjangnya dengan cepat dan untungnya, dia tidak melihat apapun. Dia merasa cukup lega setelah tahu kalau yang tadi dialaminya cuma mimpi.

Tapi… itu adalah mimpi yang tidak bisa disepelekan. Seperti pesan  kematian. Seperti masa lalu seseorang. Yang belum terungkap dan menunggu untuk ditemukan…

Ninda duduk di atas kasurnya dan melihat ke jendela yang terpat berada di depannya.

Napasnya tertahan dan kelopak matanya tersingkap saat melihat ada seseorang yang berjalan sendirian di luar sana. Dia melihat zombie berjalan dengan langkah tergopoh-gopoh.

Ninda memajukan tubuhnya mendekat ke jendela. Terus merangkak di atas ranjang dan akhirnya dia bisa melihat dengan jelas siapa yang berjalan sendirian di luar sana.

Ninda melihat jam tangannya.

Jam 2 malam.

Dan saat ini, Pak Freddy terlihat berjalan menuju ke kuburan di tepi danau.

Ninda turun dari kasur dan mengambil mantel yang digantungnya di balik pintu kemudian memakainya cepat dan membuka pintu. Dia berjalan menuju ke ruang perpustakaan yang gelap.

Dia mencoba membuka pintu depan, tapi dikunci. Ninda terus mengguncang gembok pada pintu hingga ada bunyi gaduh dari guncangannya, tapi tetap tidak bisa.

Ninda menepi, melihat ke sebuah jendela juga disana dan melihat Pak Freddy mengeruk-ngeruk tanah kuburan itu dengan tangannya.

Ninda kembali ke pintu dan dia mengamati gembok itu.

Sesuatu berkafan putih berdiri di belakang Ninda.

Ninda meraba-raba rambut di belakang kepalanya dan menarik sebuah jepit tipis yang ada disana. Kemudian mencoba meniru yang dilihatnya di tivi, membuka gembok dengan jepitan rambut.

Ninda menggeleng saat dia sudah mencoba memutar jepit itu berulang kali, namun masih tidak bisa terbuka.

Ninda berbalik.

Pocong itu menghilang.

Ninda berjalan cepat tapi tidak bersuara menuju ke lantai atas, ke kamar nomor satu. Dia membuka pintunya dan melihat hantu yang pernah dimimpikan pak Freddy dulu sedang berdiri.

Aneh, Ninda hanya terpaku. Meski napasnya terasa begitu cepat dan dia sedang panik, dia tidak berteriak. Bahkan tidak merasa aneh sama sekali meski wanita di depannya itu terhunus pedang di perutnya dan dia berdarah-darah.

Lalu dia menuju jendela kamar pak Freddy yang terbuka dan dia melihat ke dinding luar penginapan. Ada sebuah tangga-tangga kecil di sisi jendela kamar pak Freddy. Itu adalah anak-anak tangga yang dibuat di dinding, dan sepertinya itu sudah ada sejak dulu dan memang digunakan untuk memanjat.

Ninda memilih untuk melakukannya. Dia berdiri di jendela yang cukup besar dan tinggi itu dan dengan cepat meraih anak tangga pertama lalu terus memijakkan kakinya ke anak tangga yang lebih bawah. Lalu, dia melewati jendela kamar lain, kamar Herman.

Kamar Herman berada di bawah kamar pak Freddy.

Dan Ninda berhenti sebentar disana. Dia menjulurkan kepalanya lebih mendekat ke jendela dan napasnya terasa mulai memendek dan dia tidak mampu untuk bergerak, bahkan tidak bisa berkedip.

Jarak wajahnya dengan jendela, terlalu dekat. Tidak lebih dari 5 sentimeter. Dan mata Ninda yang terbelalak, berhadapan juga dengan mata bulat di dalam kamar Herman.

Mata Ninda dan mata misterius itu saling mengamati. Hanya saja, bola mata Ninda terus bergerak kacau, sedangkan bola mata di dalam kamar Herman menatap lurus ke depan dengan datar.

Dan orang itu memakai kafan. Tali mengikatnya di atas kepala dan sekitar pinggangnya. Tangannya terlipat di dadanya.

Ninda terpaku disana.

Pocong itu terus berdiri disana. Begitu pun Ninda.

Kemudian, bibir Ninda bergerak-gerak gemetar. Dia mencoba untuk terus memijakkan kakinya ke bawah. Saat kaki kanannya menginjak besi lain di bawahnya, Ninda buru-buru turun.

Dan tiba-tiba, Herman yang sedang tidur di dalam kamarnya terbangun.

Sambil berbaring, dia mengintip melalui sudut matanya.

“Heh Riko, ngapain lo disitu?” panggil Herman pada si pocong yang membelakanginya dengan suara serak, “siniii, tidur sini sama gue.” Herman mengelus bagian kasur yang masih kosong di dekatnya.

Herman lalu membalikkan badannya dan terpejam lagi menghadap ke tembok sambil menyeka liurnya sebentar.

Dan saat dia merasa Riko sudah berbaring di belakangnya, Herman berbalik dan memeluk pocong itu. Dalam keadaan terpejam, dia cengengesan sendirian. Kakinya memeluk seluruh tubuh si pocong seolah nggak mau melepasnya dan dia mulai membenamkan wajahnya ke pundak si pocong.

Lalu Herman kembali bermimpi. Dan darah mulai keluar dari lubang-lubang bisul di muka sang hantu. Menetes ke dalam mulut Herman yang terbuka.

 

ªªª

            Ninda berlari menuju ke belakang.

Dan saat sampai disana, dia melihat pak Freddy sudah lebih dalam menggali tanah kuburan itu. Dan dia melakukannya hanya dengan menggunakan jari-jari tangannya.

Ninda berlari dengan kalap hingga dia jatuh tersungkur di dekat kuburan itu, di depan pak Freddy.

Ninda mengangkat wajahnya dan melihat pak Freddy sedang terpejam. Tapi jari-jarinya terus menggali tanah itu.

“Pak?” panggil Ninda. Ninda memegangi kedua bahu pak Freddy dan mengguncangnya pelan saat dia berteriak-teriak memanggil nama pak Freddy.

“Pak? Bangun! Ayo bangun!” teriaknya lagi dan pak Freddy mulai berhenti melakukan segala aktivitasnya. Dia duduk dengan kepala terkulai ke kiri dan dengan bunyi dengkuran yang lebih kencang.

Kemudian, Pak Freddy berlutut di sisi makam.

Ninda tidak mau menggerakkan kepalanya. Kuburan itu ada tepat disampingnya dan ia tidak mau melihat ke kuburan itu.

Deg!

“Akh! Kh…” Ninda terkejut.

Tiba-tiba pak Freddy bangun dan langsung melotot. Dia tidak berkedip selama beberapa saat, seperti orang sedang kerasukan.

Ninda masih ketakutan.

Tiba-tiba raut wajah pak Freddy berubah. Dia seperti orang kebingungan. Sambil masih berlutut, lipatan lehernya semakin menebal karena dia tertunduk. Kemudian dia mengedip-ngedipkan matanya pelan seperti orang pusing.

“Bapak? Bapak kenapa?” tanya Ninda.

Pak Freddy menggeleng dan mulai meremas kepalanya sambil terlihat kesakitan, “tidur sambil jalan. Aku pikir aku sudah sembuh. Kenapa tiba-tiba penyakitku ini kambuh lagi?”

 

 

 

 

 

3rd Chapter

            Pagi datang.

Keadaan dan suasana di sana jadi berubah seratus depalan puluh derajat.

Langit cerah, burung-burung bernyanyi, mereka semua berjalan-jalan keluar penginapan dengan menggunakan mantel tebal karena udara di sana sangat dingin dan kadang, mereka bisa melihat asap kecil keluar dari napas mereka.

Ninda berdiri menghadap ke pohon cemara yang berdiri menjulang di depannya. Dia memutari pohon itu dengan mata yang bersinar cerah, seperti seorang anak kecil yang baru pertama kali melihatnya. Mulutnya sedikit terbuka dan dia terus berputar, menyentuh batang pohon itu dengan jemarinya. Kepalanya menghadap ke langit.

“Ninda?” Novi tersenyum melihat temannya itu. Kemudian dia berjalan pelan menghampiri, “elo lagi ngapain?”

Ninda tersenyum, masih berputar. “Ini surga.” Bisiknya pelan.

Kemudian dia berhenti berputar dan berdiri di samping Novi.

“Gue seneng banget ada disini, Nov.” dia tersenyum sangat lebar, “tempat ini bagus banget.”

Novi mengangguk dengan semangat.

Semuanya telah keluar dari penginapan. Mereka tertegun sesaat dan kehilangan kata-kata begitu keluar dari dalam gedung. Stevi yang keluar belakangan bersama Ricky juga nggak kalah ekspresif.

Begitu dia keluar dengan mantel bulu pinknya, dia menutup mulutnya yang terbuka dengan telapak tangannya. Kemudian dia tersenyum sangat lebar dan memeluk erat-erat lengan Ricky.

Resdy dan Pak Freddy sedang memancing di danau, danau yang dilihat Ninda kemarin malam itu terlihat sangat indah di pagi ini. Resdy dan Pak Freddy duduk bersama disana dengan pancingan bagus yang mereka sewa dari Pak Karsum. Mereka duduk di atas rumput yang basah oleh embun dan menunggu ikan hasil tangkapan mereka dengan tenang.

Pak Freddy terlihat berulang kali meneguk botol wiskinya. Dia meminumnya sedikit-sedikit dan langsung menyembunyikannya di dalam mantelnya setelah meminumnya karena Herman selalu menganggunya dan mengatakan akan mengambil benda itu.

“Kau tahu, dulu aku sering sekali memancing. Tapi bukan di tempat seperti ini. Aku sering memancing di laut, laut apa saja yang aku suka dan aku selalu berada di atas kapal pesiarku yang mahal dengan alat pancing berkualitas paling bagus.” Pak Freddy bercerita pada Resdy yang duduk di sisinya. Resdy terdiam, menunjukkan ekspresi tertarik padahal tidak sama sekali.

Dia hanya mengangguk setiap kali kalimat Pak Freddy masuk ke telinga kanannya lalu keluar dari telinganya yang lain.

Air danau itu berwarna biru, sangat biru hingga hampir tidak bisa terlihat apa yang ada di dalam sana.

Kayu pancing milik mereka berdua berdiri di tepi dan benang itu masuk ke air, tepat di tengah danau. Dan jauh di dalam dinginnya air, jauh di dalam gelapnya danau itu, kail Resdy menyentuh sesuatu.

Kain renda itu bergoyang, bersentuhan berulang kali dengan kail. Helaian demi helaian rambut disana terlihat melambai di dalam air, ikut bersentuhan dengan kail itu.

Tubuh tak bernyawa itu sedikit naik ke atas, lalu bergoyang pelan dan turun lagi ke dasar air yang gelap dan dingin. Semakin bersentuhan dengan kail itu.

“Dapet!” pekik Resdy saat merasa benang miliknya bergerak.

Pak Freddy menyipitkan matanya karena iri.

Resdy berdiri dan memegang pancingan di tangannya sekuat mungkin dan berusaha menariknya.

“Beraaatt…” dia mengeluh saat menarik kayu pancingannya.

“Wah, bro, pasti ikannya gede banget.” Herman datang mendekat dan menepuk bahu Resdy sambil meminum sekaleng coca cola.

Resdy merasa aneh dengan ikan yang memakan umpannya. Dia tidak merasa ditarik oleh ikan itu, dia hanya merasa kalau ikan itu sangat berat.

“Ikannya nggak berenang, tapi sumpah, berat banget!” keluhnya dengan wajah sangat serius.

Otot pada tubuhnya menegang, jidatnya berlipat dan wajahnya mulai panik.

“Ikan apa sih ini?” tanyanya.

Keadaan seketika sunyi, Ninda dan semuanya melihat ke Resdy yang semakin berusaha kuat untuk menarik ikan itu. Dia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menarik benang pancing itu. Wajah dan tangannya menjadi merah akibat berusaha teramat keras.

“Mustahil ada ikan besar di danau seperti ini.” Pak Freddy berdiri, “udah deh, menyerah aja daripada capek.”

Resdy nggak melakukannya. Dia semakin memundurkan kakinya dan menarik pancingan itu sekuat tenaga.

Yang lainnya melihat dengan serius hingga tidak ada suara kecilpun yang terdengar.

Ninda dan Novi berdiri di bawah pohon cemara, agak jauh di belakang Resdy. Mereka ikut melihat hal itu.

Ninda mengepalkan tangannya dengan kuat. Giginya mulai bergemelutuk dan dia bernapas sangat cepat melalui mulutnya hingga terlihat asap-asap putih tipis keluar dari sana. Mata coklatnya terbuka sangat besar dan dia mulai mengulang kembali mimpi semalam dalam ingatannya.

“Ber… hen… ti…” Ninda berbisik.

Gemelutuk giginya semakin terdengar kencang dan pandangan matanya semakin kosong.

Novi yang mendengar gemelutuk gigi Ninda menoleh, “Ninda? Elo kenapa, Nin?” tanya Novi.

Ninda semakin melebarkan bola matanya. Kepalan tangannya kini bergetar. Mukanya mulai memutih seperti membeku dan wajahnya semakin memucat, bibirnya mengering.

“Dapet!” teriak Resdy.

Dan mimpi itu menyerang Ninda…

“Cepet tarik!” teriak Herman.

Ninda melihat slow motion di dalam kepalanya. Dia melihat Resdy dibantu Herman berusaha menarik pancingan itu sementara mimpi buruknya semalam terus menyelinap masuk ke kejadian itu.

Herman tertawa…

Mimpi itu datang lagi sekejap… anak itu…

Resdy tersenyum saat kayu itu berhasil ditariknya…

Anak perempuan itu mati di danau itu…

“DAPAAATTT!!!” teriak Resdy.

Lama-kelamaan, sesuatu terlihat muncul di permukaan danau.

“TIDAAAAKKK!!!” Ninda menjerit histeris. Dia menutup matanya dan menaruh kedua telapak tangan di telinganya…

Jeritannya merobek keheningan yang ada.

“TIDAAAKKK!!!”

 

ªªª

            “Anak itu…” bisik Ninda.

Novi memeluk Ninda lebih kuat, “anak apa?” tanyanya, “ada apa sih, Nin?” tanya Novi.

Ninda melepas dekapan Novi.

“Mimpi itu, Nov…” kata Ninda. Dia berusaha mengingat mimpinya semalam tentang anak kecil yang mati di danau itu.

“Mimpi apa?” tanya Novi.

Ninda mendesah dan membuang wajahnya, “mimpi buruk itu.” Jawabnya dengan tubuh bergoyang maju-mundur dan tangan yang memeluk tubuhnya.

“Mimpi buruk apa?” tanya Novi.

Ninda menelan ludahnya, “anak kecil itu ada di danau itu, Novi. Dia ada disana.” Desahnya.

Novi memegang wajah Ninda dan menatap mata sahabatnya itu dalam-dalam. Ninda berusaha menutup mata untuk menghindari tatapan Novi tapi saat Novi memaksanya, akhirnya dia terpaksa untuk menatap mata Novi.

“Itu cuma mimpi, Ninda. Mimpi!” kata Novi.

Ninda mengangguk dengan tatapan kosong, “Iya. Tapi…” Ninda tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia begitu menganggap semuanya nyata.

Novi memundurkan tubuhnya. Dia melihat Ninda yang terus gemetaran dengan iba.

“Kamu mau gimana?” tanya Novi dengan mata penuh kesedihan, “apa kita pulang?” tanyanya.

Ninda menggeleng cepat.

“Maaf, tapi… rasanya aku harus disini. Harus.”

Novi tersenyum, mengangguk dan menyibakkan rambut yang menutupi wajah Ninda yang tertunduk. Ninda duduk di anak tangga dengan wajah yang dia benamkan diantara lipatan lengannya.

Novi berdiri meninggalkan Ninda.

Novi kembali ke luar, melihat Herman yang sedang mengotak-atik tivi kecil 14 inch. Tivi rusak itu adalah ikan yang berhasil ditangkap Resdy tadi. Kail Resdy masuk melalui lubang-lubang di atas tivi dan berhasil ditarik oleh Resdy.

Resdy yang hari itu memakai mantel cokelat berjalan mendeati Novi dengan langkah berat.

“Kenapa dia?” Resdy bertanya dengan wajah penuh kekhawatiran.

Novi menunduk, “dia mungkin sedikit pusing. Cuma itu aja kok.” Jawabnya sambil tersenyum. Resdy mengangguk dan ikut tersenyum, meski masih terlihat kecemasan di wajahnya.

Stevi datang dengan langkah-langkah lincah dan langsung menaruh tangan di atas pundak Resdy. Matanya melihat Novi dengan penasaran, “apa teman elo itu sakit jiwa?” tanyanya ringan diselingi setitik senyum jahil.

Novi mengangkat wajahnya dan terkejut dengan pertanyaan itu. Alisnya mengerut saat melihat Stevi.

“Dia aneh banget. Kemaren, teriak pas mau makan, sekarang teriak-teriak lagi. Apa namanya kalo bukan gila?” tantang Stevi.

Novi geram.

“Iya, tapi dia lebih waras daripada elo!” Novi menunjuk wajah Stevi. Novi marah dan segera pergi dari sana dengan langkah-langkah besar.

Resdy menurunkan tangan Stevi dari atas bahunya dan segera menyusul Novi dan sekali waktu, dia menoleh dan menunjukkan tatapan kesal pada Stevi. Cewek itu emang nggak pernah mikir dulu sebelum ngomong.

Stevi merasa kesal diperlakukan begitu. Ricky yang mendengar keributan dari jauh, segera menghampiri dan memeluk pacarnya dari belakang.

Stevi nggak bereaksi. Dia masih terus memandang ke Resdy yang menjauh dengan bibirnya yang menekuk.

“Udahlah, orang-orang aneh itu nggak usah dipikirin.” Bisik Ricky di telinga Stevi.

Ricky melepas pelukannya. Stevi berbalik, melihat Ricky yang tersenyum ke arahnya.

“Hoi!” tiba-tiba Herman memanggil, entah panggilan buat siapa.

Mereka semua menoleh ke Herman.

Cowok bertopi yang suka pakai kemeja kegedean itu terlihat membanting-banting tivi yang sudah ditumbuhi lumut.

Herman mendongak dengan sorot penuh tanda tanya ke arah Ricky dan Stevi.

“Nih tivi bisa nyala lagi nggak ya, man?” tanyanya smabil menggoyangkan tangan dan tubuh ala rapper.

Ricky menggeleng, “dia itu yang paling gak waras disini.” Katanya pada Stevi. Pacarnya itu cuma bisa mengangguk.

ªªª

            Sekarang sudah malam.

Mereka semua berkumpul di perpustakaan yang hangat. Ada perapian kuno dari batu bata yang sudah hitam di sana dan pak Karsum menyalakan api pada kayu bakar agar semuanya merasa hangat di malam yang dingin itu.

Ninda membaca sebuah buku disana. Begitupun Resdy dan Novi. Ricky terlihat iseng, dia berjalan mengitari rak-rak dengan mata yang terus menjelajahi buku demi buku di perpustakaan itu, lalu mengambilnya, membuka-buka halamannya dan menaruhnya kembali, begitu seterusnya.

Sementara Riko lebih senang mengamati piringan-piringan hitam kuno yang masih tersusun di laci. Tapi, sebagian besar keadaannya sudah rusak bahkan pecah sebagian. Dan dia terus mengamati gambar-gambar pada piringan hitam itu dengan tenang.

Sedangkan Stevi sedang berselonjor di sofa lapuk sambil mengikir kukunya. Herman juga duduk di sofa dan dia memilih untuk mendengarkan lagu dari discman dan berlagak menyanyikannya secara profesional tapi dengan lip sync. Tentu dengan gayanya yang nggak jelas dan gak karuan itu.

Pak Freddy sendirian di kamarnya. Dia bilang dia butuh meditasi sebentar untuk menenangkan dirinya. Tapi, saat Novi melintas secara tidak sengaja di depan kamar Pak Freddy, dia mendengar suara pak Freddy yang berkata, ‘sembilan ratus juta, sembilan ratus lima puluh juta. Ya Tuhan… kemana yang segepok lagi? Oh My God,  disitu rupanya! Nah, sekarang, satu milyar! Hahaha…’

Dan meski tahu begitu, Novi lebih memilih bungkam.

Dor!

Tiba-tiba terdengar letusan senapan yang menggema di hutan itu. Beberapa kali terdengar suara lompatan kera yang bergesekan dengan ranting pohon. Mereka saling berseru, seperti mengabarkan adanya ancaman.

Saking bingungnya melihat ekspresi aneh dari yang lainnya, Herman sampai buru-buru menarik tali headset dari lubang telinganya dan menebarkan pendengaran seluas mungkin.

Keheningan datang menyergap ke perpustakaan itu.

Mereka mendengarkan suara-suara kera dan tenggelam dalam kesunyian.

“Para pemburu.” Kata bu Karsum sambil tetap membersihkan buku-buku di tangannya, “Mereka sering kesini untuk berburu binatang.”

Resdy membenarkan letak kacamatanya, “nggak dilarang?”

“Nggak ada yang larang. Mereka berburu untuk kesenangan mereka.” kata Bu Karsum, “toh, mereka menganggap semua itu benar. Nggak mungkin kita bisa menghentikannya.”

Resdy menaikkan lagi kacamatanya.

Tiba-tiba suara letusan senapan itu semakin sering terdengar. Berulang-ulang kali dan terdengar semakin keras, ternyata orang itu sedang mendekat ke penginapan.

Kemudian, terdengar suara ketukan pintu.

Disela-sela ketukan pintu itu, terdengar suara letusan senapan yang berulang-ulang. Membuat semuanya tidak berani menanggapi ketukan itu. kemudian, pintu kayu itu berguncang. Seseorang yang menunggu di luar itu pasti sudah sangat marah.

“TOLOOONGG!!! BUKA PINTUNYAAA!!!” panggil suara itu.

Suara wanita.

Kemudian, pintu kembali diam dan letusan kembali menggema.

Ketukan dan guncangan datang lagi.

“BUKA PINTUNYAAA!!!” suaranya melengking.

Bu Karsum, dengan langkah ragu-ragu mendekat ke pintu. Dia memutar kunci yang diambil dari kantung bajunya.

BRRAAKK!!

Pintu terbanting membuka.

Terlihat seorang wanita bertanktop hitam, bercelana army dan bersepatu boot berdiri sambil menenteng senapan di tangannya. Dia mirip Lara Croft di Tomb Rider hanya saja kurang seksi dibanding Angelina Jolie.

Tiba-tiba, wanita itu jatuh dengan napas yang ngos-ngosan. Memegangi lengan kirinya yang mengeluarkan banyak darah. Dia berlutut di lantai dan matanya terbuka lebar menatap lantai, bibir bawahnya tergigit dan dia kelihatan amat sangat kesakitan.

Bu Karsum ikut duduk merendah, “Ya Tuhaaan… apa yang terjadi?” bu Karsum panik, “Ya Tuhaaan… kenapa bisa begini?”  bu Karsum menaruh telapak tangan di atas mulutnya dan sangat shock saat melihat darah yang sangat banyak mengalir dari balik tangan wanita itu.

Riko berjalan menuju pintu yang terbuka lalu menutupnya.

Ninda yang semula merasa takut kini maju ke depan sedikit demi sedikit. Dia lalu ikut berlutut di samping bu Karsum, menatap wanita itu dengan tatapan sedih, meski terbaca sedikit ketakutan untuk mendekatinya.

“Bolehkah…” Ninda ragu, “Hmm… boleh aku liat lukanya?” tanya Ninda pelan.

Deg!

Dengan cepat, wanita itu mengangkat wajahnya. Matanya menyorotkan ketakutan, ada air yang menggenangi kelopak bawah matanya. Tapi dia terlihat sangat kuat dan marah jika dipandang menyedihkan.

“Minggir.” Katanya samar-samar. Tapi Ninda yakin kalau wanita itu bersungguh-sungguh memintanya untuk minggir.

Ninda semakin takut tapi dia masih bertahan.

Wanita itu melihat ke semuanya yang berdiri dan melihat ke arahnya. Wanita itu memasang sikap dan tataapan waspada seperti binatang yang merasa terancam.

“Mungkin… aku bisa membantumu menghentikan darahnya dulu. Jangan khawatir, aku pernah mendapat nilai A saat praktek di kampus dulu.” Ninda tersenyum dan tangannya mulai menyentuh tangan wanita itu, “meski cuma sekali.” Sambungnya dengan tersenyum.

Mata wanita itu masih terlihat besar. Tapi dia tidak bereaksi saat Ninda menyentuh tangannya. Wanita itu masih kelihatan ketakutan. Matanya bukan seperti pemburu, melainkan binatang buruan. Dia selalu menoleh ke pintu dengan tiba-tiba lalu mengamatinya, seperti sedang dikejar sesuatu.

Ninda mencoba melepas tangan kanan wanita itu yang memegangi lengan kirinya yang terluka. Wanita itu menatap Ninda dengan waspada, dia tidak akan takut untuk menyerang seandainya merasa terancam dengan apa yang Ninda lakukan.

Sementara Ninda mencoba melihat lukanya, yang lain hanya berdiri melihat dengan keheningan.

Tangan wanita itu mengendur, dan dia membiarkan Ninda dan yang lainnya untuk melihat lukanya.

Mulut Ninda terbuka saking kagetnya. Stevi langsung bersembunyi di dalam dekapan Ricky, Herman tercengang dengan tatapan bloon.

“Ya Tuhan!” Ninda mengamati luka mengerikan itu.

Mata Ninda lalu menatap mata wanita itu, “kenapa bisa jadi begini?” tanyanya.

Wanita itu tidak menjawab. Matanya tidak bergerak dan tidak berkedip saat menatap Ninda. Dan dia masih belum mau mengatakan apa yang menyerangnya hingga membuat luka separah itu.

Luka itu seperti cakaran. Binatang? Mungkin benar. Cakarannya besar. Ada tiga garis panjang dan lebar dan banyak garis kecil di lengannya yang kekar itu. Tiga luka memanjang itu yang paling mengerikan. Dagingnya banyak yang tercabik. Darahnya tak bisa lagi ditoleran. Yang pasti luka itu sangat dalam dan akan sembuh dalam waktu yang cukup lama.

Shreekkk….

Riko merobek bajunya, tepat ditengah-tengah dan bersamaan dengan itu terdengar suara yang cukup membuat ngilu. Kaus tipis yang ada di tubuhnya kini robek jadi dua bagian dan dia memberikannya pada Ninda.

“Ini.” Kata Riko sambil mengulurkannya. Dia menatap Ninda dengan seulas senyum tulus.

Ninda tersenyum, “makasih.”

Ninda mulai mengikat lengan penuh luka itu dengan kaus Riko. Wanita itu tetap diam seribu bahasa dan hanya terpejam menahan sakit saat Ninda mulai mengencangkan ikatannya agar bisa sekuat mungkin untuk menahan aliran darahnya.

“Fiuuh…” Ninda menghembuskan napas lega. Dia mengelap keringat yang bermunculan di keningnya, “udah baikan kan?” Ninda tersenyum pada wanita itu.

Wanita itu masih waspada meski terlihat kalau dia tidak sehisteris tadi karena lukanya.

“Nanti kita coba obati pakai tanaman obat di sekitar sini. Jangan khawatir, nanti pasti sembuh kok.” Ninda tersenyum.

Wanita itu masih menatap Ninda dengan waspada. Terlihat bahu wanita itu bergerak semakin pelan. Dia mulai tenang.

“Kenapa sih dia bisa terluka begitu?” Stevi bersuara, “apa disekitar sini ada binatang buas? Apa ada harimau di hutan ini?” tanyanya.

Bu Karsum berdiri, membenarkan kacamatanya, “Yaa…” dia bergumam dengan suaranya yang bergetar, “itu… itu mungkin saja terjadi.”

Semuanya menatap bu Karsum dengan bertanya-tanya. Bu Karsum tidak bisa menggantung ucapannya seperti itu karena yang lainnya menuntut penjelasan.

“Dulu, memang banyak terdapat harimau, anjing hutan dan serigala. Tapi… seperti keadaan sekarang ini, saya rasa jumlahnya sudah sangat sedikit karena perburuan.”

“Apa mungkin ini binatang?” Ninda bertanya pelan, seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Herman melompat dan duduk di atas sandaran sofa, “What do you mean, sister?”  tanya Herman yang ikut-ikutan serius.

“Lukanya rapi, seperti sayatan pisau. Kalau binatang, harusnya lebih random.” Dia menganalisa seperti pakar, “tapi… dari dalamnya luka, hanya orang sadis yang mampu melukainya hingga seperti ini. Yaa… entahlah, kita cuma bisa tahu dari orangnya sendiri.” Ninda melirik wanita itu. Wanita itu sadar kalau cepat atau lambat, dia akan bercerita tentang apa yang telah menimpanya.

Ninda berdiri, “lukamu harus selalu bersih supaya cepat sembuh. Dengan senang hati aku akan membantu kalo kamu butuh bantuan.” Kata Ninda. Wanita itu kini nampak tenang. Dia terlihat letih dan tekanan yang dihadapinya perlahan memudar.

“Masih ada satu kamar kosong. Kamu boleh menempati kamar nomor delapan itu.” kata bu Karsum.

Wanita itu akhirnya memberikan sebuah senyum simpul yang tersembunyi, “Iya.. terima kasih…”

 

ªªª

            Malam semakin larut.

Wanita itu kini sedang beristirahat di dalam kamarnya. Letaknya bersebelahan dengan kamar Ninda.

Yang lainnya bersiap untuk makan. Mereka telah berkumpul mengelilingi meja makan.

Pak Freddy terlihat setengah sadar. Dia baru saja mabuk berat sore tadi. Dia masih agak linglung malam itu. Suara cegukan terdengar beberapa kali dari mulutnya. Matanya sangat sayu, wajahnya merah dan mulutnya bau alkohol.

“Jadi… apa menu kita malam ini?” Stevi datang dengan keriangan saat tahu kalau ini saatnya makan malam. Dia turun memakai gaun tidur warna pink dan sendal kucing miliknya.

“Daging.” Jawab bu Karsum.

“Asiiik… daging lagi.” Stevi bersukacita.

Kemudian Ricky turun dari atas dan duduk di samping pacarnya.

Saat duduk, Ricky mencium bibir Stevi sekejap kemudian mereka berdua tersenyum pada yang lainnya.

Herman memandang Stevi dan Ricky dengan aneh.

“Lo berdua ini sebenernya pacaran atau udah suami-istri sih?” tanyanya bingung, “come on guys, tell me about it.

Ninda dan Novi ikut mendengarkan. Ricky terlihat bergumam, bersiap untuk bicara.

“Kita… kawin lari.”

Herman menegak, melepas headset nya. “What?” tanyanya.

“Kenapa kawin lari?” tanya Resdy.

Stevi menaruh kepalanya di bahu Ricky, dia terlihat cemberut, mungkin dia sedih mengingat alasannya untuk kabur dari rumah.

“Biasalah…. cuma masalah restu.” Jawab Ricky.

Stevi merengek, memukuli lengan Ricky dengan genitnya. Yang lainnya mengerutkan alis melihat kelakukan Stevi yang kayak anak balita.

“Udah ya, Stevi nggak suka masalah itu diungkit-ungkit.” Ricky menyerah pada Stevi. Setelah mendengar itu, Stevi tersenyum pada pacarnya dan Ricky mengelus-ngelus kepala Stevi.

“Bapak sendiri?” tanya Ricky tiba-tiba. Pak Freddy menaikkan satu alisnya dengan tatapan menajam.

“Kenapa bapak datang ke tempat ini?”

Pak Freddy terdiam. Kumisnya yang tebal bergerak-gerak.

“Aku ini orang kaya. Tapi… itu dulu.” Ucapannya terhenti. Dia melihat sekeliling. Semuanya nampak sangat ingin dia meneruskan kalimatnya. Pak Freddy mulai menarik napas panjang, “aku terperangkap lintah darat. Aku dulu senang berjudi. Lima rumahku dan empat apartemenku sudah habis dijadikan jaminan. Tabunganku juga sudah habis untuk kujadikan taruhan judi. Akhirnya aku kabur kesini untuk menyelamatkan sisa-sisa uangku. Aku akan dibunuh seandainya mereka menemukanku, makanya aku kesini sebentar dan mungkin beberapa hari lagi aku akan pergi. Aku ingin kabur ke luar negeri dan bersenang-senang lagi kayak dulu. Dasar lintah darat! Keparat!”

Semuanya terdiam.

Pak Freddy terlihat masih kesal karena mengingat kembali hal itu.

Ninda menundukkan kepalanya.

“Kenapa kita nggak saling bertukar cerita tentang alasan kita semua datang ke tempat ini?” tanya Ninda.

Riko menoleh dengan tatapan dingin, “Untuk apa?”

“Untuk lebih mengenal satu sama lainnya. Rasanya aneh kalau kita semua bertemu dan berkumpul dalam satu meja tanpa tahu apapun mengenai satu sama lain.” Sahut Ninda.

Semuanya diam. Ninda mengamati wajah mereka satu persatu. Kebanyakan dari mereka sepertinya sedang menimbang-nimbang usulan Ninda.

“Jadi, bagaimana?”

“Oke. Rasanya gue dan Stevi juga pak Freddy udah ngasih tahu alasan kita dateng kemari. Saatnya elo berlima yang cerita.”

“Gue, Ninda dan Novi datang kesini bareng-bareng. Kita nggak punya motif yang terlalu ‘wow’ kayak kalian. Kita cuma liburan selepas sidang skripsi. Novi pernah kesini sebelumnya dan kita tertarik saat mendengar ceritanya. Kita datang kesini hanya untuk berlibur, jauh dari kota.”

“Riko?”

“Gini, gue dan Herman datang kesini hanya karena kita tidak punya tempat tinggal. Itu alasannya.”

“Kita nggak pernah punya tujuan hidup. Jalani hidup secara acak-acakan dan selalu menunggu kejutan yang akan terjadi dalam hidup ini. Menurutku hidup ini percuma. Aku percaya takdir itu ada dan aku yakin kalau sesuatu sudah ada jalannya. Untuk apa memikirkan yang lain jika kita sudah punya hal untuk dirasakan? Takdir yang menghidupkanmu dan yang akan membunuhmu kapan saja. Dan aku rasa aku berada di sini hanya karena takdir. Aku tak peduli apa pendapat kalian karena aku juga berfikir itu sudah takdir.”

Yang lainnya hanya terdiam.

 

***

 

Kemudian bu Karsum datang dengan daging yang dicampur sambal. Daging itu dipotong dadu dengan rapi kemudian diaduk jadi satu dengan sambal.

Terlihat menggoda bagi yang lain. Tapi tidak untuk Ninda.

“kapan ibu beli daging?” tanya Ninda tiba-tiba.

Herman nggak mendengar pertanyaan Ninda. Dia terus mengambil sendokan yang banyak dari daging itu.

Aneh memang. Bu Karsum tidak pernah terlihat keluar dari penginapan. Tidak pernah terlihat membawa daging. Tidak pernah bilang akan belanja.

“Oh… itu kan bapak yang beli. Soalnya pasar jauh. Ibu malas ke pasar. Jadi… bapak yang pergi. Kalian tidak melihat bapak seharian ini kan? Kalau mau ke pasar, harus berangkat dari subuh, lalu naik mobil dua kali. Belum lagi kalau mobilnya lagi jarang, pasti nyampe pasar udah tengah hari. Ya, kemudian balik lagi kesini dan sampai setelah matahari tenggelam. Emangnya ada apa, Nin?” tanya bu Karsum.

Ninda menggeleng, “enggak ada apa-apa.” Jawabnya.

“Mana pak Karsum?” tanya Novi.

Bu Karsum mendongak, melihat Novi. “Dia sedang ada di belakang, sebentar lagi dia akan kesini.”

Tiba-tiba seseorang datang. Wanita misterius itu datang menuju ke meja makan. Lukanya cukup membaik. Pendarahannya berhenti tapi tetap saja tangan kirinya itu belum bisa digunakan.

Yang lainnya menatap ke satu titik, wanita itu.

Keheningan menyergap beberapa detik.

“Sini. Kita makan sama-sama.” Ninda berkata sambil tersenyum.

Wanita itu tersenyum. Senyum pertamanya yang benar-benar ia tunjukkan. Ia lalu berjalan ke dekat jendela. Duduk di dekat Pak Freddy.

“Siapa kau?” tanya pak Freddy.

Wanita itu melihat sekeliling sebentar lalu di pandangan terakhirnya, dia melihat Ninda yang tersenyum padanya.

“Nama saya Kina.” Jawabnya tegas. Tanpa senyum.

Kemudian Pak Karsum datang. Segera duduk bersama Bu Karsum dan mulai tersenyum.

“Mari kita makan. Tapi sebelumnya, kita berdoa dulu. Berdoa dimulai.”

 

***

 

Acara makan malam selesai setengah jam kemudian. Semuanya terdiam tanpa bersuara di meja makan itu. sepertinya mereka menunggu seseorang untuk membuka suara.

Kina. Mereka semua menunggu Kina menceritakan apa yang telah terjadi pada dirinya. Mengapa dirinya berada di tengah hutan malam-malam begini seorang diri dan menampakkan dirinya di penginapan dengan luka yang sangat serius.

“Sebenarnya,” Kina berbicara.

Yang lain mulai tidak sabar menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulut Kina.

“Ada pembunuh di luar sana.”

Semuanya saling menoleh satu sama lain. Mereka tidak percaya begitu saja dengan kalimat yang mengagetkan itu.

“Dia… temanku.” Lanjut Kina dengan tatapan rendah. Dia terlihat trauma saat ingin membicarakan kejadian itu, “aku dan dia bersahabat. Namanya Joker. Kita berdua dari Jakarta. Aku mengenalnya sudah sangat lama. Kami suka memburu. Pergi ke hutan manapun yang sangat menantang bagi kami dan dua hari yang lalu kami datang ke hutan ini. Awalnya semuanya berjalan baik tapi lama kelamaan dia semakin aneh. Dia berusaha membunuhku beberapa kali tapi selalu tidak berhasil. Lalu tadi… dia… dia memburuku seperti binatang. Berulang kali dia berusaha menembakku. Aku terus berlari… berlari… hingga aku merasa menjadi seekor binatang…,” terdengar nada ketakutan yang terlempar dari kalimatnya. Semuanya mendengarkan dengan tenang, mereka bisa merasakan semuanya secara nyata.

“Lalu aku mengumpat di balik pohon, di semak-semak. Tapi dia selalu menemukanku. Dia terus mengarahkan senapan ke arahku. Aku pasrah, tapi nggak ada satu pun peluru yang melukaiku. Aku berlari lagi dengan sisa-sisa tenagaku. Kemudian aku bersembunyi di balik semak-semak lagi. Tiba-tiba seekor harimau muncul di belakangku, menerjangku ke rumput yang berlumpur. Aku berusaha lepas dari tindihan hewan itu. Harimau itu tidak begitu besar. Tapi aku merasa sangat lemah hingga berpikir akan mati. Tapi aku berhasil melawan dan di detik-detik aku ingin melarikan diri, dia mencakarku. Aku bahkan tidak merasakan rasa sakitnya karena aku terus berlari. Lalu aku melihat penginapan ini dan menyadari tanganku yang berdarah.” Dia berhenti bercerita. Melihatnya bercerita sangat sulit digambarkan. Semua emosinya saat bercerita begitu teratur, dia begitu kuat hingga bisa menyembunyikan perasaannya. Mendengar ceritanya saja sudah cukup membuat yang lain terdiam dalam ketegangan. Pasti akan menakutkan jika kita harus mengalami hal seperti itu sendirian.

“Apa itu cukup?” tanya Kina.

Semuanya kembali saling melirik. Mereka semua sangat merasa bersalah telah membuat Kina mengungkapkan cerita mengerikan yang dia alami.

“Maaf. Kita semua nggak bermaksud untuk ikut campur.” Ninda berkata pada Kina. Yang lainnya mengangguk.

“Nggak apa-apa.” jawab Kina, “sebaiknya kita menunggu disini. Aku bisa merasakan dia masih di luar sana. Sedang mengintai dan menunggu untuk membunuh kita satu persatu.”

 

***

            “Gue nggak bisa ngebayanginnya, Nin. Sumpah, serem banget.”

Ninda menganggukkan perkataan Novi.

“Iya. Gue sendiri takut untuk memikirkannya lagi.” Ninda berbicara sambil melipat-lipat pakaian yang ia keluarkan dari dalam tasnya, “tapi… kenapa Kina bilang kalau Joker mau ngebunuh kita semua? Apa hubungannya kita semua sama dia? Apa dia tahu ada berapa orang disini?” Ninda bertanya dengan curiga.

Novi terdiam. Dia sama sekali nggak memikirkan itu. Yang dibilang Ninda barusan memang benar.

“Iya juga ya. Kenapa dia bilang begitu? Tapi… seandainya si Joker itu emang udah jadi psikopat beneran, kayaknya itu nggak aneh deh Nin. Semua orang bisa dia bunuh. Temennya aja dia mau bunuh, apalagi kita Nin.” Kata Novi.

Ninda menaikkan satu alisnya, “Iya juga ya?”

Kemudian, terdengar suara ribut-ribut di koridor. Teriakan saling sahut menyahut mengalihkan perhatian Ninda dan Novi.

“Mana dia? Apa dia masih belum ketemu?” teriak Herman.

“Belum! Kemana sih dia?” teriak Ricky.

Ninda dan Novi yang ingin tahu lalu keluar dari kamar. Terlihat Herman yang menaiki tangga dengan cepat sementara Ricky yang melongok ke dalam dapur dengan tampang bingung.

“Ada apa?” tanya Ninda.

Ricky menoleh, “nggak ada.” Jawabnya.

Ninda dan Novi menatap tajam. Ricky menggaruk kepalanya, “hmm… bapak-bapak itu ilang.”

“Pak Freddy?” tanya Ninda.

Ninda menunjukkan ekspresi keterkejutan yang amat sangat tapi dibalik semua itu, dia ingin mengatakan sesuatu.

“Kenapa, Nin?” tanya Novi.

“Dia… kumat lagi.”

 

***

            “Jadi, kira-kira dia kemana? Apa dia kembali mengeruk tanah kuburan?” tanya bu Karsum.

“Jadi, siapa yang udah tahu tentang semua ini?”

“Cuma gue, Bu Karsum dan Pak Karsum.”

“Kenapa lo nggak ngasih tahu kita?”

“Apa itu penting?”

“Kalau keadaannya kayak gini, apa nggak penting?”

“Maaf.”, kata Ninda, “gue hanya mengira… semuanya akan baik-baik saja. Dia juga meminta gue untuk menutupi masalah itu.”

“Udah berapa dia pergi?”

“Satu jam. Mungkin.”

“Orang yang mengalami tidur sambil jalan itu mungkin sudah menempuh beratus-ratus meter ke dalam hutan.”

“Apa yang kita harus lakukan sekarang?”

Tok tok tok

Mereka bersiap di balik pintu.

Satu… dua…

Dan mereka melihat pak Freddy sedang membawa seekor ular piton kecil di lehernya.

 

 

 

 

 

 

4th Chapter

            “Apa yang mungkin dilakukannya?”

“Membunuh. Hanya itu.”

“Apa dia masih diluar sana?”

“Dia masih di sana! DI LUAR SANA”

“Dan dia ingin membunuh kita! KITA SEMUA!”

“Tenang… Tenang Kina…”

“Apa yang membuatnya…”, Ninda terdiam, “ingin membunuh kita semua? Apa hubungan kita dengan dia?” tanyanya.

Kina terdiam dengan matanya yang membesar.

“Kenapa elo nanya begitu?” Kina berdiri dengan tangan menarik rambutnya. Dia kelihatan akan meledak-ledak, “elo tahu orang gila kan? Dia itu GILA! Dia bisa bunuh semuanya termasuk KITA! Kita yang ada disini!”

Yang lainnya hanya terdiam. Mereka mulai keringatan.

“Apa nggak ada yang bisa kita lakukan?” tanya Ricky.

Semuanya saling melirik.

“Patroli?”

“Kita sebaiknya keluar malam ini untuk melihat keadaan. Bagaimana?”

“Setuju.”

“Yeah, not bad idea.”

“Setuju.”

Semuanya menatap Ninda.

“Kenapa?” tanya Ninda.

“Ayolah, Ninda. Cewek nggak diharapkan untuk ikut-ikutan.”

“Tapi gue rasa gue juga berhak ikut campur. Ini menyangkut keselamatan gue juga kan?”

Ninda menoleh ke Novi di sebelahnya.

“Aku ikut.”

“Jadi… di sini cuma tinggal Stevi, bu Karsum, pak Karsum, Kina dan Pak Freddy ya?”

“Apa?” Kina berdiri dengan marah, “apa maksudnya gue tinggal?”

“Tangan dan kaki elo nggak bisa dipakai. Percuma kan?”

Kina masih berdiri dengan matanya yang merah.

“Ayolah Kina, biarin kita bantu elo. Untuk kali ini aja, gue minta elo tetap disini. Gue bicara begini bukan sebagai dokter, tetapi sebagai sahabat elo.”

 

***

            “Untuk apa?” tanya bu Karsum.

“Kita semua cuma berkeliling kok.”

“Iya… tapi untuk apa? Diluar sana bahaya kalau malam-malam begini. Saya nggak bisa nanggung akibatnya kalau kalian masih tetap nekad.”

“Kita semua akan baik-baik saja, Bu.”

“Tapi…”

“Ini hanya untuk memastikan keadaan aman-aman aja.”

“Ya wes. Tapi ingat, jangan masuk terlalu jauh ke hutan. Jika kalian masuk ke dalamnya, mungkin kalian tidak bisa kembali.”

***

 

“Kalian mau kemana?” pak Freddy turun dengan memakai piyama merah kesukaannya.

“Hei! Saya bicara pada kalian yang disana!”

“Kita… kita semua mau ke hutan.”

“Oh, untuk apa?”

“Untuk memeriksa keadaan.”

“Ya, boleh-boleh aja. Tapi jangan minta saya untuk ikut.”

“Tenang, kami tidak akan melakukan itu.”

Pak Freddy mendekat ke mereka.

“Pak.” Panggil Resdy, “bisakan bapak mengunci pintu dan jendela tiap kali bapak tidur?”

“Ya. Aku berencana melakukan itu. Ada apa, hah? Kau pikir aku mau pulang dengan membawa ular lagi?”

Pak Freddy membenarkan cincin kesayangannya.

“Pak!”

Pak Karsum menoleh dengan muka seramnya.

“Tolong pasang papan di jendela kamar saya. Pastiin saya nggak bisa kabur lewat jendela lagi.”

***

            “Jadi… kita bagi jadi tiga kelompok.” Kata Resdy, “Gue sama Ninda, Riko sama Herman dan Ricky sama Novi.”

“Gak.” Ucap Ninda tiba-tiba, “kayaknya… gue lebih enakan sama Novi aja.”

Yang lain nampak ragu.

“Ehmm… kita bisa jaga diri kok. Tenang aja.”

Resdy nampak menangguk kecil, “oke, tapi… lebih baik kalian nggak terlalu masuk terlalu jauh ke dalam hutan. Nggak lebih dari radius lima ratus meter.”

Ninda dan Novi tersenyum mengangguk.

Tiba-tiba Riko dan Ricky mengeluarkan sesuatu dari kantong celana mereka.

Mereka mengeluarkan pistol. Riko membawa dua dan memberikan yang satunya pada Herman. Herman menatap nggak percaya saat dia dikasih pistol segede pistol mainan.

“Wait, wait!” kata Resdy, “kenapa kalian bawa itu?”

“Elo datang ke hutan beginian tanpa bawa senjata? Harusnya elo tuh udah punya persiapan kayak gini. Emangnya lo pikir apa yang ada di tempat beginian?”

Kina keluar dari kamarnya. Langsung melempar sebuah pistol ke arah Resdy dan Ninda.

“Gue seorang pemburu. Gue cuma punya dua pistol tapi cadangan pelurunya masih banyak.”

“Wow,” Resdy tersenyum lebar, “keren.”

Yang lain langsung menyadari kalau ini adalah kali pertamanya Resdy memegang benda itu.

“Maaf.” Ninda terlihat bingung, “gue rasa gue nggak perlu ini. Gue nggak bisa menggunakannya.”

Kina berjalan mendekat. Mengangkat tangan Ninda. Menaruh tangan Ninda dalam posisi yang benar lalu menekan kendali.

“Akh!” Stevi melompat ke pelukan Ricky saat peluru itu melesat ke langit-langit.

“Mudah kan?” Kina menyeringai pada Ninda.

Ninda masih shock dengan yang baru saja terjadi.

“Oke kalo gitu, misi kita jalankan. Sekarang!”

 

***

            “Nona mau apa? Mau saya buatkan teh?”

“Nggak kok. Makasih.”

“Fiiuuh… sepi banget.”

“Ya, betul.”

“Mana bapak gendut itu?”

“Dia sudah tidur. Tadi bapak udah memaku papan pada jendela. Sekarang dia nggak mungkin lagi tidur sambil jalan keluar hutan.”

Tiba-tiba bu Karsum berjalan menuju dapur.

“Ibu mau kemana?”

“Saya harus nyari kayu bakar untuk masak besok. Tempatnya ada di belakang sana, dekat. Nona mau ikut? Daripada bengong disini.”

“Nggak ah. Lebih baik saya mandi.”

***

            “Ini namanya titik awal.” Resdy berkata begitu sambil menandai pohon besar di belakangnya dengan pisau. Memberikan tiga garis pada pohon sebagai tanda.

“Kita mencari semampu kita. Mencari petunjuk. Apapun, api unggun, suara mobil, suara tembakan. Apapun yang menjadi tanda-tanda dari keberadaan Joker. Kita akan mengambil tiga arah yang berbeda. Berikan tiga kali tembakan berturut-turut jika ada keadaan darurat.”

Yang lainnya diam. Mereka mengerti.

“Ingat, cari hanya dalam radius lima ratus meter. Hati-hati dengan lumpur hisap dan lintah. Ini hutan, kalian harus memiliki lebih dari tiga nyawa.”

 

***

            Stevi berendam di bak mandi. Sama dengan bak mandi yang digunakan pak Freddy waktu itu. Dia berendam di sana sambil memejamkan matanya.

Lalu Ninda merasa ada hawa kedatangan yang mendekat. Sedang mengawasinya dari balik tirai. Ninda membuka matanya, melihat ke tirai putih yang ada di depannya. Tirai putih itu sebagai penutup jika seseorang mandi dengan shower. Ada bayangan benda di sana. Sesuatu yang berdiri.

“Ricky?” panggil Ninda.

Tidak ada yang berubah. Kemudian Ninda memundurkan kembali punggungnya.

Ninda kembali menarik napas dalam, memejamkan matanya dan berusaha untuk tenang. Dia mencoba membenamkan tubuhnya lagi meski hatinya terus membisikkan yang bukan-bukan.

Kemudian dia berdiri, keluar dari bak mandi dan mengikatkan badannya yang masih basah dengan handuk untuk mengintip siapa yang berada di balik tirai putih itu.

Stevi pelan-pelan menyentuh kain tirainya. Memegangnya sedikit untuk membukanya. Tiba-tiba jantungnya berdetak cepat saat memegangnya.

“Ricky?” panggil Stevi.

Blassh…

Dia membuka tirainya. Tidak ada apapun disana.

Napas Stevi panjang pendek. Dia melepas kain tirai itu dan menengok ke bak mandinya.

Air di dalamnya berwarna susu karena Stevi mencampurkan air di dalamnya dengan lulur. Stevi mendekat tapi dia hanya mengamati airnya yang nampak bergoyang.

Tiba-tiba muncul gelembung-gelembung kecil dari bawah permukaan air. Jumlahnya hanya sedikit dan menghilang setelah muncul sebentar.

Kemudian gelembung itu muncul lagi. Dengan warna darah. Terus bertambah hingga bak itu seperti panci besar berisi rebusan darah.

Stevi mengeritingkan alisnya. Masih berdiri di tempatnya dengan wajah penasaran.

Jreeenggg!!!

Tiba-tiba ada anak kecil yang bangkit dari dalam bak mandi itu. Duduk dengan menatap ke depan.

Stevi kehilangan napasnya sesaat.

Lalu anak perempuan itu menoleh ke arahnya dan ternyata separuh wajahnya yang lain hanyalah tengkorak.

“Aaaarrggghhh!!!!”

 

***

            “Nggak ada apapun.” Kata Resdy. Dia lalu menoleh ke belakang, melihat Ricky yang sedang berusaha memotong akar-akar rambat dengan golok. Ricky akhirnya berdiri di belakang Resdy dengan bertolak pinggang sambil terus berdesah karena letih.

Resdy menyenteri jalan di depannya. Hanya ada semak tinggi dan beberapa kubangan air disana. Mereka berdua saling bertatapan di antara gelapnya malam itu.

“Kita udah terlalu jauh.” Kata Resdy, “kita kembali ke penginapan. Pasti yang lainnya juga udah kesana.”

Masih dengan keletihan, Ricky mengangguk.

 

***

            “Aaaarrrggghhh!!!” Stevi menjerit terus. Dia berlari keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk dan dia terus berlari sepanjang koridor yang sepi menuju ke kamarnya.

“Aaaarrrggghhh!!!”

Dia berlari dan masuk ke dalam kamarnya lalu bersembunyi di balik pintu. Sambil terus ketakutan, dia mendorong kasurnya untuk menghalangi pintu agar pintunya tidak bisa terbuka.

Stevi merapatkan punggungnya ke tembok. Dia terus menerus ketakutan dan melihat ke pintu, berharap hantu itu tidak akan mengejarnya.

Tiba-tiba lampu mati.

“Aaaarrrrgghhh!!” Stevi menurunkan penggungnya dan berlutut di pojok kamarnya. Dia memeluk erat-erat kedua lututnya dan menyembunyikan kepalanya.

Lalu… ada suara ketukan di jendela kamarnya.

Stevi mengangkat wajah, melirik ke jendela kamarnya. Suara ketukan itu terdengar tidak mau berhenti.

Stevi berdiri, dengan kakinya yang gemetar. Dia mendekat ke jendela. Tidak ada yang bisa terlihat dari sana karena di luar juga sangat gelap. Maka Stevi mulai membuka jendela kamarnya. Dia melihat ke semua arah yang ada.

“Rickkyyy!!” teriaknya. Tapi tetap tidak ada sahutan.

Kondisi Stevi saat ini adalah yang terburuk sepanjang sejarah hidupnya.

Dia terus menempel di jendela dengan giginya yang bergemelutuk karena kedinginan. Dia berpegangan pada kayu jendela hanya dengan handuk yang melingkar di tubuhnya. Rambutnya masih dipenuhi busa sampo yang cukup banyak. Dan dalam ketakutannya, dia menangis tanpa suara.

 

***

            Di hutan sana, yang lainnya masih berusaha kembali lagi ke penginapan. Termasuk Ninda dan Novi. Mereka berdua, meski belum terlalu masuk ke dalam hutan, memutuskan untuk kembali ke penginapan karena keadaan semakin menakutkan buat keduanya.

Mereka berhenti di tengah padang ilalang. Dan satu-satunya yang mereka sadari adalah, ada sebuah kuburan tua yang terselip diantara ribuan ilalang tinggi itu. Berada satu meter di samping mereka.

“Ninda…”

“Iya, gak usah nyebut itu. Gue udah tahu kok. Udaah… jangan liat kesitu terus.”

Tiba-tiba mereka melihat Resdy.

“Resdy?” tanya Ninda.

Cowok yang berdiri membelakangi itu menoleh dan tersenyum melihat Ninda yang datang bersama Novi.

“Elo ngapain kesini?” tanya Ninda, “rombongan elo kemana sekarang? Ada petunjuk nggak?”

Resdy berbalik. Lalu berjalan memimpin.

Meski merasa aneh, Ninda dan Novi mengekor di belakangnya dan terus berjalan mengikuti.

 

***

            Sudah banyak yang berkumpul di titik awal. Malam semakin gelap, dingin dan semakin tidak aman. Berulang kali ada suara binatang yang terdengar dan mereka menduga bahwa suara itu pasti suara harimau. Terlebih karena hewan kecil yang paling menganggu mereka, nyamuk. Sejak tadi Herman terus-menerus menepukkan tangannya untuk mendapatkan nyamuk itu.

“Udah ngumpul semua?” tanya Resdy.

Senter yang mereka pegang terus diputarkan ke sgelaa arah, menyinari wajah yang lainnya yang telah berkumpul lagi. Resdy mulai menyinari wajah teman-temannya satu persatu dan menghitung pelan-pelan. Mereka harus segera kembali ke penginapan dalam jumlah yang lengkap.

“Ada yang kurang.” Kata Riko. Semuanya melihat ke arah Riko, “Ninda dan Novi belum dateng.” Katanya.

***

            “Resdy.” Panggil Novi.

Resdy nggak bereaksi. Terus saja berjalan dengan cepat. Dia berjalan menembus ranting-ranting pohon berduri di hutan itu. Tidak peduli seberapa tajamnya duri yang itu.

Ninda dan Novi terseok-seok di belakang. Sambil mencoba tidak berpisah dengan Resdy, mereka terus menyingkirkan ranting-ranting berduri yang menghalangi jalan mereka.

***

            Stevi masih menangis.

Tiba-tiba ada seutas tambang yang turun ke lehernya. Stevi tercekik. Dia berusaha melepaskan jeratan tambang itu dari lehernya. Ia berjuang sekuat tenaga untuk menarik tali itu dari lehernya lebih keras daripada yang ia duga.

Datang satu pedang yang terlihat dari luar jendela. Kemudian ujungnya ditekankan ke belakang kepala Stevi.  Stevi terdiam saat darahnya mulai menetes menuruni kayu jendela.

“Dasar lintah darat! Keparat! Aku nggak akan sudi memberikan uangku padamu.” bisik suara itu.

Mata Stevi terbelalak.

Dan saat tangan si pembunuh menarik rambut Stevi, tubuh tak bernyawa itu terjungkal jatuh dari jendela dan ia terus terseret. Dengan matanya yang masih ketakutan dan mulutnya yang terus terbuka, pedang itu telah muncul dari kulit keningnya.

Stevi meninggal…

Darah dari kepalanya menggenangi bola matanya. Mulutnya terus terbuka. Suara bola-bola kecil pada gelang kakinya terdengar sebagai bunyi satu-satunya dalam keheningan.

Jasadnya diseret terus menuju ke dalam hutan yang gelap. Berulang kali tubuhnya terbanting di atas batu besar dan terus diseret saat menyebrangi sungai kecil penuh lintah. Dan saat keluar dari sungai, mayat Stevi ditempeli lintah-lintah dalam keadaan tanpa sehelai benang pun di tubuhnya.

Dan si pembunuh meninggalkan mayat Stevi di depan seekor ular piton yang sangat besar.

Lolongan anjing hutan yang bergema di tengah hutan terus terdengar menyayat. Seperti menyanyikan hymne kematian bagi semuanya. Semuanya yang masih bernyawa…

Dan ular piton itu mulai menyantap makan malamnya.

 

***

            “Suara apa itu, Nin?” tanya Novi takut.

“Anjing hutan. Tapi… aneh. Baru kali ini gue denger suara lolongan anjing hutan setelah beberapa hari menginap disini.”

“Bukan cuma itu yang aneh.” Novi berbisik, “Resdy membawa kita muter-muter dan kita… kembali lagi ke kuburan ini. Untuk yang kelima kalinya.”

Ninda dan Novi kembali tertuju ke depan tapi Resdy sudah tidak lagi terlihat.

“Resdy?” panggil Ninda. Tapi Resdy sudah tidak terlihat, dia berjalan terlalu cepat di depan.

Ninda berlari. Novi ikut berlari.

“RESDY!! RESDYOO!!” teriak Ninda.

Mereka berlari menyibak ilalang dan sedetik kemudian, langkah mereka terhenti.

“Aaaarrrrgggghhhh!!!” Ninda dan Novi menjerit. Mereka terus berlari ke belakang.

 

***

            “Trus gimana?” tanya Ricky, “apa mereka berdua tersesat?” sambungnya lagi.

“Dapet! Hahaha…” pekik Herman. Semuanya yang lagi panik dan tegang menoleh ke Herman. Wajahnya bersinar saat membuka telapak tangannya, “Mampus lo, mampus! Akhirnya kena juga kan? Ini nih, nyamuk yang dari tadi nyiumin gue.” Herman menunjukkan nyamuk itu pada Ricky. Ricky tidak mau melihat hal itu lama-lama. Dia tahu kalau Herman itu emang idiot.

“Kita tunggu mereka disini.” Sahut Riko.

“Tapi man,  kita udah nunggu disini hampir setengah jam kan?” Herman mengeluh, “Come on Man, I can’t wait anymore.”

Riko berdiri dengan mukanya yang teguh kemudian dia melempar rokok di tangannya, “balik sendiri. Gue akan terus menunggu disini meskipun sampai pagi.”

Resdy menatap Riko dalam dan mengepalkan tangannya.

 

***

“Novi, tunggu, Nov!” teriak Ninda.

Novi terus berlari jauh ke depan. Kini bukan lagi ilalang yang menganggu jalan mereka. Mereka berlari di atas rumput penuh lumpur. Novi ketakutan setengah mati melihat pocong itu.

Dia terus berlari, Ninda tertinggal di belakang.

“Noviiii!!!” jerit Ninda.

Novi sudah tidak terlihat di depan sana.

“NINDAAA!!!” Novi menjerit.

Dengan napas hampir putus, Ninda berhenti berlari.

“NINDAAA!!! JANGAN KE SINIII!!!”

Ninda tidak merisaukan perintah Novi. Dia terus berlari ke depan, menyusuri jejak Novi.

“Novi?” Ninda terbelalak.

“Pergi Niin…” Novi menangis, “ini lumpur hisap. Aku nggak mungkin bisa hidup. Aku akan matii…” Novi semakin panik.

“Novi, tunggu disini oke?” Ninda menyuruh Novi tenang. Novi semakin histeris, dia terus bergerak dan meronta sambil menangis meraung-raung.

“Tolong aku Niiin…” isaknya penuh rasa putus asa.

“Novi! Dengerin aku, Nov. jangan bergerak. Kamu bisa keluar dari sana. Aku akan cari kayu dan aku akan menarikmu keluar dari sana. Tenang Novi, tenang…”

Ninda berbalik, masuk lagi ke dalam. Dia hampir tidak bisa menemukan apapun karena gelap. Ninda berlari tanpa arah dan dia terjatuh hingga lututnya berdarah cukup banyak. Dan dia berlari terus ke dalam. Akhrinya dia melihat akar rambat yang panjang dan tebal. Ninda menarik ujung pisau yang berada di belakang punggungnya.

Ninda terus memotong dan memotong. Akhirnya dia berhasil melakukannya. Dia berlari sambil menyeret akar panjang itu menuju ke Novi.

“Novi!” panggil Ninda.

Novi mengangkat wajahnya. Dia terlihat menyerah.

Ninda mundur beberapa langkah dan dia memegang erat akar itu lalu melemparkannya sekuat tenaga.

Lemparan pertama, masih jauh dari jangkauan Novi.

“Kurang jauh, Nin…” keluh Novi.

Ninda maju, mendorong akar itu supaya dia semakin dekat dengan Novi.

“Ambil Nov!”

Novi mengulurkan tangannya ke depan. Dia berusaha meregangkan semua tulangnya agar sampai ke akar itu. Telunjuknya nyaris menyentuhnya.

“Novi!”

Novi menutup matanya, berusaha sekuat tenaga untuk meraih ujung akar itu.

Berhasil. Tangan kanannya berhasil memegangnya. Disusul tangan kirinya, dan dia berhasil memegangnya.

Ninda berusaha menariknya. Dia terus mundur sambil menarik akar itu. kakinya benar-benar ia tanamankan ke tanah. Novi mulai bergerak. Pelan-pelan, dia mulai bergerak maju.

Ninda menekan kakinya ke tanah sekeras mungkin. Tangannya memegang erat akar itu dan punggungnya mulai mundur.

Berulang kali Ninda terjatuh saat menariknya. Rasanya tangannya terbakar dan terasa sakit. Ninda menahan semua rasa sakit itu, lama kelamaan ia merasa tangannya mati rasa. Tapi dia masih terus menarik dan Novi semakin dekat ke pinggir.

Saat hampir sampai ke pinggir, Novi mengangkat tangannya. Ninda terjatuh karena tarikan terakhirnya. Dia ingin berdiri tapi tidak bisa, kakinya kram dan tangannya terasa terbakar. Perlahan-lahan, dengan sisa tenaganya, Ninda merangkak.

Novi terus menangis tanpa suara. Dia berusaha mengurangi rasa takutnya.

Ninda terus merangkak dan dia kembali tergeletak jatuh. Seluruh tubuhnya terasa mati rasa. Tangannya ia ulurkan ke depan. Novi masih di dalam lumpur, sedikit lagi dia tiba di pinggir tapi kini ia telah tenggelam setinggi dadanya dan dia semakin kelelahan dan nyaris menyerah.

Ninda maju sedikit lagi. Novi mengulurkan tangannya, Ninda juga. Akhirnya wajah Ninda sedikit masuk ke daam lumpur. Dagunya tercelup ke dalam lumpur dan dia masih tengkurap. Dia memegang tangan Novi erat dan berusaha menariknya.

Ninda berusaha memundurkan tubuhnya pelan-pelan. Novi akhirnya bisa menyentuh tanah dan dia lalu merangkak keluar dari dalam lumpur.

Mereka berdua terbaring di atas tanah dalam keadaan berantakan. Mereka berusaha mengatur napas mereka agar kembali normal.

 

***

            Ninda berjalan bersama Novi. Novi hampir pingsan. Dia begitu lemah hingga Ninda harus berjuang memapahnya meski dirinya sendiri tidak kalah lemah.

Kepala Novi terkulai ke bawah, kakinya menapak satu demi satu dan tubuhnya terkulai. Ninda berjuang sekuat tenaga membawa Novi kembali ke titik awal.

Tubuh mereka berdua kotor, terutama Novi. Lumpur coklat yang telah mengering menempel di sekujur kulit, pakaian dan wajah mereka. Rambut mereka berantakan kemana-mana.

“Ninda?!”

Ninda mengangkat wajahnya. Dia menutup dan membuang mukanya saat sebuah cahaya datang menyilaukan. Terdengar langkah kaki berlari ke arahnya.

“Ninda?!”

Ninda melihat Riko berdiri di depannya melalui celah matanya yang sedikit terbuka.

Tiba-tiba Ninda jatuh berlutut. Novi yang sedang dipapahnya ikut jatuh. Ninda berlutut dengan bahu yang naik-turun. Dia begitu kelelahan.

Seseorang membuka jaketnya dan menyelimuti tubuh Ninda. Ninda masih memejamkan matanya, berusaha untuk terus bernapas.

Malam itu udara sangat dingin hingga udara yang dihembuskan Ninda bisa terlihat seperti asap putih yang tebal. Di tengah dingin itu, seseorang yang tubuhnya sangat hangat memeluk Ninda dengan erat.

Ninda membuka matanya, melihat Resdy yang berdiri menatapnya dengan kosong. Ninda kembali terpejam.

Pelukan itu lepas. Ninda membuka matanya dan melihat Riko berjongkok dan menawarkan punggungnya. Dengan tenaganya yang lemah, Ninda naik ke atas punggung Riko.

Dan dia tertidur…

 

***

            Ninda dan Novi tertidur pulas dalam gendongan. Riko menggendong Ninda pada punggungnya sedangkan Resdy menggendong Novi.

Mereka kembali ke penginapan.

Begitu masuk, mereka langsung membaringkan Ninda dan Novi di sofa perpustakaan.

Bu Karsum datang dengan wajah panik luar biasa. Suara hentakan sendalnya berteriak keras.

“Apa?” matanya ketakutan, “apa yang telah terjadi?”

Resdy dan yang lainnya langsung saling melirik.

“Novi masuk ke lumpur hisap dan Ninda berusaha menolongnya.” Sahut Riko tiba-tiba.

Bu Karsum marah, “kalian dengar kan apa yang sudah saya bilang?! Jangan ke hutan sana malam-malam begini! Kalian ini nekad. Kalau sampai ada sesuatu buruk yang terjadi bagaimana?!” dia berteriak.

Tidak ada satu suara pun yang terdengar.

 

***

            Riko membaringkan Ninda di kasurnya. Perlahan tangannya menyentuh rambut Ninda dan merapikannya.

Pintu terbuka. Bu Karsum masuk dengan lap-lap bersih di tangannya sedangkan pak Karsum berdiri dibelakangnya membawa baskom besar berisi air.

“Sudah sana.” Kata bu Karsum, “keluar kamu. Saya akan membersihkan badannya.”

Riko melihat Ninda yang tertidur sebentar lalu tanpa melihat wajah bu Karsum, dia berdiri dan keluar dari kamar.

Riko  berdiri di koridor. Dia melihat Ricky yang turun dari tangga terburu-buru dengan wajah yang panik.

“Elo lihat Stevi?” tanyanya.

Riko melipat jidatnya dan menggeleng.

“Udah nyari ke semua tempat?” tanya Riko.

Ricky menggeleng. Dia lalu berlari menuju ke dapur.

Riko hanya terpaku dan dia memikirkan sesuatu.

 

***

            Riko masuk ke dalam kamar Stevi. Dia tidak melihat keanehan di dalamnya. Semua benda tersusun rapi, seperti biasanya. Seseorang telah membenarkan posisi kasurnya. Dia telah menghilangkan semua petunjuk dan membelokkan kenyataan.

Riko berkeliling kamar yang terang itu. lalu dia mendekat ke jendela dan melihat ke luar. Hamparan rumput diluar nampak kosong dan gelap.

Riko menunduk dan melihat sesuatu di kayu jendela. Terdapat lingkaran-lingkaran kecil. Tetesan air yang telah mengering.

Dan Riko mencurigainya.

 

***

            Riko keluar dari kamar Stevi dan dia menghentikan langkahnya di depan pintu kamar pak Freddy. Dia sangat mencurigai laki-laki itu.

Riko berusaha membuka pintunya. Tapi dia tidka melakukannya. Dia ingat dengan kata-kata pak Freddy semalam yang mengatakan bahwa dirinya akan mengunci pintu kamar dan meminta pak Karsum untuk memasang papan di jendelanya agar dia tidak kabur.

Riko memutar gagang pintu. Dia mengeritingkan alis saat dia sadar kalau pintunya ternyata tidak dikunci.

Pintu itu terdengar berdecit saat dibuka. Dan Riko terdiam dalam keterkejutannya.

Dia melihat pak Freddy berjalan bolak-balik mengelilingi kamarnya dengan keadaan tertidur. Berulang kali dia terlihat menabrak benda-benda di depannya. Lebih buruk dari itu, ternyata papan-papan yang sudah dipaku itu telah terlepas dari jendela dan jendela itu dalam keadaan terbuka.

Riko masuk ke dalam. Dia melihat pak Freddy. Laki-laki itu tertidur dan mendengkur. Dia terus berjalan memutari kamarnya yang sempit.

***

            “Stevi? Stevi?!” Ricky terus memanggil.

Bu Karsum keluar dari kamar Ninda.

“Kamu!” teriaknya marah, “kenapa berisik sekali?”

Ricky mendatangi bu Karsum dengan butir-butir keringat membasahi wajahnya.

“Stevi mana?” tanyanya.

“Dia mandi.” Jawab bu Karsum.

“Kamar mandi kosong.” Jawab Ricky.

“Kalau begitu, dia di kamarnya.”

“Nggak ada.”

“Kalau begitu, tunggulah disini. Setelah lima belas menit dia tidak kembali lagi, kita semua akan mencarinya.”

Ricky menelan ludah, untuk saat ini hanya itu yang bisa dilakukannya.

 

***

            “Siapa saja yang ada disini?”

“Apa maksudnya?”

“Siapa yang tinggal disini bareng Stevi?”

“Bu Karsum, Pak Karsum, Pak Freddy dan Kina.”

“Ibu.”

“Ya?”

“Apa yang ibu tahu?”

“Yang ibu tahu hanyalah, ibu berbicara dengannya sebentar lalu dia berkata kalau dia ingin mandi. Kemudian ibu ke belakang mencari kayu bakar selama hampir satu jam.”

“Pak Karsum?”

“Kalau kamu berpikir pelakunya ada diantara kami, kamu tidak boleh seenaknya menuduh bapak. Dia memang disini, tapi sejak tadi dia bersama ibu. Kami berdua mengambil kayu bakar.”

“Pak Freddy?”

“Ah?”

“Hmmm…. Aku tidur.”

“Kenapa jendela anda bisa kembali terbuka?”

“Mana aku tahu!”

“Dia pembunuhnya! Dia pembunuhnya! Dia tidur sambil jalan dan membunuh Stevi! Dia! Dia pembunuhnya!”

“Tenang… Ric…”

“Apa-apaan sih lo?!” tantangnya, “lo pikir gue masih bisa tenang?!”

Ricky terdorong dan kembali duduk. Matanya melotot pada Herman. Kemudian, dia mendirikan dua jari tengahnya pada Herman.

“F**k you, mad!”

Tiba-tiba, terdengar suara pintu dibanting.

Kina berdiri di depan pintu. Tanktop hitamnya terlihat melorot. Ada darah di atas dadanya, dan di kedua tangannya. Banyak lumpur-lumpur basah di tangannya, karena banyaknya keringat di tubuhnya, membuatnya mengkilat. Terlihat gerakan rusuknya yang kembang kempis dengan cepat. Rambut panjangnya yang diikat terlihat acak-acakan. Tatapan matanya sangat penuh dengan kemisteriusan. Dia menatap ke semuanya tanpa berkedip sedikitpun.

Dia lalu menyingkir ke samping.

Terlihat sesuatu yang tergeletak di luar pintu. Gelapnya malam mengaburkan benda apa itu.

Ricky, dengan bola matanya yang nyaris copot, maju beberapa langkah ke depan.

Tiba-tiba matanya basah, dia menggelengkan kepalanya dengan cepat lalu dia berteriak hingga urat hijau di lehernya menyembul.

“TIDAAAAKKK!!!!”

 

***

            “Enggak Stevi… nggak…”

Ricky masih belum bisa menerima kenyataan. Dia berlutut di dekat jasad Stevi.

Ya, yang dibawa Kina itu adalah mayat Stevi, tergeletak di dalam perut ular yang terbelah. Stevi, yang telanjang, diselimuti lendir-lendir dan dihiasi organ dalam ular itu. Matanya masih terbuka, seperti ekspresi ketakutan. Mulutnya masih terbuka sedikit.

Lendir-lendir di bagian kepalanya berwarna merah karena tercampur darah.

Ricky melihat Kina, matanya membesar.

“Apa yang elo perbuat sama dia?” tanyanya. Tiba-tiba airmata Ricky menetes, “APA?!”

Kina tidak menjawabnya. Tatapannya menuju arah lain. Rusuknya masih baik turun seperti tadi. Terlihat jelas ada garis-garis darah di wajahnya. Perban putih yang mengikat lengannya mulai merah. Sepertinya lukanya kembali terbuka karena terlalu banyak bergerak.

“Heh?! Ayo jawab! Elo kan yang bunuh dia? Iya kan? Elo kan yang udah bunuh pacar gue?”

Kina  menoleh ke Ricky. Mata mereka berdua beradu. Urat pada masing-masing wajah saling muncul ke permukaan. Baik Kina dan Ricky sama-sama tidak suka diperlakukan seperti itu.

“Aku menemukannya.” Kina akhirnya bersuara. Matanya tidak melepaskan mata Ricky.

“AKU MENEMUKANNYA!”

Kina mundur beberapa langkah.

“Aku masuk ke hutan lalu melihat seekor ular piton sedang menelan paha pacarmu bulat-bulat. Aku menembaknya dan dia terus meronta saat darahnya mulai mengucur. Akhirnya dia mati setelah aku menembaknya tujuh kali. Lalu aku merobek perutnya dan aku melihat dia! AKU YANG MELIHATNYA! Dia sudah mati!” Kina berteriak tepat di depan wajah Ricky.

Mereka kembali bertatapan.

Ricky maju dengan cepat. Kina semakin melebarkan matanya saat melihat telunjuk Ricky melayang tepat di depan bola matanya.

“PEMBUNUH!” pekiknya.

Kina melotot, “elo lihat tanda di kakinya itu?” Kina menunjuk ke arah mayat Stevi.

Ricky melihat ada sebuah tanda di kakinya. Seperti sayatan pisau. Benar, itu adalah sayatan pisau yang membentuk huruf ‘J’.

Ricky menoleh lagi ke Kina, seolah meminta jawaban.

“Itu adalah simbol dari Joker.”

 

****

            “Tolong kalian hargai saya.” Bu Karsum melihat ke semuanya yang duduk melingkari meja.

Ricky terlihat mengelap darah di bawah hidungnya. Sementara Kina nampak tidak peduli dengan warna ungu di ujung bibirnya.

“Ini semua adalah hal terburuk yang pernah saya alami selama ini.” Bu Karsum menghembuskan napas panjang, “mari kita selesaikan masalah ini.”

Kina tampak tenang.

“Kenapa elo keluar?” tanya Resdy pada Kina. Kina menoleh cepat dengan matanya yang membulat, “bukannya kita udah bikin perjanjian bahwa elo harus tetap disini?”

Kina menunduk.

“Aku nggak bisa diam begitu aja.” Bisiknya pelan, “aku hanya keluar untuk membantu berpatroli. Aku sedang berjalan lalu melihat ular besar itu menelan paha manusia. Aku juga sangat terkejut saat melihat ada tanda itu di betisnya. Itu tanda Joker. Dia selalu menaruh tanda itu di setiap tubuh hewan buruannya. Aku menembak ular itu dan membelah perutnya. Aku sangat kaget saat tahu itu adalah…. Stevi.”

Ricky nampak tidak bisa menahan kesedihannya. Dia terus menggoyangkan kakinya ke lantai dan mencoba menahan airmatanya agar tidak turun.

“Itu membuktikan Joker ada disana. Kemungkinan besar dialah yang membunuh Stevi.”

 

 

 

 

5th Chapter

            Ninda membuka matanya. Hangatnya cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela menyentuh wajahnya. Ninda masih setengah sadar.

Pelan-pelan dia duduk dan memegangi kepalanya yang berdenyut. Dia nampak aneh melihat kasurnya yang bersih. Secangkir teh dan semangkuk kecil bubur yang masih panas berada di dekat lampu di meja kecil disampingnya.

Ninda sadar kalau tadi malam dia baru saja mengalami hal yang mengerikan dan kini dia telah kembali ke kamarnya dalam keadaan hidup.

Ninda berjalan keluar kamarnya dengan langkah yang goyah. Dia menyeret kakinya agar bisa terus berjalan. Dia berjalan seperti orang mabuk.

Ninda menaiki tangga dan menuju ke kamar Novi. Begitu dia membuka pintunya, dia melihat Novi masih tertidur. Ninda tersenyum, dia masuk ke dalam dan melihat temannya itu tertidur dengan wajah tenang.

Ninda keluar dari kamar Novi. Ninda menuruni anak tangga. Langkahnya berhenti di anak tangga ke enam saat dia melihat Resdy, Ricky, Herman dan Riko masuk bersama-sama ke perpustakaan.

Mereka bertiga melihat ke arah Ninda dengan tatapan kaget. Hanya Ricky yang tertunduk.

“Ninda?” Resdy berlari ke arah Ninda.

Dia menaiki anak tangga dan langsung memeluk Ninda.

“Ninda?” Resdy mengamati Ninda dengan senyum tiada henti.

“Aku minta maaf soal kejadian tadi malam.” Kata Ninda pelan. Lalu dia menebar pandangan dan melihat Ricky mulai menangis.

“Ada apa?” tanyanya bingung.

Resdy menoleh ke arah Ricky. Menyadari apa yang dipertanyakan Ninda, Resdy kemudian memegang bahu Ninda.  Ninda mengeritingkan alis dan bola matanya mulai menyorotkan tanda tanya saat melihat mata Resdy yang serius.

“Ninda, ada sesuatu yang buruk telah terjadi.”

 

***

            Ninda nampak terkejut. Dia menaruh lengan di atas lututnya lalu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Lalu dia melepas tangannya.

Dia menatap lurus ke depan dengan kekosongan.

“Lalu, apa Joker sudah ditemukan?” tanya Ninda pelan.

Resdy menggeleng.

“Apa masih ada yang mau kamu ceritakan?”

Resdy menggeleng.

Ninda berdiri, tangannya terkepal kuat, “akan kuungkap misteri ini. Sampai kapanpun.”

 

***

            Ninda dan Novi berdiri bersebelahan. Mereka berdiri di depan kuburan Stevi. Makam Stevi terletak di dekat danau, di bawah pohon beringin besar itu.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Nin?” desah Novi, “kenapa jadi begini?”

Ninda membisu. Rambut mereka diterpa angin lembut. Ninda memejamkan matanya dalam keheningan selama beberapa detik lalu membukanya lagi.

“Ini takdir.” Jawabnya singkat.

Novi menoleh, menatap Ninda yang berdiri di dekatnya seolah bertanya apa yang sedang dibicarakannya.

“Menurutku, ini takdir. Aku percaya ada sesuatu dibalik semua ini yang menunggu untuk ditemukan. Kita sudah memulainya, kita terlibat di dalamnya dan kita harus bisa menyelesaikan semua permainan ini. Harus.”

 

***

            Ninda dan Novi berjalan menaiki tangga. Mereka baru saja kembali dari makam Stevi.

Ninda merasa aneh. Dia merasa ada seseorang yang melihat ke arahnya. Langkahnya terhenti di anak tangga ke tiga. Kemudian dia menoleh, melihat seorang anak kecil bergaun biru di ujung tangga.

Ninda memperhatikannya. Pikirannya kosong.

“Ninda?”

Ninda terkejut, “Ah, ya?”

“Ayo.” Novi memegang tangan Ninda dan menuntunnya naik ke atas. Ninda menoleh lagi ke belakang dan anak kecil itu sudah hilang.

Ninda kembali fokus pada Novi.

Mereka masuk ke dalam kamar Novi. Ninda masih berpikiran tentang anak misterius tadi.

“Ada apa sih, Nin?” tanya Novi, “kok ngelamun?”

Ninda hanya menggeleng sambil tersenyum aneh, “gak kok. Gak ada apa-apa.” Sambungnya.

Kemudian Ninda berdiri.

“Nov, aku ke kamar mandi dulu ya. Pengen pipis.”

Novi mengangguk dan tersenyum.

Ninda keluar dari kamar Novi dan berjalan menuju ke kamar mandi. Saat dia ingin memutar gagang pintu kamar mandi, dia melihat gadis kecil itu lagi.

Gadis kecil itu berdiri menghadap Ninda dengan wajahnya yang pucat. Tangan kirinya terangkat dan dia menunjuk pintu kamar Ricky.

Ninda memutar gagang pintu dan masuk ke dalam kamar mandi. Dia bersandar di balik pintu dengan mata terpejam. Berusaha mengatur kembali napasnya.

Kemudian dia berjalan menuju ke wastafel. Dia mengamati wajahnya di cermin lalu membuka keran. Dia mengambil sedikit air lalu membasuh wajahnya.

Ninda tidak jadi pipis. Dia lalu keluar dari kamar mandi dan melihat ke pintu kamar Ricky. Ninda berjalan pelan-pelan ke depan pintu. Lalu berdiri di depannya.

Dia nggak tahu apa ada Ricky di dalam sana. Ninda hanya berdiri, tanpa tahu apa yang akan atau harus dia lakukan.

Tiba-tiba dia merasakan kakinya basah.

Ninda menunduk. Melihat sungai darah mulai mengalir keluar dari bawah pintu kamar Ricky.

Ninda mundur. Jejak kakinya yang berwarna merah menyeplak di lantai kayu itu.

Ninda menelan ludahnya. Dia merasa jantungnya akan meletus. Perlahan-lahan dia berjalan ke depan pintu dan memegang gagangnya. Ninda memutarnya dan membukanya.

“AAAARRRRGGGGGHHHH!!!”

 

***

            “Apa yang dipikirkannya?” tanya Ninda.

“Sehidup semati. Seperti yang diucapkannya dulu.”

“Aku melihatnya mati.” Ninda menangis, matanya sangat sayu, “aku melihatnya terbaring di lantai dengan pisau di atas dadanya. Aku melihatnya menangis. Dia bergerak-gerak seperti ikan kehabisan udara. Dia mati di depanku, Nov! Dia…”

Novi memeluk Ninda yang histeris.

“Ninda… sabar… dia merasa sangat kehilangan Stevi. Kita harus ngerelain dia. Dia udah meninggal… apa yang bisa kita lakukan sekarang, Nin?”

 

***

Ninda mencari-cari Riko. Dan saat hendak membuka pintu depan, dia melihat Riko sedang menelpon seseorang. Riko terlihat sedang marah. Dia terus menerus menelpon sambil berteriak.

“Halo? HAH? SUARA ELO NGGAK KEDENGERAN! Oke, sekarang gue cuma mau ngasih tahu kalo gue udah bawa barangnya. Datang ke sini! SECEPATNYA!” teriaknya keras lalu mematikan handphone.

Ninda menyingkir dari jendela.

Deg!

Tiba-tiba Riko masuk dan langsung memergoki dirinya dan melihat Ninda begitu dalam. Ninda sampai merasa sesak hingga tidak bisa lagi menelan ludahnya.

“Maaf aku marah-marah,” Riko berkata begitu datar, “apa kamu nyari aku?”

Dengan gugup, Ninda mengangguk.

“Iya, yang lain ingin bicara di meja makan.”

Riko berjalan meninggalkan Ninda. Ninda menghembuskan napasnya sekuat mungkin. Dia masih merasakan jantungnya berdebar begitu cepat.

“Waktunya pengumpulan petunjuk.” Kata Kina.

Riko merogoh kantungnya.

“Aku menemukan banyak benda.” Ucapnya.

“Peluru, robekan kain, bekas botol minuman dan bungkus mie. Semua ini aku temukan dalam satu jalur. Masih baru.”

Ninda mengamati semuanya.

“Dimana kamu temukan ini?”

“Di arah timur. Kira-kira tiga ratus meter dari sini. Aku nggak melihat sisa-sisa api unggun atau yang lainnya. Hanya ini yang aku temukan beserta jejak ban mobil. Hanya jejak ban mobil itu yang terasa sudah agak lama disana karena keadaannya sudah rusak. Yang lainnya seperti masih baru.”

“Aku ingin kesana.”

Riko menatap Ninda.

“Mungkin kita bisa menemukannya sekarang. Iya kan?”

“Kemungkinannya besar dia ada di sekitar sini. Tapi…”

“Kita nggak mungkin keluar dan membuat bu Karsum marah lalu mengusir kita semua dari sini. Betul kan?”

“Ya, tapi… aku pikir aku punya ide.”

 

***

            “Hati-hati.”

“Makasih.”

“Ninda.”

“Bawa ini juga.”

“Makasih.”

“Kamu yakin mau kesana?”

“Ya. Aku yakin.”

“Jangan ada yang mengikutiku. Aku hanya akan memeriksa keadaan. Jangan khawatir. Tolong buat bu Karsum sibuk beberapa jam.”

“Ya, tenang aja.”

“Ninda.”

“Hah?”

“Aku ikut.”

“Joker punya urusan dengan gue, bukan elo.”

 

***

            “Kina.” Panggil Ninda. Kina menoleh.

“Sebaiknya kita menyebar.” Kata Ninda, “aku kesini dan kamu kesana.”

Kina mengangguk, “kalo gitu, hati-hati.”

Maka Kina mulai berbelok ke arah kiri sementara Ninda meneruskan jalan lurus yang ada di hadapannya.

Ninda berjalan pelan-pelan di sekitar hutan. Dia cukup memperhatikan langkahnya. Sesekali dia memungut sesuatu di tanah lalu membuangnya lagi saat tahu kalau itu tidak dapat dijadikan petunjuk.

Ninda berjalan dengan memegang senapannya. Rambutnya yang panjang dijepit ke atas. Poninya selalu turun dan menutupi matanya saat dia memperhatikan tanah.

Kemudian dia berjalan terus dan melihat sesuatu di tanah. Dengan kedua alisnya yang menyatu, dia membungkuk dan melihat sesuatu. Itu seperti pisau kecil. Ninda mengamatinya dengan bingung sebentar lalu memutuskan untuk memasukkannya ke dalam kantong celananya.

Ninda kembali berjalan. Jauh… dan jauh lebih ke dalam. Dia terus penasaran menemukan petunjuk di dalam hutan itu. dan setelah satu jam terjawab, dia melihat ke depannya dan menemukan petunjuk terbesar.

***

            “Kalian mau apa?”

“Kita mau bantuin ibu beres-beres.”

“Nggak usah. Udah sana, belajar aja.”

“Nggak bu, nggak. Kita akan terus bantuin ibu disini.”

“Kalian ini kok bandel sih?”

Resdy tersenyum pada bu Karsum.

“Ya sudah, abis itu disapu trus di pel lantainya sekalian, ya? Ibu mau ke gudang dulu.”

 

***

            Ninda berlari menuju jeep hijau yang tersudut di depan kolam air terjun itu. Jeep itu kosong, tapi tangki bensinnya masih sangat penuh. Ninda menganalisa kalau memang benar itu adalah mobil Joker, berarti Joker sedang pergi sebentar dan dia akan segera kembali.

Di dekat jeep itu ada kolam yang airnya berasal dari air terjun kecil. Ninda melihat ke dalam jeep itu. Ada sepatu boot coklat di sana. Ada peta daerah itu dan sebuah sobekan koran yang sudah mennghitam karena ketumpahan air kopi.

Ninda mengambil sobekan koran itu dan dia membacanya.

“THE HEROIN”

Dicari 3 Orang Bandar Heroin Terbesar di Asia Tenggara

Sayembara 10 Milyar Rupiah bagi 1 buronan yang tertangkap.

Hidup Atau Mati

 

Ninda menaruh kembali sobekan koran yang tidak berharga itu. Dia lalu melihat sekeliling jeep itu yang nampaknya bersih. Jika benar Joker bermalam ditempat itu, mestinya terdapat beberapa benda seperti yang ditemukan Riko. Tapi saat ini, selain dari benda-benda yang ada di jeep, Ninda tidak menemukan benda lain.

Tidak begitu ada banyak petunjuk. Hanya ada senapan, beberapa topi dan sebuah lambang ‘J’ pada sisi-sisi mobilnya.

Tiba-tiba Ninda mendengar suara seseorang yang tertawa sambil menjerit-jerit. Tiba-tiba seluruh tubuhnya bergetar kuat. Mungkin orang itu adalah Joker.

Suara orang itu semakin dekat. Dia berteriak-teriak, “SEMUANYA AKAN KUBUNUH! BUNUH! BUNUH! KUBUNUH SEPERTI GADIS YANG TELANJANG ITU!”

Ninda tidak bisa menggerakkan dirinya. Dia terpaku di tempat itu sementara pijakan sepatu Joker terasa bergesekan di atas daun gugur yang kering.

Ninda merasa ada sesuatu di telinganya yang berteriak, “lari! Lari! Lari!”

Ninda mulai bergerak lalu…

Hosh… hosh… hosh…

Dor! Dor!, “BERHENTI!!!”

Ninda terus berlari. Entah Joker sedang mengejarnya atau tidak, tapi dia terus menerus berlari sekuat yang ia bisa. Napasnya terasa nyaris putus dan jantungnya terasa mengecil. Meski sesak rasanya, dia terus berlari.

Sementara itu suara letupan senapan terus mengejarnya di belakang. Joker berteriak menyuruhnya berhenti sedangkan hal itu adalah hal yang paling tidak akan dilakukannya.

“BERHENTIIII!!!”

Dor dor dor dor dor

Lima kali rentetan peluru bergema. Ninda menangis diantara keringat yang jatuh dari keningnya. Dia terus berlari, berlari dan berlari.

“Ninda!” teriak Kina.

Ninda masih berlari. Kina mengejarnya, “Ninda!”

Bruuukkk

Ninda terjatuh di atas rumput. Wajahnya terseret di tanah cukup keras hingga ada darah yang keluar dari bawah pipinya.

“Ninda!”

Dengan panik, Kina berlutut di samping Ninda. Ninda yang melihat Kina akhirnya langsung melompat dan memeluk Kina dengan erat.

Ninda histeris dan langsung menangis. Kina menekan kepala Ninda ke bahunya. Dia bisa merasakan airmata Ninda yang menetes ke kulitnya.

Kina terdiam.

“Udah… kamu nggak kenapa-kenapa. Jangan nangis, kita harus kembali ke penginapan.”

Kina melepaskan pelukan Ninda.

“Jangan pernah lakukan ini lagi, okay?”

Nina masih menangis, lalu dia menggeleng, “aku menangis memang karena aku takut, tapi aku nggak mau menyerah. Aku akan bertahan disini sampai Joker bisa tertangkap! Dia… dia orang yang membunuh Stevi…”

 

***

            “Apa yang terjadi disana?” tanya Resdy, malam harinya.

“Resdy, sebaiknya…”

“Nggak apa-apa, Ki.”

Kina mundur kembali.

“Aku ngelihat mobil jeep hijau dengan huruf J disisinya.”

“Apa? Elo nemuin mobil itu? Itu mobil Joker.”

“Aku ngeliat sobekan koran, sepatu boot, topi dan sebuah senapan. Yang lainnya hanya sampah.”

“Kamu liat mukanya?”

“Nggak. Aku hanya dengar suara sepatunya yang ribut, hanya dengar teriakannya. Tapi aku yakin itu Joker karena aku bisa merasakan betapa dekatnya aku dengan kematian saat aku mengalami hal itu. Aku juga tahu kalau orang yang membunuh Stevi adalah… dia.”

***

            Ninda tidak bisa tidur. Dia gelisah dengan seseorang yang bernama Joker itu.

Tok tok tok

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk.

“Ninda, ini aku, Novi.”

Ninda masih berbaring di bawah selimut.

“Masuk Nov…”

Novi membuka pintu dan melihat sahabatnya itu duduk di atas kasur dengan kepala menempel ke tembok dan selimut yang menutupi tubuhnya.

“Kamu nggak kenapa-napa kan?”

Ninda tersenyum, “nggak apa-apa.”

“Tadi… bu Karsum nggak nyariin kan?”

“Nggak kok. Dia… seharian tadi nggak sama kita. Katanya dia ke gudang. Trus nggak keluar lagi.”

“Ooo…”

“Nin.”

“Ah?”

“Apa sebaiknya kita pulang?” tanya Novi pelan, “aku takut ada disini Nin, banyak orang jahatnya. Kenapa kita nggak pulang aja?”

“Kamu mau pulang? Aku bisa minta Resdy nganter kamu. Kita harus pergi bareng-bareng soalnya nggak ada kendaraan. Kamu mau? Kita harus jalan sejak pagi ke pasar trus naik bis.”

Novi melongo, “trus, kamu sendiri?”

“Aku… aku masih mau disini, Nov. Aku… terlibat.”

“Kita berdua nggak terlibat. Kita bisa pergi dari sini, Nin.”

“Kamu bisa pergi kok. Kamu dan Resdy bisa pulang ke Jakarta. Gimana?”

Novi menggeleng, “nggak. Aku sama Resdy akan terus sama kamu Nin. Kamu selalu ada buat aku, aku selalu ada buat kamu. Kita berdua selalu ada buat kamu. Aku akan bertahan disini, sama kamu.”

 

 

 

 

 

6th Chapter

            “Pagi Nin.”

“Nin? Nindaa…. Banguun…”

Ninda membuka matanya dan melihat Novi.

“Aduuuh… jam berapa sih ini?”

“Hmm… sekarang udah jam tujuh. Nih, aku udah bikinin teh sama kue. Tehnya bikinan aku tapi kalau kue, dari jatah sarapan yang dikasih bu Karsum.”

Ninda duduk.

“Nin… mmm… aku juga udah bikinin buat…”

Ninda tersenyum jahil, “Resdy?”

Novi tersipu-sipu.

“Nah… gitu donk. Masa nggak mau start juga sih.”

“Sebenernya sih bukan begitu. Aku kan lagi bawa teh ke kamar, eh… dia juga minta sekalian diambilin. Ya udah, aku kasih aja punyaku ke dia. Trus aku masuk kamarnya.”

“Teruuss…?”

“Trus dia bilang makasih dan trus aku keluar.”

“Yaah… nggak mutu! Kok nggak ada sayang-sayangannya sih? Kok nggak ada romantis-romantisnya?”

“Idiih… Ninda jahaat!!!”

 

***

            Ninda dan Novi keluar dari kamar lalu melihat koridor yang sepi. Bisanya, jam segini pasti mereka udah bangun dan bergentayangan kesana kemari.

“Mana yang lain?” tanya Ninda.

Novi menggeleng, “tadi mereka udah pada bangun kok. Aku nggak tahu mereka ada dimana sekarang.”

Tiba-tiba feeling Ninda menjadi buruk. Dengan instingnya, dia berlari menaiki tangga secepat mungkin. Semua yang dilakukannya terhenti saat melihat yang lain berdiri berkumpul di depan pintu kamar nomor satu.

“Apa yang terjadi?”

Tidak ada yang menjawabnya. Ninda lalu berlari dan berdiri di depan pintu kamar nomor satu yang menganga.

Ninda melihat kamar itu kosong dengan papan-papan kayu yang berserakan di bawah jendela.

“Jendela itu udah dipapan lagi kan?” tanya Ninda, yang lain terdiam, “jadi… dia kabur lagi? Dia tidur sambil jalan lagi?” tanyanya.

“Nggak.” Gumam Herman.

“Kali ini, dia nggak kabur.”

Ninda nggak mengerti dengan ucapan Herman. Dia berlari ke dalam dan berdiri di jendela, melihat ke luar.

Lalu…

Mulut Ninda terbuka lebar. Dia menaruh telapak tangan di atas mulutnya saat melihat mayat pak Freddy yang mati di bawah. Dia tertusuk pagar kecil di antara bunga. Wajahnya tertancap pagar itu hingga menembus ke belakang kepalanya.

 

***

            “Sekarang… jadi ada lima ya?”

“Ya.”

“Siapa yang ada dibalik semua ini?”

“Aku nggak tahu.”

“Joker?”

“Aku pikir bukan dia yang membunuh pak Freddy.”

“Lalu?”

“Aku nggak tahu.”

“Siapa selanjutnya?”

Ninda menoleh ke arah Novi.

“Tidak ada yang selanjutnya. Ini akan berakhir. Pak Freddy meninggal bukan karena dibunuh melainkan karena dia membunuh dirinya sendiri. Kamu tahu kan dia punya penyakit tidur sambil jalan? Mungkin itu penyebabnya dia lompat dari jendela dan akhirnya…”

“Mati?”

“Ya.”

 

***

            “Kenapa masih disini?”

“Maksudnya apa?”

“Gak ada yang tahu siapa yang akan jadi korban selanjutnya.”

“Satu hal yang harus kamu tahu, nggak perlu ada korban selanjutnya.” Ninda meminum tehnya, “aku disini karena…”

“Karena apa?”

“Karena aku ingin disini. Karena aku ingin tahu suatu jawaban. Jawaban dari semua yang telah terjadi.”

“Hanya itu?”

Ninda mengangguk, “kalo kamu?”

“Karena aku sedang menunggu seseorang.”

“Siapa?”

“Teman.”

“Kalian berdua janjian bertemu disini?”

“Iya. Jadi aku nggak bisa pergi.”

“Darimana asal kamu?”

“Aku? Hmm… dari banyak tempat. Aku rasa aku udah menginjak banyak tempat dan aku tidak bisa menjawab kalo ditanya dari mana asalku.”

 

***

            “Ninda!”

“Ya?”

“Bisa tolong ambilkan aku paku lagi?”

“Ya, dimana?”

“Di gudang.”

“Ermm… oke. Tunggu sebentar.”

Ninda keluar dari penginapan. Dia berjalan memutari penginapan dan menuju ke bagian belakang, melintasi pekuburan dan Ninda melihat sebuah pintu di belakang penginapan.

Sebuah pintu kayu yang sudah lembab dan dipenuhi jamur di bagian bawahnya. Ninda nggak tahu apa memang benar itu gudangnya karena selama dia disini dia memang tidak pernah melihat ada ruangan itu.

Ninda menyentuhnya.

“Hei!”

Ninda terkejut. Teriakan bu Karsum membuat tangannya kembali menjauh dari pintu.

Bu Karsum berjalan dan kedua alisnya menyatu saat melihat Ninda.

“Sedang apa kamu disini?”

“Riko sedang membetulkan lemari dan dia butuh paku.”

“Kenapa kamu kesini?”

“Karena dia bilang paku itu ada di gudang dan karena aku berfikir kalau ini mungkin adalah gudang yang dimaksud.”

“Ini bukan gudang.” Bu Karsum memegang lengan Ninda, dia mendekat dengan hawa yang membuat Ninda takut, “dan ini satu-satunya tempat yang paling tidak boleh disentuh oleh siapapun.”

Ninda mundur, tiba-tiba dia merasa seluruh tubuhnya dingin.

“Kalau begitu, maaf…”

 

***

            Di penginapan, Ninda dan yang tersisa duduk bersama di perpustakaan. Ninda, novi, Resdy, Kina, Herman dan Riko. Mereka duduk di sofa sementara Ninda dan Novi membaca buku.

Keadaan cukup hening karena tidak ada satu pun  dari mereka semua yang berniat membuka pembicaraan.

“Kenapa kita jadi aneh begini sih?” Kina berteriak.

Ninda mengangkat wajahnya dengan kacamata yang melorot turun ke tulang hidungnya.

“Bukannya kita emang dasarnya aneh?”

“Kita harus menyelesaikan masalah ini.”

“Pertanyaan pertama,” Resdy mulai kesal, dia dan Kina beradu pandangan. “bagaimana cara kita menyelesaikannya?”

Kina membanting kembali punggungnya ke sofa.

“Sebaiknya kita semua diam dan mulai berbicara jika udah menemukan jalan keluarnya sehingga kita bisa jadi orang normal.”

 

***

            Herman tertidur di kamarnya. Tiba-tiba dia mendengar suara seseorang yang mengetuk-ngetuk jendela kamarnya.

Herman membuka matanya. Dia menduga-duga kalau sekarang jam satu malam dan dia nggak akan mau bangun jika saja yang dilihatnya bukanlah seseorang seperti yang dilihatnya saat ini.

“Elo kan…?” Herman berjalan mendekat ke jendela dengan wajah kebingungan.

“Ngapain lo kesini?” tanya Herman.

Wanita itu tidak menjawabnya.

Herman membuka pintu jendela dan wanita itu menarik kaus Herman, menariknya jauh keluar dengan tubuh hangatnya.

Wanita itu berlari, memegangi tangan Herman dan mengajaknya menuju ke tepi danau.

Kemudian mereka berpelukan sangat erat. Herman mulai merasakan ada aliran lahar yang mengalir ke sekujur tubuhnya.

Wanita itu mengeluarkan pisau dan menusukkannya ke punggung Herman. Dari bawah lehernya dan terus dia tusuk hingga membelah punggungnya.

Herman menggelinjang seperti ayan. Dia mundur dengan mata yang berair. Bola matanya memerah, sekujur tubuhnya menegang. Wanita yang telah membunuh Herman itu tertawa seperti orang gila. Dia menjilati darah Herman yang menempel di telapak tangannya.

Herman terjatuh dan merayap di rumput. Tubuhnya bergetar seperti disetrum. Herman terus merayap di atas rumput. Punggungnya terbelah, tulang punggungnya terlihat. Herman merayap dengan kekuatan kedua lengannya dan terus menarik seluruh tubuhnya menjauh dari wanita itu.

Tindakan Herman tiba-tiba berhenti. Dia melihat kaki wnaita itu berada di depan matanya. Herman tidak bisa mendongak. Tiba-tiba saja kepalanya diinjak sekuat-kuatnya. Rumput lembek itu mulai meleleh, kepala Herman mulai masuk ke dalam tanah. Semakin dalam hingga lehernya tidak terlihat.

Wanita itu akhirnya menyerahkan suatu pemberian terakhir pada Herman. Dia meletakkan sesuatu di antara tangan Herman yang membiru. Lalu menjatuhkan pisau yang digunakannya ke rumput yang penuh darah.

 

 

 

 

 

7th Chapter

            Ninda membuka matanya. Dia melihat ke jendela kamarnya yang berpantulan warna oranye dari cahaya matahari pagi. Ninda berusaha untuk duduk.

Dia menyadari sesuatu yang aneh. Dia bisa melihat ada banyak orang berpakaian piyama berkumpul di dekat danau, di dekat pekuburan.

Feelingnya menjadi buruk. Kemudian dia membuka gagang kamarnya. Dia berlari masih menggunakan gaun tidurnya yang berwarna biru langit berbahan sutera.

Ninda mengikat tali pada gaunnya ke depan lalu berlari keluar pintu dan menuju ke belakang, ke kerumunan.

“Novi!”

Novi menoleh, matanya yang memerah segera membesar saat melihat Ninda datang.

“Novi? Ada apa?” Ninda bertanya.

Novi mengamati mata sahabatnya itu dengan dalam.

Ninda melihat ke bawah. Dia terkejut bukan main melihat mayat Herman dengan kepala di dalam tanah.

“Herman?” Ninda berteriak panik.

Kina, Riko, Resdy, pak Karsum dan Bu Karsum melihat Ninda. Ninda melangkah risau mendekat ke mayat Herman.

“Berhenti!” Kina memerintah. Ninda segera menghentikan langkahnya, melihat Kina dengan tatapan aneh dan napas terengah-engah.

“Jangan mendekat, pembunuh!” pekiknya dengan mata yang menusuk. Kina melihat ke satu titik di baju Ninda.

Ninda menunduk, melihat gaun tidurnya.

“Nggak, nggak mungkin.” Ninda menggeleng. Matanya kembali menatap ke teman-temannya yang kini melihatnya seperti melihat musuh.

Ninda melihat lagi ke gaun tidurnya yang dipenuhi noda darah. Dia lalu melihat Novi. Novi menggeleng dan mundur perlahan-perlahan lalu menangis. Ninda melihat Resdy dan Resdy langsung menunduk dengan tangan terkepal. Kemudian dia melihat ke bawah, melihat Riko yang sedang mengamati mayat sahabatnya.

“Novi, aku bukan pembunuhnya! Novi,” Ninda mengejar Novi dengan wajah memelas, “Novi! Aku Ninda, Nov! kamu tahu kan aku nggak mungkin membunuh? Novi?”

Novi terus mundur dan menggelengkan kepalanya sementara air matanya terus turun, “kamu lihat diri kamu sekarang, Ninda! Kamu penuh darah! Kamu membunuh dia! Kamu bunuh Herman dan kamu bunuh semuanya!”

Ninda menggeleng, “aku nggak membunuh Nov, aku nggak membunuh!”

“Kamu liat diri kamu Nin! Aku emang nggak percaya kamu membunuh. Sampai detik ini pun aku masih nggak percaya, Niin… tapi… tapi… aku takuut…”

Ninda tersenyum dan mengulurkan tangannya, “aku Ninda… aku nggak mungkin membunuh! Kita sahabat kan, Nov? kita selalu sama-sama kan?”

Kina menarik bahu Ninda hingga Ninda berbalikbadan dengan keras, “Jauhi dia! Jangan dekat-dekat! Pembunuh nggak boleh ada disini! Pembunuh harus dibunuh!” teriak Kina.

Ninda histeris, dia menangis lalu berlari dengan gaunnya yang melambai-lambai. Kemudian dia berlari semakin kencang menuju ke penginapan dan tiba-tiba…

BRUUUKK. Ninda terjatuh.

Kepalanya menyentuh tanah tapi tidak ada darah yang mengalir. Ninda tengkurap di tanah dengan matanya yang basah karena airmata.

Kemudian Ninda merasa seluruh tubuh dan tangannya menghangat. Dia mulai merasa pusing. Lalu perlahan warna-warna di matanya terlihat luntur seperti cat yang disiram air. Tubuhnya mulai terasa ringan dan dia… tertidur.

 

***

            “Ninda! Ninda! Bangun Niin…”

“Ini semua gara-gara elo! Gara-gara elo!”

“Gue nggak ngapa-ngapain dia! Gue cuma mengatakan kebenaran dan dia emang udah sepantasnya mati!”

“Ninda… Nindaa… jangan pergi Niiin…”

Novi berdiri, “minta maaf sama Ninda! Ninda mati!”

Bu Karsum berdiri menghadap ke luar jendela dengan tatapan kosong.

“Yang pergi biarlah pergi seperti angin yang bertiup. Mereka memang bukan apa-apa untuk ditangisi tapi mereka memiliki tujuan. Jangan menyesali apa yang akan dan telah terjadi karena itu adalah tujuan yang harus dicapai dengan cara apapun. Dan satu-satunya tujuan yang dimiliki manusia adalah… kematian.”

 

***

            Ninda merasakan dirinya berada di sebuah ruangan yang penuh AC dan rumput-rumput yang ia injak begitu lembut seperti kapas. Dia merasakan semua yang ada dirinya dan sekelilingnya berwarna seperti photo polaroid yang masih hitam putih.

Dia mulai merasakan mimpi. Lebih tepat disebut pengulangan masa lalu. Dan Ninda mulai melihat semua kejadian yang terjadi di penginapan itu. Dia mulai melihat semua yang terjadi pada teman-temannya yang tewas tanpa menyadari dimana posisinya saat itu.

***

            Malam harinya, Novi berjalan dengan lemah menuju ke kamar Resdy. Dia berdiri di depan pintu kamar Resdy tanpa tahu apa yang ingin dia katakan.

Hari ini merupakan hari yang paling berat dalam hidupnya. Setelah mengalami hari-hari mengerikan yang mengambil nyawa teman-temannya, akhirnya Ninda ikut pergi.

“Resdy…” Novi berucap pelan, “Resdy… kita pulang ke Jakarta yuk?” tanya Novi.

Nggak ada sahutan dari dalam kamar Resdy. Novi masih berdiri dengan risau di depan pintu.

“Resdyoo…” dia mulai mengeraskan suaranya, “RESDY!”

Novi merasa ada sesuatu yang buruk yang terjadi. Dia maju dua langkah merapat ke depan pintu dan mulai berfikir untuk membuka pintunya.

Pelan-pelan, Novi membuka pintu. Dia mendorong pintu yang terasa cukup berat itu lalu mengintip ke dalam kamar Resdy yang terbuka sedikit.

Dia melihat ke sekeliling dan keadaan sangatlah kosong. Dia tidak melihat Resdy ada disana.

“Resdy?” panggilnya lagi.

Kemudian dia masuk ke dalam kamar Resdy. Melihat sekelilingnya. Dia cukup penasaran untuk melihat lebih jauh mengenai kamar orang yang disukainya itu.

Kemudian, dengan langkah kecil-kecil, dia mulai mengamati bagaimana Resdy menata meja belajarnya serapi mungkin. Dia mulai melihat-lihat buku apa yang sedang dibaca Resdy dan dia melihat sebuah buku tebal berjudul Angels and Demons karya Dan Brown.

Novi mengambilnya dan membuka-buka halamannya. Tiba-tiba dia melihat sesuatu yang terselip diantara halaman itu. Sebuah sobekan foto dan orang yang ada di foto itu adalah Ninda. Sebuah foto yang memperlihatkan Ninda sedang tersenyum dengan memakai toganya di hari wisuda. Novi sangat sedih. Sebenarnya dia berfoto berdua dengan Ninda di hari wisuda itu. Sementara itu Resdy malah merobek foto Ninda untuk disimpan dan membuang foto wajahnya jauh-jauh.

Dengan perasaan yang teriris-iris, Novi memasukan kembali foto itu ke tempatnya dan tersenyum. Seolah mengikhlaskan apa yang terjadi pada dirinya dan menyadari bahwa orang yang dicintai Resdy selama ini bukanlah dirinya melainkan… Ninda.

 

***

            Ninda melihat semuanya yang telah terjadi di penginapan itu. Jauh… jauh sebelum kedatangannya. Dia melihat banyak sekali orang yang dibunuh oleh sosok hitam yang tidak pernah tergambar jelas dimatanya.

Sosok itu membunuh 2 anak kecil. Yang satu ia bunuh dan ia lempar ke dalam danau sementara yang satunya lagi ia gantung di dahan pohon dalam keadaan terbalik hingga meninggal. Dan Ninda masih harus menyaksikan saat-saat dimana anak kecil yang digantung itu menangis dan menggeliat-menggeliat hingga akhirnya dia terkulai tanpa bergoyang sedikitpun di dahan itu.

Ninda tidak tahu dimana posisinya berada.

Apakah dia ada di mimpinya atau tidak. Dia bisa merasakan dirinya ikut terlibat di mimpi itu. Dua anak kecil yang dibunuh itu sempat melihat ke arah dirinya dan berteriak meminta tolong dengan tangan terulur. Tapi seluruh tulang Ninda serasa lunak. Ia begitu ringan seperti angin hingga ia tidak bisa menguasai dirinya lagi. Ia diam dengan gaun biru berdarahnya.

Dan ia bisa melihat hari-hari setelah anak itu mati, sosok yang membunuh itu jadi 2 orang. Mereka menyeret tubuh tak bernyawa itu ke pintu belakang penginapan.

Ninda berteleport.

Begitu dia berkedip, dia berpindah masuk ke sebuah ruangan gelap yang dipenuhi banyak daging bergantung pada kait di langit-langit ruangan dan daging-daging itu masih meneteskan darah merah. Tempat itu dipenuhi bau darah dan busuk. Ruangannya berantakan, penuh kotoran dan lampu minyaknya sangat redup. Dan Ninda mulai merasa mual hingga mukanya membiru saat melihat Bu Karsum terlihat mencincang  mayat anak kecil itu dengan pisau sementara pak Karsum mengambil daging cincang itu lalu memasukkannya ke dalam panci berisi air mendidih dan potongan sayuran. Lalu pak Karsum mulai mengaduknya seperti kakek sihir mengaduk ramuan ajaib.

Dua sosok yang telah membunuh 2 anak kecil itu adalah… Pak Karsum dan Bu Karsum!

***

            Riko duduk di depan pusara Ninda. Dia melihat tujuh kuburan lainnya yang berjejer di bawah pohon beringin dan di dekat tepi danau.

Ada dua kuburan yang asalnya memang sudah ada di tempat itu sejak mereka datang. Kemudian disebelahnya ada kuburan Stevi, lalu Ricky, pak Freddy, Herman dan yang terakhir… Ninda.

Yang paling menyakitkan adalah kehilangan orang yang terakhir itu, Ninda. Karena Ninda adalah orang yang telah mengisi hatinya. Dia merasa kalau kepergian Ninda terlalu cepat.

 

***

            “HAH?” Ninda membuka matanya sangat lebar.

Napasnya langsung memacu seperti habis menyelam ke dasar laut dan baru naik ke permukaan untuk mengambil oksigen. Dia segera membuka matanya dan melihat dirinya berada di dalam sebuah kotak kayu. Mulutnya terbuka dan menutup dengan cepat seperti akan kehilangan oksigen.

Tidak ada ruangan untuk bergerak. Dia ingin menggerakkan tangannya tapi tidak bisa. Dia terkukung dalam kain putih yang tidak terikat. Dia melebarkan tangan dan melonggarkan kain itu agar lepas lalu menurunkan tudung di kepalanya. Kemudian dia menarik keluar dua kapas yang menyumpal telinga dan hidungnya.

Dia mulai menyadari apa yang sedang terjadi. Dia… terkubur.

Ninda merasakan jarak hidungnya dengan tutup peti itu hanya sejengkal. Ujung jari kakinya menyentuh peti kayu itu. Ninda tidak mengerti kenapa dia bisa ada di dalam sana. Yang jelas dia berusaha untuk segera keluar.

“TOLOONGG!!!” Ninda menjerit. Kepalanya terangkat sedikit dan langsung terpentuk kayu.

Ninda mengangkat tangannya, memukul-mukulkan tangannya ke kayu itu hingga berdentum.

“TOLOONGG!!! NOVIII!!!” Teriaknya.

Ninda memukuli kayu itu dengan kuat.

“AKU BELUM MATI, NOOOV!! NOVII!!”

Ninda menekan tangannya ke tutup peti. Kemudian dia mendorongnya sekuat mungkin. Mulai terdengar suara paku yang lepas. Terasa getaran pada kayu itu saat Ninda mendorongnya ke atas.

Ninda menurunkan tangannya, dia terengah-engah dan tangannya terasa kram. Ninda istirahat sebentar dengan napas yang terus cepat. Lalu dia melakukannya lagi.

Ninda mendorong kedua telapak tangannya ke atas kayu itu. semakin kuat dan semakin kuat. Ninda menyatukan giginya hingga berbunyi. Dia memejamkan mata dan menegangkan semua otot di tangannya. Dia mendorong lalu….

Brrsss…

Celan muncul dan butiran tanah mulai jatuh ke dalam peti.

Ninda melepas tangannya dan peti kembali tertutup.

Butiran tanah yang masuk melalui celah di dua sisi mengotori pipi-pipinya. Tanah itu mulai mengotori daun telinga dan rambut Ninda.

Ninda nggak mau berhenti. Kemudian dia bergerak, berusaha untuk memiringkan tubuhnya sebisa mungkin menghadap ke kanan.

Kemudian dia mengambil kain dan memeganginya dengan tangan kanannya. Menutupi hidung dan mulutnya dengan kain itu menggunakan tangan kanannya.

Kemudian, dalam posisi miring, dia menyiapkan tangan kirinya dan kakinya. Dia mulai menempelkan kaki kiri dan tangan kirinya ke tutup peti mati itu.

Dengan cepat dia menendangnya sekuat mungkin. Tapi dia tidak bisa. Tanah di atasnya terlalu berat. Dia tidak punya cukup tenaga, waktu dan oksigen untuk melakukannya.

Tiba-tiba dia merasa paru-parunya mengerut dan tercengkram. Kemudian dia memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa kecuali mengerang kesakitan.

 

***

            Riko duduk di dekat kuburan itu dengan mata melihat ke pohon beringin. Tiba-tiba dia melihat bayangan anak kecil di balik pohon. Mukanya yang pucat nampak mengintip dengan mata berdarah-darah.

Riko tidak mengubah tatapan dan perasaannya. Tapi tiba-tiba dia merasa anak itu tersenyum padanya. Riko mengeritingkan alis dan tiba-tiba muncul tiupan angin malam yang sangat dingin yang membuat Riko harus memeluk tubuhnya. Riko tidak pergi dari sana. Dia melihat bayangan itu sudah lenyap, lalu dia kembali melihat kuburan teman-temannya…

 

***

            Ninda merasakan kepalanya sakit. Dia mulai putus asa dan hanya bisa mengaduh-aduh. Tenaga dan oksigen yang dimilikinya semakin menipis. Disaat itu dia mulai merasa sesuatu terjadi. Tiba-tiba dia merasa ada cahaya matahari. Kemudian tarikan napasnya jadi begitu mudah. Semua rasa sakitnya hilang dan ia merasakan ada ayunan yang mengiringi suara nyanyian anak kecil yang begitu menggembirakan…

 

***

            Riko berdiri keheranan saat melihat tanah di atas kuburan Ninda bergerak sesekali. Awalnya Riko mengira itu hanya halusinasi sesaat akibat dirinya terlalu banyak pikiran, tapi nyatanya tidak. Tanah itu memang bergoyang sekejap. Bergoyang ke atas lalu berhenti.

Riko berlari ke dekat jendela dan menyibak semak-semak. Dia mencari-cari sekop dan akhirnya dia menemukan benda itu.

Riko kembali berlari menuju ke kuburan Ninda. Kemudian dia mulai menggali tanah itu secepat-cepatnya. Dia mengarahkan seluruh tenaganya untuk menggali tanah itu.

Bulan purnama, tubuh dalam danau dan muka pucat dibalik pohon menyaksikan Riko berjuang dalam kegelapan.

 

***

            Ninda memucat. Wajahnya seperti tersinari cahaya matahari. Dia tersenyum saat matanya melihat warna putih tanpa batas yang membuatnya tidak merasa takut.

Tiba-tiba cahaya itu hilang!

Ninda kembali dalam keadaannya. Dia terus mengerang dan menggelinjang seperti kesakitan. Dan dia terus mengucapkan ‘Tolong’ dengan suara yang menyayat.

Ninda mulai tidak bisa memikirkan apapun kecuali kematian.

 

***

            Riko sudah menggali tanah itu agak dalam. Dia bahkan masuk ke dalam liang untuk menggali lebih dalam lagi. Dia berdiri di atas liang itu hingga akhirnya dia melihat peti mati.

Riko menggeser tanah yang bertaburan di atas peti mati itu dengan telapak tangannya. Bola matanya terbuka sangat lebar saat dia mendengar suara desahan yang meminta tolong.

Riko tidak tahu dengan apa yang harus dilakukannya. Dia lalu kembali mencoba untuk naik ke atas. Lalu berlari hingga jatuh bangun menuju ke depan pintu, matanya masuk ke semak-semak mencari kapak.

Setelah menemukannya, dia kembali melompat hingga terjatuh di atas peti. Dia semakin ketakutan dan panik saat tidak mendengar suara Ninda.

BRAKKK

Kapak it diayunkannya ke peti bagian bawah. Dan Ninda yang berada di dalamnya melihat ada lubang di atas kakinya. Lubang itu mengeluarkan cahaya. Ninda membuka matanya lebih besar lagi.

“NINDA!”

“Riko!”

“Ninda, tolong lipat kaki kamu ke atas! Aku lagi ngebuat lubang disini!”

“Iya!”

Ninda segera melipat dan memeluk kakinya di depan dadanya. Dia merasakan guncangan saat kapak itu menghujam kayu. Ninda menutup matanya.

“NINDA! Ke sebelah sini!”

Ninda melihat lubang persegi di ujung peti. Dia lalu mendorong tubuhnya ke ujung yang terbuka itu lalu melipat tubuhnya seperti tadi kemudian dari ujung atas peti. Riko mulai menghujam kembali kayu itu hingga membuat lubang lagi.

“NINDA!”

Ninda mendorong kakinya ke peti dan memajukan tubuhnya ke lubang yang baru dibuat Riko.

Kini wajahnya bisa terlihat melalui lubang itu. Ninda melihat Riko dengan muka dipenuhi rasa terima kasih. Dia melihat Riko di atas peti dengan keringat di wajahnya. Ninda dan Riko bertatapan dengan bahu yang naik turun.

“Kemarikan tanganmu.” Riko mengulurkan tangannya. Ninda mengangkat tangannya dan merasakan pegangan tangan Riko yang begitu kuat di tangannya.

Pelan-pelan dia mencoba berdiri dengan Riko yang terus membantunya. Dia mengeluarkan kepalanya terlebih dahulu, lalu perut dan setelah itu kakinya.

Riko langsung memeluk Ninda saat kaki Ninda keluar dari dalam peti. Ninda menangis dengan tanah yang mengotori wajah dan rambutnya. Dia terus menangis meraung dengan tubuh lemas sementara pelukan Riko terasa begitu melindunginya hingga dia tidak mau berakhir terlalu cepat…

 

***

            Riko memapah Ninda masuk ke dalam penginapan. Ninda duduk di sofa di perpustakaan bersama Resdy.

“Riko.” Panggilnya. Riko menoleh.

“Apa yang sebenarnya terjadi?”

Riko melihat Ninda, matanya menyiratkan keanehan.

“Harusnya kamu tahu apa yang terjadi kan?”

“Ya, tapi sayangnya… aku nggak tahu.”

“Kamu… meninggal.”

“Lalu aku hidup lagi?”

“Ya.”

“Jadi aku mengalami mati suri?”

“Ya.”

“Berapa lama?”

“Satu hari.”

“Kamu jatuh saat berlari di pemakaman Herman. Kemudian detak jantungmu hilang dan kamu nggak bernapas. Kami menunggu sekian jam sampai akhirnya memutuskan bahwa kamu sudah… meninggal.”

Ada suara langkah kaki yang masuk ke perpustakaan dengan cepat. Ninda melihat Novi berjalan lurus melintas di depannya dan langsung mengambil sebuah buku dan membacanya tepat di meja yang berhadapan lurus dengan sofa tempatnya duduk.

Novi terlihat sangat serius membacanya.

“Novi?”

Novi yang merasa dipanggil segera mengangkat wajahnya.

Wajahnya datar beberapa detik. Tapi…

“Aaaarrrggghh!!! Setaaaannnn!!!”

“Novi? Ini aku, Nov…”

“Jangan!!! jangaaannn!!”

“Novi, ini aku, aku sahabat kamu, aku Ninda.”

“Ninda?”

“Kamu kok…”

“Aku sama terkejutnya dengan apa yang kamu rasakan saat ini, tapi.. ini aku. Dan aku mengalami kejadian yang disebut dengan… mati suri.”

 

***

            “Maaf ya Niiin…”

“Gak apa-apa.”

“Aku nggak tahu gimana seandainya aku yang berada di posisi kamu. Aku minta maaf udah berteriak kayak kesurupan tadi. Aku nggak bermaksud apa-apa.”

“Iya kok aku tahu.”

“Mana Resdy dan Kina?”

“Aku nggak tahu kemana mereka berdua. Tapi bukannya sebaiknya kita jelasin ini ke bu Karsum dan pak Karsum sebelum…,”

“Aaaaarrrrgggghhhh!!! Apa itu? Setaaann!!!”

“Sebelum mereka ngira kamu itu setan, Nin.”

 

***

            Ninda berdiri di depan danau itu. Matanya kosong. Semilir angin menerpa wajahnya. Membuat rambutnya bertiup ke belakang.

Ninda mengingat kembali apa yang waktu itu dilihatnya dalam mimpi. Dia melihat dua anak kecil mati di tempat itu. Yang satu mati di danau dan yang satu mati diatas pohon beringin di dekatnya.

Ninda berdiri disana dan jiwanya seolah ditarik dari masa itu. Dia berdiri seperti patung sementara ingatannya mulai kembali ke masa kecilnya yang sama menyedihkannya.

Bagian dari masa kecilnya yang paling menyakitkan dari semua luka yang pernah dia rasakan…

***

            Ninda pernah ditinggal seseorang yang sangat berarti bagi dirinya. Orang yang sangat berarti bagi dirinya adalah Ibunya.

Ninda tidak pernah tahu siapa ayahnya. Yang jelas ayahnya bukan orang yang pantas dibanggakan sebagai ayah. Ibu Ninda hanya bilang kalau Ayahnya sudah meninggal. Tapi… Ninda tahu yang sebenarnya. Dia tahu kalau Ayahnya dipenjara seumur hidup karena telah membunuh lima orang. Ninda merasa beruntung tidak pernah mengenal Ayahnya.

Malam itu Ninda yang masih berumur enam tahun tidur di tengah petir yang menguasai malam yang basah karena hujan lebat. Dia tidur seorang diri ditemani boneka teddy kesayangannya.

Tiba-tiba dia mendengar suara kaca pecah disusul suara teriakan Ibunya yang tiba-tiba muncul lalu lenyap.

Ninda turun dari tangga dengan mata lelahnya.

Kemudian dari anak tangga, dia berdiri dan melihat ke dalam kamar Ibunya melalui pintu kamar yang terbuka. Dia melihat seorang laki-laki bersama Ibunya. Laki-laki itu membuat Ibunya menangis. Tapi suara Ibu Ninda tidak terdengar karena laki-laki itu memegangi mulutnya.

Ninda berdiri di atas tangga. Tangan kirinya memeluk erat-erat teddy bear sementara tangan kanannya memegang pegangan tangga.

“Mama.”

Itu adalah terakhir kalinya Ninda memanggil Ibunya saat Ibunya masih hidup karena tiba-tiba saja laki-laki yang wajahnya sangat mirip dengan wajah Ninda mengeluarkan pisau dan menusuk-nusuk perut Ibunya.

“Mamaa!!” Teriak Ninda.

Kemudian laki-laki itu menoleh dengan garis-garis darah di wajahnya. Ninda melihat Ibunya mulai menutup mata.

Ninda menangis.

Laki-laki itu berdiri, melapangkan dua tangannya dan matanya melihat Ninda dengan tatapan mesum yang menjijikan.

“Sini cantik, cium Papa.”

Tiba-tiba sebuah suara tembakan muncul. Banyak cahaya lampu berwarna merah mengepung rumah Ninda. Banyak suara sirene yang datang mengurungnya.

Ninda menangis ketakutan. Dia terus berteriak ‘Mama’.

Kemudian laki-laki itu mengejarnya, berlari ke arahnya. Ninda berteriak. Dua polisi masuk lewat pintu dapur lalu menembak Ayah yang baru pertama kali dilihatnya itu.

Bahkan, Ninda bisa melihat saat peluru-peluru itu terbang dan masuk menembus daging Ayahnya dan membuat cipratan darah yang banyak.

Ninda tidak lagi menangis saat itu.

Dia hanya terdiam dengan pandangan kosong saat polisi mulai membawa Ayah dan Ibunya. Bahkan Ninda tidak ingin pergi dari tempatnya berdiri semula. Dan dia hanya bisa diam.

***

            “Resdy?” Riko memanggil-manggil Resdy sambil membawa kamera milik Resdy.

Dia berjalan keluar dari kamarnya kemudian melihat kamar Resdy. Riko berjalan ke depan kamar Resdy kemudian mengamati lensa kamera yang dipegangnya sebentar.

“Resdy! Nih kamera elo gue balikin!”

Nggak ada suara sahutan dari dalamnya. Riko celingukan ke kanan kiri sebentar kemudian memutuskan untuk memegang gagang pintu.

Riko membukanya pelan-pelan dan melihat Resdy tidak ada di dalamnya. Kamarnya kosong tapi tidak bersih. Ada kubangan darah di lantai.

Riko masuk ke dalamnya dengan langkah takut. Kemudian dia berdiri di ambang pintu dan sesuatu dibalik pintu menimpa tubuhnya.

Riko terjatuh di lantai. Dengan refleks, dia segera menyingkirkan benda itu ke sebelahnya. Riko mundur beberapa saat. Tiba-tiba napasnya menjadi cepat.

Benda yang menimpanya itu adalah mayat Resdy.

Riko terbelalak.

Resdy meninggal dengan pisau kecil di antara dua matanya. Matanya yang masih terbuka menggambarkan kemarahan yang amat sangat. Mulutnya masih terbuka dan darah dari kepalanya jatuh ke kemejanya yang berwarna biru.

Riko melihat baju, tangan dan lehernya yang ikut tertempeli darah Resdy. Kemudian Riko duduk terpaku disana dengan mayat Resdy yang matanya terus melihat ke arahnya.

 

***

Ninda masuk kembali ke dalam penginapan. Dia mulai melangkah lemah menuju ke arah kamarnya. Kemudian, dia melihat sesuatu di lantai dapur yang sangat aneh.

Dia melihat kaki seseorang terlihat dari dekat tembok. Seseorang, entah siapa, sedang terbaring di dapur.

Ninda berlari.

Dia tidak bisa bernapas setibanya dia di dapur. Dia melihat Bu Karsum tergeletak di atas lantai dengan pisau daging yang menancap di telinga kirinya, menancap begitu dalam.

Ninda jatuh berlutut dengan bibir bergetar.

Dia melihat mata bu Karsum yang masih terbuka. Bu Karsum tergeletak di dapur seperti binatang.

Ninda tampak kejang sesaat saat melihat kenyataan pahit yang begitu bertubi-tubi datang ke kehidupannya.

Tiba-tiba, secepat kilat Bu Karsum hidup kembali dan langsung memegangi kaki Ninda.

“Mati kamu!” ancamnya dengan bola mata yang berdarah-darah. Ninda menendangkan kakinya dengan histeris.

“Aaaarrrrggghhh!!!!”

Lalu Ninda berlari. Dia berlari menaiki tangga.

“NOVIII!!!” Ninda menjerit.

Dia berdiri di depan pintu kamar Novi yang terbuka. Dadanya terasa tertusuk saat menyaksikan pemandangan di depan matanya saat ini.

Dia melihat Novi terbaring di atas kasurnya dengan Riko yang berdiri di depannya.

Tiba-tiba, Ninda teringat dengan pemandangan yang hampir sama dengan yang dilihatnya saat dia masih kecil. Pemandangan yang sama saat Ayahnya membunuh Ibunya.

Dia melihat Riko memegang pisau sementara Novi ketakutan disana. Lebih daripada itu, Ninda melihat Riko berlumuran darah.

Riko berhenti bergerak saat melihat kedatangan Ninda. Pisau kecil ditangannya melayang. Novi segera berdiri dan berlari memegangi Ninda dengan gemetaran.

Ninda tidak bergerak. Matanya menatap Riko dengan sangat tidak percaya. Tidak mungkin Riko yang selama ini begitu baik dan sudah menolongnya ternyata… ternyata Riko sama seperti Ayahnya yang sangat ia benci.

“Ninda… dia mau bunuh aku…”

Ninda memegang tangan Novi. Riko menghadapkan badannya ke Ninda. Dia tahu kalau Ninda sangat terkejut melihatnya melakukan perbuatan kotor seperti itu.

Ninda menatap penuh marah pada Riko.

“Dengerin aku, Ninda.” Riko mengajukan telapak tangannya, Ninda mundur, “jangan dekat-dekat sama Novi. Dia…”

“Dia… dia bunuh Resdy, Ninda! Dia bunuh Resdy!” Novi berteriak memotong kalimat Riko.

Ninda melotot.

Kemudian dia berlari ke depan kamar Resdy yang dekat dengan kamar Novi dan langsung melihat mayat Resdy terkapar di atas lantai di dalam kamar nomor lima.

“RESDY!!”

Ninda masuk ke dalamnya dan dia berlutut untuk melihat keadaan Resdy. Novi langsung histeris. Dia langsung menangis hebat disertai raungan yang memekakkan telinga.

Novi terus berlindung di balik punggung Ninda. Riko keluar dari kamar Novi dan langsung berdiri di depan pintu. Dia berdiri sekitar 3 meter jaraknya dari Ninda.

Mata mereka beradu. Ninda geram.

“Ayo Nov, kita pergi dari sini.”

Ninda menarik tangan Novi. Riko nampak tidak tahu berbuat apa.

“NINDA!” Panggilnya. Tapi Ninda tidak peduli sama sekali.

Ninda terus menarik tangan Novi sampai keluar dari penginapan. Ninda berjalan dengan langkah cepat hingga Novi yang masih menangis tidak bisa menjajari langkahnya.

“Kita akan pulang, Nov.” kata Ninda, “kita akan berjalan dua jam untuk sampai ke pasar melalui jalan hutan. Kamu harus setuju demi keselamatan diri kamu.”

Novi tidak menjawab. Dia masih menangis. Telapak tangannya terus menutupi wajahnya dan dia terus menangis.

Dor!

Terdengar suara letupan peluru dari dekat mereka. Novi berlari bersembunyi ke dekat jendela dan meringkuk di balik semak sementara Ninda masih berdiri di tempatnya.

Kemudian rentetan peluru mulai kembali terdengar. Ninda menutup telinganya. Dia tidak tahu darimana arah datangnya suara itu tapi yang jelas dia merasa terancam.

Ninda menutup telinga dan memejamkan matanya saat mendengar tembakan.

Beberapa detik setelah rentetan itu, suara tembakan menghilang.

Ninda memberanikan diri untuk membuka mata dan telinganya. Tiba-tiba dia melihat seseorang yang berwarna hitam yang mengarahkan sebuah senapan panjang ke arahnya.

Mata Ninda membulat.

“NINDAAA!!!” teriak Novi.

Ninda tidak bisa bergerak menghindar. Dia pasrah. Lalu dia memejamkan matanya karena ia sudah tidak bisa berpikir apapun kecuali menyerah.

Tapi…

“Akkhh.”

Ninda membuka matanya dan melihat Riko berdiri di depannya sambil tersenyum. Itu… senyum Riko untuk yang pertama kalinya sejak mereka bertemu.

Riko lalu terjatuh dan terbaring di lantai dengan darah yang keluar dari dada kanannya. Dia meringkuk, melipat tubuhnya dan merintih, menahan rasa sakit.

Ninda menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba matanya basah dan dia menangis. Ninda berlutut di dekat Riko dan memegangi tangan Riko yang menutupi luka pada dada kirinya. Ninda mengangkat tangan Riko dan melihat ada lubang peluru disana.

Ninda meneteskan airmata.

Riko terlihat mulai kehilangan kesadarannya.

Dia tersenyum lagi untuk Ninda. Ninda mengangkat tangan Riko ke wajahnya lalu mengusapkan tangan Riko yang penuh darah ke pipinya kemudian Ninda menangis.

“Ninda…” bisik Riko pelan.

Ninda menatap Riko. Dia semakin menangis melihat keadaan orang yang ia cintai itu.

“Aku… mencintaimu…” bisiknya.

Ninda menjerit. Dia menangis sejadi-jadinya. Lalu memeluk tubuh Riko yang tergeletak di atas rumput hijau.

“Riko…”

Ninda memeluk tubuh Riko saat napasnya mulai menghilang hingga akhirnya Riko meninggal dunia.

Dor! Dor!

Suara tembakan terdengar lagi, kembali menuju ke Ninda. Ninda merangkak sebentar kemudian berlari sekuat tenaga menghindari peluru yang mengincarnya.

Ninda terus berlari masuk ke hutan. Dia berlarian dengan cepat kemudian melihat sebuah gubuk dari anyaman bambu di sudut pepohonan.

Ninda terus berlari terutama saat dia melihat ada cahaya drai tempat itu. Ninda terus berlari sementara suara tembakan itu mulai menghilang dan tidak terdengar lagi.

“TOLOONGG!!!” Ninda berteriak.

Kemudian dia mendorong pintu gubuk itu sekuat tenaga.

Ninda masuk ke dalam dan segera menutup pintu. Dia lalu berlari ke sudut gubuk kemudian duduk memeluk lututnya dan mulai menangis kembali dengan bahu yang juga naik turun karena kelelahan.

Ninda menangkat wajahnya, melihat seseorang yang ada disana bersama dirinya.

Matanya membesar saat melihat orang  yang ada disana itu adalah Kina.

Kina duduk di dalamnya bersama cahaya dari sebuah lampu minyak. Dia duduk dengan dua tas besar dan sebuah senapan laras panjang di tangannya.

Lebih mengejutkan dari itu, dia memegang senapan bertuliskan huruf ‘J’, lambang Joker. Serta dua tas yang bersamanya itu tidak lain adalah tas milik Herman dan Riko.

Ninda mulai bingung.

Kina menatap Ninda dengan tatapan serius dan dia sama sekali tidak berkedip atau pun bersuara. Kina hanya terus mengisap rokok di mulutnya dengan wajah tidak bersahabat.

“Kamu belum mati?” Kina bersuara. Dia lalu melepas rokok dari mulutnya dan terus melihat Ninda. Ninda nggak mengerti dengan Kina. Apa mungkin, dia …

Ninda mengamati dengan bola mata menegang. Dia melihat senapan yang dipegang Kina itu sama dengan senapan yang ada di jeep milik Jokerman.

Dan kedua tas ransel yang di dekatnya itu… adalah tas ransel milik Herman dan Riko. Ninda juga semakin ketakutan saat melihat ada noda darah di tanktop putih yang dipakai Kina saat itu.

“Kina!” teriak Ninda dengan suara yang bergetar.

Kina terdiam dengan mata yang tidak berkedip dan tidak lepas dari mata Ninda yang terlihat ketakutan.

“Apa? apa yang belum elo tahu? Pembunuh sebenarnya? Pembunuh siapa?”

Ninda terdiam. Dia mendesak Kina menceritakan apa saja yang diketahuinya.

“Gue Kina, dan gue… adalah Joker itu. Gue datang ke penginapan itu bukan tanpa tujuan. Gue sedang memburu milyaran uang yang bersembunyi di penginapan itu. Elo tahu THE HEROIN kan?”

Ninda membatu. Nama THE HEROIN rasanya pernah ia dengar. Kemudian… Ninda teringat dengan kertas koran yang ia temukan di atas jeep Joker. THE HEROIN.

“Apa elo nggak tahu siapa itu HEROIN? Mereka buronan termahal. Hidup atau mati, mereka akan dihargai sepuluh milyar tiap orangnya. Dan THE HEROIN itu adalah…”

Ninda menangis, “Herman dan… Riko.”

Kina tersenyum licik, “Pinter. Elo emang pinter. Herman dan Riko adalah The Heroin yang kabur kesini untuk bersembunyi. Gue emang pemburu binatang. Tapi… rasanya gue lebih suka memburu uang. Elo tahu nggak, di dalam kedua tas ini ada uang hasil penjualan heroin mereka yang tadi udah gue itung sebanyak 900 juta. Gue udah ngikutin mereka sejak dua bulan yang lalu. Akhirnya mereka goblok juga nyasar ke tempat ini. Akhirnya gue datang ke penginapan dan memainkan sandiwara sempurna yang gue bikin.

Gue dateng malam itu dengan pura-pura terluka. Elo hebat, elo curiga kan sama luka itu? luka itu emang gue yang bikin sendiri. Gue yang ngelukain diri gue sendiri pake cutter. Gue nggak ngerasa sakit karena sebelum melakukan itu gue minum pil penghilang rasa sakit. Trus, gue dateng dan menjalankan semua rencana.”

Ninda terdiam dalam kekosongan mata dan jiwanya. Dia… dia tidak menyangka kalau Kina-lah orang yang selama ini membunuh orang di sekitarnya.

“Joker itu nggak ada. Joker yang nembakin elo di hutan waktu itu adalah Pak Karsum. Jeep itu milik gue. Joker itu… adalah gue. Gue ngancam pak Karsum untuk menjadi Joker dan membuat kalian semua berfikir Joker benar-benar ada dan tetap berada di tempat.”

Ninda bergumam, dia tertarik mendengar kelanjutkan cerita dari Kina, “Apa hubungan kamu dengan pak Karsum?” tanya Ninda.

Kina mengisap rokoknya sebentar dan mengepulkan asapnya.

“Bu Karsum dan Pak Karsum hanya peran pembantu di sandiwara ini. Mereka mau aja bantuin gue karena gue tahu tentang rahasia besar mereka. Mereka itu pembunuh.”

Ninda tiba-tiba mengingat mimpinya waktu itu. Pak Karsum dan Bu Karsum telah membunuh dua anak kecil di danau dan di atas pohon beringin.

“Gue sih nggak tahu udah berapa orang yang mereka bunuh, yang jelas mereka mengawetkan mayat-mayat itu di gudang belakang dan sering memasaknya untuk makanan kita. Apa elo nggak pernah bisa ngebedain antara bau hewan dengan bau badan kita? Sebagai pemburu berpengalaman, gue udah ngerasain hampir semua jenis daging binatang. Dan gue udah bisa menebak kalau daging yang mereka masak setiap hari itu bukan daging binatang tapi daging manusia.”

 

***

 

Ninda membatu.

“Siapa pembunuh Stevi?” tanya Ninda.

“Pak Karsum.” Jawab Kina, “Gue nggak nyuruh dia ngebunuh Stevi kok. Emang dasarnya dia nggak suka sama Stevi karena Stevi itu selalu jijik tiap kali ngeliat muka pak Karsum yang kayak monster itu. Makanya pak Karsum bunuh dia, mutilasi dia trus ngasih dia ke sarang ular piton peliharaannya di rawa dalam hutan. Trus, gue yang ngeliat kejadian itu secara langsung , buru-buru membunuh ular itu dan membawa mayat Stevi pulang.”

Ninda terdiam.

“Setelah Stevi… siapa lagi sih yang mati? Oh ya, bapak-bapak gendut yang namanya Freddy itu? Hmm… dia mati karena kesalahannya sendiri. Pak Karsum emang nggak bener-bener masang papan di jendela kamarnya. Gue yang nyuruh. Gue udah menduga suatu saat pak Freddy bakalan jatoh dari jendela karena kebiasaannya tidur sambil jalan. Soalnya dulu saudara gue ada yang mati kayak gitu juga.”

Kina mengambil tisu dan mengelap senjatanya. Tidak ada emosi yang muncul dari nadanya bercerita. Dia seperti sudah terbiasa melakukan semua yang diceritakan olehnya.

“Ricky… mati bunuh diri kan? Abis itu, Herman ya? Dia… gue yang bunuh. Gue berdiri di depan jendela kamarnya dengan baju seksi. Trus, dengan muka mesumnya itu, dia gue ajak keluar dan langsung gue bunuh.”

Ninda melotot dan dia langsung menarik tangan Kina dan mencengkramnya kuat. Tubuh Kina tertarik dan berbalik menghadap Ninda. Kina membesarkan matanya saat tiba-tiba mata melotot Ninda yang penuh kebencian berada tepat di depan matanya.

“Jadi elo yang fitnah gue!” jeritnya, “menyuruh bu Karsum memasukkan pil penenang dan menaruh darah di gaun gue! Iya kan?!”

Kina menarik dan melepaskan tangannya. Dia mengarahkan senapannya ke perut Ninda. Ninda bisa merasakan lubang peluru di senapan itu menyentuh perutnya yang dingin. Lalu, perlahan-lahan Ninda mulai mundur kembali ke sudut dan diam tidak bergerak seperti sebelumnya.

“Sebelum gue kesini, gue ngeliat Resdy dan Novi. Kayaknya… temen lo yang mukanya cacat itu suka sama Resdy. Gue nggak sengaja ngeliat Resdy masuk ke kamarnya dan langsung teriak dan bilang ‘Novi? Ngapain lo di kamar gue?’. Trus, gue denger Novi menangis setelah dia bilang cinta ke Resdy. Tapi… lo tahu nggak siapa sebenernya yang disukain sama Resdy? Hah?”

Mata Kina menyudutkan Ninda.

“Yang disukai Resdy itu… elo!”

****

            Ninda memeluk lututnya semakin erat. Dia tahu dia sangat ingin menangis, tapi dia nggak bisa melakukannya di depan Kina. Wanita itu tidak boleh melihat dirinya lemah dan merasa dirinya orang kuat.

“Trus…,” Ninda berucap dengan suaranya yang bergetar, “siapa yang bunuh Resdy?”

Kina mengeritingkan alis.

“Novi.”

Deg!

Ninda terbelalak tidak percaya.

“Dia begitu sedih sampai dengan refleksnya mengambil pisau buah di dekat meja kamar Resdy dan membunuh Resdy. Gue bisa denger suara Novi yang nangis dan menjerit ‘gue bunuh elo, Resdy! Gue bunuh elo!’”

Ninda menangis meraung seperti kesetanan.

“Nggak mungkiiiinn….” Dia menangis, “pembohong!” teriaknya.

Kina tersenyum melihat Ninda, “cengeng!”

Ninda terus menutup wajahnya dan menangis.

Kina mematikan rokoknya.

Tiba-tiba, Ninda mengangkat wajah dengan mata penuh kebencian hingga Kina kaget.

“Elo yang bunuh Bu Karsum?” tanya Ninda dengan parau.

Kina menggeleng, “lho, emangnya dia juga mati? Kapan? Gue nggak ada urusan sama dia. Ngapain juga bunuh dia? Kita kan partner. Kalo gitu… gawat nih. Pak Karsum bisa marah karena ngira gue yang bunuh istrinya.”

Napas Ninda naik turun, matanya menatap penuh kebencian dan kemarahan pada Kina.

“Yang tadi berusaha nembakin elo Pak Karsum yang nyamar sebagai Joker. Elo nggak pernah ngeliat Joker kan? Cuma denger tembakan dan liat bayangannya doang? Kalo lo ngeliat Joker itu orang bongkok, lo bakalan langsung tahu kalau dia pak Karsum.”

Kina membuka tutup minumnya dan meminum air di dalamnya sampai habis kemudian melihat Ninda yang begitu terpuruk.

“Gue turut berduka cita soal Riko ya?”

Ninda mengangkat wajahnya. Matanya merah dan dipenuhi air. Keadaannya buruk. Bajunya kotor dan rambutnya kusut berantakan.

“Gue tahu kalau Riko itu suka sama elo makanya gue sengaja jadiin elo pancingan supaya dia keluar dan pak Karsum bisa nembak dia.”

Kina terdiam. Ninda meraba-raba rumput dibawahnya dan memegang batu yang ditemukannya kemudian bersiap-siap untuk menyerang Kina.

“KINAA!!!” Ninda menjerit. Tangannya memegang batu yang dilayangkan ke kepala Kina. Tapi…

“Jangan bergerak.”

Ninda mematung. Darah keluar dari lehernya yang teriris pisau. Kina menaruh pisua tajam di leher Ninda dan menyobek kulitnya sedikit hingga berdarah.

Ninda mundur, kembali di sudutnya.

“Jangan paksa gue ngebunuh elo, karena jujur, gue paling nggak mau ngebunuh elo.”

Deg!

“Elo orang paling baik disini. Elo yang ngerawat luka gue sampai sembuh. Padahal gue yakin kalo tangan gue nggak akan bisa dipakai sampai lama. Gue juga ngerasain elo yang paling menerima gue sejak kedatangan gue pertama kali. Gue ngerasa elo mirip sama sahabat gue yang udah meninggal, jadi… gue nggak mau ngebunuh elo. Elo ngingetin gue sama Lira.”

Kina mengambil dua tasnya dan menggendong salah satunya.

“Hati-hati ya, gue mau pulang dulu naik jeep gue yang waktu itu. Sekarang gue udah dapet 900 juta dan nanti, gue akan dapat 20 milyar. Kalo ketemu sama gue lagi, elo boleh nerima bagian. Kita bisa jadi temen kok. Sekarang, gue harus pergi karena The Heroin bakalan nyari gue.”

Ninda melihat Kina dengan nggak mengerti. Bukannya Herman dan Riko sudah meninggal?

“The Heroin itu ada tiga orang. Heroin itu singkatan dari tiga orang yang ada di dalamnya. Herman, Riko dan…”

Kina tidak melanjutkan kalimatnya. Dia tidak bergerak. Tidak berkedip ataupun bernapas. Bola matanya mendadak membesar. Kemudian muncul pedang dari perutnya disertai darah yang membanjir.

Mulut Kina bergerak kecil disertai napas pendek, “Indra…”

“Aaaarrrggghhhh!!!” Jerit Ninda.

Seseorang telah menusuk Kina dari luar gubuk sehingga Kina yang sedang menyender ke sisi anyaman mati tertusuk oleh pedang itu.

“Aaaarrrggghhhh!!!”

Ninda menjerit dan berlari keluar. Saat dia berlari dan menoleh ke belakang, dia melihat gubuk dimana Kina berada telah terbakar oleh api.

Tiba-tiba terdengar suara deru motor yang dipacu dari belakang. Ninda melihat seseorang di atas motor yang memakai jaket hitam dan helm mengarahkan pistol ke arahnya.

Ninda terus berlari.

Dia berlari di atas sungai kecil berbatu yang airnya setinggi lutut kemudian menyeberang. Motor yang mengikutinya dibelakang menabrak batu dan terjungkal. Si pengendara turun dan mengejar Ninda.

Ninda semakin kencang berlari, meninggalkan orang misterius yang mau membunuhnya itu. kemudian dia berlari lagi… berlari… dan terus berlari…

Dor!

Terdengar satu suara tembakan yang bunyinya berbeda.

Ninda berhenti berlari dan menoleh ke belakang. Melihat orang yang mengejarnya berlari di atas air sungai dengan sebelah tangan lainnya yang memegangi dadanya sementara tangan yang lain masih memegang pistol yang mengarah ke Ninda.

Tiba-tiba orang itu terpeleset dan helmnya terantuk batu kali di atas sungai. Orang itu tidak bergerak lagi saat tubuhnya tersangkut di atas batu kali berukuran besar. Ninda bisa melihat ada darah yang mengalir bersama air sungai yang berwarna jernih. Darah itu keluar dari luka tembakan di dadanya. Orang itu mungkin mati dalam keadaan telungkup di atas batu.

Ninda terpaku di tempatnya dengan napas terengah-engah. Kemudian dia melihat ke balik pepohonan di dekatnya.

Disana… berdiri Novi dengan pistol di tangannya. Dia yang menembak orang itu. Novi telah menembak orang itu hingga mati.

Ninda menatap Novi.

Tangan Novi masih terangkat, seperti posisi menembak. Novi nampak sangat shock mengetahui dirinya telah membunuh orang itu.

Tiba-tiba tubuh Novi bergetar kencang. Dia menjatuhkan pistolnya ke tanah dan mulutnya ternganga tidak percaya. Novi mundur perlahan-lahan dengan wajah ketakutan. Kepalanya terus digelengkan seolah berkata ‘nggak mungkin… nggak mungkin…’.

Ninda berbalik badan, berlari ke atas tanah yang lebih tinggi untuk menghampiri Novi.

Ninda merangkak di atas tanah untuk memanjat mendekati Novi.

Setibanya di atas, Ninda buru-buru berdiri di depan Novi dengan tubuhnya yang kelelahan. Ninda terlihat begitu kotor, basah, letih dan menyedihkan. Novi masih lebih baik dari Ninda. Dia memakai jaket hitam dan tidak nampak kotor sama sekali.

Ninda melihat Novi yang menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Tiba-tiba, Novi membuka telapak tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang dipenuhi airmata.

“Aku nggak berniat membunuh dia Ninda… ENGGAK!” jeritnya sambil terus menangis.

Ninda menggelengkan kepala karena ikut sedih melihat keadaan sahabatnya itu.

Kemudian Ninda melebarkan tangan dan memeluk Novi dengan sangat erat. Dia menaruh tangannya di belakang kepala Novi.

“Makasih…,” kata Ninda, “kamu nyelamatin aku, Nov. Aku tahu kamu nggak mungkin sengaja membunuh orang itu. Aku tahu…”

Ninda mengelus rambut Novi dan memejamkan matanya sementara tubuh Novi bergetar dan dia terus terisak dalam pelukan Ninda.

Ninda melepaskan pelukannya.

Ninda melihat Novi masih terus menunduk dan menoca menghentikan tangisannya. Ninda memegang wajah Novi, mengangkatnya dan meminta Novi untuk menatap matanya.

“Novi! Novi, dengerin aku!” bentak Ninda.

Novi membuka matanya pelan-pelan dan satu garis airmata turun ke pipinya.

“Kamu bukan pembunuh! Kita harus pergi dari sini! Oke?” tanya Ninda.

Novi menganggukkan kepalanya dengan cepat.

“Oke. Tunggu disini sebentar.”

Ninda berbalik kemudian memerosotkan dirinya sendiri di turunan miring dan masuk kembali ke air sungai yang semakin dingin dan arusnya semakin deras.

Novi menunggu di atas, mendekap tubuhnya yang kedinginan di tengah malam. Novi melihat jam tangannya dan sekarang, benar-benar jam 12 malam. Tengah malam tepat!

Ninda masuk ke dalam air yang setinggi lututnya dan mendekati tubuh orang yang berusaha menembakinya tadi.

Ninda mencoba mengangkat tubuh orang itu. Orang itu memakai jaket abu-abu usang dan helm hitam. Kemudian Ninda membalik badan orang itu.

Ninda menarik helmnya dan melihat wajahnya.

Deg!

“Riko?” gumam Ninda tidak percaya.

Laki-laki yang terpejam dengan luka tembak di dadanya itu sangat mirip dengan Riko. Tapi… sesuatu di jaketnya mengatakan lain. Ada sebuah tulisan di jaket yang dipakainya.

Ninda tercengang. Matanya melotot.

“Indra? The Heroin.”

Setelah terdiam dengan pikiran kosong selama beberapa detik dengan hanya memandangi mayat itu, Ninda segera mengambil pistol yang dipegang Indra.

Dia hampir saja menangis karena merasa cukup sedih mengingat kematian Riko. Tapi dia berusaha melupakan hal itu dan menguburnya jauh-jauh untuk saat ini.

Ninda berjalan keluar dari sungai.

Kini, dia mengerti kenapa Indra mengejarnya dan ingin menembaknya. Pasti Indra mengira Ninda terlibat dan bekerjasama dengan Kina.

Ninda mengandeng tangan Novi dan menuntunnya berjalan dengan langkah cepat menuju ke jeep milik Kina yang ada di dalam hutan.

 

***

            Mereka sampai di jeep Kina.

Ninda segera melompat masuk ke depan setir dan Novi duduk di sebelahnya.

Ninda memegang setir dan membungkuk, mencari lubang kuncinya. Novi hanya memperhatikan tanpa bicara.

“Novi.” Panggil Ninda, “kamu punya jepit?”

Novi mengangguk dan melepas sebuah jepit di antara rambutnya yang mulai berantakan.

Ninda mulai membengkokkan ujung jepit itu dan mulai memasukkannya ke lubang kunci mobil. Ninda memutarnya pelan-pelan.

Mesin menyala.

Ninda tersenyum senang dan menghembuskan napas lega. Novi tidak kalah terkejut, dia tersenyum lebar dengan mata penasaran.

“Kamu belajar darimana?” tanya Novi.

Ninda terdiam dengan senyum yang belum hilang, tapi… ada kesedihan yang begitu terbaca di matanya. Novi langsung terdiam begitu menyadari perubahan reaksi dari mata Ninda.

“Dari… orang yang paling aku sukai.” Jawabnya.

Ninda tersenyum. Kesedihannya lenyap entah kemana.

Kemudian Ninda mulai menginjak rem dan melajukan mobil.

 

***

 

Mobil berjalan pelan dan mulai terdengar suara decit disertai anehnya gerakan roda.

Ninda menghentikan mobil dan menoleh ke belakang. Dia melihat ban mobil. Novi melakukan hal yang sama. Mereka melihat dua ban belakang sudah pecah.

“Shit!” Ninda memukul pintu setir dengan kesal, “kenapa sih sama hari ini? Hah?! Kenapa hari ini semuanya jadi begitu kacau!” teriaknya.

“Harusnya aku kan yang bilang begitu?” gumam Novi dengan suara serak.

Ninda menoleh. Melihat Novi yang menunduk dengan wajah tidak terlihat karena tertutup rambutnya yang terurai ke depan wajahnya.

Kemudian, terlihat tangan Novi mengeluarkan sesuatu dari balik jaket hitamnya.

Ninda tetap terdiam.

“Jangan bergerak! Atau kau… KUBUNUH!”

Deg!

Ninda melihat ada ujung pistol di antara dua bola matanya.

“Sudah sejak lama aku ingin melakukan ini, Ninda!”

Novi mendongak. Matanya menakutkan. Matanya yang membesar dan menyorotkan hawa membunuh berkilat-kilat di bawah cahaya bulan.

Ninda diam, tidak bergerak sama sekali. Matanya lurus menatap dalam mata Novi.

“Aku membenci kamu Ninda! Aku sangat membencimu!” bisiknya sayu.

Hening sesaat…

Ninda bisa melihat tatapan Novi melembut saat itu.

“Aku benci dengan segala kesempurnaan kamu, Ninda. Kita berteman sudah tujuh tahun dan selama itu pula kamu selalu mencuri impianku. Kamu selalu yang jadi nomor satu di kelas sementara aku selalu jadi yang kedua. Kamu cantik dan gara-gara perbuatan kamu empat tahun yang lalu, kamu membuat wajahku jadi CACAT! Kamu mendapatkan beasiswa itu sementara aku ENGGAK! Kamu mendapatkan…” Novi menatap Ninda dengan tatapan membunuh, “kamu mendapatkan RESDY!”

Deg!

Ninda tidak bisa bernapas. Ternyata, selama ini Novi begitu membencinya. Dia sama sekali tidak menyadari hal itu. Dia sama sekali tidak bermaksud untuk membuat Novi membencinya.

“Kenapa elo selalu ngerampas impian gue, Nin? KENAPA? KENAPA!”

Tangan Novi bergetar, begitu juga pistol yang dipegangnya. Bahu Novi naik turun karena tidak sanggup mengendalikan emosi yang muncul di dirinya.

Ninda masih tenang. Dia tidak berkata apa-apa. Justru mata Ninda semakin melembut karena dia telah berbuat banyak salah selama ini kepada Novi. Dia tidak menyadari bahwa keadaan dirinya selama ini membuat Novi selalu menanggung beban kesedihan dalam hidupnya.

“Tadi… gue berniat mengutarakan cinta sama Resdy.” Tatapan Novi jatuh ke bawah, suaranya menjadi pelan dan kesedihan terdengar dari helaan napasnya yang berat.

“Gue nyariin dia ke kamarnya tapi dia nggak ada. Gue iseng dan membuka-buka buku di atas meja belajarnya dan melihat ada foto elo disana, Nin. Tiba-tiba dia datang dan memergoki gue. Gue bilang sama dia betapa gue sangat mencintai dia. Tapi…” Novi terdiam untuk menarik ingusnya.

“Tapi dia bilang dia nggak suka sama gue karena gue cacat! Karena gue jelek! Dan dia bilang dia suka sama elo! Siapa yang bikin muka gue cacat kayak gini? ELO KAN?!!” jerit Novi disertai airmata.

Ninda tidak mengubah sikap dan perasaannya.

“Gue marah sama Resdy… gue kalap dan langsung mengambil pisau buah di atas meja dan menusuk Resdy sampai mati…” Novi menangis, “sayangnya, Bu Karsum ngeliat kejadian itu. Makanya gue kejar dia dan gue juga bunuh dia…”

Novi terlihat makin tidak bisa mengendalikan dirinya.

Ninda masih mematung.

“Gara-gara elo, gue udah bunuh tiga orang! Resdy, Bu Karsum dan cowok di sungai itu! SEMUA GARA-GARA ELO!!!!”

Pistol itu berbunyi.

Ninda memejamkan matanya. Dia bersiap untuk mati.

“Dan sekarang, ini saatnya elo buat MATIIII!!!!”

 

***

            Buugghh!!!

“Akkh…”

Saat merasa ada cipratan air ke wajahnya, Ninda membuka matanya. Dia melihat Novi melotot dengan kapak di tengah-tengah wajahnya. Ninda terjekut melihat pemandangan itu.

Dia melihat Novi kehabisan udara dengan darah yang mengucur memenuhi wajahnya. Tangannya terkulai ke bawah. Novi bersandar ke sandaran mobil.

“Novi?! Novi?!”

Ninda panik. Dia memegangi dan mengguncang badan Novi. Ninda menangis saat melihat pandangan Novi mulai kosong.

“Novi? Bangun, Nov. Maafin aku Nov… aku nggak bermaksud mengambil apapun keinginan kamu, Nov…” Ninda menangis.

“Nin… Ninda…” bisik Novi dengan napasnya yang hampir berhenti. Ninda memegang wajah Novi yang nyaris terbelah itu. Novi memandang Ninda dengan tatapan sendu.

“Ma… maafin aku, Ninda…”

Napas Novi menghilang.

“NOVI! NOVI!” Ninda menjerit, mengguncang-guncang badan Novi. Tapi… Novi tidak akan pernah kembali lagi.

Ninda tertunduk dan tersedu-sedu.

Kemudian, menyadari ada seseorang yang berdiri di belakang Novi, Ninda melihat ke orang itu.

Ninda terbelalak.

Dia melihat Pak Karsum menangis dengan mata yang sangat merah. Dan ternyata, pak Karsum bukanlah orang gagu…

“Itu balasan karena telah membunuh istriku!” ucapnya dengan airmata yang terus turun. Pak Karsum adalah orang yang membunuh Novi.

Ninda menatap Pak Karsum dengan tubuh yang gemetaran. Tubuhnya beringsut mundur, menjauh dari mayat Novi. Kemudian Par Karsum memegang kapak yang menancap di kepala Novi.

Ninda semakin mundur.

Clep!

Kapak itu berhasil ditariknya, lepas dari kepala Novi. Dengan darah yang membasahi kapak itu, Pak Karsum memegangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi dan menatap Ninda.

“Aaaarrrrggghhh!!!”

Ninda melompat dari mobil.

Dia terjatuh di rumput dan lengan kirinya jatuh di atas pecahan beling botol bir. Ninda mencabut beling itu keluar dari dagingnya hingga darah dari lengannya mengalir deras.

Ninda berdiri.

Dia melihat pak Karsum berjalan ke arahnya.

Ninda berlari, masuk lagi ke hutan tanpa tahu kemana dia akan pergi.

Akhirnya Ninda sampai lagi ke aliran sungai. Sungai kali ini lebih lebar dibanding yang sebelumnya. Airnya jauh lebih dalam. Ninda masuk ke dalamnya dan segera berenang kembali ke tepi saat tahu kedalaman sungai di tempat itu lebih dari dua meter.

Luka di lengannya semakin terasa sakit dan mengeluarkan banyak darah. Ninda membuka bajunya dan merobeknya lalu mengikatkannya di luka itu.

Ninda yang sekarang menggunakan tanktop putih bingung harus berbuat apa. Dia harus pergi dari sana meskipun tidak lagi melihat pak Karsum mengejar di belakangnya.

Kemudian dia melihat ada banyak pohon pisang tua disana. Ninda berusaha mencabut dan menendangi dua pohon diantaranya hingga tumbang dan mengambil dua pohon pisang lainnya yang memang sudah tumbang lalu mengumpulkannya dan mengikatnya dengan tali tambang yang ditemukannya.

 

***

            Cahaya matahari membangunkan Ninda. Ninda membuka kecil satu matanya. Entah dimana dia berada saat ini.

Pelepah pisang yang dirakitnya mengambang sepanjang sungai. Ninda berbaring di atasnya dan menoleh ke tepian. Ninda mengangkat tangannya pelan-pelan dan melihat ada rembesan darah pada kain yang diikatkannya. Tapi, syukurlah sudah tidak begitu sakit lagi. Darahnya sudah tidak mengalir lagi.

Ninda menghadapkan wajahnya ke langit. Darah-darah Novi yang mengering diwajahnya diterpa kilau hangatnya matahari. Bibirnya pucat seperti mayat.

Ninda menatap kosong ke langit, matanya tidak berkedip dan dia berusaha mengingat semua yang telah terjadi dengan sangat cepat itu.

Masa lalunya bersama Novi…

Semua kematian yang terjadi di penginapan itu…

Semua kenyataan yang tidak pernah diharapkannya…

Dia terlihat begitu kelelahan tapi dia belum menyerah.

Kemudian dia menoleh ke tepian, dia melihat banyak orang berkumpul di pinggir sungai dan melihat ke arahnya. Tiga orang laki-laki melompat ke dalam sungai dan berenang menuju ke perahu yang mengangkut Ninda.  Dengan mata yang hanya bisa terbuka sedikit, Ninda tersenyum penuh kelegaan.

 

 

 

 

 

8th Chapter

            Lima hari setelah kejadian itu…

Ninda duduk di atas kursi rodanya. Wajahnya pucat, matanya kosong, tatapannya sayu dan bibirnya putih. Dia terlihat seperti boneka rusak. Trauma yang dialaminya terlihat langsung dari wajahnya yang begitu kosong.

Ninda menatap ke danau itu. Sebuah mobil derek memasukkan tali pengangkut ke dalam danau. Perlahan mobil itu berjalan maju dan tali mulai tertarik keluar.

Ninda terdiam dan melihat.

Kemudian tali itu semakin terangkat. Perlahan-lahan mulai terlihat sebentuk tubuh yang mulai membusuk dengan rantai bola besar yang masih menggantungi kakinya.

Ninda tidak mengubah apapun di dirinya.

Jelas sekali mayat yang ada di danau itu adalah mayat gadis kecil yang dulu dibunuh Bu Karsum.

Tiba-tiba seorang polisi mendorong gerobak kecil tepat di depan Ninda. Terdengar bunyi benda yang bergerak dari dalamnya. Ninda melihat ada banyak tulang manusia di dalam gerobak itu. Semua tulang-tulang manusia itu diambil dari gudang belakang penginapan.

Gerobak berikutnya yang muncul berisi tumpukan daging manusia yang juga diambil dari gudang di belakang penginapan.

Ninda menikmati keheningan yang menikamnya.

Satu persatu polisi dan petugas ambulans mengangkat tandu yang membawa tubuh temannya satu persatu. Mereka membawa tandu itu tepat di depan mata Ninda.

Mayat Resdy, Riko, Novi, Kina, Indra dan Bu Karsum. Mereka semua dibawa di atas tandu dengan kain putih yang menutupi seluruh tubuh.

Bola mata Ninda tetap memandang lurus ke danau meskipun banyak orang melintas di depannya.

Sementara itu enam orang bapak-bapak sibuk menggali kuburan yang lainnya. Kuburan Stevi, Riko, Pak Freddy dan Herman.

Polisi akan memindahkan mayat mereka dan menguburkannya di tempat yang lebih baik dan sebagian dari mereka akan dikembalikan ke keluarga mereka.

Dua orang polisi lain selalu mengadah ke atas pohon beringin yang berdiri di dekat danau dan kuburan. Salah stau diantara polisi itu memegang buku kecil dan menuliskan sesuatu di atasnya kemudian kembali melihat ke atas pohon. Yang satu lagi memoto pohon itu berulang kali.

Mereka berdua sedang berusaha menurunkan mayat Pak Karsum yang gantung diri di atas pohon sana.

Ninda masih nampak seperti orang dengan pikiran kosong.

Kemudian, datang seseorang menuju ke Ninda.

Wanita itu berlutut di dekat Ninda dan menatap Ninda.

“Kita pulang ya?” tanya wanita itu sambil tersenyum.

Ninda menoleh, melihat ke wanita itu dengan tatapan kosong.

Kemudian, tanpa menunggu jawaban dari Ninda, wanita itu berdiri dan mendorong kursi roda Ninda menuju ke mobil.

Mereka berjalan. Sementara itu, wanita yang mendorong Ninda memakai sebuah pakaian dengan tulisan mengerikan yang ada di lengan bajunya.

 

UNIT PERAWATAN

RUMAH SAKIT JIWA